Senin, 08 Agustus 2011

Anak-anak di Masjid

Oleh: Yusriadi

Seorang ibu mengeluh pada saya tentang betapa ributnya anak-anak salat Taraweh. Anak itu menjadikan masjid tempat mereka bermain, tanpa peduli bahwa di depan mereka sejumlah orang sedang salat.
“Kita jadi ndak bisa khusu’”
“Lebih baik salat di rumah jak”.


Sang ibu menyampaikan penyesalannya terhadap sikap pengurus masjid yang tidak menegur anak-anak yang ribut itu.
Ya, saya mengiyakan apa yang disampaikan oleh ibu itu. Saya juga mengalami hal yang sama. Mengeluh karena anak-anak ributnya minta ampun. Auzubillah.
Malah malam kemarin ada anak yang menangis karena dikerjain oleh teman-temannya. Suara tangisannya cukup ‘merdu’ dibandingkan suara salawat petugas taraweh.
Anak-anak ribut ketika di masjid karena mereka tidak meresapi tujuan datang ke masjid. Tujuan mereka memang bukan untuk ibadah. Malah mungkin mereka juga belum mengerti apa itu ibadah. Kesadaran mereka belum tumbuh.
Anak-anak itu datang ke masjid awalnya karena mereka diwajibkan guru sekolah. Anak itu membawa buku ibadah. Buku itu harus mereka isi sesuai dengan judul dan kesimpulan kuliah tujuh menit (kultum) di masjid. Setelah itu, ada tanda tangan atau paraf penceramah atau imam.
Karena buku itu, anak-anak terpaksa harus datang setiap malam ke masjid. Mereka juga harus berbondong-bondong memburu petugas salat untuk mendapatkan tanda tangan.
Saya ingat, sewaktu menjadi guru honor di Madrasah Tsanawiyah Riam Panjang, pernah memberikan anak-anak tugas begini. Anak-anak diwajibkan memiliki buku ibadah yang berisi catatan kultum dan tanda tangan imam. Sewaktu saya siswa sekolah dasar dahulu, guru agama juga pernah memberikan tugas sama untuk salat Jumat. Kami, sebagai siswa, wajib membawa buku tulis, dan kemudian mencatat siapa khatib, apa judul khutbah dan apa kesimpulannya. Lalu, setelah Jumat usai, kami mendatangi khatib untuk meminta tanda tangan. [Saya jadi ingat kami mentertawakan seorang khatib yang kikuk ketika dia diserbu ramai-ramai. Waktu tanda tangannya, dia gemetaran. Tanda tangannya juga beda antara satu buku dengan buku yang lain].
Ada nilai positif dari kewajiban mengisi buku ibadah ini. Mau tidak mau kami harus ke masjid. Kami harus berlatih beribadah sesuai dengan agama kami. Ini menjadi pembiasaan. Setidak-tidaknya, seburuk-buruknya kami, masih pernah menjadi orang yang rutin mengunjungi masjid. Semoga dosa terampuni.
Tetapi, dalam kejadian yang dikeluhkan seorang ibu dan juga keluhan saya itu, memang seharusnya pengurus masjid juga membantu proses pendidikan di masjid. Anak-anak tidak dibiarkan berbuat sesuka hati. Tidak dibiarkan ribut. Anak-anak harus dikenalkan pada aturan bahwa jika di rumah ibadah, harus bersikap ‘alim’; tidak ribut. Keributan dapat mengganggu jamaah lainnya.
Mungkin, guru yang memberikan tugas juga sesekali harus melakukan kordinasi dengan pengurus masjid dan kemudian sesekali juga ikut mengawasi bagaimana sikap dan polah murid mereka di luar sekolah. Biasanya, seorang murid akan segan pada guru mereka.
Tentu saja, di sini masih ada tanggung jawab orang tua untuk ikut mengawasi dan mengingatkan anak mereka. Takkan pula anak sorang dibiarkan ribut di masjid???? Takkan pula dia tak dapat mendengar kicau bilau suara anak-anak sendiri?






0 komentar: