Sabtu, 02 April 2011

Pilih Api atau Manusia?

Oleh: Yusriadi

Ulla Asri, fotografer Borneo Tribune memperlihatkan foto-foto kebakaran di Kapuas Besar kepada saya, Jumat (4/2) kemarin. Foto itu hasil bidikannya ketika api mengamuk pusat perbelanjaan itu Kamis (3/2).
Kemampuan Ulla memotret jelas sangat bagus. Karena itu, tidak heran, hasil bidikannya selalu menarik dilihat. Ada foto tentang pemadam dari berbagai yayasan sedang bekerja sama memasang kran. Ada foto petugas pemadam sedang menyemprotkan api. Ada foto api yang membara. Ada foto-foto sisa kebakaran. Ada foto warga yang mencoba mengambil barangnya di antara puing-puing.

Tapi dari sekian banyak foto itu, foto petugas menyemprot air melalui celah pintu besi (folding gate) yang tertutup, sungguh sangat mengesankan. Bukan soal bagaimana petugas berusaha memadamkan sisa-sisa api yang masih menyala. Juga bukan soal keberanian petugas tersebut.
Yang mengesankan saya adalah soal pintu yang dikunci. Menurut informasi Ulla dari petugas pemadam kebakaran, pintu dikunci telah membuat petugas agak susah melakukan penyemprotan ke dalam. Dan karena itulah api yang menyala Kamis itu, belum sepenuhnya padam hingga Jumat pagi. Api masih menyala di dalam bangunan di lantai bawah.
Pintu ruko dikunci pemilik ketika melarikan diri, karena mereka ingin menghindari penjarahan. Kemungkinan penjarahan sangat besar terjadi pada saat kebakaran. Sering sekali terjadi, di saat orang sibuk memadamkan api, di samping beberapa orang sibuk menyelamatkan harta benda, ada orang yang memanfaatkan kesempatan. Mencuri. Mereka ikut mengangkut harta milik korban kebakaran, seperti orang menolong, namun, sebenarnya mereka mengangkut harta orang dan tak mengembalikannya.
Inilah watak tercela orang-orang kita: suka aji mumpung. Melihat ada kesempatan, mengetahui orang lain lengah mereka bergerilya. Mereka tidak sedikitpun berempati terhadap penderitaan orang yang sedang mengalami musibah. Seboleh-boleh mereka menambah penderitaan itu. Mereka tidak peduli pada orang yang kehilangan rumah, kehilangan harta benda, malah, mereka menambahnya. Mereka tidak memiliki perasaan.
Jadi untuk menghindari kemungkinan inilah, pemilik mengunci pintu ruko mereka. Agaknya, pemilik berpikir daripada barang mereka menjadi sasaran pencurian, dari pada barang mereka diangkut orang, lebih baik barang dimakan api. Daripada mengenyangkan perut orang lebih baik memberi makan api.
Walaupun amat prihatin pada musibah yang menimpa mereka para korban itu, namun sikap mereka juga membuat prihatin. Prinsip dan cara berpikir seperti ini rasanya agak kurang sesuai dalam konteks hidup berdampingan, bersama.
Ah, andai ada orang yang bisa berprinsip: ambillah dari apa yang saya miliki pada saat-saat terakhir. Daripada dimakan api lebih baik dimakan manusia. Dimakan api pasti musnah, dimakan manusia tentu akan menjadi darah daging. Dimakan api akan jadi sia-sia, dimakan manusia akan menjadi ‘modal sosial’ dan ‘modal masa depan’.
Tetapi sebaliknya lagi saya segera menyadari, bahwa saya hanya pandai prihatin pada penderitaan orang. Saya hanya pandai meluahkan rasa mual kepada orang yang otaknya dipenuhi nafsu menjarah.
Pada akhirnya, saya hanya bisa menikmati gambar yang disajikan, melihat dari konteks sebagai seorang jurnalis. (5/2/2011) (*)



0 komentar: