Senin, 08 Agustus 2011

Salat Taraweh Pendek dan Panjang


Oleh: Yusriadi

Malam lalu saya salat Taraweh di sebuah masjid tak jauh dari kantor, di kawasan Jalan Purnama Pontianak.
Di masjid itu, salat tarawehnya 8 rakaat, plus witir 3 rakaat langsung. Ada kultum antara Isya dan Taraweh. Jam 20.10 selesai.
Saya terkesan pada penceramah. Seorang lelaki tua, mungkin usianya 70 tahun. Suaranya datar, perlahan. Dia berceramah tentang Takwa berdasarkan tafsiran dari ayat perintah puasa dalam surat Al-Baqarah ayat 183.

Tak ada retorika seperti yang biasa saya saksikan pada penceramah kondang. Tak ada lucu atau lawakan yang mengundang tawa.
Alami. Jauh dari kesan dibuat-buat. Jauh dari kesan omong doang. Rasanya, apa yang beliau sampaikan menukik masuk ke dalam jiwa. Rasanya, apa yang beliau sampaikan mengena.
Jamaah yang ramai memenuhi masjid tak terdengar ribut. Syahdu. Tepekur mendengar pesan-pesan sang penceramah.
Saya seperti kembali ke masa lalu. Saat mendengar seorang ustadz, yang dipanggil Ustadz Haji di Jongkong belasan tahun lalu. Saat itu, rasanya apa yang beliau sampaikan tak pernah dibantah. Semuanya kebenaran.
Sementara sekarang ini, sering kali saya mendengar protes orang terhadap penceramah. Ada protes terhadap penceramah yang tampil retorik, melawak atau menasehati jamaah panjang lebar. Kadang juga ada bantahan terhadap materi yang disampaikan.
Saya juga terkesan pada jamaah masjid malam itu. Ramai. Saat saya masuk saya melihat masjid hampir penuh.
Ternyata, jamaah bertahan sampai salat berakhir. Saya tahu ada berapa orang yang pulang. Namun, rasanya mereka yang pulang hanya satu dua saja. Tidak signifikan, tidak ketara.
Soal jamaah ini, saya teringat pada apa yang saya lihat di sebuah masjid yang terletak tak jauh dari tempat saya tinggal sekarang ini. Jamaah masjid sampai malam keempat, selalu ramai. Jamaah yang putus salatnya juga tidak banyak. Saya tidak melihat perubahan yang signifikan jumlah jamaah pada awal salat dan pada akhir.
“Hebat”.
Mengapa? Mengapa masjid-masjid ini masih penuh? Mengapa orang tidak keburu pulang?
Saya bertanya begitu karena saya pernah salat di sebuah masjid di Pontianak Barat. Jamaahnya hanya banyak di awal saja. Memasuki witir semakin sedikit. Perubahannya signifikan.
Mereka pulang awal. Sebab, sebagian tak mampu menyelesaikan salat karena terlalu panjang. 20 rakaat Taraweh, plus 2+1 witir.
Pengurus masjid menyadari hal itu. Menurutnya soal perubahan sudah dibicarakan di internal pengurus. Namun, ada seorang yang menolak. Malah yang menolak itu mengatakan tidak akan ada perubahan jumlah rakaat salat Taraweh selagi dia masih hidup.
Soal orang tak kuat berlama-lama salat Taraweh menurutnya tidak pantas didengar. Ada malas.
“Malas taraweh, panjang”.
“Capek benar ikut salat, ngebut”.
Di dalam malas beribadah itu, ada Setannya. Mereka itu, kalau lama-lama di masjid badannya panas meriang, ingin cepat-cepat pulang. Hati tidak terikat di masjid. Bak kata: datang ke masjid paling akhir. Pulang dari masjid paling awal.
Memang, seharusnya orang tidak begitu. Salat ya salat. Berat ringan itu keharusan mereka. Sebagai hamba mereka harus patuh pada perintah Allah. Allah memerintahkan begitu. Mereka harus ikut.
Sebagai orang Islam mereka tak sepatutnya menawar kewajiban yang Allah berikan. Jalani saja sebagai bentuk iman. Anggap saja Ramadan sebagai bulan penggemblengan iman dan ibadah. Semua satu paket dengan puasa.
Tapi, begitulah keadaan manusia. Begitulah keadaan orang kita. Tidak semua orang insyaf. Tidak semua imannya hebat. Masih banyak orang yang perlu pembinaan. Masih banyak orang yang perlu diikat hatinya. Masih banyak orang yang perlu dibujuk-bujuk, diajak-ajak, agar mau, agar insyaf, agar menjadi orang yang beriman.
Bahkan, kalau mau jujur, sebenarnya jumlah orang yang seperti ini lebih banyak. Orang yang memerlukan bujukan, sentuhan, pengertian, jauh lebih banyak daripada orang yang imannya sudah mapan. Lalu, apakah mereka ini dibiarkan? Rasanya sebaiknya tidak. Baiklah jika orang yang bijak mengalah. Mengalah untuk kebaikan pasti selalu baik hasilnya, dibandingkan menang untuk menang-menangan. Agaknya. (*)

0 komentar: