Sabtu, 03 Desember 2011

Kisah Wahyudin Meneliti Rumah Melayu Pontianak (1)


Salah satu rumah Melayu Pontianak yang terdapat di tepi Sungai Kapuas. Rumah ini dibangun dari bahan kayu. FOTO Dedy Ari Asfar/Borneo Tribune.



Oleh: Yusriadi

Menjadi peneliti mengasyikkan. Banyak pengalaman lapangan yang menarik. Berikut ini cerita Wahyudin, seorang peneliti dari Politeknik Negeri Pontianak (Polnep) Pontianak yang sedang melakukan riset tentang rumah Melayu di Pontianak untuk kepentingan tesisnya di Universitas Gajahmada, Yogyakarta. Wahyudin membagi cerita di depan anggota Club Menulis STAIN Pontianak, Oktober lalu.


Wahyudin memilih objek pengamatannya tentang rumah tinggal Melayu. Penelitiannya dipusatkan di Keraton Kadriah, Pontianak.
“Mengapa keraton? Karena saya baca sejarah, embrio asal mula lokasi rumah tinggal itu dialokasikan sekitar keraton,” katanya.
Saat itu, Sultan Syarif Abdurrahman membangun masjid, dia membangun istana dan juga membangun rumah tinggal. Adapun lahan dan lokasi pembangunan ditentukan oleh Sultan.
Rumah tinggal yang dibangun ketika itu adalah rumah untuk tinggal Prajurit dari Tambelan, Banjar Sarasan, Bugis, dan sebagainya. Rumah itu dibangun di sekitar keraton.

Sebelum ke Lokasi

Sebelum turun ke lapangan, Wahyudin mencari data sekunder, mencari peta dan buku-buku.
“Peta saya cari di Tata Ruang, Kantor Terpadu Jalan Sutoyo. Setelah itu saya cari Bappeda,” ungkapnya.
Selain di tempat tersebut, sebenarnya data juga bisa dicari di kantor Dinas Pariwisata Kota dan juga Provinsi. Termasuk juga di Perpustakaan di STAIN Pontianak dan di Untan Pontianak,
Setelah itu, dia pergi ke kantor kecamatan. Dari kantor kecamatan, Wahyudin menuju kantor kelurahan Kampung Dalam, lokasi Keraton Pontianak.
Setelah bertemu Pak Lurah Kampung Dalam, Wahyudin menemui sumber lapangan. Saat pengumpulan data lapangan Wahyudin didampingi seorang asisten lapangan bernama Juanda. Pendamping lapangan perlu karena akan memudahkan mendatangi sumber-sumber informasi.

Hasil Lapangan

Untuk objek penelitian tentang rumah Melayu, banyak hal bisa diambil. Tetapi, dalam penelitian ini Wahyudin hanya fokus pada bagaimana tata ruang rumah Melayu dan bagaimana fungsinya.
Rumah Melayu yang didirikan dahulu kala, lingkungan Keraton Pontianak, terbagi dua bagian: ada ruang lelaki dan ruang perempuan. Terpisah. Ada yang dipisahkan oleh dinding yang kokoh dan ada juga yang dibatasi dengan tabir.
“Kalau yang saya lihat ada yang tirai ada yang papan,” ungkapnya.
Wahyudin menyebutkan, rumah Melayu memiliki dua pintu masuk, yaitu pintu depan dan pintu samping.
Pintu samping dibuat berdasarkan pertimbangan bahwa orang tua dahulu jika sedang menerima tamu tidak boleh diganggu. Penghuni rumah tak boleh masuk melalui pintu depan. Masuk rumah melalui pintu depan ketika orang tua sedang ada tamu adalah merupakan sesuatu yang tabu. Kalau dilakukan juga, pasti kena marah. Itulah pentingnya pintu samping.
Pintu samping menghubungi ruang tengah atau dapur.
Dilihat dari tata ruang, rumah Melayu memiliki apa yang disebut rumah induk, ruang depan, dan rumah anak. Rumah anak maksudnya itu pelantaran, juga dapur. Dapur biasanya dibangun terpisah dari rumah induk.
Bentuk rumah Melayu ada 3 jenis. Pertama, type limas, biasanya tingkatan rumah Melayu yang paling tinggi, untuk pejabat tinggi, keluarga keraton yang lebih tinggi. Model ini seperti model joglo walau persis tidak sama, atau hampir mirip dengan type limas di Palembang.
Kedua, type potong kawat, berupa bentuk limas an, perisai, di bagian depan atapnya berbentuk perisai. Rumah type ini biasanya dimiliki oleh golongan strata kedua di bawah bangsawan.
Ketiga, type potong godang. Type ini, atapnya kiri dan kanan lurus. Rumah type ini adalah rumah untuk kelas tiga.
Orang tua dahulu membangun rumah didahului dengan upacara ritual. Tak boleh sembarangan. Ada proses yang harus diikuti.
Rumah Melayu memiliki tiang seri. Tiang seri adalah tiang pertama yang harus ditancapkan di lokasi pembangunan rumah. Biasanya, saat penancapan tiang ini disusupi dengan batu permata, atau belian, dan tai’ besi, yaitu bekas bubutan besi. Di keempat penjuru rumah disisipi perhiasan. Hal ini penting dilakukan supaya rumah itu bersinar, tidak disusupi banyak hal.
Ukuran tiang seri dipilih yang paling tua dan paling besar. Ada ukuran 18x18 atau 20x20. Tiang seri itu tidak bersambung. Dari bawah hingga ke atas langsung. “Dahulu mencari kayu besar dan panjang seperti itu tidak ada masalah. Sekarang, mungkin susah,” ujar Wahyudin.
Posisinya tiang seri biasanya ditemukan di ruang tengah atau ruang tidur.
Pada tiang seri ini juga ada yang menggantungkannya dengan jagung atau buntelan-buntelan. Ini untuk menjaga supaya rumah ini aman. Wahyudin juga memperoleh informasi bahwa setiap Jumat ada yang memasang setanggi di depan tiang seri.
Selain tiang seri, Wahyudin menyebutkan ada istilah puadai, penyekat dinding yang digunakan untuk acara pernikahan. Kalau acara pernikahan sudah selesai, puadai itu diletakkan di tempat bulan madu. Puadai itu biasanya tidak ada pintu, hanya tirai. Tapi, sekarang ada modifikasi, pintunya dibuat dengan pintu geser. Bentuknya, ada yang bisa bongkar pasang, ada yang permanent.
Puadai juga ada yang diberikan kaca, ada yang warna warni, dsb.
Model jendela pada rumah Melayu, adalah model jendela lebar-lebar. Daun jendelanya ada dua, bisa dibuka dengan cara digeser atau didorong ke depan.
Ruang-ruang tidur rumah Melayu kebanyakan, saling berhubungan. Kamar orang tua, anak lelaki, perempuan, bisa tembus. Antara satu kamar dengan kamar yang lain ada pintu.
Kamar seperti itu dahulu, diikuti dengan norma yang ketat. Dahulu, kalau orang bukan muhrim tidak masuk ke kamar tidur. Batas yang boleh dimasuki adalah ruang tamu, ruang keluarga dan teras depan. Ruang tengah juga tidak boleh. Bersambung.

0 komentar: