Senin, 08 Agustus 2011

Tarian Sopir Taksi

Oleh: Yusriadi

Cerita tentang taksi ini merupakan lanjutan cerita sebelumnya. Setelah lewat Sanggau, kami dipindahkan dari taksi plat kuning ke taksi plat hitam. Taksi plat kuning dibawa anak muda itu, kembali lagi ke Putussibau. Taksi resmi ini membawa penumpang taksi plat hitam. Begitu juga sebaliknya, taksi plat hitam membawa penumpang taksi plat kuning. Tukaran.


Beberapa penumpang sempat kesal melihat pertukaran itu. Apalagi sebelumnya, sopir muda itu hanya mengatakan:
“Bapak pindah mobil ya. Mobil ini kembali ke Putussibau,” katanya.
Sewaktu diberitahu, saya sempat menduga kami pindah mobil, digabungkan dengan penumpang mobil yang satunya lagi.
“Wah, bakal numpuk ni,” kata saya dalam hati.
Tetapi rupanya saya salah. Sebab, ternyata penumpang mobil plat hitam itu tujuan Putussibau. Tidak satu arah dengan perjalanan kami. Kami ke Pontianak. Alhamdulillah.
Ketika naik, saya malah merasa sangat lega karena rasanya mobil ini lebih lapang. Sopir yang membawa juga sudah agak tua. Berpengalaman. Dia membawa mobil dengan perlahan. Dengan begitu guncangan tidak kuat.
Tetapi, rupanya, ada sisi lemahnya juga. Sopir tua ini fisiknya tidak sekuat anak muda – atau mungkin karena factor sudah larut malam?
Sepanjang jalan, musik yang mengalun adalah musik lama. Musik yang membangkitkan kenangan. Lama-lama mengantuk jadinya. Namun, saya tidak bisa tidur dengan lelap karena mendapat posisi duduk di tengah. Kaki bisa melunjur, namun, sulitnya, saya tak ada pegangan.
Karena tak bisa tidur enak, saya jadi lebih banyak bangun. Saya bisa melihat ada yang menarik di dalam taksi itu. Sopir menari.
Ya, saya kira sopir menari. Tangan kirinya bergoyang-goyang mengikuti irama musik. Gerakan mengipas, memutarkan tangan, dan seterusnya.
Apakah sopir seniman? Tidak. Tangan sopir menari selain untuk mengatasi pegal, juga dimaksudkan untuk mengatasi rasa mengantuk. Ada gerakan, ada aktivitas, dengan begitu serangan kantuk bisa diatasi.
Tetapi, malangnya, tarian itu tidak bisa juga menghindarinya dari serangan kantuk. Tetap saja.
Lalu, ketika sampai di gerbang Sanggau, mobil berhenti. Sopir turun. Saya kira dia hanya buang air. Tetapi tidak. Setelah itu dia duduk di depan kemudi. “Tidur dulu,” katanya.
Wah…
Saya melihat waktu menunjukkan pulu 2 lewat. Memang jam tidur. Pak sopir, yang sudah berumur itu pasti sangat mengantuk. Saya sempat heran bagaimana dia mau menjadi sopir – pekerjaan yang jelas sangat melelahkan. Apalagi katanya, itu mobil sendiri. Pasti lebih enak jam segini berada di kasur empuk, tertidur pulas. Mengagumkan dia mau membawa mobil melayani penumpang yang keenakan tidur.
Sekitar satu jam kemudian dia bangun. Perjalanan dilanjutkan. Tapi, juga tidak lama. Ketika lebih kurang 2 jam perjalanan, mobil berhenti lagi dan sopir tidur lagi.
Rasanya ingin bertanya mengapa dia masih tetap mau membawa mobil sedangkan fisiknya tidak lagi kuat. Ingin juga bertanya mengapa tidak ada sopir cadangan, untuk mengantisipasi kemungkinan sopir kelelahan. Ingin juga protes, sebab saya ingin cepat sampai di Pontianak.
Tetapi, semua itu disimpan. Melihat keadaan orang tua itu yang kelelahan, membuat saya tidak sampai hati mengajukan soalan itu. Kasihan sungguh. Mungkin pemerintah yang menyoal mereka kelak.

0 komentar: