Senin, 08 Agustus 2011

Perjalanan ke Sungai Kakap 5: Pikong Laut


Oleh: Yusriadi

Kisah Pak Salim mengingatkan saya pada cerita sebelumnya yang dituturkan Nisa. Ketika ditanya, siapa yang punya pengkang yang mereka jual, Nisa mengatakan pengkang yang mereka jual milik orang Cina.
“Tapi yang buatnya orang Islam,” katanya.
Jika cerita ini disambung maka akan muncul kenyataan baru: yang menjual pengkang itu orang Tionghoa dan orang Melayu, dan yang makan pengkang itu orang Tionghoa, Melayu, mungkin juga orang Madura atau siapalah. Sebagian dari rombongan Club Menulis saat perjalanan ke
Kenyataan ini merupakan suatu fakta yang penting dicatat; sebuah fakta yang menunjukkan bahwa relasi antar etnik terbangun rapat di sini. Sering kali batas etnik tidak dapat dilihat dalam konteks ekonomi dan sosial.

***

Saya juga menemukan fakta menarik soal relasi ini ketika mengunjungi “pikong laut”. Saya memberikan penanda untuk istilah ini karena istilah ini diberikan oleh motoris kami Pak Sono’ untuk menyebut vihara yang berada di tengah laut itu.
Pak Sono’orang Madura tinggal di Tanjung Saleh. Hari-hari dia melayani penumpang jurusan Tanjung Saleh – Sungai Kakap dengan motor airnya. Nama sebenarnya Marsu’i. Tapi jangan cari nama itu di pasar Sungai Kakap. Mungkin tidak akan ketemu orangnya. Tapi sayangnya, saya lupa bertanya dari mana nama Sono’ itu diperolehnya.
Pak Sono’ membawa kami dengan motor air ke pikong itu.
Pikong itu adalah tempat sembayang orang Tao. Dibangun sebagian orang Tionghoa agar mereka dapat sembayang di sana.
Penganut Tao dapat dengan leluasa sembayang di pikong ini menurut kepercayaan mereka. Sementara, di Vihara Budha Kutub Utara, ritual tertentu tidak bisa dilaksanakan penganut Tao.
Setelah pikong ini dibangun, penganut Tao mengunjunginya untuk sembayang sekali sekala.
Tetapi, justru yang mengunjungi pikong ini secara rutin orang bukan Tao.
Hari itu, selain kami yang berkunjung ke sini, sejumlah orang Pontianak juga terlihat di sana. Kami berkunjung untuk melihat, sambil melakukan studi, mereka berkunjung untuk memancing.
“Setiap hari Minggu pasti ada yang mancing di sini,” kata Pak Sono’.
Memancing dari atas pikong memang asyik. Atap pikong melindungi pemancing dari hujan dan panas. Teratak, kaki lima pikong juga luas, memungkinkan pemancing duduk, tiduran, sambil menunggu pancing yang dilemparkan ke air. Tersedia juga wc yang tidak terkunci dan bisa dipakai setiap saat.


0 komentar: