Sabtu, 02 April 2011

Jual Kue Keranjang

Oleh Yusriadi
Borneo Tribune

“Apa dagang macam tu? Macam main-main. Kasih-kasih gitu ja”.
“Kalau dagang yang benar. Barang tu dibungkus. Bersih nampaknya”.
“Kalau kau jual begitu sapa yang mau beli”.
“Omelan” panjang Mak Nyah menyita perhatian saya, saat saya belanja sesuatu di toko pakai dia di kawasan Pontianak Timur.

Hari itu, tepat sore itu, menjelang hari Imlek, saya singgah ke toko Mak Nyah itu, mencari sesuatu. Saya sebut Mak Nyah karena begitulah panggilan orang yang belanja di toko dia. Saya ikut-ikutan orang lain. Dan saya tahu, dia juga akur dengan panggilan itu. Setidaknya dia menyahut sapaan orang pada dirinya.
Saya mendengar Mak Nyah nyerocos panjang. Saya penasaran. Siapa yang diomelinya. Semula saya duga dia marah pada pegawainya. Seorang bos menegur pegawai itu biasa saya dengar. Agar pekerjaan jadi baik. Maklum kadang kala pegawai kurang tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang baik dilakukan.
Rupanya Mak Nyah ngomel pada seorang pemuda yang menjual kue keranjang. Sebelumnya, saya memang sempat melihat pemuda itu datang dengan dua kue keranjang. Satu di tangan kanan dan satu di tangan kiri. Saya hanya mengira ada tawar menawar kue itu karena keduanya berkomunikasi dalam bahasa Cina – saya kira Khek. Saya tidak menyimak benar karena pada saat yang sama saya sedang mencari sesuatu.
Nah, rupanya, perilah pemuda itu menawarkan Mak Nyah kue keranjang dengan cara menyodorkan begitu saja yang bikin hal. Menurut Mak Nyah cara menawarkan seperti itu tidak baik dilakukan; kesannya tidak nyaman dilihat. Orang pun jadi enggan membeli.
Lantas dia memberi tahu bagaimana cara menawarkan barang yang baik.
“Kamu bungkus dahulu, bawa pakai keranjang, baru tawarkan”.
“Iya… iya…”
Pemuda itu tidak membantah. Dia hanya terangguk-angguk. Ter-iya-iya.
Saya dan beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu juga ikut terangguk-angguk. Saya kira semua orang maklum. Maklum bahwa apa yang disampaikan Mak Nyah itu benar, dan sangat benar.
Sering kali cara menjual lebih penting daripada apa yang dijual. Sering kali cara menjual mampu mendongkrak angka penjualan.
Tapi, walaupun saya memahami apa yang disampaikan Mak Nyah kepada penjual muda itu, namun, hingga saya membuat tulisan ini, masih ada tersisa pertanyaan: Mengapa Mak Nyah menyampaikan peringatan (mengajarkan) kepada penjual muda itu dalam bahasa Melayu? Mengapa tidak dalam bahasa Cina (Khek?) – padahal sebelumnya saat pertama datang menawarkan kue keranjang itu keduanya berkomunikasi dalam bahasa Cina.
Apakah lebih mudah bagi Mak Nyah menyampaikan peringatan itu dalam bahasa Melayu – karena dia sering mengajarkan cara berjualan kepada anak buahnya yang saya lihat orang bukan penutur Cina? Apakah dia sengaja menyampaikan dalam bahasa Melayu agar anak buah dia dan orang-orang bukan Tionghoa di situ mengerti? Entahlah. (19/2/2011) (*)



0 komentar: