Sabtu, 02 April 2011

Ingat Pasar Sentral, Ingat Gadong, Brunei



Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune



Ingat Pasar Sentral Pontianak, saya ingat kawasan Gadong, Brunei Darussalam. Itulah hal yang melintas dalam pikiran saya ketika melewati Pasar Sentral kemarin, dan kemarinnya lagi.
Saya ingat itu ketika saya lihat di persimpangan arah Pasar Sentral – Gusti Sulung Lelanang ada bekas bambu membentuk kerangka ‘sesuatu’. Kerangka itu sebelum ini pernah digunakan ‘pengelola’ dengan dipasangkan ‘hiasan’ untuk menyambut hari besar beberapa waktu lalu. Waktu itu saya melihat hiasan itu dengan kekaguman yang luar biasa. Kagum karena ‘pengelola’ itu begitu kreatif, dan kagum karena waktu itu pemerintah kota mengizinkan kreativitas itu ditunjukkan di depan publik. Waktu itu saya melihat ada keindahan yang berbeda ditunjukkan pengelola di persimpangan ini.
Kemarin, ketika melintas di sana, ketika melihat hanya kerangka saja, saya sempat membayangkan hal buruk: kerangka ini akan lapuk dan tidak ada apapun lagi di pertigaan itu kelak kecuali semen yang membatu dan tidak menarik. Kalau itu benar-benar terjadi, sungguh disayangkan. Rugi!
Saya memberikan apresiasi pada kreativitas pengelola itu karena saya termimpi-mimpi kala melihat hal yang hampir sama di Gadong, Brunei Darussalam. Waktu itu, kebetulan ada seminar di Negara Sultan Bolkiah ini, dan malam itu Dr. Yabit Alas membawa kami keliling kota Brunei. Ketika melintas di Gadong, kami berhenti. Dr. Yabit menunjukkan sebuah kawasan yang berwarna warni, dan di sana ada patung yang waktu itu dipakaikan baju sanghai. Lampion digantungkan di sana sini.
Selain kami, ada banyak orang yang singgah di sana malam itu. Pengunjung juga. Mereka sama seperti kami, berfoto-foto dengan latar belakang lampu dan patung itu.
Kata Dr. Yabit, lokasi itu dikelola oleh sebuah showroom mobil. Pakaian patung itu selalu disesuaikan dengan momentum. Kalau Natal, patung itu menjadi Sinterklas. Kalau musim Idul Fitri, patung itu mengenakan baju muslim. Begitu juga jika Imlek.
“Ini kemudian menjadi salah satu objek wisata di sini,” katanya waktu itu.
Saya sempat menghayalkan di Pontianak, ada juga ruang itu. Pemerintah mengajak swasta tertentu untuk mengelola sebuah lokasi dan lokasi itu dijaga mereka, plus dengan kreativitas pengelola lantas dikemas sedemikian rupa sehingga membuat kota menjadi indah.
Tempatnya, entah itu di kawasan pasar atau di pinggiran kota yang lahannya masih agak luas.
Pada akhirnya, setelah Sutarmidji menjadi walikota Pontianak, saya melihat mimpi itu mulai wujud. Setidaknya, ketika saya melihat ada swasta yang diserahkan mengelola tugu di bundaran Kota Baru Pontianak. Sejauh ini swasta mengelola dengan baik. Air mancurnya terjaga. Lampu terpelihara. Kebersihan dan keindahan juga menyinari mata saat memandangnya – walaupun ada juga yang memandang keindahan ini dengan kacamata minus.
Nah, sekarang, apakah cikal bakal kerangka bambu di simpang Pasar Dahlia – Jalan Gusti Sulung Lelanang akan diurus seperti Bundaran Kota Baru? Saya berharap begitu. Jika pun simpang Dahlia terlalu sempit, mungkin pemerintah bisa melepaskan Bundaran Pos kepada pihak swasta sehingga pada akhirnya keindahan lokasi itu menyerlah juga. Bukan saja kota akan bertambah tempat wisata, tetapi juga pemerintah akan berkurang bebannya. Saya kira, lumayan juga dana dikeluarkan pemerintah untuk urusan taman itu per tahunnya, sekalipun kenyataannya taman itu hanya diurus apa adanya dan tidak mengundang daya tarik pun. (22/1/2011) *

0 komentar: