Sabtu, 03 Desember 2011

Sertifikasi Guru – Dosen

Oleh: Yusriadi

Hari itu, saat seminar pendidikan Dewan Pendidikan Kalbar di Hotel Gajahmada Pontianak membicarakan anggaran pendidikan, soal sertifikasi banyak mendapat sorotan. Kritikan muncul karena kata pengkritik: guru yang sudah disertifikasi tidak menunjukkan profesionalisme mereka, sertifikasi tidak berguna, malah sebaliknya, telah menimbulkan masalah baru berupa ketidakjujuran oknum guru yang disertifikasi, dan kecemburuan sejumlah guru yang belum disertifikasi. Kira-kira, maksud pengkritik itu, sebaiknya sertifikasi dihapus saja.

Mendengar aneka kritikan itu, Dr. Aswandi, Dekan FKIP Untan yang menjadi salah seorang pembicara, sempat bingkas. Dia minta sertifikasi guru jangan dipersoalkan. Tujuan pemerintah baik. Yang tidak baik itu oknumnya. Oleh sebab itu dia berpesan, bukan sertifikasi yang dihapus, tetapi oknumnya yang harus ditangani.
Saya jadi teringat diskusi kami di sebuah ruang kuliah saat membicarakan soal sertifikasi. Persis sama. Malah, waktu itu para peserta mengungkapkan data-data menarik dari sekitar mereka. Soal kecemburuan, soal guru yang malas mengajar, soal pemalsuan dokumen, dan lain-lain.
Lalu pertanyaannya, apakah karena itu sertifikasi harus dihapus? Tak adakah manfaat sertifikasi? Apakah manfaat sertifikasi lebih kecil dari mudharatnya?
Peserta kompak, sertifikasi itu baik dan jangan dihapus. Ada manfaatnya. Setidaknya, kesejahteraan guru meningkat.
Seperti yang dikatakan Aswandi, peserta diskusi memahami bahwa sertifikasi merupakan salah satu program pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Niatnya baik. Mutu guru harus ditingkatkan. Guru harus profesional. Guru harus berkembang. Guru harus lebih baik. Sehingga dengan demikian potensi murid bisa dikembangkan maksimal. Bagaimanapun, sentral dari pelaksanaan pendidikan adalah pada guru.
Lalu, soal adanya kecemburuan, sesungguhnya hal itu wajar. Mereka juga harus mengetahui bahwa sertifikasi masih sedang berjalan. Belum semuanya guru bisa disertifikasi karena ada alasannya.
Soal kemudian ada satu dua atau ada sepuluh atau beberapa puluh guru yang tidak baik tentu bukan berarti keseluruhan program ini tidak baik. Setidaknya, melihat negara lain sudah menerapkan standar profesional ini dengan sertifikasi, jelaslah bahwa sertifikasi itu sangat baik.
Saya bisa melihat kebaikan sertifikasi ketika melihat apa yang terjadi di kalangan dosen khususnya di STAIN Pontianak. Sejak program ini berjalan, gairah akademik lebih terasa. Apatah lagi ketika Pembantu Ketua I STAIN Pontianak mensosialisasi kebijakan pemerintah: ada evaluasi sertifikasi dalam waktu satu tahun satu kali. Evaluasi itu disebut evaluasi kinerja dosen mengacu pada Tri Dharma Perguruan Tinggi; yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Setiap dosen melaporkan pelaksanaan kegiatan itu selama satu tahun lalu: berapa jam mengajar dalam mata kuliah apa, berapa penelitian dilakukan dan berapa tulisan diterbitkan, serta bagaimana pengabdian mereka kepada masyarakat.
Evaluasi pertama dilakukan beberapa bulan lalu. Waktu itu, dosen cukup sibuk mengisi form evaluasi. Beberapa orang tersentak: kasak-kusuk mencari bahan. Beberapa lagi mengisi dengan mudah. Semuanya tergantung pelaksanaan kegiatan masing-masing.
Intinya, mereka yang mencari bahan dengan susah payah mulai terpaksa harus lebih giat lagi meningkatkan kinerjanya sebagai dosen. Mereka yang dapat mencari bahan dengan mudah termotivasi untuk mempertahankan kinerjanya sebagai dosen. Karena itu, gairah akademiknya sangat terasa.
Saya kira, jika momentum seperti ini terpelihara, jika evaluasi kinerja guru dilaksanakan secara simultan, benar dan serius, sudah pasti sertifikasi di tingkat guru juga akan membawa dampak yang baik seperti yang diharapkan. Coba saja tengok nanti, pasti bisa. (Ptk, 26 -10-2011)

0 komentar: