Selasa, 06 Desember 2011

Kritik Karya

Oleh: Yusriadi

Bah! Saya sampai harus mengeluarkan peringatan keras kepada mereka. Bukan sekali. Tiga kali malah.
Habis, tak cukup satu kali. Masih juga. Gatal benar mulut mereka.
Hari itu, pekan lalu, kami (saya dan beberapa mahasiswa) sedang membahas skripsi. Saya meminta mereka, mahasiswa yang mengikuti kelas Bimbingan Karya Tulis Ilmiah itu, membaca skripsi yang dibuat oleh senior mereka. Skripsi yang sudah jadi.
Mula-mula mereka diminta membaca judul dan berusaha menyelaminya. Kemudian membaca kata pengantar. Selanjutnya memelototi daftar isi untuk melihat strukturnya. Saya memberi mereka waktu 20 menit.

Ketika mereka mulai ribut –karena bacaannya sudah selesai sebelum waktunya habis, saya minta mereka melihat kesimpulan dan tujuan penelitian. Terakhir melihat abstrak, ringkasan isi skripsi.
Selesai dengan tugas itu, kemudian kami membahas satu-satu bagian itu. Sebagai pembuka saya bertanya pada mereka:
“Coba… liat judul masing-masing. Apa ide Anda? Apakah Anda mendapatkan inspirasi setelah membaca judul itu?”
Seorang dari mereka menjawab tangkas.
“Judul ini, saya rasa kurang menarik…. Bla… bla… Judulnya tidak pas”.
Wah, wah, wah… Pandainya dia itu. Dia mengeritik judul skripsi orang. Padahal, dia belum pernah membuat skripsi. Tak bisa dibiarkan. Saya memotong cepat seraya mengetuk meja.
“Oke, oke… sekarang apa pembelajaran yang Anda peroleh?”
Hm, dia diam. Dia menatap saya seperti tercenung. Mungkin dia terkejut melihat reaksi saya. Mungkin juga dia sedang berpikir mencari jawaban. Entah, apa yang dia pikirkan. Saya membiarkan. Biarkan dia terkejut.
Saya memang tidak suka mendengar hal seperti itu. Mengeritik karya orang sementara dia belum pernah berkarya. Tidak boleh dibiasakan. Orang harus belajar memberikan apresiasi, menghargai karya orang lain. Justru, dalam banyak contoh memberi apresiasi akan membuat orang belajar lagi dari orang lain.
Karena terlalu lama dia berpikir, saya meminta giliran berikutnya. Satu dua oke, semua berjalan dengan baik. Mereka memahami apa yang ditanyakan dan mendapat ide. Seorang yang membaca skripsi tentang pernikahan mengatakan:
“Jika begitu, penelitian tentang nujuh bulanan bisa Pak?”
Great. Persis. Yang begini ini yang saya kehendaki. Tidak usah keburu memberi kritikan. Pelajari dahulu. Selami. Hayati.
Eh, giliran keempat, kritikan muncul lagi. Kali ini kritikan dialamatkan pada kata pengantar. Seperti yang pertama tadi, saya juga bingkas.
“Halo… sekarang bukan waktunya mengeritik. Sekarang waktunya memahami”.
“Mari berpikiran positif. Jangan negatif”.
Saya perlu mengingatkan itu lagi karena peringatan sebelumnya agaknya tidak mempan. Ah, mungkin mereka begitu karena selama ini mereka hidup di alam seperti itu. Mereka melihat orang-orang di sekitar mereka melakukan hal seperti itu. Kritik, kritik, kritik. Mereka bagaikan orang sinting membicarakan gula-gula. Nyinyir. Celupar.
“Anda boleh kritik skripsi orang jika sudah membuat skripsi. Jika belum, sudahlah… baca saja dahulu,”
“Nanti, kalau Anda sudah selesai buat skripsi, baru Anda boleh menyampaikan kritik terhadap skripsi. Itu baru adil namanya”.
Saya menjadi otoriter. Memaksa. Tetapi apa boleh buat, iklim di sekitar saya harus diubah. Toh, nyatanya mereka juga sedang belajar. Adat orang belajar harus takzim, tak boleh membantah dan berbantan-bantah. Kalau mau membantah dan berbantah-bantah, lebih baik tak usah belajar. Percuma.

Baca Selengkapnya...

Cerpen: Sampuk untuk Banin

Karya: Yusriadi

Kakinya melangkah ringan, berjinjit cepat. Secepat langkah kijang. Dia memburu waktu. Dia harus segera sampai di rumah. Istrinya, Banin, menunggu obat yang dia bawa.
Dia ujung kampung Bakik, dia tercekat. Matanya tertuju pada pantak tanda dari kayu yang diletakkan di ujung jalan kampung.
Dug!
Jamit terperangah. Dia tahu tanda itu. Itu tanda kematian.
“Siapa yang mati?”

Dia berusaha menebak. Aki Gurung? Aki Sangki? Aki Lanyuk? Dia mencoba mengabsen nama-nama orang tua di kampung itu yang keadaannya sakit dan yang keadaan agak uzur. Jamit berusaha tak memasukkan istrinya dalam daftar itu. Berkali-kali dia menepis pikiran itu.
“Banin tak masuk dalam kemungkinan itu,” bisiknya.
“Tidak. Bukan dia.”
Banin masih muda. Mereka baru menikah lima tahun lalu. Mereka baru punya dua anak, Kurat dan Tamal. Anak-anak itu masih kecil. Kurat baru pandai mengangkut air dengan gerobuk (cangkang buah kelapa yang diberi tali), sedangkan Tamal baru belajar berjalan. Tamal masih perlu menyusu.
Tak terasa langkah Jamit sampai di rumah panjang. Dia melihat rumah panjang itu ramai. Ya, setiap kematian selalu ramai. Tetangga, keluarga mara, turut berduka. Orang mengalami pantangan. Tak boleh keluar kampung jika tak perlu. Tak boleh pergi jauh jika bukan karena perkara mendesak. Melanggar pantang, nahas yang datang.
Lebih dari itu, situasi begitu membuat kekeluargaan tetap terjaga. Saling tolong. Saling bantu. Yang susah terhibur karena selalu ada teman. Tak sempat termenung sendiri. Barang yang ada dikerjakan bisa dikerjakan bersama. Semua bekerja tanpa berkira. Tenaga disumbangkan, barang makan dikeluarkan.
Kehidupan rumah panjang seperti ini dirindukan Jamit bila dia terpaksa harus tinggal beberapa bulan di ladang untuk menjaga padi.
Kesibukan di rumah panjang adalah kesibukan massal. Kesibukan semua. Karena itu ketika ada gawai dibuat, tak dapat dikira pintu siapa yang punya kerja.
Sama seperti sekarang ini, Jamit tak bisa menebak ketika melihatnya dari jauh.
Ketika jarak sepelemparan tombak dari rumah, Jamit melihat orang mengalukan kedatangannya. Mereka menyongsongnya ke halaman rumah panjang.
“Dah datang kau, Mit”.
“Iya. Syukurlah”.
“Baik-baik di jalan?”
“Lancar semuanya”.
Jamit menjawab sambil mengedarkan pandangannya. Hatinya mulai berkecamuk. Penyambutan yang diterimanya kali ini berbeda dari biasanya. Mengapa dia disambut seperti ini?
“Jangan-jangan…” Dia masih berusaha menepis.
“Bagaimana hasilnya?” Aki Jarak, seorang tetua di rumah panjang Bakik, bertanya.
“Dapat”.
Jamit menurunkan sabitnya (ambenan dari rotan). Dia mengeluarkan ikatan kayu sampuk.
“Ini…”
Kayu sampuk itu diberikan kepada Aki Jarak.
“Ya… ini kayu yang sangat berharga. Kehidupan”.
“Benar, Ki”.
“Jamit… Kehidupan kita banyak tergantung pada kayu ini. Asap kayu ini menjaga kita dan batin kita dari dedemit, gana, dan amak ungas”.
Jamit mengangguk mengerti. Dia sudah mendengar hal itu beberapa kali dari orang tua di rumah panjang ini. Malah sejak dia masih anak-anak, dia sudah tahu kayu itu, tahu kegunaannya. Kakeknya menyebut kayu itu sebagai raja obat. Neneknya mengatakan kayu ini pelindung yang baik, dan karena itu beruntunglah orang menyimpannya di rumah.
Karena itu jugalah maka ketika dia diminta mencari kayu ini di bukit Lumut, dia dapat menemukannya. Hanya, karena jarak yang jauh dan mencarinya susah, dia membutuhkan waktu 3 hari.
“Tapi, meski demikian, kehidupan kita sesungguhnya ada di tangan Dewa. Dia berada di atas usaha kita. Setiap orang akan sampai pada tahap itu. Mungkin bedanya, kapan dan bagaimana jalan masing-masing”.
Jamit mengiyakan. Banyak sudah orang-orang tua yang pergi dari kehidupan. Beberapa temannya juga sudah pergi mendahului. Bahkan, beberapa di antaranya pergi sejak anak-anak.
Tetapi … tunggu! Mengapa Aki membicarakan hal ini?
“Apa yang terjadi?” Jamit memegang tangan Aki Jarak. Tapi, lelaki tua itu tidak bersuara.
“Kik! Banin???”
“Iya, Mit. Banin. Waktunya sudah sampai. Kau harus berusaha sabar”.
Jamit mengendorkan pegangan. Kakinya lemah. Dia terjerembab ke tanah.
Aki Jarak dan beberapa lelaki menolong, membawa Jamit naik ke rumah. Sampuk yang sedianya dibawa untuk Banin, sekarang dibakar diasapkan ke muka Jamit. Aki Jarak membaca mantra, seraya berdoa semoga Jamit segera sadar.

Baca Selengkapnya...

Sabtu, 03 Desember 2011

Kisah Wahyudin Meneliti Rumah Melayu Pontianak (1)


Salah satu rumah Melayu Pontianak yang terdapat di tepi Sungai Kapuas. Rumah ini dibangun dari bahan kayu. FOTO Dedy Ari Asfar/Borneo Tribune.



Oleh: Yusriadi

Menjadi peneliti mengasyikkan. Banyak pengalaman lapangan yang menarik. Berikut ini cerita Wahyudin, seorang peneliti dari Politeknik Negeri Pontianak (Polnep) Pontianak yang sedang melakukan riset tentang rumah Melayu di Pontianak untuk kepentingan tesisnya di Universitas Gajahmada, Yogyakarta. Wahyudin membagi cerita di depan anggota Club Menulis STAIN Pontianak, Oktober lalu.


Wahyudin memilih objek pengamatannya tentang rumah tinggal Melayu. Penelitiannya dipusatkan di Keraton Kadriah, Pontianak.
“Mengapa keraton? Karena saya baca sejarah, embrio asal mula lokasi rumah tinggal itu dialokasikan sekitar keraton,” katanya.
Saat itu, Sultan Syarif Abdurrahman membangun masjid, dia membangun istana dan juga membangun rumah tinggal. Adapun lahan dan lokasi pembangunan ditentukan oleh Sultan.
Rumah tinggal yang dibangun ketika itu adalah rumah untuk tinggal Prajurit dari Tambelan, Banjar Sarasan, Bugis, dan sebagainya. Rumah itu dibangun di sekitar keraton.

Sebelum ke Lokasi

Sebelum turun ke lapangan, Wahyudin mencari data sekunder, mencari peta dan buku-buku.
“Peta saya cari di Tata Ruang, Kantor Terpadu Jalan Sutoyo. Setelah itu saya cari Bappeda,” ungkapnya.
Selain di tempat tersebut, sebenarnya data juga bisa dicari di kantor Dinas Pariwisata Kota dan juga Provinsi. Termasuk juga di Perpustakaan di STAIN Pontianak dan di Untan Pontianak,
Setelah itu, dia pergi ke kantor kecamatan. Dari kantor kecamatan, Wahyudin menuju kantor kelurahan Kampung Dalam, lokasi Keraton Pontianak.
Setelah bertemu Pak Lurah Kampung Dalam, Wahyudin menemui sumber lapangan. Saat pengumpulan data lapangan Wahyudin didampingi seorang asisten lapangan bernama Juanda. Pendamping lapangan perlu karena akan memudahkan mendatangi sumber-sumber informasi.

Hasil Lapangan

Untuk objek penelitian tentang rumah Melayu, banyak hal bisa diambil. Tetapi, dalam penelitian ini Wahyudin hanya fokus pada bagaimana tata ruang rumah Melayu dan bagaimana fungsinya.
Rumah Melayu yang didirikan dahulu kala, lingkungan Keraton Pontianak, terbagi dua bagian: ada ruang lelaki dan ruang perempuan. Terpisah. Ada yang dipisahkan oleh dinding yang kokoh dan ada juga yang dibatasi dengan tabir.
“Kalau yang saya lihat ada yang tirai ada yang papan,” ungkapnya.
Wahyudin menyebutkan, rumah Melayu memiliki dua pintu masuk, yaitu pintu depan dan pintu samping.
Pintu samping dibuat berdasarkan pertimbangan bahwa orang tua dahulu jika sedang menerima tamu tidak boleh diganggu. Penghuni rumah tak boleh masuk melalui pintu depan. Masuk rumah melalui pintu depan ketika orang tua sedang ada tamu adalah merupakan sesuatu yang tabu. Kalau dilakukan juga, pasti kena marah. Itulah pentingnya pintu samping.
Pintu samping menghubungi ruang tengah atau dapur.
Dilihat dari tata ruang, rumah Melayu memiliki apa yang disebut rumah induk, ruang depan, dan rumah anak. Rumah anak maksudnya itu pelantaran, juga dapur. Dapur biasanya dibangun terpisah dari rumah induk.
Bentuk rumah Melayu ada 3 jenis. Pertama, type limas, biasanya tingkatan rumah Melayu yang paling tinggi, untuk pejabat tinggi, keluarga keraton yang lebih tinggi. Model ini seperti model joglo walau persis tidak sama, atau hampir mirip dengan type limas di Palembang.
Kedua, type potong kawat, berupa bentuk limas an, perisai, di bagian depan atapnya berbentuk perisai. Rumah type ini biasanya dimiliki oleh golongan strata kedua di bawah bangsawan.
Ketiga, type potong godang. Type ini, atapnya kiri dan kanan lurus. Rumah type ini adalah rumah untuk kelas tiga.
Orang tua dahulu membangun rumah didahului dengan upacara ritual. Tak boleh sembarangan. Ada proses yang harus diikuti.
Rumah Melayu memiliki tiang seri. Tiang seri adalah tiang pertama yang harus ditancapkan di lokasi pembangunan rumah. Biasanya, saat penancapan tiang ini disusupi dengan batu permata, atau belian, dan tai’ besi, yaitu bekas bubutan besi. Di keempat penjuru rumah disisipi perhiasan. Hal ini penting dilakukan supaya rumah itu bersinar, tidak disusupi banyak hal.
Ukuran tiang seri dipilih yang paling tua dan paling besar. Ada ukuran 18x18 atau 20x20. Tiang seri itu tidak bersambung. Dari bawah hingga ke atas langsung. “Dahulu mencari kayu besar dan panjang seperti itu tidak ada masalah. Sekarang, mungkin susah,” ujar Wahyudin.
Posisinya tiang seri biasanya ditemukan di ruang tengah atau ruang tidur.
Pada tiang seri ini juga ada yang menggantungkannya dengan jagung atau buntelan-buntelan. Ini untuk menjaga supaya rumah ini aman. Wahyudin juga memperoleh informasi bahwa setiap Jumat ada yang memasang setanggi di depan tiang seri.
Selain tiang seri, Wahyudin menyebutkan ada istilah puadai, penyekat dinding yang digunakan untuk acara pernikahan. Kalau acara pernikahan sudah selesai, puadai itu diletakkan di tempat bulan madu. Puadai itu biasanya tidak ada pintu, hanya tirai. Tapi, sekarang ada modifikasi, pintunya dibuat dengan pintu geser. Bentuknya, ada yang bisa bongkar pasang, ada yang permanent.
Puadai juga ada yang diberikan kaca, ada yang warna warni, dsb.
Model jendela pada rumah Melayu, adalah model jendela lebar-lebar. Daun jendelanya ada dua, bisa dibuka dengan cara digeser atau didorong ke depan.
Ruang-ruang tidur rumah Melayu kebanyakan, saling berhubungan. Kamar orang tua, anak lelaki, perempuan, bisa tembus. Antara satu kamar dengan kamar yang lain ada pintu.
Kamar seperti itu dahulu, diikuti dengan norma yang ketat. Dahulu, kalau orang bukan muhrim tidak masuk ke kamar tidur. Batas yang boleh dimasuki adalah ruang tamu, ruang keluarga dan teras depan. Ruang tengah juga tidak boleh. Bersambung.

Baca Selengkapnya...

Kisah Wahyudin Meneliti Rumah Melayu (2)

Oleh: Yusriadi

Loteng. Di rumah Melayu lama juga ada para-para atau loteng. Para itu dibangun di atas ruang tidur orang tua. Pemilik rumah membuat tangga ke para itu. Bentuk tangga itu ada dua; ada yang permanent dan ada tangga yang bisa dilepas.
Para-para fungsinya untuk menyimpan barang dapur di atas, selain itu, para-para juga digunakan untuk gadis melihat lelaki yang sedang berkomunikasi dengan orang tua. Dari atas para-para itu mereka melihat langsung calonnya. Maklumlah, di zaman dahulu hubungan antar lelaki dan perempuan sangat dibatasi. Kerap kali juga, pernikahan di masa lalu dilakukan melalui jalur perjodohan.
Selain itu, para juga penting sebagai tempat tidur cadangan jika ada tamu yang datang.
Sekarang ini banyak parak yang sudah rusak. Bahannya rapuh. Air hujan langsung masuk. Parak menjadi rusak.
Sekarang hanya sebagai gudang untuk menaruh barang.

***
Sumur. Sumur juga menjadi bagian dari penelitian yang dilakukan Wahyudin. Dari penelitiannya, beberapa rumah masih ada sumur.
Katanya, dahulu, air sumur penduduk di sekitar keraton airnya sangat jernih, bisa diminum. Keadaan ini berbeda dibandingkan sekarang, airnya keruh karena banyak orang membuang sampah sembarangan. Sekarang ini di parit banyak jembatan dan banyak parit ditutup, sumber air itu sudah terkontaminasi dengan sampah.
“Air sumur itu sekarang tidak bisa lagi diminum,” katanya.
Sumur di beberapa rumah diberikan barau, kiri kanannya. Pemilik rumah memilih kayu belian karena dengan barau belian, airnya biasanya agak jernih.
Di sumur itu juga ada anak tangga dan diberikan padar dengan tinggi 3 meter.
Bentuk sumur ada dua, ada yang berbentuk persegi dan ada yang berbentuk bulat.
Dari penelitiannya, ada rumah yang memiliki pembedaan sumur; lelaki di depan, dan perempuan di belakang. Sumur-sumur itu ditanam pohon, agar tidak kelihatan.
Di dekat sumur juga dibuat WC di dekat situ.
Sumur menjadi tempat warga mandi dan juga wudhu. Sedangkan mencuci pakaian dilakukan di pelantaran.
Di pelantaran itu dahulu ada tong-tong untuk menampung air berupa lingkaran, semacam kerucut. (Bersambung).

Baca Selengkapnya...

Sertifikasi Guru – Dosen

Oleh: Yusriadi

Hari itu, saat seminar pendidikan Dewan Pendidikan Kalbar di Hotel Gajahmada Pontianak membicarakan anggaran pendidikan, soal sertifikasi banyak mendapat sorotan. Kritikan muncul karena kata pengkritik: guru yang sudah disertifikasi tidak menunjukkan profesionalisme mereka, sertifikasi tidak berguna, malah sebaliknya, telah menimbulkan masalah baru berupa ketidakjujuran oknum guru yang disertifikasi, dan kecemburuan sejumlah guru yang belum disertifikasi. Kira-kira, maksud pengkritik itu, sebaiknya sertifikasi dihapus saja.

Mendengar aneka kritikan itu, Dr. Aswandi, Dekan FKIP Untan yang menjadi salah seorang pembicara, sempat bingkas. Dia minta sertifikasi guru jangan dipersoalkan. Tujuan pemerintah baik. Yang tidak baik itu oknumnya. Oleh sebab itu dia berpesan, bukan sertifikasi yang dihapus, tetapi oknumnya yang harus ditangani.
Saya jadi teringat diskusi kami di sebuah ruang kuliah saat membicarakan soal sertifikasi. Persis sama. Malah, waktu itu para peserta mengungkapkan data-data menarik dari sekitar mereka. Soal kecemburuan, soal guru yang malas mengajar, soal pemalsuan dokumen, dan lain-lain.
Lalu pertanyaannya, apakah karena itu sertifikasi harus dihapus? Tak adakah manfaat sertifikasi? Apakah manfaat sertifikasi lebih kecil dari mudharatnya?
Peserta kompak, sertifikasi itu baik dan jangan dihapus. Ada manfaatnya. Setidaknya, kesejahteraan guru meningkat.
Seperti yang dikatakan Aswandi, peserta diskusi memahami bahwa sertifikasi merupakan salah satu program pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Niatnya baik. Mutu guru harus ditingkatkan. Guru harus profesional. Guru harus berkembang. Guru harus lebih baik. Sehingga dengan demikian potensi murid bisa dikembangkan maksimal. Bagaimanapun, sentral dari pelaksanaan pendidikan adalah pada guru.
Lalu, soal adanya kecemburuan, sesungguhnya hal itu wajar. Mereka juga harus mengetahui bahwa sertifikasi masih sedang berjalan. Belum semuanya guru bisa disertifikasi karena ada alasannya.
Soal kemudian ada satu dua atau ada sepuluh atau beberapa puluh guru yang tidak baik tentu bukan berarti keseluruhan program ini tidak baik. Setidaknya, melihat negara lain sudah menerapkan standar profesional ini dengan sertifikasi, jelaslah bahwa sertifikasi itu sangat baik.
Saya bisa melihat kebaikan sertifikasi ketika melihat apa yang terjadi di kalangan dosen khususnya di STAIN Pontianak. Sejak program ini berjalan, gairah akademik lebih terasa. Apatah lagi ketika Pembantu Ketua I STAIN Pontianak mensosialisasi kebijakan pemerintah: ada evaluasi sertifikasi dalam waktu satu tahun satu kali. Evaluasi itu disebut evaluasi kinerja dosen mengacu pada Tri Dharma Perguruan Tinggi; yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Setiap dosen melaporkan pelaksanaan kegiatan itu selama satu tahun lalu: berapa jam mengajar dalam mata kuliah apa, berapa penelitian dilakukan dan berapa tulisan diterbitkan, serta bagaimana pengabdian mereka kepada masyarakat.
Evaluasi pertama dilakukan beberapa bulan lalu. Waktu itu, dosen cukup sibuk mengisi form evaluasi. Beberapa orang tersentak: kasak-kusuk mencari bahan. Beberapa lagi mengisi dengan mudah. Semuanya tergantung pelaksanaan kegiatan masing-masing.
Intinya, mereka yang mencari bahan dengan susah payah mulai terpaksa harus lebih giat lagi meningkatkan kinerjanya sebagai dosen. Mereka yang dapat mencari bahan dengan mudah termotivasi untuk mempertahankan kinerjanya sebagai dosen. Karena itu, gairah akademiknya sangat terasa.
Saya kira, jika momentum seperti ini terpelihara, jika evaluasi kinerja guru dilaksanakan secara simultan, benar dan serius, sudah pasti sertifikasi di tingkat guru juga akan membawa dampak yang baik seperti yang diharapkan. Coba saja tengok nanti, pasti bisa. (Ptk, 26 -10-2011)

Baca Selengkapnya...

Menulis Buku Bersama

Oleh: Yusriadi

Sabtu lalu saya bersama kawan-kawan di Club Menulis merancang menulis novel bersama. Kami merancang menulis novel bersama tentang “Flamboyan, Aloevera dan Cinta”. Novel ini berisi kisah cinta Amoi dan Andri dijembatani Kacong. Kisah cinta beda suku dan beda agama.


Kami bersama-sama menyusun rencana, mendiskusikan sinopsisnya, dan menghimpun bagian-bagian cerita. Setiap orang, lebih dari 20 orang, akan menulis bagian-bagian itu secara bersamaan dalam minggu ini dan kemudian didiskusikan lagi.
Saya berharap (dan yakin) percobaan ini berhasil dan beberapa saat ke depan bukunya bisa diluncurkan. Jika ini berhasil, maka penulisan ini akan menjadi model baru setelah sebelum ini di Club Menulis, kami berkutat pada antologi cerita pendek misalnya: Mimpi di Borneo; Cinta Sekufu, Sambas- Jakarta; Untuk Sebuah Mimpi, Saksikanlah Aku Berjilbab. Singkatnya, buku antologi seperti ini sudah banyak dilakukan orang.
Karena model ini baru, maka bagi saya, membuat rencana ini saja sudah menyenangkan, apalagi kelak melihat bukunya.
Selain peristiwa itu, Kamis dua hari lalu saya juga menyaksikan sesuatu yang menyenangkan. Bahkan, sangat menyenangkan. Saya menerima sejumlah ‘buku novel’ karya mahasiswa Program Komunikasi STAIN Pontianak.
Ihwal mereka menyerahkan novel pada saya karena kewajiban menulis dalam mata kuliah Bahasa Indonesia. Lima minggu lalu, saya meminta mereka membaca novel best seller semisal Laskar Pelangi, Ketika Cinta Bertasbih, dll. Setelah itu, minggu berikutnya, saya meminta mereka menceritakan isi novel, menilai kelebihannya dan mengungkapkan inspirasi apa yang diperoleh dari karya bagus itu.
Lalu, ujung-ujungnya saya meminta pendapat mereka: “Bagaimana kalau kita membuat seperti yang dibuat penulis terkenal itu? Bisa?” Tentu saja mereka menjawab bisa.
Kami mulai menyusun rencana penulisan, jalan cerita. Setelah masing-masing memiliki rencana itu, minggu selanjutnya, kami menulis. Masing-masing dipatok antara 30-40 halaman. Dua, minggu kemudian karya itu dikumpulkan. Hasilnya? Wow, saya terperangah. Takjub. Kemampuan mereka menulis cukup bagus. Ide yang mereka tuangkan juga keren. Berkelas. Ada banyak kejutan. Orang tua, kakak, paman, atau siapapun orang terdekat mereka yang diwajibkan membaca dan memberi komentar terhadap novel kecil itu juga mengungkapkan kebanggaan. Keren!
Saya pasti akan bertanya: “Bagaimana mereka bisa berkarya sedemikian hebat? Benarkah ini karya mereka?” jika tidak mengikuti prosesnya. Tetapi karena saya mengikuti sejak awal, saya tak perlu bertanya seperti itu.
Dua peristiwa itu mengingatkan pada saya kata kunci: Menulis bersama. Menulis perlu teman. Pada peristiwa pertama, sebuah novel akan lahir dari kebersamaan anggota Club Menulis. Menulis bersama membuat kerja membuat karya menjadi lebih mudah. Begitu juga dengan apa yang terjadi pada mahasiswa KPI itu. Membaca bersama, merencanakan bersama, menulis bersama, membuat mereka dapat berkarya dengan maksimal.
Saya kira itulah kata kunci yang Club Menulis lakukan selama ini. Terima kasih teman-teman yang sudah menjadikan saya bagian dari tim menulis. (Ptk, 3-12-2011)



Baca Selengkapnya...