Sabtu, 02 April 2011

Pra Sejarah Kalbar

Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune



Ketika saya mendapat tugas menulis pra-sejarah Kalbar untuk rencana buku Sejarah Kalbar, saya teringat pada bangunan candi yang tidak bernama di sekitar Negeri Baru, Ketapang. Saya mengunjungi lokasi candi ini beberapa bulan lalu sempena Kongres Kebudayaan Kalbar II di Ketapang.
Awalnya, AA Mering, teman di Borneo Tribune yang mempromosikan candi ini. Dia membuat keingintahuan saya menggelegak ketika memperlihatkan foto candi yang diambilnya, sehari sebelumnya. “Ini lokasi candi, Bang. Kami ke sana kemarin,” katanya sambil memperlihatkan foto di kameranya.
Satu demi satu foto diperlihatkannya. Susunan bata dari tanah liat terlihat jelas, meskipun tidak tinggi, dan meskipun sebagiannya masih terpendam di dalam tanah. “Ahli arkeologi dari Kalsel yakin ini candi karena mereka menemukan ada sumur ini”.
Mering menunjukkan gambar sumur kecil. Bah, Mering berhasil memprovokasi saya. Keinginan saya untuk mengunjungi lokasi itu membuncah. “Saya harus pergi. Rugi jika tidak ke sana!”
Seorang teman orang Ketapang bersedia mendampingi saya mengunjungi lokasi candi itu. Kami sempat putar-putar mencari lokasi itu dan bertanya kepada beberapa orang di mana lokasi itu. Sebab rupanya, orang Ketapang itu belum pernah pergi ke lokasi. Dia mengaku hanya mendengar-dengar saja ada temuan candi. Dan, agaknya selama ini dia tidak tertarik pergi ke tempat yang menurut saya luar biasa itu.
Tidak ada juga penunjuk arah dipasang untuk memberitahu orang di mana lokasi candi ditemukan. Pada akhirnya sampai juga kami di lokasi. Saya melihat lokasi bekas galian dengan takjub. Saya sempat bergumam dalam hati: Inilah candi itu. Inilah tapak penting bagi masa lalu Ketapang.
Lantas saya seperti terlena melihat masa lalu. Saya membayangkan ada bangunan candi megah di sekitar gubuk-gubug beratap daun. Ada menara yang menjulang. Ada dinding bata yang kokoh. Ada warga yang beribadah. Ada kehidupan yang damai. Film Rara Jongrang dengan latar belakang candi Mendut seketika berputar di depan saya. Hayalan itu buyar ketika teman saya mengajak saya bicara. “Masuk ndak?”
Dia mengajak masuk ke dalam lokasi penggalian. Kami menyeruak di antar pagar pembatas. Seorang warga yang tinggal di dekat lokasi menjadi pemandu. Dia ikut dalam tim evakuasi yang terdiri dari professor arkeologi, menggali tanah menemukan reruntuhan. “Dahulu batu-batu seperti ini banyak. Waktu orang bangun masjid di sana, batu ini diangkut, untuk nimbus. Waktu orang buat jalan, batu-batu ini juga dipakai. Diangkut,” kata warga itu.
Wow, sayang sekali. Andai saja batu-batu itu tidak diangkut. Andai saja batu-batu itu disusun…. Mungkin gambaran tentang candi bisa diperoleh dengan lebih jelas. Mungkin, batu-batu itu bisa disusun kembali menjadi bangunan, apapun bentuknya. Tapi, ini sudah kadung. Kini batu-batu bata itu sudah terbungkus semen, sudah tertimbus tanah. Hanya kenangan. Saya melihat persamaan antara candi dengan apa yang saya hadapi sekarang. Tapaknya ada, tapi bentuk utuhnya tidak ada. Hanya gambaran, bayangan. Bentuk utuh perlu disusun kembali. Perlu upaya menggalinya. (2/4/2011) (*)

0 komentar: