Senin, 08 Agustus 2011

Perjalanan ke Sungai Kakap 6: Apapun, Tetap Orang Indonesia


Pekong Laut. Salah satu tempat sembayang orang Tao di Sungai Kakap. Foto Dedy Ari Asfar.

Oleh: Yusriadi


Pak Lim Kiang Kim menilai apapun sebutan yang diberikan orang untuk mereka, semua bagus. Menurutnya, sebutan Cina, Cin, Tionghoa, sama saja.
“Aku tidak marah. Bagi aku ndak persoalan, Cina, Cin”.
Bahkan dia memberitahu ada sebutan lain untuk komunitas ini.
“Caines”.

Sebutan Caines yang dikatakan Pak Lim Kiang Kim pasti dari bahasa Inggris Chinese, bisa dirujuk kepada orang Cina.
Saya sangat tertarik mendengar ‘Caines’ diucapkan Pak Lim. Dari mana dia memperolehnya? Apakah dia bisa bahasa Inggris?
“Aku tak pandai omong. Sikit-sikit pernah dengar” .
Dia merendah.
Pak Lim Kiang Kim pernah bersekolah. Tahun 1960-an. Sekolah pagi masuk jam 8, jam 12 pulang. Kemudian jam 1 masuk lagi, jam 5 pulang.
Namun dia tidak tamat. Sekolahnya tutup. Padahal sekolah hampir tamat waktu itu.
Walau tak tamat namun ilmu di bangku sekolah cukup untuk bekal hidup. Lim Kiang Kim dapat membaca tulisan aksara Cina. Ketika saya minta menuliskan namanya, dia menulisnya dalam tulisan itu. Padahal sebenarnya saya ingin dia menulis namanya dalam tulisan latin, biar tak salah tulis. Tapi melihat tulisan Cinanya, saya kagum sekali. Garis-garis yang dibuatnya rapi. Dia menulis dengan cepat.
Pengalamannya juga luas. Dia pernah menjadi pengusaha ikan. Dahulu dia memiliki kapal penangkapan ikan yang beroperasi di perairan sekitar Sungai Kakap. Sekarang, seiring pertambahan usia, dia berhenti. Di rumah saja.
“Sekarang sudah pensiun,” Dia bercanda.
Tapi usaha melautnya tidak berlanjut. Anak-anaknya tidak ada yang menjadi pelanjut usahanya di laut. Tiga anaknya di Jakarta. Berdagang di sana.
Meski sudah pensiun, namun saya masih menangkap kerinduannya pada laut. Menurutnya, laut sekarang masih menjanjikan. Sekarang, sekalipun tangkapan tidak sebanyak dahulu namun harga ikan sangat mahal, pembeli banyak. Sedangkan dahulu, banyak ikan yang dapat ditangkap, tapi susah mencari pembelinya. Karena itu, harga ikan murah, tak banyak hasil yang mereka peroleh.
Pak Lim Kiang Kim optimis. Semangatnya tinggi.

***
Mengenai identitas, apapun sebutannya, kata Pak Lim Kiang Kim, mereka tetaplah orang Indonesia keturunan Cina, keturunan Tionghoa.
Tapi dia mengakui ada di kalangan mereka yang merasa hina disebut Cina.
Lalu mengapa dia tidak merasa tersinggung? Katanya, kata Cina, memang ada.
“Cobalah lihat ada banyak barang ‘Made In China’,” katanya.
Berkenalan dengan Pak Lim Kiang Kim mengingatkan saya pada ungkapan kenalan saya beranama Dr. Taufik Tanasaldy. Dia orang Mempawah yang sekarang mengajar di sebuah universitas di Tasmania, Australia.
Dia orang Cina yang merasa heran dan janggal ketika saya menggunakan istilah Tionghoa padanya. Taufik yang merantau meninggalkan Kalbar sejak tahun 1980-an akhir tidak terbiasa dengan perubahan ini.
Saya kira, intinya bukan cin, cina atau tionghoa. Tetapi bagaimana persepsi yang ada pada orang ketika menyebut komunitas ini.
“Jika kami bilang “Dasar Cina!!!” tentulah orang akan marah. Sama seperti kalau kamu bilang “Dasar Melayu!!! Pasti orang Melayu tak mau”.
Agaknya,bagi banyak orang disebut Cina sekalipun, jika nadanya baik, maksudnya baik, orang juga tidak akan marah.

0 komentar: