Selasa, 06 Desember 2011

Cerpen: Sampuk untuk Banin

Karya: Yusriadi

Kakinya melangkah ringan, berjinjit cepat. Secepat langkah kijang. Dia memburu waktu. Dia harus segera sampai di rumah. Istrinya, Banin, menunggu obat yang dia bawa.
Dia ujung kampung Bakik, dia tercekat. Matanya tertuju pada pantak tanda dari kayu yang diletakkan di ujung jalan kampung.
Dug!
Jamit terperangah. Dia tahu tanda itu. Itu tanda kematian.
“Siapa yang mati?”

Dia berusaha menebak. Aki Gurung? Aki Sangki? Aki Lanyuk? Dia mencoba mengabsen nama-nama orang tua di kampung itu yang keadaannya sakit dan yang keadaan agak uzur. Jamit berusaha tak memasukkan istrinya dalam daftar itu. Berkali-kali dia menepis pikiran itu.
“Banin tak masuk dalam kemungkinan itu,” bisiknya.
“Tidak. Bukan dia.”
Banin masih muda. Mereka baru menikah lima tahun lalu. Mereka baru punya dua anak, Kurat dan Tamal. Anak-anak itu masih kecil. Kurat baru pandai mengangkut air dengan gerobuk (cangkang buah kelapa yang diberi tali), sedangkan Tamal baru belajar berjalan. Tamal masih perlu menyusu.
Tak terasa langkah Jamit sampai di rumah panjang. Dia melihat rumah panjang itu ramai. Ya, setiap kematian selalu ramai. Tetangga, keluarga mara, turut berduka. Orang mengalami pantangan. Tak boleh keluar kampung jika tak perlu. Tak boleh pergi jauh jika bukan karena perkara mendesak. Melanggar pantang, nahas yang datang.
Lebih dari itu, situasi begitu membuat kekeluargaan tetap terjaga. Saling tolong. Saling bantu. Yang susah terhibur karena selalu ada teman. Tak sempat termenung sendiri. Barang yang ada dikerjakan bisa dikerjakan bersama. Semua bekerja tanpa berkira. Tenaga disumbangkan, barang makan dikeluarkan.
Kehidupan rumah panjang seperti ini dirindukan Jamit bila dia terpaksa harus tinggal beberapa bulan di ladang untuk menjaga padi.
Kesibukan di rumah panjang adalah kesibukan massal. Kesibukan semua. Karena itu ketika ada gawai dibuat, tak dapat dikira pintu siapa yang punya kerja.
Sama seperti sekarang ini, Jamit tak bisa menebak ketika melihatnya dari jauh.
Ketika jarak sepelemparan tombak dari rumah, Jamit melihat orang mengalukan kedatangannya. Mereka menyongsongnya ke halaman rumah panjang.
“Dah datang kau, Mit”.
“Iya. Syukurlah”.
“Baik-baik di jalan?”
“Lancar semuanya”.
Jamit menjawab sambil mengedarkan pandangannya. Hatinya mulai berkecamuk. Penyambutan yang diterimanya kali ini berbeda dari biasanya. Mengapa dia disambut seperti ini?
“Jangan-jangan…” Dia masih berusaha menepis.
“Bagaimana hasilnya?” Aki Jarak, seorang tetua di rumah panjang Bakik, bertanya.
“Dapat”.
Jamit menurunkan sabitnya (ambenan dari rotan). Dia mengeluarkan ikatan kayu sampuk.
“Ini…”
Kayu sampuk itu diberikan kepada Aki Jarak.
“Ya… ini kayu yang sangat berharga. Kehidupan”.
“Benar, Ki”.
“Jamit… Kehidupan kita banyak tergantung pada kayu ini. Asap kayu ini menjaga kita dan batin kita dari dedemit, gana, dan amak ungas”.
Jamit mengangguk mengerti. Dia sudah mendengar hal itu beberapa kali dari orang tua di rumah panjang ini. Malah sejak dia masih anak-anak, dia sudah tahu kayu itu, tahu kegunaannya. Kakeknya menyebut kayu itu sebagai raja obat. Neneknya mengatakan kayu ini pelindung yang baik, dan karena itu beruntunglah orang menyimpannya di rumah.
Karena itu jugalah maka ketika dia diminta mencari kayu ini di bukit Lumut, dia dapat menemukannya. Hanya, karena jarak yang jauh dan mencarinya susah, dia membutuhkan waktu 3 hari.
“Tapi, meski demikian, kehidupan kita sesungguhnya ada di tangan Dewa. Dia berada di atas usaha kita. Setiap orang akan sampai pada tahap itu. Mungkin bedanya, kapan dan bagaimana jalan masing-masing”.
Jamit mengiyakan. Banyak sudah orang-orang tua yang pergi dari kehidupan. Beberapa temannya juga sudah pergi mendahului. Bahkan, beberapa di antaranya pergi sejak anak-anak.
Tetapi … tunggu! Mengapa Aki membicarakan hal ini?
“Apa yang terjadi?” Jamit memegang tangan Aki Jarak. Tapi, lelaki tua itu tidak bersuara.
“Kik! Banin???”
“Iya, Mit. Banin. Waktunya sudah sampai. Kau harus berusaha sabar”.
Jamit mengendorkan pegangan. Kakinya lemah. Dia terjerembab ke tanah.
Aki Jarak dan beberapa lelaki menolong, membawa Jamit naik ke rumah. Sampuk yang sedianya dibawa untuk Banin, sekarang dibakar diasapkan ke muka Jamit. Aki Jarak membaca mantra, seraya berdoa semoga Jamit segera sadar.

0 komentar: