Selasa, 06 Desember 2011

Kritik Karya

Oleh: Yusriadi

Bah! Saya sampai harus mengeluarkan peringatan keras kepada mereka. Bukan sekali. Tiga kali malah.
Habis, tak cukup satu kali. Masih juga. Gatal benar mulut mereka.
Hari itu, pekan lalu, kami (saya dan beberapa mahasiswa) sedang membahas skripsi. Saya meminta mereka, mahasiswa yang mengikuti kelas Bimbingan Karya Tulis Ilmiah itu, membaca skripsi yang dibuat oleh senior mereka. Skripsi yang sudah jadi.
Mula-mula mereka diminta membaca judul dan berusaha menyelaminya. Kemudian membaca kata pengantar. Selanjutnya memelototi daftar isi untuk melihat strukturnya. Saya memberi mereka waktu 20 menit.

Ketika mereka mulai ribut –karena bacaannya sudah selesai sebelum waktunya habis, saya minta mereka melihat kesimpulan dan tujuan penelitian. Terakhir melihat abstrak, ringkasan isi skripsi.
Selesai dengan tugas itu, kemudian kami membahas satu-satu bagian itu. Sebagai pembuka saya bertanya pada mereka:
“Coba… liat judul masing-masing. Apa ide Anda? Apakah Anda mendapatkan inspirasi setelah membaca judul itu?”
Seorang dari mereka menjawab tangkas.
“Judul ini, saya rasa kurang menarik…. Bla… bla… Judulnya tidak pas”.
Wah, wah, wah… Pandainya dia itu. Dia mengeritik judul skripsi orang. Padahal, dia belum pernah membuat skripsi. Tak bisa dibiarkan. Saya memotong cepat seraya mengetuk meja.
“Oke, oke… sekarang apa pembelajaran yang Anda peroleh?”
Hm, dia diam. Dia menatap saya seperti tercenung. Mungkin dia terkejut melihat reaksi saya. Mungkin juga dia sedang berpikir mencari jawaban. Entah, apa yang dia pikirkan. Saya membiarkan. Biarkan dia terkejut.
Saya memang tidak suka mendengar hal seperti itu. Mengeritik karya orang sementara dia belum pernah berkarya. Tidak boleh dibiasakan. Orang harus belajar memberikan apresiasi, menghargai karya orang lain. Justru, dalam banyak contoh memberi apresiasi akan membuat orang belajar lagi dari orang lain.
Karena terlalu lama dia berpikir, saya meminta giliran berikutnya. Satu dua oke, semua berjalan dengan baik. Mereka memahami apa yang ditanyakan dan mendapat ide. Seorang yang membaca skripsi tentang pernikahan mengatakan:
“Jika begitu, penelitian tentang nujuh bulanan bisa Pak?”
Great. Persis. Yang begini ini yang saya kehendaki. Tidak usah keburu memberi kritikan. Pelajari dahulu. Selami. Hayati.
Eh, giliran keempat, kritikan muncul lagi. Kali ini kritikan dialamatkan pada kata pengantar. Seperti yang pertama tadi, saya juga bingkas.
“Halo… sekarang bukan waktunya mengeritik. Sekarang waktunya memahami”.
“Mari berpikiran positif. Jangan negatif”.
Saya perlu mengingatkan itu lagi karena peringatan sebelumnya agaknya tidak mempan. Ah, mungkin mereka begitu karena selama ini mereka hidup di alam seperti itu. Mereka melihat orang-orang di sekitar mereka melakukan hal seperti itu. Kritik, kritik, kritik. Mereka bagaikan orang sinting membicarakan gula-gula. Nyinyir. Celupar.
“Anda boleh kritik skripsi orang jika sudah membuat skripsi. Jika belum, sudahlah… baca saja dahulu,”
“Nanti, kalau Anda sudah selesai buat skripsi, baru Anda boleh menyampaikan kritik terhadap skripsi. Itu baru adil namanya”.
Saya menjadi otoriter. Memaksa. Tetapi apa boleh buat, iklim di sekitar saya harus diubah. Toh, nyatanya mereka juga sedang belajar. Adat orang belajar harus takzim, tak boleh membantah dan berbantan-bantah. Kalau mau membantah dan berbantah-bantah, lebih baik tak usah belajar. Percuma.

0 komentar: