Senin, 08 Agustus 2011

Perjalanan ke Sungai Kakap 4: Kental Nuansa Tionghoa


Simbol Tao di ujung jembatan Bintang Tujuh. Rumah-rumah penduduk di kampung ini memperlihatkan ciri Tionghoa yang mencolok. FOTO Yusriadi/Borneo Tribune.
Kental Nuansa Tionghoa

Oleh: Yusriadi


Kami – saya dan Dedy Ari Asfar melintas di jembatan semen di antara rerumahan penduduk di Dusun Merpati.
Di ujung jembatan terlihat sebuah plang bertulis nama dusun itu. Plang itu nampaknya masih baru.
Selain plang itu, sebuah plang lain yang mencolok terdapat di kanan jalan. Symbol Tao. Simbol itu terpajang di depan sebuah rumah menghala ke arah jembatan.
Jika dahulu, sebelum sedikit-sedikit belajar tentang orang Cina, mungkin saya akan berpikir di sana ada tempat latihan silat. Atau mungkin saya berpikir plang itu menjadi panangkal hantu dan menjadi pelindung pemilik rumah.




Setidaknya, begitulah yang saya tangkap kesannya ketika melihat film kungfu, Hongkong yang diputar di bioskop.
Lebih mengesankan, ketika kami mendengar dentuman musik Cina. Mungkin nyanyian itu dalam bahasa Mandarin. Mendengar nada dan lirik ini membuat suasana Dusun Merpati terkesan kenal ciri Cinanya.
Suasana ini berbeda sekali dibandingkan dengan apa yang disaksikan di Pasar Sungai Kakap, tempat kami singgah -- yang jaraknya hanya beberapa ratus meter saja dari jembatan Bintang Tujuh.
Dentuman musik, symbol Tao, dan tulisan-tulisan Cina yang dipasang di atas pintu menambah kesan kentalnya identitas Tionghoa di sini. Boleh dikatakan, inilah wilayah pecinan di Sungai Kakap.
Kami melihat seorang lelaki berusia 40 tahun sedang berada di ruang tamu memasang batu pada jala kecil. Kami menghampirinya, bertanya alamat rumah Pak Kui.
Dia menunjukkan sebuah rumah yang pintunya juga terbuka, yang sebelumnya sudah kami lewati.
Sikap yang ramah ketika menunjukkan di mana rumah Pak Kui, membuat saya ingin bertanya lebih banyak tentang kehidupan dan pandangan dia. Namun, saya khawatir Pak Kui ada kesibukan lain dan kami tak bisa mendapatkan data darinya. Pak Kui penting karena dia ketua Vihara yang akan kami kunjungi bersama rombongan.
Rumah Pak Kui – atau lebih tepatnya ruko, berdinding semen. Pintunya terbuat dari kayu, bisa dilipat. Ada engselnya. Sementara terasnya juga dari semen. Rumah itu berlantai dua. Saya kira bagian atas menjadi tempat wallet.
Rumah Pak Kui berbeda dengan kebanyakan rumah warga di sini. Sebagian besar rumah warga di sini terdiri dari bahan kayu. Beberapa di antaranya berdinding papan. Lantai terasnya juga dari pakai papan. Kebanyakan rumah beratap seng. Tetapi ada beberapa lagi beratap daun nipah.
Rasanya sebagian rumah itu sama seperti rumah orang Cina di Jongkong yang saya lihat di tahun 1980-an.

0 komentar: