Sabtu, 02 April 2011

SMS Suami Istri

Yusriadi
Borneo Tribune

Saya terkesan pada cerita teman yang sedang membongkar rumah dan mengemas bekas bongkaran itu.
Teman saya bercerita bahwa dia mempunyai teman sepasang suami istri yang menawarkan diri membantu memanggul kayu bekas bongkaran rumah. Mereka datang dengan sangat bersahabat dan ramah menawarkan jasanya.

“Abang sudah kami anggap saudara. Masak tengok saudara kecapean pikul beban, kami diam saja. Kami harus bantu,” kata teman mengisahkan kata-kata suami istri itu.
Teman saya bilang ada sebelum suami istri itu datang memang ada banyak orang yang datang menemui saya. Mulai orang biasa hingga orang luar biasa.
« Saya bisa membantu. Tapi, kalau bantu mikul, ya…. Ada upahnya ». Lalu orang itu menyebutkan tarif jasa pikul dia.
Ada juga orang yang katanya selama ini dianggap teman, bukannya membantu, mereka malah membuat beban jadi berat. Mengapa berat, karena teman ini malah banyak omong dan banyak tanya.
“Eh, pikul apa tu?” – padahal dia melihat sendiri apa yang dipikul orang.
“Lho, kok bawa’nya hanya satu batang. Kapan selesainya ?”
“Lho, cara mikulnya kok begitu. Bukan begitu cara pikulnya.”
Ada juga orang yang ditemukannya, bukannya membantu tetapi mereka malah membicarakan apa yang dibongkar rumah dan apa yang dipikul. Walaupun teman bilang tidak mau mendengar, namun, apa yang mereka sampaikan membuat dia risau.
“Ini, jangankan membantu, justru malah bikin tambah berat kerjaan”.
Lalu kata teman tadi, sambil sama-sama memikul bekas bongkaran itu, suami istri itu memberikannya nasehat:
“Ndak usah dipikirkan apa yang orang omongkan. Biarkan saja, nanti juga akan berlalu. Paling sekali dua saja mereka membicarakan tentang apa yang kamu pikul, bagaimana kamu memikul, dll. Setelah itu mereka akan senyap. Sebab mereka punya pekerjaan lain”.
Sang istri juga mengingatkan. “Sabarlah. Cobalah memahami sikap sebagian orang kita yang suka sms. Suka melihat orang lain susah, dan susah melihat orang lain senang”.
Apa yang diingatkan suami istri itu katanya meresap dalam jiwanya.
Mendengar cerita teman ini, saya teringat, pernah mendengar cerita tenang seorang anak, bapak dan keledainya. Ketika bapak naik keledai dan anak menuntunnya, orang menyalahkan bapak yang tidak kasihan pada sang anak. Ketika anak yang naik keledai dan bapak menuntunnya, orang menyalahkan anak yang tidak kasihan pada bapaknya. Ketika bapak dan anak itu sama-sama naik keledai, orang mengatakan keduanya tidak bertimbang rasa pada keledai yang keberatan membawa beban. Lalu, ketika bapak dan anak itu memilih tidak naik keledai itu, tetapi menuntunnya, orang mengatakan bapak dan anak itu bodoh karena tidak memanfaatkan keledai untuk tunggangan. Jadi, tidak ada yang benar akhirnya. Semua salah. Yang benar adalah, selalu ada orang yang mulutnya ceriwis dan celupar. Selalu ada orang yang lebih suka mengurus urusan orang lain dan menyusahkan orang lain. Tengok saja di sekitar kita. (13/3/2011) (*)

0 komentar: