Senin, 08 Agustus 2011

Perjalanan ke Sungai Kakap 7 (Habis): Relasi Tionghoa – Melayu


Rombongan Club Menulis STAIN Pontianak dalam perjalanan pulang dari Pekong Terapung di Sungai Kakap. FOTO Yusriadi.


Oleh: Yusriadi


Saya sedang berjalan melintas di atas jalan bersemen di depan pemukiman penduduk di Dusun Merpati, Sungai Kakap. Saya melihat beberapa warga sedang duduk di depan rumah mereka. Beberapa lagi melakukan kesibukan masing-masing.
Lalu lalang di jalan berukuran 1,5 meter ini juga cukup ramai. Ada pejalan kaki –seperti kami. Ada gerobak yang didorong-dorong. Ada sepeda motor.


Suasana tambah ramai karena agaknya sedang ada hajatan orang Melayu (Bugis?) di ujung jalan ini. Saya menduga demikian karena orang yang melintas berpakaian ‘pesta’. Lelaki memakai baju batik atau baju berlengan panjang, ada beberapa yang memakai kopiah. Sedangkan perempuan berkerudung mengenakan baju kebaya atau batik terusan.
Gerobak sesekali melintas membawa barang. Inilah angkutan umum di sini. Sebab jalan yang sempit dan jembatan, tidak mungkin dilewati kendaraan roda empat.
Di sebuah rumah bertingkat, saya melihat ada tumpukan jalan. Di dalam ruangan – karena pintu terbuka, dua orang lelaki sedang menangani jala itu. Keduanya duduk berhadapan.
Saya masuk ke dalam rumah itu. Lelaki yang sedang bekerja di bagian ujung lebih tua sedangkan lelaki yang membelakangi saya lebih muda. Belakangan saya tahu, lelaki muda itu bernama Muhammadi Aditia dan lelaki yang tua bernama Salem.
Saya menyapa mereka. Dan minta izin melihat apa yang sedang mereka kerjakan.
“Sekalian tadi jalan di sini, Pak,”
“Saya kira orang perikanan,” kata Pak Salem.
Katanya sebelum ini mereka pernah didatangi orang dari Perikanan.
Kedua lelaki itu sedang gopong. Ngopong maksudnya memasang pelampung dan juga memasang batu pukat. Pukat yang mereka opong ukurannya besar. Mata pukatnya lebih sejengkal saya. Tali yang dipakai juga besar. Hampir sebesar kabel untuk cas hape. Mereka menyebutnya benang 120.
Mengapa besar?
“Ini pukat hiu,” katanya.
Tentu saja saya terkejut. Apakah di sekitar muara Kakap atau di laut Kalbar ada banyak ikan hiu sehingga perlu pukat khusus? Ternyata tidak. Kapal yang memasang pukat hiu beroperasi di laut lepas, Selat Karimata.
Mereka juga menceritakan ikan hiu dijual dagingnya dan diambil siripnya. Siripnya cukup mahal.
Semula saya menduga mereka sedang mengopung pukat sendiri. Rupanya pukat yang mereka opong itu milik orang lain. “Pak Apek,” kata Muhamad. Mereka hanya mengambil upah. Satu pukat, mereka mendapat Rp100 ribu.
Pak Atet adalah pengusaha. Dia termasuk tokoh Tionghoa di Sungai Kakap. Ketika kami mencari beliau di rumahnya, kami hanya bertemu dengan anaknya yang juga pemilik bengkel motor di dekat dermaga Sungai Kakap. Pak Apek sendiri tidak berhasil ditemui.
Menurut mereka, pengusaha kapal semuanya orang Tionghoa. Orang Tionghoa memiliki modal. Modal untuk membeli kapal, modal itu membeli peralatan tangkap. Selain itu, untuk melaut modal yang diperlukan juga besar.
“Kebanyakan orang kitalah bikin,” kata Salem.
Saya menangkap yang dimaksud dengan orang kita adalah orang Melayu atau orang bukan Tionghoa.

0 komentar: