Minggu, 05 Juni 2011

Sukiman dan Foto Lama

Oleh Yusriadi

Sukiman. Dia bukan orang terkenal. Dia, lelaki berumur 40 tahun hidup nun jauh di hulu sungai Embau, tepatnya di Nanga Lotuh, Hulu Gurung, Kapuas Hulu.
Namun begitu dia dikenal banyak orang. Pekerjaannya sebagai penjual kerupuk dan ikan asin keliling 7 kecamatan di sekitar selatan Kapuas Hulu membuatnya banyak kontak dengan orang. Dan, itulah yang membuat orang tahu padanya.

Dia teman sekolah saya di MAS Jongkong tahun 1986-1989. Kami cukup akrab. Sering kali, pulang pergi dari Jongkong Tanjung ke sekolah di Jongkong Kanan, kami naik sampan bersama. Kami pernah karam bersama karena sampan yang kami naik terlalu sarat dan pada saat yang sama gelombang dari perahu speed datang menerpa.
Kami belajar bersama di sekolah dan kadang juga di rumah, karena rumah tempat kami tinggal sewaktu di Jongkong, berdekatan, hanya dipisahkan oleh lapangan volly. Sesekali, kami bermain bersama.
Kenangan kami berdua tidak hanya dipatri dalam ingatan. Kami memiliki foto bersama. Ada foto kami berdua berdiri hitam putih dengan pakaian seragam sekolah. Ada juga foto ramai-ramai ketika kami ujian di sekolah MAS Jongkong, dan juga ketika kami bertamasya ke Bukit Semujan. Ini yang mematri kenangan kami.
Saya teringat kenangan itu karena beberapa hari lalu melihat dokumentasi itu. Sukiman yang saya temui di rumahnya di Nanga Lotuh, masih menyimpannya. Dokumentasi yang saya kira sudah tidak ada lagi. Foto yang saya simpan hilang.
Selain foto itu, ada beberapa lagi foto lain yang disimpan Sukiman. Sayangnya foto-foto itu tidak utuh lagi. Bagian tepi foto sudah blur dimakan angin. Akibatnya, wajah yang di bagian tepi tak dapat dilihat lagi. Termasuk wajah saya.
“Padahal saya sudah menyimpannya baik-baik. Dalam lemari,” kata Sukiman. Ada nada kecewa.
Saya memaklumi kekecewaan itu. Bukan salah Sukiman. Mungkin salah cuaca di sekitar yang lembab. Karena itu, sekalipun penyimpannnya rapat, namun, tetap saja ada bagian foto yang ‘dimakan angin’. Itulah yang biasa terjadi.
Bukan hanya Sukiman. Bukan hanya saya. Banyak orang lain yang mengalami hal itu. Banyak orang yang kehilangan ikatan ingatan karena cuaca. Bahkan, Kalbar juga banyak kehilangan masa lalu karena dokumen aus ‘dimakan angin’, lenyap bersama perjalanan waktu.
Kita menjadi tidak berdaya karenanya. Apatah lagi kita tidak bisa membalikkan masa lalu ke masa kini untuk membuatkan dokumentasi seperti itu.
Inilah yang kemudian membuat ingatan kita pada masa lalu hilang. Masa lalu tidak dapat dikenang dengan baik. Bagi masa sekarang, masa lalu seperti itu bak tragedi.
Ingat tragedi itu saya jadi ingat rencana sebuah organisasi membangun museum di sebuah daerah. Rencana itu tidak mulus. Ada yang menolak karena menganggap tak ada gunanya, masih banyak hal lain yang perlu. Mereka tidak melihat manfaatnya.
Lalu akhirnya sampai hari ini gagasan menyimpan dokumentasi itu tidak terwujud hingga hari ini. Mungkin tidak akan pernah terwujud sampai semua kekayaan hari ini dan masa lalu yang akan disimpan di sana musnah. Lalu, kita semua menjadi seakan-akan tidak punya masa lalu; kecuali yang bisa diingat. Lalu, seakan-akan kita tidak punya masa lalu yang dipatrikan. Duh, tragisnya.

0 komentar: