Minggu, 05 Juni 2011

Di antara Puing-puing Prasejarah Kalbar

Oleh: Yusriadi

Dalam sebulan terakhir ini saya berada di antara puing-puing pra-sejarah Kalbar. “Tugas” sebagai anggota tim penulis buku Sejarah Melayu di Kalbar membuat saya ‘tersesat’ ke sana.
Tetapi, saya menikmati ketersesatan itu. Sangat menikmati. Apalagi ada banyak kejutan yang saya jumpai di sana.


Ya, sangat banyak kejutan yang saya rasakan dalam ketersesatan itu. Banyak hal yang tidak pernah saya dengar, tidak pernah saya ketahui, tidak pernah saya bayangkan, saya temui dalam ketersesatan itu. Banyak hal yang hanya saya dengar sepintas lalu, bisa saya dalami dan saya simak saat berada di antara puing-puing itu. Semua itu membangkitkan kekaguman yang luar biasa.
Di antara puing pra-sejarah Kalbar yang saya jumpai, laporan penelitian arkeologi yang dilakukan Prof. Dr. Nik Hassan Shuhaimi dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dan rekannya Bambang Budi Utomo dari Pusat Arkeologi Nasional Indonesia, merupakan laporan yang paling menarik disebutkan di sini.
Saya terkesima pada laporan tentang ada temuan prasasti Batu Sampai di dekat Sanggau. Ternyata, penelitian tentang batu itu sudah sejak sebelum Indonesia merdeka dilakukan. Ternyata sudah banyak ahli arkeologi dunia yang datang ke sana. Ternyata, batu itu penting sekali dalam konteks untuk menunjukkan adanya peradaban masa lalu masyarakat Kalbar di abad ke 5 (7?).
Saya juga terkejut ketika melihat laporan tentang prasasti di Batu Pait, Nanga Mahap di hulu Sekadau. Ada juga laporan tentang arca yang ditemukan di Nanga Sepauk, dekat Sintang. Ada dilaporan lukisan gua batu di Sedahan, Sukadana, yang dilakukan orang pra-sejarah. Selain itu, dilaporkan juga temuan-temuan berupa tembikar, keramik, dan lain-lain.
Saya sempat membayangkan temuan ini akan memeranjatkan orang yang hanya bisa berpikir bahwa orang Kalbar masa lalu itu terbelakang dan tertinggal: hanya bisa hidup di atas pohon, hanya ‘berpakaian’ menutup aurat, hanya memakan buah-buahan dan binatang atau ikan.
Lha, bagaimana mungkin orang tertinggal bisa meninggalkan peradaban seperti itu?
Sayangnya, temuan ini belum banyak diketahui, atau kalaupun diketahui, belum diketahui dengan baik. Masih samar-samar. Publikasi yang terbatas telah menjadi kendala bagi banyak orang untuk mengetahui apa yang ditemukan oleh kalangan peneliti. Sayangnya para pengambil kebijakan di sekitar kita belum peduli pada soal seperti ini. Memprihatinkan!
Di tengah keprihatinan ini, tiba-tiba saya teringat pujian saya untuk Bu Juniar Purba dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Kalbar yang mengajak saya bergabung dalam tim ini; sehingga akhirnya saya mendapatkan kejutan yang luar biasa itu.
Saya memuji beliau yang berpikir untuk menulis sejarah Melayu di Kalbar, sementara banyak orang Melayu – khususnya intelektual Melayu belum berpikir tentang itu. Saya memuji beliau mengambil langkah memprakarsai kepenulisan itu, sedangkan orang Melayu sendiri tidak melakukannya.
Karena itu kira, saya, orang Melayu Kalbar, dan orang Kalbar semua, semestinya berterima kasih pada Bu Juniar karena apa yang beliau prakarsai akan menjadi sesuatu yang monumental untuk mematri ingatan generasi yang akan datang tentang sejarah Kalbar. (*)



1 komentar:

sense the rainforest mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.