Senin, 08 Agustus 2011

Perjalanan ke Kakap 2: Senang Disebut Tionghoa


Vihara Budha Kutub Utara.
Tempat sembayang penganut Buddha dan Khonghucu di Sungai Kakap. Vihara ini menjadi symbol identitas Tionghoa di wilayah ini. FOTO Dedy Ari Asfar/Borneo Tribune

Oleh: Yusriadi

Lisan mengaku dia berjualan setiap hari Minggu. Hari Minggu dia bisa berjualan karena hari libur. Sedangkan pada hari lain dia bersekolah. Sekolah pulangnya siang. Setelah itu dia harus belajar.
Pada hari Minggu, setiap berjualan, dia bisa menjual 100 buah pengkang. Jika dinilai dengan rupiah, dia mendapat Rp100 ribu. Tapi sebagian besar harus disetorkan kepada pemiliknya. Sebagai penjual dia hanya mendapat 15 persen, terhitung upah.
“15 persen, ya, 15 ribu, doang,





Saya tak bisa menilai besar atau kecil Rp15 ribu itu. Namun, berapapun, Lisan menunjukkan diri sebagai anak yang berbakti, membantu orang tua. Lisan menunjukkan walau masih kecil dia bisa mencari uang.
Lisan mengaku uang yang diperoleh adalah untuk membantu keluarga. Dia memiliki 4 saudara. Dia adalah anak ke-empat dari saudara itu. Ayahnya sudah tidak ada. Kini dia bersama emaknya. Mereka orang Tiocuw.
Selain soal hitungan dan kemampuan Lisan, saya juga memberi catatan khusus pada kata “doang” yang diucapkannya. Doang itu tidak biasa saya dengar diucapkan oleh penutur Melayu di Pontianak. Doang adalah partikel sintaksis yang lazim dipakai penutur bahasa Melayu Jakarta. Di mana Lisan mendapatkannya? Apakah melalui TV atau melalui interaksi dia dengan penutur lain?
Logat Melayu Lisan cukup baik. Sekalipun, beberapa aksen memperlihatkan perbedaan dibandingkan penutur yang lain. Mungkin karena dia banyak bergaul dengan penutur bahasa Melayu. Setidaknya, teman mainnya Nisa yang merupakan penurut bahasa Melayu; dan mungkin penutur Melayu lain di sekolahnya.


***

Apa yang saya amati pada Lisan, mengingatkan saya pada apa yang saya lihat pada orang Tionghoa lain di Kakap.
The Dek Kui. Dia Ketua Vihara Buddha Kutub Utara (bukan Dewa Laut Utara, seperti yang ditulis kemarin). Kami menjumpai di rumahnya di ujung Jembatan Bintang Tujuh; jembatan yang melintang di atas Sungai Kakap. Jembatan ini menghubungkan Dusun Merpati dengan Pasar Sungai Kakap.
Pak Kui lahir di Pontianak. Sewaktu kecil dia sekolah di sekolah Tionghoa di dekat Gertak I Pontianak. Namun tidak selesai. Setahun hampir selesai belajar, sekolah ditutup. Peristiwa G30 S PKI meletus. Menikah dengan orang Sungai Kakap. Pernikahan inilah yang mengantarkannya menjadi orang Sungai Kakap hari ini.
Di Sungai Kakap menurutnya, jika di wilayah pasar 90 per sen itu orang Tionghoa. Komunitas ini memiliki tiga identifikasi. Ada yang menyebut ‘Cin’, ‘Cina’ dan ‘Tionghoa’.
“Sebutan Tionghoa agak baru saya dengar. Satu-satu pejabat yang pakai. Camat, polisi,” katanya.
Sebutan Cin lebih sering digunakan. Begitu juga dengan sebutan Cina. Sebutan Cina pasar lebih banyak dipakai kalangan muda.
Ketika ditanya dari tiga sebutan itu, mana yang lebih disukai, Pak Kui mengatakan dia lebih suka sebutan Tionghoa.
“Disebut Tionghoa, agak senang dikit,” katanya sambil tersenyum.

0 komentar: