Senin, 08 Agustus 2011

Perjalanan ke Sungai Kakap 1: Berkenalan dengan Penjual Pengkang


Lisan, Aheng dan Nisa, tiga anak berbeda suku sedang bercanda di sela-sela kegiatan mereka menjual pengkang di Sungai Kakap. FOTO Dedy Ari Asfar

Oleh: Yusriadi

“Aku Cina asli, lho”.
“Aku Cindai. Cina Dayak”.
Lisan, Aheng, menyebutkan identitas mereka. Ini terjadi ketika kami berkenalan. Dan ketika kami tanyakan, “Kamu orang apa?”
Lisan, adalah seorang remaja tanggung. Berusia 12 tahun. Sekarang dia duduk di kelas 2 SMP di Sungai Kakap.
Adapun Aheng, temannya, berusia 11 tahun, kelas 1 SMP di Kakap.

Kami berkenalan hari Minggu (17/7) kemarin. Saat itu saya bersama Dedy Ari Asfar dan sejumlah teman dari Club Menulis berkunjung sambil mencari data tentang orang Tionghoa di Kakap. Kami berkunjung ke Pekong Terapung yang terdapat di laut dekat muara Kakap. Kami juga berkunjung ke Vihara Dewa Laut Utara yang terletak di tengah pasar Sungai Kakap.
Kami mendatangi vihara itulah setelah bertemu dengan pengurus vihara Pak Kui. Ketika sampai di tempat ibadah itu, saya dan Dedy memilih duduk di kursi yang tersedia di bagian depan, melihat-lihat orang sembayang. Saat itulah kemudian datang Lisan, Aheng dan Nisa.
Mereka bertiga menjajakan pengkang. Makanan berbungkus daun pisang. Isinya pulut yang dikukus. Lalu kemudian dibakar. Saya mengenal pengkang sejak beberapa tahun lalu, saat singgah di rumah pengkang di Segedong, dalam perjalanan ke Pontianak. Jarak Segedong Pontianak lebih kurang 40 menit perjalanan dengan motor. Di sini ada rumah pengkang milik orang Tionghoa.
Rumah pengkang ini ramai. Enak. Rumah inilah yang menyebabkan pengkang menjadi lebih dikenal belakangan ini di Pontianak.
Lisan dengan bangga mengatakan dirinya sebagai Cina asli. Sedangkan Aheng nampak juga ceria mengaku diri sebagai cindai. Mereka menegaskan identitas itu beberapa kali. Apatah lagi, ada Nisa seorang anak perempuan yang mengaku diri sebagai Melayu. Nisa berumur 9 tahun.
Dibandingkan Lisan dan Aheng, Nisa lebih banyak cerita. Nisa juga menceritakan mereka memiliki teman lain yang juga jualan pengkang. Namanya Iing, seorang anak perempuan berusia lebih kurang 12 tahun. “Iing malu,” katanya.
Sebenarnya, Dedy yang pertama memanggil mereka saat melintas di depan vihara. Mereka menghampiri.
“Beli bang?”
Mereka menawarkan pengkang pada Dedy.
“Siapa yang punya?”
Nisa menjawab tangkas, “Yang punya orang Cina. Yang buat orang Melayu”.
Dedy mengeluarkan catatan.
“Hah, ditulis lagi,”
Nisa bergumam. Tertawa.
“Lhoh?”
“Iya tadi sudah ada yang tanya-tanya. Ditulis-tulis. Sekarang ditulis lagi,” katanya sambil tersenyum.
Lisan dan Aheng membenarkan.
Dedy mulai bertanya harga. Dan dia membeli beberapa buah pengkang. Nisa mengatur pembelian. Masing-masing diambil secara rata. Lisan dan Aheng setuju.
Pertanyaan Dedy dan saya lebih banyak ditujukan pada Lisan. Lisan sudah mulai terbiasa. Tidak malu seperti awal tadi.

0 komentar: