Sabtu, 02 April 2011

Dilema PKL di Kota Bersinar

Yusriadi, Borneo Metro

Hari itu, Pak Moi, sebut saja begitu, duduk berurai air mata. Lucu juga membuat nelangsa. Lucu karena biasanya, Pak Moi bersuara lantang dan gagah. Jauh dari kesan air mata. Nelangsa karena siapa pun yang berhati halus dan berperasaan pasti tersentuh hatinya melihat orang menangis.

Pak Moi hari itu berusaha melawan anggota Satuan Polisi Pamong Praja, Kota Pontianak. Tapi tak bisa melawan. Dia berusaha bertahan, tapi tak mampu sebab jumlah anggota Sat Pol PP banyak. Sekuat apapun, tak mungkin satu orang menghadapi puluhan orang.



Pak Moi menangis karena tempat jualannya, gerobak, yang biasa diparkir di pinggir jalan sekitar kawasan Tanjungpura ditertibkan petugas.
Dia mencoba melawan karena dia menganggap adalah haknya berusaha. Berjualan rokok, indomie, minuman, adalah pekerjaan baik, ketimbang menjadi pemalak. Ini ada usaha. Bahkan, dia juga berucap, usaha yang dia lakukan memberikan sumbangan terhadap pembangunan ekonomi Kota Pontianak.
Pak Moi juga mencoba melawan karena kerja jualan ini merupakan satu-satunya penyara kehidupan rumah tangganya. Usaha itu begitu mudah dilakukannya setiap hari. Setidaknya dibandingkan sebelumnya, dia dengan susah payah melamar pekerjaan.
Pak Moi pernah kerja menjadi tukang pikul. Dia mengangkut barang orang di kawasan Pasar Tengah. Dia juga pernah bekerja sebagai pengaduk semen, bersama kawan-kawannya, untuk bangunan perumahan. Kerja-kerja ini jauh lebih sakit. Badannya tidak kuat. Tenaganya mulai lemah.
Dia tak dapat menikmati kerja enak sebagai pegawai kantoran. Ijazah SMA tidak dapat dipergunakan. Tidak laku. Atau, setidaknya dia tidak tahu bagaimana cara membuat ijazahnya laku jual.
Lantas, suatu ketika dia berusaha membuat gerobak. Dia jualan kecil-kecilan di pinggir jalan.

***

Mengapa Pak Moi ditertibkan? Karena dia tidak tertib. Pak Moi berjualan di pinggir jalan. Di tempat yang tidak seharusnya. Di tempat yang dilarang. Pemerintah Kota sudah mengeluarkan peraturan: tidak boleh berjualan di atas jalan. Tidak boleh berjualan di atas trotoar. Tak boleh juga berjualan di atas parit.
Namun, pedagang terus menerus bertahan, dan pedagang baru muncul. Mereka bertahan karena berjualan di pinggir jalan merupakan pilihan mudah di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan.
Berjualan di pinggir jalan juga memerlukan modal yang tidak besar. Setidaknya dibandingkan mereka harus memiliki tempat atau menyewa ruko, berusaha di pinggir jalan hanya perlu sedikit modal. Karena sedikit modal inilah maka banyak orang yang bisa merintis bisnis dimulai dari pinggir jalan. Modalnya hanya kemauan.
Tidak perlu juga keterampilan yang pelik-pelik. Tidak perlu juga syarat pendidikan.

***

Pemerintah sebenarnya kasihan. Saya pernah berbicara dengan seorang pejabat di pemerintahan kota Pontianak, beberapa waktu lalu. Katanya, dia tidak bisa bertindak terlalu keras kepada para pedagang kaki lima, karena kegiatan PKL itu merupakan sekolah alam bagi mereka.
Mereka yang menjadi PKL itu hakekatnya mereka yang baru belajar berusaha. Dengan modal sedikit mereka berlajar mengelolanya, mengatur keuangannya. Sekaligus belajar bagaimana menjual dan melayani orang.
“Mereka tidak akan selamanya jadi PKL. Kalau usaha maju pasti mereka ingin cari tempat usaha yang bagus. Takkan selamanya mereka mau hidup di pinggir jalan itu,” katanya.
Tetapi, para PKL juga tidak bisa dibiarkan di pinggir jalan karena tidak selamanya mereka tertib dan bersih. Justru seperti sering dikeluhkan, Kehadiran mereka merusak pemandangan. Mereka membuat kota jadi semerawut. Mereka membuat jalan semakin sempit.
Lalu, kehadiran mereka yang tidak teratur itu dikeluhkan. Komplen muncul dari pengguna jalan. Ketidakpuasan muncul dari orang yang menyukai keindahan dan ketertiban.
Pemerintah membuatkan larang atau pembatasan. Tempat-tempat tertentu boleh, tempat-tempat tertentu dilarang.
Ada beberapa kebijakan pernah dilakukan pemerintah. Pemerintah membuat pasar baru untuk menampung mereka. Ada Pasar Flamboyan untuk menampung PKL di Jalan Tanjungpura. Ada Pasar Pujasera untuk menampung PKL di sekitar Jalan Agus Salim. Ada kios Pattimura untuk pedagang di sekitar Jalan Nusa Indah-Pattimura. Ada Pasar Cempaka untuk pedagang di Jalan Tanjungpura.
Apakah usaha ini berhasil membersihkan PKL? Entahlah. Yang pasti, Sat Pol PP masih disibukkan pada pekerjaan rutin: “Menertibkan PKL”. Petugas masih harus bertindak keras membongkar lapak PKL. Kadang kala, ada perlawanan PKL yang harus mereka hadapi.
Hingga belakangan ini pemerintah membuat kebijakan baru: PKL bongkar sendiri bangunan mereka. Ada uang ganti upah bongkar. Kebijakan ini sangat mulus ketika diterapkan di Jalan Tanjungpura, kawasan Nusa Indah. Kebijakan serupa juga diterapkan saat penertiban PKL di depan Kampus Untan, Jalan Imam Bonjol, Pontianak.
Selain solusi itu, PKL juga memiliki solusi tersendiri dalam menghadapi tindakan Sat Pol PP. Entah siapa yang mengajarkan dan memulai, di kalangan PKL ada bisik-bisik, jika mau aman dari penertiban, sebaiknya minta perlindungan dari Sat Pol PP. Karena itulah kemudian, ada sejumlah PKL yang tergabung dalam kelompok PKL binaan Sat Pol PP. Walaupun kedengaran aneh, karena seharusnya pembinaan kegiatan ekonomi kecil begini sudah ada dinas yang mengurusnya, namun, binaan ini sangat baik bagi PKL. Sebab, kononnya, PKL binaan Sat Pol PP tidak akan terkena gusuran. Jika pun lokasi dagangnya digusur, PKL bisa lebih awal menyelamatkan barang dagangan mereka. Jadi, aman!
Selain Sat Pol PP, PKL yang ingin aman juga bisa mencari perlindungan dari penguasa wilayah usaha. Penguasa itu tergantung wilayahnya. Ada yang di bawah kekuasaan Pak RT. Ada yang di bawah kekuasaan organisasi tertentu, tokoh politik, dan ada juga yang berada di bawah kekuasaan orang keamanan. Jika ada penertiban, penguasa inilah yang melindungi mereka menghadapi Sat Pol PP.
Tetapi, tidak semua orang mendapatkan perlindungan seperti yang diharapkan. Meskipun sesekali Sat Pol PP mengalah karena banyak massa yang melindungi para PKL yang akan ditertibkan, namun, PKL tidak bisa mendapat perlindungan terus menerus dari pelindung mereka. Biaya yang mereka keluarkan relative besar dan itu menyedot modal kerja mereka.
Pada akhirnya, PKL kembali harus menghadapi hukum sendiri. Mereka tidak dapat terus menerus berdiri di bawah pelindung mereka karena PKL itu memang salah. Mereka tidak bisa terus menerus melawan dengan dalih tidak ada perhatian pemerintah, mereka juga tidak bisa terus bertahan dengan dalih belum ada pemberitahuan sebelum penertiban.
Lantas, akhirnya mereka hanya bisa main kucing-kucingan. Contoh permainan kucing-kucingan PKL dan Sat Pol PP terjadi beberapa waktu lalu. Kala itu, Sat Pol PP melakukan penertiban di sepanjang jalan arah parit Sungai Jawi. Kala penertiban, atau tepatnya, kala pasukan penertiban Sat Pol PP tiba di lokasi, tidak ada satu pun pedagang yang buka. Gerobak-berobak yang biasanya ada di pinggir jalan, mereka tarik ke atas jembatan.
Alhasil, saat itu Sat Pol PP tidak bisa menyita gerobak atau lapak PKL.
Lantas, dua jam kemudian, setelah bayangan Sat Pol PP lenyap, satu per satu pedagang kecil ini mulai menarik gerobaknya dari atas jembatan ke bahu jalan. Mereka mula buka usaha seperti biasa.
Mungkin Sat Pol PP tersenyum melihat ulah PKL yang mengakali mereka. Mungkin juga PKL tersenyum karena berhasil mengakali Sat Pol PP. Duh, senangnya melihat mereka bisa saling tersenyum. (3/4/2011)


0 komentar: