Minggu, 05 Juni 2011

Kesabaran Sopir

Oleh: Yusriadi

Saya sering teringat pada dua pengalaman hari itu, di pertengahan bulan lalu. Ya, hari itu saya naik bis dari Putussibau ke Pontianak. Bis berangkat dari Putussibau sekitar pukul 3 sore. Sepatutnya, bis itu sudah sampai di kampung saya – tempat saya menunggu, pukul 6an. Namun, sekitar pukul 7 baru bis itu sampai.
Dari kampung ke Pontianak lebih kurang 17 jam. Kami sampai di Pontianak hampir pukul 12 siang, esok harinya. Saat azan Zuhur berkumandang, bis baru merayap di tol Kapuas. Padahal seharusnya, jam 7 pagi bis itu sudah sampai di Pontianak.


Mengapa sampai lama? Sopir membawanya tidak kencang. Relatif pelan. Saya kira, sopir tidak membawa laju karena memperhatikan keselamatan penumpang. Lagi, dari Putussibau ke Pontianak dia membawa sendiri, tidak ada cadangan. Hal yang satu ini jelas membuat saya berdoa dalam hati: semoga sopir tidak tiba-tiba terlelap. Doa itu terucap karena melihat sang sopir sudah berusia. Mungkin 50 tahun. Jangankan dia yang 50-an, orang muda pilih-pilih yang tahan tidak tidur 24 jam. Biasanya, bis berhenti dan sopir tidur sebentar.
Kok bisa sopir kuat begitu? Entah fisiknya memang kuat atau dia menggunakan obat kuat, jamu atau miuman. Saya tidak menanyakan hal itu. Saya memuji fisik dia.
Saya juga memuji kesabaran dia membawa bis dengan pelan. Memuji dia karena sekalipun sudah berumur masih dapat bertahan di atas bis. Memuji dia karena dapat menghabiskan waktu lebih panjang di sana. Memuji dia yang berhasil membawa bis dengan selamat sampai tujuan.
Bahkan kemudian, ketika saya mendengar cerita dari teman penumpang yang duduk di dekat sopir hari itu, saya memberikan pujian tambahan untuk sopir bis ini. Bis ternyata remnya tidak bagus. Hebat sekali dia bisa membawa bis yang remnya tidak bagus dari Putussibau ke Pontianak. Jalannya berkelok-kelok, turun naik. Nyalinya luar biasa. Kalau tidak bernyali besar pasti dia sudah singgah di bengkel membetulkannya. Semoga dia tidak berpikir kalau kecelakaan adalah hal biasa. Toh semuanya sudah diasuransikan?
Hebat juga dia tidak terdengar mengeluhkan masalah bis sepanjang perjalanan. Tak ada sumpah serapahnya karena rem tidak berfungsi. Tidak ada kemarahannya pada bos yang tidak menyediakan bis yang baik untuk perjalanan jauh. Jika dia mengeluh pasti penumpang akan bekalot.
Ternyata tak hanya sopir bis yang layak dipuji hari itu. Saya juga memuji sopir taksi. Kejadiannya, saat melintas di Jalan Trans Kalimantan; di bagian jalan berlumpur mungkin 4 atau 5 kilometer jauh ujung aspal Lintang Batang. Ada sebuah taksi melaju dari arah Tayan mengambil jalan kanan.
Pada saat yang sama ada taksi dari arah Pontianak melintas di jalur sama.
Taksi dari arah Tayan mengambil jalur kanan, jalur orang lain, hendak menyalib bis yang kami tumpangi.
Kecepatan memang tidak tinggi karena jalan berlumpur.
Kira-kira 5 meter lagi saya bayangkan ada tabrakan. Ternyata tidak. Taksi di arah Pontianak hanya mengerem, dan dalam jarak yang dekat taksi dari arah Tayan banting ke kanan.
Sopir taksi dari arah Pontianak membuka kaca mobil bagian depan dengan mengacungkan tangannya. Ngajak betinju? Tidak. Justru dia mengacungkan jempol.
Dia tidak memperlihatkan kemarahannya. Dia senyum. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tidak ada ada bunyi klakson.
Orangnya sabar sekali.
Saya menarik nafas. Alangkah indahnya jika semua orang bisa menunjukkan kesabaran seperti itu. (Borneo Tribune, 28/5/2011)

0 komentar: