Minggu, 05 Juni 2011

Setelah Tamu Agung Pulang

Oleh: Yusriadi

Hari ini Kalbar menjadi tuan rumah, menyambut kedatangan SBY, tamu agung, seorang presiden dari ratusan juta orang Indonesia. Sejauh ini, tuan rumah sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin agar sang tamu merasa dimuliakan dan selalu dihormati.
Tapi, ingat kedatangan SBY, membuat saya juga jadi teringat dahulu ketika mendengar ada teman pejabat level menengah di Pemprov Kalbar yang bercerita bahwa mereka sering menyambut kedatangan wakil presiden. Kali pertama kedatangan disambut dengan bangga. Maklum bangsa sendiri yang menjadi wakil penguasa.

Jauh-jauh hari sebelum sang wakil datang, orang daerah berbenah. Jalan-jalan yang akan dilalui dibenahi. Tak boleh ada lubang di jalan yang akan mengganggu kenyamanan sang tamu daerah itu. Servisnya luar biasa. Hatta, sang wakil pun datang disambut seperti pahlawan.
Tetapi setelah kunjungan tersebut, tak ada perubahan signifikan didapat. Sang wakil tidak datang membawa habuan. Tak juga ada berkah. Program dipinta tak juga terkabul. Proyek Negara yang ada tak juga terciprat. Kalbar tetap saja tidak merasa sebagai daerah prioritas, sekalipun sudah memberikan prioritas dalam menyambut orang besar dari pusat.
Lalu terjadilah paradoknya. Kunjungan pertama dimulai dengan bangga, kunjungan berikut berganti kecewa. Tak ada rasa seperti rasa pertama.
Sebaliknya, malah atas nama alasan protokoler kedatangan wakil penguasa itu menjadi beban daerah. Keuangan daerah tersedot untuk pelayanan protokoler standar. Permintaan layanan dipenuhi setengah hati.
“Ngabis-ngabiskan anggaran, jak,”
Kasihan sungguh, ketika mendengar tuan rumah mengeluh. Tak sampai hati ketika mengetahui bahwa setelah tamu pulang tuan rumah ngomel berkepanjangan karena repot memberikan pelayanan. Capek tenaga, banyak pula keluar biaya. Sementara, untungnya bagi mereka tidak ada.
Apakah kunjungan tamu agung kali ini akan seperti itu juga? Semoga tidak. Jika bisa mengingatkan saya harap dapat mengingatkan agar kita menyambut kedatangan tamu agung dengan ikhlas. Toh, ada dalam keyakinan kita bahwa menyambut tamu dengan baik – malah sebaik-baiknya, merupakan kewajiban.
Tamu harus dihormati dan dihargai bukan karena tergantung pada berapa besar tamu itu memberikan habuan dan berkah kepada kita. Tamu harus dihormati dan dihargai karena memang itu etika kita dan itu juga kewajiban sebagian dari kita.
Saya bergumam dalam hati.
“Masak sih, tamu yang berduit banyak dan berkuasa disambut lebih dibandingkan tamu yang miskin dan tak punya pengaruh?!”
“Masak sih, kita jadi orang materialistis seperti itu?”
Semoga tidak.
Tapi, seorang teman saya bilang, tamu juga harus tahu diri. Jika datang, janganlah datang kosong. Apalagi memiliki uang dan pengaruh.
“Bak kata tak bantu beli beras. Tengok-tengoklah garam dan micin”.
Begitukah? Entahlah!
Selamat menyambut kedatangan SBY. (Borneo Tribune, 30/5/2011)*



0 komentar: