Sabtu, 02 April 2011

Memberi Merk Kubu Raya

Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


Hari itu, akhir Februari saya pergi mengunjungi kampung Parit Lambau, Kubu Raya. Kunjungan dilakukan karena saya diajak teman. Bukan karena saya ada rencana ke sana.
Perjalanan cukup jauh juga. Melewati Pontianak Utara, hingga tembus ke persimpangan 28 Oktober. Kami menyusuri jalan sempit, sebagiannya tidak beraspal atau tidak juga bersemen. Jalan tanah kuning.
Perjalanan sukar dan jauh begini selalu saya sukai. Bukan suka karena jalannya yang payah, tetapi suka karena saya selalu berpikir, di balik perjalanan susah itu selalu ada temuan yang menarik.


Dan, benar juga. Ketika sampai di kampung ini saya menemukan banyak hal yang menarik. Banyak hal yang membuat saya kagum dan mendapatkan insprirasi.
Saya sangat terpesona ketika mengunjungi ‘pabrik’ dodol lidah buaya Albarokah. Usaha dodol lidah buaya dirintis seorang pemuda yang tidak suka publikasi. Kawan pernah mengangkat profilnya, tetapi dia tidak mau dipotret. Ya, nama dia tidak begitu penting. Yang penting adalah idenya.
Dia merintis usaha ini sejak beberapa tahun lalu. Semula usahanya berpusat di Kota Pontianak. Tetapi kemudian, dia pindah ke Parit Lambau.
Meskipun di tempat terpencil ini, usahanya maju dan populer. Produknya sudah dipasarkan di kota Pontianak, Jawa dan bahkan Malaysia. Tempat produksinya sudah dikunjungi banyak orang, baik orang seperti saya, maupun orang yang datang untuk belajar. Pengusaha muda ini juga sudah diminta mengajarkan cara produksi dodol lidah buaya di mana-mana. Terakhir dia diundang di Nusa Tenggara untuk mengajarkan orang di sana membuat dodol lidah buaya.
Saya sempat bertemu dengan dia dan kami ngobrol sedikit. Dia mengatakan mendapat keterampilan itu dahulu dari pelatihan. Kemudian dia bekerja pada orang. Lalu, panjang cerita dia membuka usaha sendiri.
Pekerjanya adalah keluarga. Beberapa orang adik dan iparnya membantu. Ada yang mengurus pembelian bahan, membersihkan, mengaduk adonan, dan kemudian memasarkannya. Dari usahanya ini, adik-adiknya bisa kuliah. Seorang adik pengusaha itu sudah sarjana; dan saya sempat menemui sarjana itu saat dia sedang mengaduk tepung di dalam kuali. Seorang lagi adiknya sedang melaksanakan praktik lapangan (PPL) sebagai program kuliah di salah satu perguruan tinggi. Adik yang sedang PPL ini sempat menunjukkan pada saya program pengembangan usaha lidah buaya yang dirintis abangnya itu. Diantara pengembangan usaha sekarang ini adalah kerupuk lidah buaya.
Ketika saya bertanya kepada pengusaha itu, mengapa mereka memilih usaha di kampung di tengah hutan ini, saya mendapat jawaban yang membuat saya melongo takjub. Jawabannya sangat futuristik. Mereka memilih membuka usaha ini karena bahan pendukung produksi mudah diperoleh di sini. Kayu untuk bahan bakar tersedia banyak di hutan. Mereka juga mempertimbangkan tenaga kerja tersedia di sini.
Lebih dari itu, pengusaha mempertimbangkan untuk menciptakan merk produksi. Produk asal Kubu Raya.
Mereka juga pikirkan ke depan. Bahwa suatu saat nanti, bahan produksi yang dibeli di Pontianak, bisa mereka sediakan sendiri. Sang pengusaha sudah mempersiapkan lahan untuk menanam lidah buaya tidak jauh dari tempat mereka.
Saya sangat mengagumi apa yang mereka lakukan dan juga cara mereka berpikir. Oo, andai saja banyak orang bisa melakukan itu dan berpikir seperti itu, pasti kita semua akan makmur. (27/3/2011) (*)

0 komentar: