Minggu, 05 Juni 2011

Bahasa untuk Bahasa

Oleh: Yusriadi

“Pak, mengapa bapak tadi menyarankan, menulis tentang kemponan. Bukankah itu syirik dan harus ditinggalkan?”
Sebuah pertanyaan kritis diajukan seorang mahasiswa pada saya saat saat kami belajar menulis, Sabtu, awal Mei 2011 lalu. Kami sedang belajar memilih tema untuk tulisan. “Cak-cak’annya” saya memberikan mereka pilihan tema yang ada di sekitar mereka; hal yang saya pikir pasti mereka kuasai.

Ihwal munculnya kata ‘kemponan’, bermula ketika saya memberikan contoh beberapa agenda sosial budaya yang perlu ditulis. Satu paket dengan kemponan, saya menyarankan mahasiswa menulis tentang mitologi dan legenda di daerah-daerah, patang larang dan upacara adat.
Nah, rupanya mahasiswa itu melihat budaya kemponan dari perspektif akidah. Dari sudut akidah memang kemponan tidak benar. Malah mungkin syirik. Masa’ sih hal seperti itu dipercayai?
Saya agak gelagapan menjawab bantahan mahasiswa ini. Saya melihat budaya kemponan dalam perspektif khazanah lokal. Ini menarik. Penggalian informasi seumpama ini akan memberikan bayangan tentang kepercayaan dan praktik budaya masyarakat. Materi budaya seperti ini belum banyak ditulis. Karena itu setiap orang yang menulis hal itu akan menjadi penulis perintis.
Di tengah keadaan gelabah itu saya jadi teringat pada sebuah pertanyaan yang sering muncul di kalangan linguis (pengkaji bahasa). Ketika dahulu mula mendalami bidang linguistik (bahasa), Professor Dr. James T. Collins memberitahukan bahwa sering kali orang akan bertanya: “Untuk apa belajar bahasa?”
Sering kali orang meremehkan ilmu bahasa karena mereka melihat ilmu bahasa tidak berguna secara langsung untuk kehidupan manusia.
Belajar bahasa tidak sama dengan belajar ilmu mesin, ilmu pertanian, ilmu pendidikan, ilmu komputer.
Jika belajar fonem, vokal, konsonan, morfem, sintaksis, dan sejenisnya, orang dapat apa? Kalau sudah tahu hal itu, untuk apa?
Saya dapat membayangkan, pertanyaan itu akan kurang lebih sama dengan pertanyaan yang sering diajukan oleh seseorang di kampung saya dahulu – yang sering diingatkan bapak. Sedikit-sedikit jika diajak melakukan sesuatu dia akan bertanya: “Apa bisa dapat beras dari situ?”
Orang itu menolak menyekolahkan anaknya karena menurutnya, anak ke sekolah tidak bisa dapat beras. Sekolah menurutnya malah bikin rugi. Jika anak sekolah, anak tidak dapat membantu bekerja. Sebaliknya anak sekolah menghabiskan biaya. Rugi. Beras tak dapat, uang “malar” keluar.
Tiba-tiba saya sadar bahwa mungkin mahasiswa itu satu tipe dengan orang di kampung itu; orang yang selalu melihat sesuatu dari perspektif kekinian. Saya, mengikuti cara pandang bapak, menganggap orang yang berpikir begitu adalah orang pintar. Pintar berhitung.
Lalu bagaimana menghadapi orang pintar seperti itu? Kalau boleh memilih, sebenarnya ingin saya memilih tidak menjawab. Saya lebih suka memilih menghindar.
Saya ingin menekankan prinsip: “Kita menulis atau belajar tentang sesuatu bukan berarti kita harus mengamalkan sesuatu itu. Kita perlu belajar banyak hal biar lebih banyak tahu, dan mungkin ini akan membuat kita menjadi sedikit arif”. (Borneo Tribune, 4/6/2011)*

0 komentar: