Selasa, 06 Desember 2011

Kritik Karya

Oleh: Yusriadi

Bah! Saya sampai harus mengeluarkan peringatan keras kepada mereka. Bukan sekali. Tiga kali malah.
Habis, tak cukup satu kali. Masih juga. Gatal benar mulut mereka.
Hari itu, pekan lalu, kami (saya dan beberapa mahasiswa) sedang membahas skripsi. Saya meminta mereka, mahasiswa yang mengikuti kelas Bimbingan Karya Tulis Ilmiah itu, membaca skripsi yang dibuat oleh senior mereka. Skripsi yang sudah jadi.
Mula-mula mereka diminta membaca judul dan berusaha menyelaminya. Kemudian membaca kata pengantar. Selanjutnya memelototi daftar isi untuk melihat strukturnya. Saya memberi mereka waktu 20 menit.

Ketika mereka mulai ribut –karena bacaannya sudah selesai sebelum waktunya habis, saya minta mereka melihat kesimpulan dan tujuan penelitian. Terakhir melihat abstrak, ringkasan isi skripsi.
Selesai dengan tugas itu, kemudian kami membahas satu-satu bagian itu. Sebagai pembuka saya bertanya pada mereka:
“Coba… liat judul masing-masing. Apa ide Anda? Apakah Anda mendapatkan inspirasi setelah membaca judul itu?”
Seorang dari mereka menjawab tangkas.
“Judul ini, saya rasa kurang menarik…. Bla… bla… Judulnya tidak pas”.
Wah, wah, wah… Pandainya dia itu. Dia mengeritik judul skripsi orang. Padahal, dia belum pernah membuat skripsi. Tak bisa dibiarkan. Saya memotong cepat seraya mengetuk meja.
“Oke, oke… sekarang apa pembelajaran yang Anda peroleh?”
Hm, dia diam. Dia menatap saya seperti tercenung. Mungkin dia terkejut melihat reaksi saya. Mungkin juga dia sedang berpikir mencari jawaban. Entah, apa yang dia pikirkan. Saya membiarkan. Biarkan dia terkejut.
Saya memang tidak suka mendengar hal seperti itu. Mengeritik karya orang sementara dia belum pernah berkarya. Tidak boleh dibiasakan. Orang harus belajar memberikan apresiasi, menghargai karya orang lain. Justru, dalam banyak contoh memberi apresiasi akan membuat orang belajar lagi dari orang lain.
Karena terlalu lama dia berpikir, saya meminta giliran berikutnya. Satu dua oke, semua berjalan dengan baik. Mereka memahami apa yang ditanyakan dan mendapat ide. Seorang yang membaca skripsi tentang pernikahan mengatakan:
“Jika begitu, penelitian tentang nujuh bulanan bisa Pak?”
Great. Persis. Yang begini ini yang saya kehendaki. Tidak usah keburu memberi kritikan. Pelajari dahulu. Selami. Hayati.
Eh, giliran keempat, kritikan muncul lagi. Kali ini kritikan dialamatkan pada kata pengantar. Seperti yang pertama tadi, saya juga bingkas.
“Halo… sekarang bukan waktunya mengeritik. Sekarang waktunya memahami”.
“Mari berpikiran positif. Jangan negatif”.
Saya perlu mengingatkan itu lagi karena peringatan sebelumnya agaknya tidak mempan. Ah, mungkin mereka begitu karena selama ini mereka hidup di alam seperti itu. Mereka melihat orang-orang di sekitar mereka melakukan hal seperti itu. Kritik, kritik, kritik. Mereka bagaikan orang sinting membicarakan gula-gula. Nyinyir. Celupar.
“Anda boleh kritik skripsi orang jika sudah membuat skripsi. Jika belum, sudahlah… baca saja dahulu,”
“Nanti, kalau Anda sudah selesai buat skripsi, baru Anda boleh menyampaikan kritik terhadap skripsi. Itu baru adil namanya”.
Saya menjadi otoriter. Memaksa. Tetapi apa boleh buat, iklim di sekitar saya harus diubah. Toh, nyatanya mereka juga sedang belajar. Adat orang belajar harus takzim, tak boleh membantah dan berbantan-bantah. Kalau mau membantah dan berbantah-bantah, lebih baik tak usah belajar. Percuma.

Baca Selengkapnya...

Cerpen: Sampuk untuk Banin

Karya: Yusriadi

Kakinya melangkah ringan, berjinjit cepat. Secepat langkah kijang. Dia memburu waktu. Dia harus segera sampai di rumah. Istrinya, Banin, menunggu obat yang dia bawa.
Dia ujung kampung Bakik, dia tercekat. Matanya tertuju pada pantak tanda dari kayu yang diletakkan di ujung jalan kampung.
Dug!
Jamit terperangah. Dia tahu tanda itu. Itu tanda kematian.
“Siapa yang mati?”

Dia berusaha menebak. Aki Gurung? Aki Sangki? Aki Lanyuk? Dia mencoba mengabsen nama-nama orang tua di kampung itu yang keadaannya sakit dan yang keadaan agak uzur. Jamit berusaha tak memasukkan istrinya dalam daftar itu. Berkali-kali dia menepis pikiran itu.
“Banin tak masuk dalam kemungkinan itu,” bisiknya.
“Tidak. Bukan dia.”
Banin masih muda. Mereka baru menikah lima tahun lalu. Mereka baru punya dua anak, Kurat dan Tamal. Anak-anak itu masih kecil. Kurat baru pandai mengangkut air dengan gerobuk (cangkang buah kelapa yang diberi tali), sedangkan Tamal baru belajar berjalan. Tamal masih perlu menyusu.
Tak terasa langkah Jamit sampai di rumah panjang. Dia melihat rumah panjang itu ramai. Ya, setiap kematian selalu ramai. Tetangga, keluarga mara, turut berduka. Orang mengalami pantangan. Tak boleh keluar kampung jika tak perlu. Tak boleh pergi jauh jika bukan karena perkara mendesak. Melanggar pantang, nahas yang datang.
Lebih dari itu, situasi begitu membuat kekeluargaan tetap terjaga. Saling tolong. Saling bantu. Yang susah terhibur karena selalu ada teman. Tak sempat termenung sendiri. Barang yang ada dikerjakan bisa dikerjakan bersama. Semua bekerja tanpa berkira. Tenaga disumbangkan, barang makan dikeluarkan.
Kehidupan rumah panjang seperti ini dirindukan Jamit bila dia terpaksa harus tinggal beberapa bulan di ladang untuk menjaga padi.
Kesibukan di rumah panjang adalah kesibukan massal. Kesibukan semua. Karena itu ketika ada gawai dibuat, tak dapat dikira pintu siapa yang punya kerja.
Sama seperti sekarang ini, Jamit tak bisa menebak ketika melihatnya dari jauh.
Ketika jarak sepelemparan tombak dari rumah, Jamit melihat orang mengalukan kedatangannya. Mereka menyongsongnya ke halaman rumah panjang.
“Dah datang kau, Mit”.
“Iya. Syukurlah”.
“Baik-baik di jalan?”
“Lancar semuanya”.
Jamit menjawab sambil mengedarkan pandangannya. Hatinya mulai berkecamuk. Penyambutan yang diterimanya kali ini berbeda dari biasanya. Mengapa dia disambut seperti ini?
“Jangan-jangan…” Dia masih berusaha menepis.
“Bagaimana hasilnya?” Aki Jarak, seorang tetua di rumah panjang Bakik, bertanya.
“Dapat”.
Jamit menurunkan sabitnya (ambenan dari rotan). Dia mengeluarkan ikatan kayu sampuk.
“Ini…”
Kayu sampuk itu diberikan kepada Aki Jarak.
“Ya… ini kayu yang sangat berharga. Kehidupan”.
“Benar, Ki”.
“Jamit… Kehidupan kita banyak tergantung pada kayu ini. Asap kayu ini menjaga kita dan batin kita dari dedemit, gana, dan amak ungas”.
Jamit mengangguk mengerti. Dia sudah mendengar hal itu beberapa kali dari orang tua di rumah panjang ini. Malah sejak dia masih anak-anak, dia sudah tahu kayu itu, tahu kegunaannya. Kakeknya menyebut kayu itu sebagai raja obat. Neneknya mengatakan kayu ini pelindung yang baik, dan karena itu beruntunglah orang menyimpannya di rumah.
Karena itu jugalah maka ketika dia diminta mencari kayu ini di bukit Lumut, dia dapat menemukannya. Hanya, karena jarak yang jauh dan mencarinya susah, dia membutuhkan waktu 3 hari.
“Tapi, meski demikian, kehidupan kita sesungguhnya ada di tangan Dewa. Dia berada di atas usaha kita. Setiap orang akan sampai pada tahap itu. Mungkin bedanya, kapan dan bagaimana jalan masing-masing”.
Jamit mengiyakan. Banyak sudah orang-orang tua yang pergi dari kehidupan. Beberapa temannya juga sudah pergi mendahului. Bahkan, beberapa di antaranya pergi sejak anak-anak.
Tetapi … tunggu! Mengapa Aki membicarakan hal ini?
“Apa yang terjadi?” Jamit memegang tangan Aki Jarak. Tapi, lelaki tua itu tidak bersuara.
“Kik! Banin???”
“Iya, Mit. Banin. Waktunya sudah sampai. Kau harus berusaha sabar”.
Jamit mengendorkan pegangan. Kakinya lemah. Dia terjerembab ke tanah.
Aki Jarak dan beberapa lelaki menolong, membawa Jamit naik ke rumah. Sampuk yang sedianya dibawa untuk Banin, sekarang dibakar diasapkan ke muka Jamit. Aki Jarak membaca mantra, seraya berdoa semoga Jamit segera sadar.

Baca Selengkapnya...

Sabtu, 03 Desember 2011

Kisah Wahyudin Meneliti Rumah Melayu Pontianak (1)


Salah satu rumah Melayu Pontianak yang terdapat di tepi Sungai Kapuas. Rumah ini dibangun dari bahan kayu. FOTO Dedy Ari Asfar/Borneo Tribune.



Oleh: Yusriadi

Menjadi peneliti mengasyikkan. Banyak pengalaman lapangan yang menarik. Berikut ini cerita Wahyudin, seorang peneliti dari Politeknik Negeri Pontianak (Polnep) Pontianak yang sedang melakukan riset tentang rumah Melayu di Pontianak untuk kepentingan tesisnya di Universitas Gajahmada, Yogyakarta. Wahyudin membagi cerita di depan anggota Club Menulis STAIN Pontianak, Oktober lalu.


Wahyudin memilih objek pengamatannya tentang rumah tinggal Melayu. Penelitiannya dipusatkan di Keraton Kadriah, Pontianak.
“Mengapa keraton? Karena saya baca sejarah, embrio asal mula lokasi rumah tinggal itu dialokasikan sekitar keraton,” katanya.
Saat itu, Sultan Syarif Abdurrahman membangun masjid, dia membangun istana dan juga membangun rumah tinggal. Adapun lahan dan lokasi pembangunan ditentukan oleh Sultan.
Rumah tinggal yang dibangun ketika itu adalah rumah untuk tinggal Prajurit dari Tambelan, Banjar Sarasan, Bugis, dan sebagainya. Rumah itu dibangun di sekitar keraton.

Sebelum ke Lokasi

Sebelum turun ke lapangan, Wahyudin mencari data sekunder, mencari peta dan buku-buku.
“Peta saya cari di Tata Ruang, Kantor Terpadu Jalan Sutoyo. Setelah itu saya cari Bappeda,” ungkapnya.
Selain di tempat tersebut, sebenarnya data juga bisa dicari di kantor Dinas Pariwisata Kota dan juga Provinsi. Termasuk juga di Perpustakaan di STAIN Pontianak dan di Untan Pontianak,
Setelah itu, dia pergi ke kantor kecamatan. Dari kantor kecamatan, Wahyudin menuju kantor kelurahan Kampung Dalam, lokasi Keraton Pontianak.
Setelah bertemu Pak Lurah Kampung Dalam, Wahyudin menemui sumber lapangan. Saat pengumpulan data lapangan Wahyudin didampingi seorang asisten lapangan bernama Juanda. Pendamping lapangan perlu karena akan memudahkan mendatangi sumber-sumber informasi.

Hasil Lapangan

Untuk objek penelitian tentang rumah Melayu, banyak hal bisa diambil. Tetapi, dalam penelitian ini Wahyudin hanya fokus pada bagaimana tata ruang rumah Melayu dan bagaimana fungsinya.
Rumah Melayu yang didirikan dahulu kala, lingkungan Keraton Pontianak, terbagi dua bagian: ada ruang lelaki dan ruang perempuan. Terpisah. Ada yang dipisahkan oleh dinding yang kokoh dan ada juga yang dibatasi dengan tabir.
“Kalau yang saya lihat ada yang tirai ada yang papan,” ungkapnya.
Wahyudin menyebutkan, rumah Melayu memiliki dua pintu masuk, yaitu pintu depan dan pintu samping.
Pintu samping dibuat berdasarkan pertimbangan bahwa orang tua dahulu jika sedang menerima tamu tidak boleh diganggu. Penghuni rumah tak boleh masuk melalui pintu depan. Masuk rumah melalui pintu depan ketika orang tua sedang ada tamu adalah merupakan sesuatu yang tabu. Kalau dilakukan juga, pasti kena marah. Itulah pentingnya pintu samping.
Pintu samping menghubungi ruang tengah atau dapur.
Dilihat dari tata ruang, rumah Melayu memiliki apa yang disebut rumah induk, ruang depan, dan rumah anak. Rumah anak maksudnya itu pelantaran, juga dapur. Dapur biasanya dibangun terpisah dari rumah induk.
Bentuk rumah Melayu ada 3 jenis. Pertama, type limas, biasanya tingkatan rumah Melayu yang paling tinggi, untuk pejabat tinggi, keluarga keraton yang lebih tinggi. Model ini seperti model joglo walau persis tidak sama, atau hampir mirip dengan type limas di Palembang.
Kedua, type potong kawat, berupa bentuk limas an, perisai, di bagian depan atapnya berbentuk perisai. Rumah type ini biasanya dimiliki oleh golongan strata kedua di bawah bangsawan.
Ketiga, type potong godang. Type ini, atapnya kiri dan kanan lurus. Rumah type ini adalah rumah untuk kelas tiga.
Orang tua dahulu membangun rumah didahului dengan upacara ritual. Tak boleh sembarangan. Ada proses yang harus diikuti.
Rumah Melayu memiliki tiang seri. Tiang seri adalah tiang pertama yang harus ditancapkan di lokasi pembangunan rumah. Biasanya, saat penancapan tiang ini disusupi dengan batu permata, atau belian, dan tai’ besi, yaitu bekas bubutan besi. Di keempat penjuru rumah disisipi perhiasan. Hal ini penting dilakukan supaya rumah itu bersinar, tidak disusupi banyak hal.
Ukuran tiang seri dipilih yang paling tua dan paling besar. Ada ukuran 18x18 atau 20x20. Tiang seri itu tidak bersambung. Dari bawah hingga ke atas langsung. “Dahulu mencari kayu besar dan panjang seperti itu tidak ada masalah. Sekarang, mungkin susah,” ujar Wahyudin.
Posisinya tiang seri biasanya ditemukan di ruang tengah atau ruang tidur.
Pada tiang seri ini juga ada yang menggantungkannya dengan jagung atau buntelan-buntelan. Ini untuk menjaga supaya rumah ini aman. Wahyudin juga memperoleh informasi bahwa setiap Jumat ada yang memasang setanggi di depan tiang seri.
Selain tiang seri, Wahyudin menyebutkan ada istilah puadai, penyekat dinding yang digunakan untuk acara pernikahan. Kalau acara pernikahan sudah selesai, puadai itu diletakkan di tempat bulan madu. Puadai itu biasanya tidak ada pintu, hanya tirai. Tapi, sekarang ada modifikasi, pintunya dibuat dengan pintu geser. Bentuknya, ada yang bisa bongkar pasang, ada yang permanent.
Puadai juga ada yang diberikan kaca, ada yang warna warni, dsb.
Model jendela pada rumah Melayu, adalah model jendela lebar-lebar. Daun jendelanya ada dua, bisa dibuka dengan cara digeser atau didorong ke depan.
Ruang-ruang tidur rumah Melayu kebanyakan, saling berhubungan. Kamar orang tua, anak lelaki, perempuan, bisa tembus. Antara satu kamar dengan kamar yang lain ada pintu.
Kamar seperti itu dahulu, diikuti dengan norma yang ketat. Dahulu, kalau orang bukan muhrim tidak masuk ke kamar tidur. Batas yang boleh dimasuki adalah ruang tamu, ruang keluarga dan teras depan. Ruang tengah juga tidak boleh. Bersambung.

Baca Selengkapnya...

Kisah Wahyudin Meneliti Rumah Melayu (2)

Oleh: Yusriadi

Loteng. Di rumah Melayu lama juga ada para-para atau loteng. Para itu dibangun di atas ruang tidur orang tua. Pemilik rumah membuat tangga ke para itu. Bentuk tangga itu ada dua; ada yang permanent dan ada tangga yang bisa dilepas.
Para-para fungsinya untuk menyimpan barang dapur di atas, selain itu, para-para juga digunakan untuk gadis melihat lelaki yang sedang berkomunikasi dengan orang tua. Dari atas para-para itu mereka melihat langsung calonnya. Maklumlah, di zaman dahulu hubungan antar lelaki dan perempuan sangat dibatasi. Kerap kali juga, pernikahan di masa lalu dilakukan melalui jalur perjodohan.
Selain itu, para juga penting sebagai tempat tidur cadangan jika ada tamu yang datang.
Sekarang ini banyak parak yang sudah rusak. Bahannya rapuh. Air hujan langsung masuk. Parak menjadi rusak.
Sekarang hanya sebagai gudang untuk menaruh barang.

***
Sumur. Sumur juga menjadi bagian dari penelitian yang dilakukan Wahyudin. Dari penelitiannya, beberapa rumah masih ada sumur.
Katanya, dahulu, air sumur penduduk di sekitar keraton airnya sangat jernih, bisa diminum. Keadaan ini berbeda dibandingkan sekarang, airnya keruh karena banyak orang membuang sampah sembarangan. Sekarang ini di parit banyak jembatan dan banyak parit ditutup, sumber air itu sudah terkontaminasi dengan sampah.
“Air sumur itu sekarang tidak bisa lagi diminum,” katanya.
Sumur di beberapa rumah diberikan barau, kiri kanannya. Pemilik rumah memilih kayu belian karena dengan barau belian, airnya biasanya agak jernih.
Di sumur itu juga ada anak tangga dan diberikan padar dengan tinggi 3 meter.
Bentuk sumur ada dua, ada yang berbentuk persegi dan ada yang berbentuk bulat.
Dari penelitiannya, ada rumah yang memiliki pembedaan sumur; lelaki di depan, dan perempuan di belakang. Sumur-sumur itu ditanam pohon, agar tidak kelihatan.
Di dekat sumur juga dibuat WC di dekat situ.
Sumur menjadi tempat warga mandi dan juga wudhu. Sedangkan mencuci pakaian dilakukan di pelantaran.
Di pelantaran itu dahulu ada tong-tong untuk menampung air berupa lingkaran, semacam kerucut. (Bersambung).

Baca Selengkapnya...

Sertifikasi Guru – Dosen

Oleh: Yusriadi

Hari itu, saat seminar pendidikan Dewan Pendidikan Kalbar di Hotel Gajahmada Pontianak membicarakan anggaran pendidikan, soal sertifikasi banyak mendapat sorotan. Kritikan muncul karena kata pengkritik: guru yang sudah disertifikasi tidak menunjukkan profesionalisme mereka, sertifikasi tidak berguna, malah sebaliknya, telah menimbulkan masalah baru berupa ketidakjujuran oknum guru yang disertifikasi, dan kecemburuan sejumlah guru yang belum disertifikasi. Kira-kira, maksud pengkritik itu, sebaiknya sertifikasi dihapus saja.

Mendengar aneka kritikan itu, Dr. Aswandi, Dekan FKIP Untan yang menjadi salah seorang pembicara, sempat bingkas. Dia minta sertifikasi guru jangan dipersoalkan. Tujuan pemerintah baik. Yang tidak baik itu oknumnya. Oleh sebab itu dia berpesan, bukan sertifikasi yang dihapus, tetapi oknumnya yang harus ditangani.
Saya jadi teringat diskusi kami di sebuah ruang kuliah saat membicarakan soal sertifikasi. Persis sama. Malah, waktu itu para peserta mengungkapkan data-data menarik dari sekitar mereka. Soal kecemburuan, soal guru yang malas mengajar, soal pemalsuan dokumen, dan lain-lain.
Lalu pertanyaannya, apakah karena itu sertifikasi harus dihapus? Tak adakah manfaat sertifikasi? Apakah manfaat sertifikasi lebih kecil dari mudharatnya?
Peserta kompak, sertifikasi itu baik dan jangan dihapus. Ada manfaatnya. Setidaknya, kesejahteraan guru meningkat.
Seperti yang dikatakan Aswandi, peserta diskusi memahami bahwa sertifikasi merupakan salah satu program pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Niatnya baik. Mutu guru harus ditingkatkan. Guru harus profesional. Guru harus berkembang. Guru harus lebih baik. Sehingga dengan demikian potensi murid bisa dikembangkan maksimal. Bagaimanapun, sentral dari pelaksanaan pendidikan adalah pada guru.
Lalu, soal adanya kecemburuan, sesungguhnya hal itu wajar. Mereka juga harus mengetahui bahwa sertifikasi masih sedang berjalan. Belum semuanya guru bisa disertifikasi karena ada alasannya.
Soal kemudian ada satu dua atau ada sepuluh atau beberapa puluh guru yang tidak baik tentu bukan berarti keseluruhan program ini tidak baik. Setidaknya, melihat negara lain sudah menerapkan standar profesional ini dengan sertifikasi, jelaslah bahwa sertifikasi itu sangat baik.
Saya bisa melihat kebaikan sertifikasi ketika melihat apa yang terjadi di kalangan dosen khususnya di STAIN Pontianak. Sejak program ini berjalan, gairah akademik lebih terasa. Apatah lagi ketika Pembantu Ketua I STAIN Pontianak mensosialisasi kebijakan pemerintah: ada evaluasi sertifikasi dalam waktu satu tahun satu kali. Evaluasi itu disebut evaluasi kinerja dosen mengacu pada Tri Dharma Perguruan Tinggi; yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Setiap dosen melaporkan pelaksanaan kegiatan itu selama satu tahun lalu: berapa jam mengajar dalam mata kuliah apa, berapa penelitian dilakukan dan berapa tulisan diterbitkan, serta bagaimana pengabdian mereka kepada masyarakat.
Evaluasi pertama dilakukan beberapa bulan lalu. Waktu itu, dosen cukup sibuk mengisi form evaluasi. Beberapa orang tersentak: kasak-kusuk mencari bahan. Beberapa lagi mengisi dengan mudah. Semuanya tergantung pelaksanaan kegiatan masing-masing.
Intinya, mereka yang mencari bahan dengan susah payah mulai terpaksa harus lebih giat lagi meningkatkan kinerjanya sebagai dosen. Mereka yang dapat mencari bahan dengan mudah termotivasi untuk mempertahankan kinerjanya sebagai dosen. Karena itu, gairah akademiknya sangat terasa.
Saya kira, jika momentum seperti ini terpelihara, jika evaluasi kinerja guru dilaksanakan secara simultan, benar dan serius, sudah pasti sertifikasi di tingkat guru juga akan membawa dampak yang baik seperti yang diharapkan. Coba saja tengok nanti, pasti bisa. (Ptk, 26 -10-2011)

Baca Selengkapnya...

Menulis Buku Bersama

Oleh: Yusriadi

Sabtu lalu saya bersama kawan-kawan di Club Menulis merancang menulis novel bersama. Kami merancang menulis novel bersama tentang “Flamboyan, Aloevera dan Cinta”. Novel ini berisi kisah cinta Amoi dan Andri dijembatani Kacong. Kisah cinta beda suku dan beda agama.


Kami bersama-sama menyusun rencana, mendiskusikan sinopsisnya, dan menghimpun bagian-bagian cerita. Setiap orang, lebih dari 20 orang, akan menulis bagian-bagian itu secara bersamaan dalam minggu ini dan kemudian didiskusikan lagi.
Saya berharap (dan yakin) percobaan ini berhasil dan beberapa saat ke depan bukunya bisa diluncurkan. Jika ini berhasil, maka penulisan ini akan menjadi model baru setelah sebelum ini di Club Menulis, kami berkutat pada antologi cerita pendek misalnya: Mimpi di Borneo; Cinta Sekufu, Sambas- Jakarta; Untuk Sebuah Mimpi, Saksikanlah Aku Berjilbab. Singkatnya, buku antologi seperti ini sudah banyak dilakukan orang.
Karena model ini baru, maka bagi saya, membuat rencana ini saja sudah menyenangkan, apalagi kelak melihat bukunya.
Selain peristiwa itu, Kamis dua hari lalu saya juga menyaksikan sesuatu yang menyenangkan. Bahkan, sangat menyenangkan. Saya menerima sejumlah ‘buku novel’ karya mahasiswa Program Komunikasi STAIN Pontianak.
Ihwal mereka menyerahkan novel pada saya karena kewajiban menulis dalam mata kuliah Bahasa Indonesia. Lima minggu lalu, saya meminta mereka membaca novel best seller semisal Laskar Pelangi, Ketika Cinta Bertasbih, dll. Setelah itu, minggu berikutnya, saya meminta mereka menceritakan isi novel, menilai kelebihannya dan mengungkapkan inspirasi apa yang diperoleh dari karya bagus itu.
Lalu, ujung-ujungnya saya meminta pendapat mereka: “Bagaimana kalau kita membuat seperti yang dibuat penulis terkenal itu? Bisa?” Tentu saja mereka menjawab bisa.
Kami mulai menyusun rencana penulisan, jalan cerita. Setelah masing-masing memiliki rencana itu, minggu selanjutnya, kami menulis. Masing-masing dipatok antara 30-40 halaman. Dua, minggu kemudian karya itu dikumpulkan. Hasilnya? Wow, saya terperangah. Takjub. Kemampuan mereka menulis cukup bagus. Ide yang mereka tuangkan juga keren. Berkelas. Ada banyak kejutan. Orang tua, kakak, paman, atau siapapun orang terdekat mereka yang diwajibkan membaca dan memberi komentar terhadap novel kecil itu juga mengungkapkan kebanggaan. Keren!
Saya pasti akan bertanya: “Bagaimana mereka bisa berkarya sedemikian hebat? Benarkah ini karya mereka?” jika tidak mengikuti prosesnya. Tetapi karena saya mengikuti sejak awal, saya tak perlu bertanya seperti itu.
Dua peristiwa itu mengingatkan pada saya kata kunci: Menulis bersama. Menulis perlu teman. Pada peristiwa pertama, sebuah novel akan lahir dari kebersamaan anggota Club Menulis. Menulis bersama membuat kerja membuat karya menjadi lebih mudah. Begitu juga dengan apa yang terjadi pada mahasiswa KPI itu. Membaca bersama, merencanakan bersama, menulis bersama, membuat mereka dapat berkarya dengan maksimal.
Saya kira itulah kata kunci yang Club Menulis lakukan selama ini. Terima kasih teman-teman yang sudah menjadikan saya bagian dari tim menulis. (Ptk, 3-12-2011)



Baca Selengkapnya...

Senin, 08 Agustus 2011

Perjalanan ke Sungai Kakap 1: Berkenalan dengan Penjual Pengkang


Lisan, Aheng dan Nisa, tiga anak berbeda suku sedang bercanda di sela-sela kegiatan mereka menjual pengkang di Sungai Kakap. FOTO Dedy Ari Asfar

Oleh: Yusriadi

“Aku Cina asli, lho”.
“Aku Cindai. Cina Dayak”.
Lisan, Aheng, menyebutkan identitas mereka. Ini terjadi ketika kami berkenalan. Dan ketika kami tanyakan, “Kamu orang apa?”
Lisan, adalah seorang remaja tanggung. Berusia 12 tahun. Sekarang dia duduk di kelas 2 SMP di Sungai Kakap.
Adapun Aheng, temannya, berusia 11 tahun, kelas 1 SMP di Kakap.

Kami berkenalan hari Minggu (17/7) kemarin. Saat itu saya bersama Dedy Ari Asfar dan sejumlah teman dari Club Menulis berkunjung sambil mencari data tentang orang Tionghoa di Kakap. Kami berkunjung ke Pekong Terapung yang terdapat di laut dekat muara Kakap. Kami juga berkunjung ke Vihara Dewa Laut Utara yang terletak di tengah pasar Sungai Kakap.
Kami mendatangi vihara itulah setelah bertemu dengan pengurus vihara Pak Kui. Ketika sampai di tempat ibadah itu, saya dan Dedy memilih duduk di kursi yang tersedia di bagian depan, melihat-lihat orang sembayang. Saat itulah kemudian datang Lisan, Aheng dan Nisa.
Mereka bertiga menjajakan pengkang. Makanan berbungkus daun pisang. Isinya pulut yang dikukus. Lalu kemudian dibakar. Saya mengenal pengkang sejak beberapa tahun lalu, saat singgah di rumah pengkang di Segedong, dalam perjalanan ke Pontianak. Jarak Segedong Pontianak lebih kurang 40 menit perjalanan dengan motor. Di sini ada rumah pengkang milik orang Tionghoa.
Rumah pengkang ini ramai. Enak. Rumah inilah yang menyebabkan pengkang menjadi lebih dikenal belakangan ini di Pontianak.
Lisan dengan bangga mengatakan dirinya sebagai Cina asli. Sedangkan Aheng nampak juga ceria mengaku diri sebagai cindai. Mereka menegaskan identitas itu beberapa kali. Apatah lagi, ada Nisa seorang anak perempuan yang mengaku diri sebagai Melayu. Nisa berumur 9 tahun.
Dibandingkan Lisan dan Aheng, Nisa lebih banyak cerita. Nisa juga menceritakan mereka memiliki teman lain yang juga jualan pengkang. Namanya Iing, seorang anak perempuan berusia lebih kurang 12 tahun. “Iing malu,” katanya.
Sebenarnya, Dedy yang pertama memanggil mereka saat melintas di depan vihara. Mereka menghampiri.
“Beli bang?”
Mereka menawarkan pengkang pada Dedy.
“Siapa yang punya?”
Nisa menjawab tangkas, “Yang punya orang Cina. Yang buat orang Melayu”.
Dedy mengeluarkan catatan.
“Hah, ditulis lagi,”
Nisa bergumam. Tertawa.
“Lhoh?”
“Iya tadi sudah ada yang tanya-tanya. Ditulis-tulis. Sekarang ditulis lagi,” katanya sambil tersenyum.
Lisan dan Aheng membenarkan.
Dedy mulai bertanya harga. Dan dia membeli beberapa buah pengkang. Nisa mengatur pembelian. Masing-masing diambil secara rata. Lisan dan Aheng setuju.
Pertanyaan Dedy dan saya lebih banyak ditujukan pada Lisan. Lisan sudah mulai terbiasa. Tidak malu seperti awal tadi.

Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Kakap 2: Senang Disebut Tionghoa


Vihara Budha Kutub Utara.
Tempat sembayang penganut Buddha dan Khonghucu di Sungai Kakap. Vihara ini menjadi symbol identitas Tionghoa di wilayah ini. FOTO Dedy Ari Asfar/Borneo Tribune

Oleh: Yusriadi

Lisan mengaku dia berjualan setiap hari Minggu. Hari Minggu dia bisa berjualan karena hari libur. Sedangkan pada hari lain dia bersekolah. Sekolah pulangnya siang. Setelah itu dia harus belajar.
Pada hari Minggu, setiap berjualan, dia bisa menjual 100 buah pengkang. Jika dinilai dengan rupiah, dia mendapat Rp100 ribu. Tapi sebagian besar harus disetorkan kepada pemiliknya. Sebagai penjual dia hanya mendapat 15 persen, terhitung upah.
“15 persen, ya, 15 ribu, doang,





Saya tak bisa menilai besar atau kecil Rp15 ribu itu. Namun, berapapun, Lisan menunjukkan diri sebagai anak yang berbakti, membantu orang tua. Lisan menunjukkan walau masih kecil dia bisa mencari uang.
Lisan mengaku uang yang diperoleh adalah untuk membantu keluarga. Dia memiliki 4 saudara. Dia adalah anak ke-empat dari saudara itu. Ayahnya sudah tidak ada. Kini dia bersama emaknya. Mereka orang Tiocuw.
Selain soal hitungan dan kemampuan Lisan, saya juga memberi catatan khusus pada kata “doang” yang diucapkannya. Doang itu tidak biasa saya dengar diucapkan oleh penutur Melayu di Pontianak. Doang adalah partikel sintaksis yang lazim dipakai penutur bahasa Melayu Jakarta. Di mana Lisan mendapatkannya? Apakah melalui TV atau melalui interaksi dia dengan penutur lain?
Logat Melayu Lisan cukup baik. Sekalipun, beberapa aksen memperlihatkan perbedaan dibandingkan penutur yang lain. Mungkin karena dia banyak bergaul dengan penutur bahasa Melayu. Setidaknya, teman mainnya Nisa yang merupakan penurut bahasa Melayu; dan mungkin penutur Melayu lain di sekolahnya.


***

Apa yang saya amati pada Lisan, mengingatkan saya pada apa yang saya lihat pada orang Tionghoa lain di Kakap.
The Dek Kui. Dia Ketua Vihara Buddha Kutub Utara (bukan Dewa Laut Utara, seperti yang ditulis kemarin). Kami menjumpai di rumahnya di ujung Jembatan Bintang Tujuh; jembatan yang melintang di atas Sungai Kakap. Jembatan ini menghubungkan Dusun Merpati dengan Pasar Sungai Kakap.
Pak Kui lahir di Pontianak. Sewaktu kecil dia sekolah di sekolah Tionghoa di dekat Gertak I Pontianak. Namun tidak selesai. Setahun hampir selesai belajar, sekolah ditutup. Peristiwa G30 S PKI meletus. Menikah dengan orang Sungai Kakap. Pernikahan inilah yang mengantarkannya menjadi orang Sungai Kakap hari ini.
Di Sungai Kakap menurutnya, jika di wilayah pasar 90 per sen itu orang Tionghoa. Komunitas ini memiliki tiga identifikasi. Ada yang menyebut ‘Cin’, ‘Cina’ dan ‘Tionghoa’.
“Sebutan Tionghoa agak baru saya dengar. Satu-satu pejabat yang pakai. Camat, polisi,” katanya.
Sebutan Cin lebih sering digunakan. Begitu juga dengan sebutan Cina. Sebutan Cina pasar lebih banyak dipakai kalangan muda.
Ketika ditanya dari tiga sebutan itu, mana yang lebih disukai, Pak Kui mengatakan dia lebih suka sebutan Tionghoa.
“Disebut Tionghoa, agak senang dikit,” katanya sambil tersenyum.

Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Sungai Kakap 5: Pikong Laut


Oleh: Yusriadi

Kisah Pak Salim mengingatkan saya pada cerita sebelumnya yang dituturkan Nisa. Ketika ditanya, siapa yang punya pengkang yang mereka jual, Nisa mengatakan pengkang yang mereka jual milik orang Cina.
“Tapi yang buatnya orang Islam,” katanya.
Jika cerita ini disambung maka akan muncul kenyataan baru: yang menjual pengkang itu orang Tionghoa dan orang Melayu, dan yang makan pengkang itu orang Tionghoa, Melayu, mungkin juga orang Madura atau siapalah. Sebagian dari rombongan Club Menulis saat perjalanan ke
Kenyataan ini merupakan suatu fakta yang penting dicatat; sebuah fakta yang menunjukkan bahwa relasi antar etnik terbangun rapat di sini. Sering kali batas etnik tidak dapat dilihat dalam konteks ekonomi dan sosial.

***

Saya juga menemukan fakta menarik soal relasi ini ketika mengunjungi “pikong laut”. Saya memberikan penanda untuk istilah ini karena istilah ini diberikan oleh motoris kami Pak Sono’ untuk menyebut vihara yang berada di tengah laut itu.
Pak Sono’orang Madura tinggal di Tanjung Saleh. Hari-hari dia melayani penumpang jurusan Tanjung Saleh – Sungai Kakap dengan motor airnya. Nama sebenarnya Marsu’i. Tapi jangan cari nama itu di pasar Sungai Kakap. Mungkin tidak akan ketemu orangnya. Tapi sayangnya, saya lupa bertanya dari mana nama Sono’ itu diperolehnya.
Pak Sono’ membawa kami dengan motor air ke pikong itu.
Pikong itu adalah tempat sembayang orang Tao. Dibangun sebagian orang Tionghoa agar mereka dapat sembayang di sana.
Penganut Tao dapat dengan leluasa sembayang di pikong ini menurut kepercayaan mereka. Sementara, di Vihara Budha Kutub Utara, ritual tertentu tidak bisa dilaksanakan penganut Tao.
Setelah pikong ini dibangun, penganut Tao mengunjunginya untuk sembayang sekali sekala.
Tetapi, justru yang mengunjungi pikong ini secara rutin orang bukan Tao.
Hari itu, selain kami yang berkunjung ke sini, sejumlah orang Pontianak juga terlihat di sana. Kami berkunjung untuk melihat, sambil melakukan studi, mereka berkunjung untuk memancing.
“Setiap hari Minggu pasti ada yang mancing di sini,” kata Pak Sono’.
Memancing dari atas pikong memang asyik. Atap pikong melindungi pemancing dari hujan dan panas. Teratak, kaki lima pikong juga luas, memungkinkan pemancing duduk, tiduran, sambil menunggu pancing yang dilemparkan ke air. Tersedia juga wc yang tidak terkunci dan bisa dipakai setiap saat.


Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Sungai Kakap 4: Kental Nuansa Tionghoa


Simbol Tao di ujung jembatan Bintang Tujuh. Rumah-rumah penduduk di kampung ini memperlihatkan ciri Tionghoa yang mencolok. FOTO Yusriadi/Borneo Tribune.
Kental Nuansa Tionghoa

Oleh: Yusriadi


Kami – saya dan Dedy Ari Asfar melintas di jembatan semen di antara rerumahan penduduk di Dusun Merpati.
Di ujung jembatan terlihat sebuah plang bertulis nama dusun itu. Plang itu nampaknya masih baru.
Selain plang itu, sebuah plang lain yang mencolok terdapat di kanan jalan. Symbol Tao. Simbol itu terpajang di depan sebuah rumah menghala ke arah jembatan.
Jika dahulu, sebelum sedikit-sedikit belajar tentang orang Cina, mungkin saya akan berpikir di sana ada tempat latihan silat. Atau mungkin saya berpikir plang itu menjadi panangkal hantu dan menjadi pelindung pemilik rumah.




Setidaknya, begitulah yang saya tangkap kesannya ketika melihat film kungfu, Hongkong yang diputar di bioskop.
Lebih mengesankan, ketika kami mendengar dentuman musik Cina. Mungkin nyanyian itu dalam bahasa Mandarin. Mendengar nada dan lirik ini membuat suasana Dusun Merpati terkesan kenal ciri Cinanya.
Suasana ini berbeda sekali dibandingkan dengan apa yang disaksikan di Pasar Sungai Kakap, tempat kami singgah -- yang jaraknya hanya beberapa ratus meter saja dari jembatan Bintang Tujuh.
Dentuman musik, symbol Tao, dan tulisan-tulisan Cina yang dipasang di atas pintu menambah kesan kentalnya identitas Tionghoa di sini. Boleh dikatakan, inilah wilayah pecinan di Sungai Kakap.
Kami melihat seorang lelaki berusia 40 tahun sedang berada di ruang tamu memasang batu pada jala kecil. Kami menghampirinya, bertanya alamat rumah Pak Kui.
Dia menunjukkan sebuah rumah yang pintunya juga terbuka, yang sebelumnya sudah kami lewati.
Sikap yang ramah ketika menunjukkan di mana rumah Pak Kui, membuat saya ingin bertanya lebih banyak tentang kehidupan dan pandangan dia. Namun, saya khawatir Pak Kui ada kesibukan lain dan kami tak bisa mendapatkan data darinya. Pak Kui penting karena dia ketua Vihara yang akan kami kunjungi bersama rombongan.
Rumah Pak Kui – atau lebih tepatnya ruko, berdinding semen. Pintunya terbuat dari kayu, bisa dilipat. Ada engselnya. Sementara terasnya juga dari semen. Rumah itu berlantai dua. Saya kira bagian atas menjadi tempat wallet.
Rumah Pak Kui berbeda dengan kebanyakan rumah warga di sini. Sebagian besar rumah warga di sini terdiri dari bahan kayu. Beberapa di antaranya berdinding papan. Lantai terasnya juga dari pakai papan. Kebanyakan rumah beratap seng. Tetapi ada beberapa lagi beratap daun nipah.
Rasanya sebagian rumah itu sama seperti rumah orang Cina di Jongkong yang saya lihat di tahun 1980-an.

Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Sungai Kakap 3: Cerita Pak Piling


Oleh: Yusriadi


Kenyataan yang sedikit berbeda diceritakan Gui Bah Yem. Dia berusia 50 tahun. Masih terhitung sepupu dengan The Dek Kui. Ibu The Dek Kui bermarga Gui juga.
“Dia punya Mamak, aku punya tante,” akunya.
Gui Bah Yem tidak menjadi pengurus vihara. Dia juga bukan pemuka masyarakat. Dia orang biasa. Dahulu pekerjaannya nelayan. Namun, tiga tahun terakhir ini dia bekerja di kebun sawit di Darit. Perjalanan ke Kakap 3




Hasil kebun memang tidak banyak. Sehari diupah Rp34 ribu termasuk makan. Namun, bagi dia jumlah sudah cukup lumayan. Dia dan istrinya juga bekerja. Karena itu satu hari bisa memperoleh Rp68 ribu. Sedangkan untuk makan mereka berbekal dari rumah. Jadi lebih hemat.
“Hasilnya juga lebih pasti”.
Dia membandingkan ketika masih aktif di laut. Hasil melaut tidak tentu. Kadang bisa lebih banyak, tapi kadang tidak. Hasil dari laut susah diperkirakan. Malah kadang kala dia tidak bisa melaut karena cuaca. Karena tidak melaut maka tak ada jugalah hasilnya.
Mengapa memilih Darit?
“Ikut keluarga”.
Keluarga yang dimaksudkan Gui Bah Yem adalah keluarga istrinya. Istrinya orang Darat, katanya. Sebutan lain untuk orang Dayak.
Ketika ditanya bahasa apa yang dipakai orang Darat itu, ternyata bahasa Banyadu’. Bahasa ini lebih dekat dengan bahasa Ahe. Malah ada yang mengelompokkan kedua bahasa ini sama, dalam kelompok Kanayatn. Perbedaannya sedikit saja. Tidak ada banyak hambatan untuk memahami antara Ahe dan Banyadu’.
Gui Bah Yem sekarang hidup dalam budaya Banyadu’. Sehari-hari bahasa itulah yang dipakai.
Hidup dalam budaya Banyadu’ membuat identitasnya bertambah. Di antara orang Banyadu’ dia dipanggil Pak Piling.
“Itu nama anak saya,” katanya.
Orang Kanayatn memang memiliki cara unik dalam system sapaan. Seseorang memiliki banyak nama. Nama ketika masih anak-anak hingga memiliki anak berbeda. Berbeda juga nanti bila sudah mempunya cucu. Seseorang akan selalu dipanggil mengikuti nama anak pertama. Agak janggal atau bahkan dianggap kurang sopan memanggil nama asli seorang lelaki atau seorang perempuan yang sudah memiliki anak.
Ketika ditanya, apa pendapat tentang kata Tionghoa? Gui Bah Yem mengaku tidak pernah mendengar kata itu.
Dia kenal kata ‘Cina’ atau ‘Cin’. Dia diidentifikasi sebagai orang Cin. Tak pernah diidentifikasi sebagai orang Tionghoa.
“Orang tanya saya, kamu orang Cin ya. Cina juga pernah. Gitu yak”.
Gui Bah Yem merasakan Cin atau Cina sama saja.

Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Sungai Kakap 6: Apapun, Tetap Orang Indonesia


Pekong Laut. Salah satu tempat sembayang orang Tao di Sungai Kakap. Foto Dedy Ari Asfar.

Oleh: Yusriadi


Pak Lim Kiang Kim menilai apapun sebutan yang diberikan orang untuk mereka, semua bagus. Menurutnya, sebutan Cina, Cin, Tionghoa, sama saja.
“Aku tidak marah. Bagi aku ndak persoalan, Cina, Cin”.
Bahkan dia memberitahu ada sebutan lain untuk komunitas ini.
“Caines”.

Sebutan Caines yang dikatakan Pak Lim Kiang Kim pasti dari bahasa Inggris Chinese, bisa dirujuk kepada orang Cina.
Saya sangat tertarik mendengar ‘Caines’ diucapkan Pak Lim. Dari mana dia memperolehnya? Apakah dia bisa bahasa Inggris?
“Aku tak pandai omong. Sikit-sikit pernah dengar” .
Dia merendah.
Pak Lim Kiang Kim pernah bersekolah. Tahun 1960-an. Sekolah pagi masuk jam 8, jam 12 pulang. Kemudian jam 1 masuk lagi, jam 5 pulang.
Namun dia tidak tamat. Sekolahnya tutup. Padahal sekolah hampir tamat waktu itu.
Walau tak tamat namun ilmu di bangku sekolah cukup untuk bekal hidup. Lim Kiang Kim dapat membaca tulisan aksara Cina. Ketika saya minta menuliskan namanya, dia menulisnya dalam tulisan itu. Padahal sebenarnya saya ingin dia menulis namanya dalam tulisan latin, biar tak salah tulis. Tapi melihat tulisan Cinanya, saya kagum sekali. Garis-garis yang dibuatnya rapi. Dia menulis dengan cepat.
Pengalamannya juga luas. Dia pernah menjadi pengusaha ikan. Dahulu dia memiliki kapal penangkapan ikan yang beroperasi di perairan sekitar Sungai Kakap. Sekarang, seiring pertambahan usia, dia berhenti. Di rumah saja.
“Sekarang sudah pensiun,” Dia bercanda.
Tapi usaha melautnya tidak berlanjut. Anak-anaknya tidak ada yang menjadi pelanjut usahanya di laut. Tiga anaknya di Jakarta. Berdagang di sana.
Meski sudah pensiun, namun saya masih menangkap kerinduannya pada laut. Menurutnya, laut sekarang masih menjanjikan. Sekarang, sekalipun tangkapan tidak sebanyak dahulu namun harga ikan sangat mahal, pembeli banyak. Sedangkan dahulu, banyak ikan yang dapat ditangkap, tapi susah mencari pembelinya. Karena itu, harga ikan murah, tak banyak hasil yang mereka peroleh.
Pak Lim Kiang Kim optimis. Semangatnya tinggi.

***
Mengenai identitas, apapun sebutannya, kata Pak Lim Kiang Kim, mereka tetaplah orang Indonesia keturunan Cina, keturunan Tionghoa.
Tapi dia mengakui ada di kalangan mereka yang merasa hina disebut Cina.
Lalu mengapa dia tidak merasa tersinggung? Katanya, kata Cina, memang ada.
“Cobalah lihat ada banyak barang ‘Made In China’,” katanya.
Berkenalan dengan Pak Lim Kiang Kim mengingatkan saya pada ungkapan kenalan saya beranama Dr. Taufik Tanasaldy. Dia orang Mempawah yang sekarang mengajar di sebuah universitas di Tasmania, Australia.
Dia orang Cina yang merasa heran dan janggal ketika saya menggunakan istilah Tionghoa padanya. Taufik yang merantau meninggalkan Kalbar sejak tahun 1980-an akhir tidak terbiasa dengan perubahan ini.
Saya kira, intinya bukan cin, cina atau tionghoa. Tetapi bagaimana persepsi yang ada pada orang ketika menyebut komunitas ini.
“Jika kami bilang “Dasar Cina!!!” tentulah orang akan marah. Sama seperti kalau kamu bilang “Dasar Melayu!!! Pasti orang Melayu tak mau”.
Agaknya,bagi banyak orang disebut Cina sekalipun, jika nadanya baik, maksudnya baik, orang juga tidak akan marah.

Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Sungai Kakap 7 (Habis): Relasi Tionghoa – Melayu


Rombongan Club Menulis STAIN Pontianak dalam perjalanan pulang dari Pekong Terapung di Sungai Kakap. FOTO Yusriadi.


Oleh: Yusriadi


Saya sedang berjalan melintas di atas jalan bersemen di depan pemukiman penduduk di Dusun Merpati, Sungai Kakap. Saya melihat beberapa warga sedang duduk di depan rumah mereka. Beberapa lagi melakukan kesibukan masing-masing.
Lalu lalang di jalan berukuran 1,5 meter ini juga cukup ramai. Ada pejalan kaki –seperti kami. Ada gerobak yang didorong-dorong. Ada sepeda motor.


Suasana tambah ramai karena agaknya sedang ada hajatan orang Melayu (Bugis?) di ujung jalan ini. Saya menduga demikian karena orang yang melintas berpakaian ‘pesta’. Lelaki memakai baju batik atau baju berlengan panjang, ada beberapa yang memakai kopiah. Sedangkan perempuan berkerudung mengenakan baju kebaya atau batik terusan.
Gerobak sesekali melintas membawa barang. Inilah angkutan umum di sini. Sebab jalan yang sempit dan jembatan, tidak mungkin dilewati kendaraan roda empat.
Di sebuah rumah bertingkat, saya melihat ada tumpukan jalan. Di dalam ruangan – karena pintu terbuka, dua orang lelaki sedang menangani jala itu. Keduanya duduk berhadapan.
Saya masuk ke dalam rumah itu. Lelaki yang sedang bekerja di bagian ujung lebih tua sedangkan lelaki yang membelakangi saya lebih muda. Belakangan saya tahu, lelaki muda itu bernama Muhammadi Aditia dan lelaki yang tua bernama Salem.
Saya menyapa mereka. Dan minta izin melihat apa yang sedang mereka kerjakan.
“Sekalian tadi jalan di sini, Pak,”
“Saya kira orang perikanan,” kata Pak Salem.
Katanya sebelum ini mereka pernah didatangi orang dari Perikanan.
Kedua lelaki itu sedang gopong. Ngopong maksudnya memasang pelampung dan juga memasang batu pukat. Pukat yang mereka opong ukurannya besar. Mata pukatnya lebih sejengkal saya. Tali yang dipakai juga besar. Hampir sebesar kabel untuk cas hape. Mereka menyebutnya benang 120.
Mengapa besar?
“Ini pukat hiu,” katanya.
Tentu saja saya terkejut. Apakah di sekitar muara Kakap atau di laut Kalbar ada banyak ikan hiu sehingga perlu pukat khusus? Ternyata tidak. Kapal yang memasang pukat hiu beroperasi di laut lepas, Selat Karimata.
Mereka juga menceritakan ikan hiu dijual dagingnya dan diambil siripnya. Siripnya cukup mahal.
Semula saya menduga mereka sedang mengopung pukat sendiri. Rupanya pukat yang mereka opong itu milik orang lain. “Pak Apek,” kata Muhamad. Mereka hanya mengambil upah. Satu pukat, mereka mendapat Rp100 ribu.
Pak Atet adalah pengusaha. Dia termasuk tokoh Tionghoa di Sungai Kakap. Ketika kami mencari beliau di rumahnya, kami hanya bertemu dengan anaknya yang juga pemilik bengkel motor di dekat dermaga Sungai Kakap. Pak Apek sendiri tidak berhasil ditemui.
Menurut mereka, pengusaha kapal semuanya orang Tionghoa. Orang Tionghoa memiliki modal. Modal untuk membeli kapal, modal itu membeli peralatan tangkap. Selain itu, untuk melaut modal yang diperlukan juga besar.
“Kebanyakan orang kitalah bikin,” kata Salem.
Saya menangkap yang dimaksud dengan orang kita adalah orang Melayu atau orang bukan Tionghoa.

Baca Selengkapnya...

Tarian Sopir Taksi

Oleh: Yusriadi

Cerita tentang taksi ini merupakan lanjutan cerita sebelumnya. Setelah lewat Sanggau, kami dipindahkan dari taksi plat kuning ke taksi plat hitam. Taksi plat kuning dibawa anak muda itu, kembali lagi ke Putussibau. Taksi resmi ini membawa penumpang taksi plat hitam. Begitu juga sebaliknya, taksi plat hitam membawa penumpang taksi plat kuning. Tukaran.


Beberapa penumpang sempat kesal melihat pertukaran itu. Apalagi sebelumnya, sopir muda itu hanya mengatakan:
“Bapak pindah mobil ya. Mobil ini kembali ke Putussibau,” katanya.
Sewaktu diberitahu, saya sempat menduga kami pindah mobil, digabungkan dengan penumpang mobil yang satunya lagi.
“Wah, bakal numpuk ni,” kata saya dalam hati.
Tetapi rupanya saya salah. Sebab, ternyata penumpang mobil plat hitam itu tujuan Putussibau. Tidak satu arah dengan perjalanan kami. Kami ke Pontianak. Alhamdulillah.
Ketika naik, saya malah merasa sangat lega karena rasanya mobil ini lebih lapang. Sopir yang membawa juga sudah agak tua. Berpengalaman. Dia membawa mobil dengan perlahan. Dengan begitu guncangan tidak kuat.
Tetapi, rupanya, ada sisi lemahnya juga. Sopir tua ini fisiknya tidak sekuat anak muda – atau mungkin karena factor sudah larut malam?
Sepanjang jalan, musik yang mengalun adalah musik lama. Musik yang membangkitkan kenangan. Lama-lama mengantuk jadinya. Namun, saya tidak bisa tidur dengan lelap karena mendapat posisi duduk di tengah. Kaki bisa melunjur, namun, sulitnya, saya tak ada pegangan.
Karena tak bisa tidur enak, saya jadi lebih banyak bangun. Saya bisa melihat ada yang menarik di dalam taksi itu. Sopir menari.
Ya, saya kira sopir menari. Tangan kirinya bergoyang-goyang mengikuti irama musik. Gerakan mengipas, memutarkan tangan, dan seterusnya.
Apakah sopir seniman? Tidak. Tangan sopir menari selain untuk mengatasi pegal, juga dimaksudkan untuk mengatasi rasa mengantuk. Ada gerakan, ada aktivitas, dengan begitu serangan kantuk bisa diatasi.
Tetapi, malangnya, tarian itu tidak bisa juga menghindarinya dari serangan kantuk. Tetap saja.
Lalu, ketika sampai di gerbang Sanggau, mobil berhenti. Sopir turun. Saya kira dia hanya buang air. Tetapi tidak. Setelah itu dia duduk di depan kemudi. “Tidur dulu,” katanya.
Wah…
Saya melihat waktu menunjukkan pulu 2 lewat. Memang jam tidur. Pak sopir, yang sudah berumur itu pasti sangat mengantuk. Saya sempat heran bagaimana dia mau menjadi sopir – pekerjaan yang jelas sangat melelahkan. Apalagi katanya, itu mobil sendiri. Pasti lebih enak jam segini berada di kasur empuk, tertidur pulas. Mengagumkan dia mau membawa mobil melayani penumpang yang keenakan tidur.
Sekitar satu jam kemudian dia bangun. Perjalanan dilanjutkan. Tapi, juga tidak lama. Ketika lebih kurang 2 jam perjalanan, mobil berhenti lagi dan sopir tidur lagi.
Rasanya ingin bertanya mengapa dia masih tetap mau membawa mobil sedangkan fisiknya tidak lagi kuat. Ingin juga bertanya mengapa tidak ada sopir cadangan, untuk mengantisipasi kemungkinan sopir kelelahan. Ingin juga protes, sebab saya ingin cepat sampai di Pontianak.
Tetapi, semua itu disimpan. Melihat keadaan orang tua itu yang kelelahan, membuat saya tidak sampai hati mengajukan soalan itu. Kasihan sungguh. Mungkin pemerintah yang menyoal mereka kelak.

Baca Selengkapnya...

Udang Merah


Oleh: Yusriadi

Hari itu, lebih satu bulan lalu, saya dan Dedy Ari Asfar mengunjungi Sungai Kakap. Kami mencari informasi tentang pekong laut dan bagaimana cara sampai di sana.
Saat berada di dermaga Sungai Kakap, kami bertemu dengan seorang perempuan berumur 40-an. Semula kami mengira dia penumpang motor air yang akan berangkat dari dermaga Sungai Kakap. Tetapi, rupanya bukan. Dia sedang menunggu barang dagangannya yang dikirim dengan motor air dari sebuah kampung di tepi laut.

Dia menduga kami orang CU. Saya tidak menggali informasi bagaimana dia menduga begitu. Kami mendiamkan saja. Lantas akhirnya jadilah kami sebagai orang CU dalam anggapan dia.
Perempuan itu berbicara dengan semangat tentang usaha kecil. Maklum, dia seorang pedagang. Dia pernah mengikuti pelatihan di Kubu Raya. Pelatihan pengembangan usaha.
Ujung cerita, dia menawarkan kami barang dagangannya.
“Saya ada udang. Masih bagus”.
“Udang saya tidak pakai pewarna”.
“Saya jual lebih murah dibandingkan dengan yang dijual di pasar”.
Kami mengikutinya menuju sebuah karung berisi udang yang diletakkan di depan sebuah counter hape. Dia membuka ikatannya dan mengambil segenggam udang. Udang ebi.
“Ni lihat, masih segar, tidak pakai pewarna”.
Dedy mendekati. Sepertinya dia membenarkan apa yang dikatakan perempuan itu.
“Kami beli satu kilo”.
“Saya satu kilo”.
Dia menimbang sebanyak yang kami minta. Agak repot juga karena dia sendiri tidak membawa kiloan. Dia juga tidak ada kantong. Dia menumpang pada pedagang di situ.
Selesai menimbang, saya memburunya dengan pertanyaan soal pewarna udang.
Menurutnya, sebagian nelayan memberi pewarna pada udang. Karena itu udang yang dijual jadi merah. Tetapi, dia tidak bisa memastikan pewarna apa yang dipakai. Apakah jenis jingge – pewarna makanan, atau pewarna jenis lain.
“Tidak semua orang yang mengerti. Tapi kalau pernah ikut pelatihan sih pasti tahu”.
“Mengapa diberi pewarna?”
“Ya, biar baguslah. Biar menarik”.
Penjelasan dia mengingatkan saya pada udang-udang ebi yang dijual di pasar. Memang sering kali terlihat udang yang dijual berwarna agak merah. Tapi, saya tidak dapat memastikan apakah udang itu diberi pewarna atau tidak.
Tapi saya merasa beruntung berkenalan dengan perempuan itu, beruntung karena mendapat informasi tentang praktik pengolahan udang ebi oleh sebagian masyarakat.
Informasi ini mengajarkan saya untuk lebih hati-hati membeli udang di kemudian hari. Mungkin informasi ini penting bagi orang lain yang suka membeli udang ebi. Saya kira, pemerintah juga penting mengetahui hal ini sehingga akhirnya sesekali juga mengecek kembali makanan yang dijual di pasar: memastikan apa yang dijual aman bagi kesehatan jangka panjang.

Baca Selengkapnya...

Mengapa Jamaah Semakin Berkurang?


Oleh: Yusriadi

Pada awal bulan puasa masjid selalu penuh. Lalu, perlahan-lahan jamaah berkurang. Sehingga akhirnya tinggal satu dua shaf saja orang yang salat Taraweh.
Itulah antara lain hal yang disampaikan seorang penceramah di sebuah masjid di Ambawang, pada malam pertama taraweh. Malam itu, seorang penceramah, yang rupanya ketua masjid, mengingatkan soal pentingnya salat taraweh di malam bulan Ramadan. Dia sempat mengingatkan jamaah soal kebiasaan sebagian orang yang hanya datang ke masjid di awal malam bulan puasa, dan setelah itu tak muncul-muncul lagi. Kebiasaan panas-panas tahi ayam. Sebuah perumpamaan untuk menggambarkan orang yang hanya semangat pada masa awal.
Penceramah perlu mengingatkan karena malam itu masjid tersebut penuh. Bahkan sejumlah orang yang datang setelah azan berkumandang, salat di luar. Di halaman. Masjid yang kecil itu tidak bisa menampung jumlah orang yang datang malam itu. Penceramah pasti berharap agar semangat beribadah terus terpelihara; sehingga dari awal hingga akhir Ramadan, masjid tetap penuh terisi jamaah salat Taraweh.
Merenung apa yang disampaikan penceramah, ingatan saya melayang pada suasana yang sering dijumpai di bulan Ramadan. Pada malam awal masjid sumpek. Lalu pada malam berikutnya, berkurang sedikit demi sedikit sehingga akhirnya yang tersisa hanya satu dua saf saja.
Rupanya, sekalipun sudah diingatkan, pada malam kedua dan ketiga, hal yang sudah diperingatkan penceramah terjadi. Jamaah masjid mulai berkurang. Tidak ada lagi jamaah yang salat Taraweh di luar. Ruang di dalam masih kosong. Saf terakhir lelaki, mulai ada celahnya.
Mengapa begitu? Mengapa jamaah berkurang? Mengapa orang seperti tidak ingat sedikit pun peringatan yang disampaikan penceramah malam pertama? Sebegitu cepatkan berlalu, masuk telinga kiri keluar telinga kanan?
Rasanya, setelah penceramah mengingatkan hal itu saya ingin juga mengingatkan penceramah: Mengapa sikap jamaah begitu? Mengapa jamaah seolah tidak pernah mendengar nasehat penceramah?
Pernahkah penceramah bertanya pada jamaah mengapa mereka tak bisa bertahan lama di masjid untuk salat taraweh? Pernahkah penceramah berupaya mencari cara untuk mengingatkan, selain mengingatkan agar datang ke masjid?
Mungkin baik juga sesekali para penceramah, pengurus masjid, menimbang-nimbang hal itu. Sehingga pada akhirnya mereka menemukan cara bagaimana membuat jamaah kerasan dan terikat hatinya pada masjid. Jika sudah begitu mungkin tak perlu repot penceramah mengingatkan hal yang sama dari tahun ke tahun. Mungkin bisalah dia memilih tema lain yang lebih menarik, daripada sekadang ‘ngomel dan menyindir’ saat berceramah di masa yang akan datang.

Baca Selengkapnya...

Salat Taraweh Pendek dan Panjang


Oleh: Yusriadi

Malam lalu saya salat Taraweh di sebuah masjid tak jauh dari kantor, di kawasan Jalan Purnama Pontianak.
Di masjid itu, salat tarawehnya 8 rakaat, plus witir 3 rakaat langsung. Ada kultum antara Isya dan Taraweh. Jam 20.10 selesai.
Saya terkesan pada penceramah. Seorang lelaki tua, mungkin usianya 70 tahun. Suaranya datar, perlahan. Dia berceramah tentang Takwa berdasarkan tafsiran dari ayat perintah puasa dalam surat Al-Baqarah ayat 183.

Tak ada retorika seperti yang biasa saya saksikan pada penceramah kondang. Tak ada lucu atau lawakan yang mengundang tawa.
Alami. Jauh dari kesan dibuat-buat. Jauh dari kesan omong doang. Rasanya, apa yang beliau sampaikan menukik masuk ke dalam jiwa. Rasanya, apa yang beliau sampaikan mengena.
Jamaah yang ramai memenuhi masjid tak terdengar ribut. Syahdu. Tepekur mendengar pesan-pesan sang penceramah.
Saya seperti kembali ke masa lalu. Saat mendengar seorang ustadz, yang dipanggil Ustadz Haji di Jongkong belasan tahun lalu. Saat itu, rasanya apa yang beliau sampaikan tak pernah dibantah. Semuanya kebenaran.
Sementara sekarang ini, sering kali saya mendengar protes orang terhadap penceramah. Ada protes terhadap penceramah yang tampil retorik, melawak atau menasehati jamaah panjang lebar. Kadang juga ada bantahan terhadap materi yang disampaikan.
Saya juga terkesan pada jamaah masjid malam itu. Ramai. Saat saya masuk saya melihat masjid hampir penuh.
Ternyata, jamaah bertahan sampai salat berakhir. Saya tahu ada berapa orang yang pulang. Namun, rasanya mereka yang pulang hanya satu dua saja. Tidak signifikan, tidak ketara.
Soal jamaah ini, saya teringat pada apa yang saya lihat di sebuah masjid yang terletak tak jauh dari tempat saya tinggal sekarang ini. Jamaah masjid sampai malam keempat, selalu ramai. Jamaah yang putus salatnya juga tidak banyak. Saya tidak melihat perubahan yang signifikan jumlah jamaah pada awal salat dan pada akhir.
“Hebat”.
Mengapa? Mengapa masjid-masjid ini masih penuh? Mengapa orang tidak keburu pulang?
Saya bertanya begitu karena saya pernah salat di sebuah masjid di Pontianak Barat. Jamaahnya hanya banyak di awal saja. Memasuki witir semakin sedikit. Perubahannya signifikan.
Mereka pulang awal. Sebab, sebagian tak mampu menyelesaikan salat karena terlalu panjang. 20 rakaat Taraweh, plus 2+1 witir.
Pengurus masjid menyadari hal itu. Menurutnya soal perubahan sudah dibicarakan di internal pengurus. Namun, ada seorang yang menolak. Malah yang menolak itu mengatakan tidak akan ada perubahan jumlah rakaat salat Taraweh selagi dia masih hidup.
Soal orang tak kuat berlama-lama salat Taraweh menurutnya tidak pantas didengar. Ada malas.
“Malas taraweh, panjang”.
“Capek benar ikut salat, ngebut”.
Di dalam malas beribadah itu, ada Setannya. Mereka itu, kalau lama-lama di masjid badannya panas meriang, ingin cepat-cepat pulang. Hati tidak terikat di masjid. Bak kata: datang ke masjid paling akhir. Pulang dari masjid paling awal.
Memang, seharusnya orang tidak begitu. Salat ya salat. Berat ringan itu keharusan mereka. Sebagai hamba mereka harus patuh pada perintah Allah. Allah memerintahkan begitu. Mereka harus ikut.
Sebagai orang Islam mereka tak sepatutnya menawar kewajiban yang Allah berikan. Jalani saja sebagai bentuk iman. Anggap saja Ramadan sebagai bulan penggemblengan iman dan ibadah. Semua satu paket dengan puasa.
Tapi, begitulah keadaan manusia. Begitulah keadaan orang kita. Tidak semua orang insyaf. Tidak semua imannya hebat. Masih banyak orang yang perlu pembinaan. Masih banyak orang yang perlu diikat hatinya. Masih banyak orang yang perlu dibujuk-bujuk, diajak-ajak, agar mau, agar insyaf, agar menjadi orang yang beriman.
Bahkan, kalau mau jujur, sebenarnya jumlah orang yang seperti ini lebih banyak. Orang yang memerlukan bujukan, sentuhan, pengertian, jauh lebih banyak daripada orang yang imannya sudah mapan. Lalu, apakah mereka ini dibiarkan? Rasanya sebaiknya tidak. Baiklah jika orang yang bijak mengalah. Mengalah untuk kebaikan pasti selalu baik hasilnya, dibandingkan menang untuk menang-menangan. Agaknya. (*)

Baca Selengkapnya...

Anak-anak di Masjid

Oleh: Yusriadi

Seorang ibu mengeluh pada saya tentang betapa ributnya anak-anak salat Taraweh. Anak itu menjadikan masjid tempat mereka bermain, tanpa peduli bahwa di depan mereka sejumlah orang sedang salat.
“Kita jadi ndak bisa khusu’”
“Lebih baik salat di rumah jak”.


Sang ibu menyampaikan penyesalannya terhadap sikap pengurus masjid yang tidak menegur anak-anak yang ribut itu.
Ya, saya mengiyakan apa yang disampaikan oleh ibu itu. Saya juga mengalami hal yang sama. Mengeluh karena anak-anak ributnya minta ampun. Auzubillah.
Malah malam kemarin ada anak yang menangis karena dikerjain oleh teman-temannya. Suara tangisannya cukup ‘merdu’ dibandingkan suara salawat petugas taraweh.
Anak-anak ribut ketika di masjid karena mereka tidak meresapi tujuan datang ke masjid. Tujuan mereka memang bukan untuk ibadah. Malah mungkin mereka juga belum mengerti apa itu ibadah. Kesadaran mereka belum tumbuh.
Anak-anak itu datang ke masjid awalnya karena mereka diwajibkan guru sekolah. Anak itu membawa buku ibadah. Buku itu harus mereka isi sesuai dengan judul dan kesimpulan kuliah tujuh menit (kultum) di masjid. Setelah itu, ada tanda tangan atau paraf penceramah atau imam.
Karena buku itu, anak-anak terpaksa harus datang setiap malam ke masjid. Mereka juga harus berbondong-bondong memburu petugas salat untuk mendapatkan tanda tangan.
Saya ingat, sewaktu menjadi guru honor di Madrasah Tsanawiyah Riam Panjang, pernah memberikan anak-anak tugas begini. Anak-anak diwajibkan memiliki buku ibadah yang berisi catatan kultum dan tanda tangan imam. Sewaktu saya siswa sekolah dasar dahulu, guru agama juga pernah memberikan tugas sama untuk salat Jumat. Kami, sebagai siswa, wajib membawa buku tulis, dan kemudian mencatat siapa khatib, apa judul khutbah dan apa kesimpulannya. Lalu, setelah Jumat usai, kami mendatangi khatib untuk meminta tanda tangan. [Saya jadi ingat kami mentertawakan seorang khatib yang kikuk ketika dia diserbu ramai-ramai. Waktu tanda tangannya, dia gemetaran. Tanda tangannya juga beda antara satu buku dengan buku yang lain].
Ada nilai positif dari kewajiban mengisi buku ibadah ini. Mau tidak mau kami harus ke masjid. Kami harus berlatih beribadah sesuai dengan agama kami. Ini menjadi pembiasaan. Setidak-tidaknya, seburuk-buruknya kami, masih pernah menjadi orang yang rutin mengunjungi masjid. Semoga dosa terampuni.
Tetapi, dalam kejadian yang dikeluhkan seorang ibu dan juga keluhan saya itu, memang seharusnya pengurus masjid juga membantu proses pendidikan di masjid. Anak-anak tidak dibiarkan berbuat sesuka hati. Tidak dibiarkan ribut. Anak-anak harus dikenalkan pada aturan bahwa jika di rumah ibadah, harus bersikap ‘alim’; tidak ribut. Keributan dapat mengganggu jamaah lainnya.
Mungkin, guru yang memberikan tugas juga sesekali harus melakukan kordinasi dengan pengurus masjid dan kemudian sesekali juga ikut mengawasi bagaimana sikap dan polah murid mereka di luar sekolah. Biasanya, seorang murid akan segan pada guru mereka.
Tentu saja, di sini masih ada tanggung jawab orang tua untuk ikut mengawasi dan mengingatkan anak mereka. Takkan pula anak sorang dibiarkan ribut di masjid???? Takkan pula dia tak dapat mendengar kicau bilau suara anak-anak sendiri?






Baca Selengkapnya...

Minggu, 05 Juni 2011

Sukiman dan Foto Lama

Oleh Yusriadi

Sukiman. Dia bukan orang terkenal. Dia, lelaki berumur 40 tahun hidup nun jauh di hulu sungai Embau, tepatnya di Nanga Lotuh, Hulu Gurung, Kapuas Hulu.
Namun begitu dia dikenal banyak orang. Pekerjaannya sebagai penjual kerupuk dan ikan asin keliling 7 kecamatan di sekitar selatan Kapuas Hulu membuatnya banyak kontak dengan orang. Dan, itulah yang membuat orang tahu padanya.

Dia teman sekolah saya di MAS Jongkong tahun 1986-1989. Kami cukup akrab. Sering kali, pulang pergi dari Jongkong Tanjung ke sekolah di Jongkong Kanan, kami naik sampan bersama. Kami pernah karam bersama karena sampan yang kami naik terlalu sarat dan pada saat yang sama gelombang dari perahu speed datang menerpa.
Kami belajar bersama di sekolah dan kadang juga di rumah, karena rumah tempat kami tinggal sewaktu di Jongkong, berdekatan, hanya dipisahkan oleh lapangan volly. Sesekali, kami bermain bersama.
Kenangan kami berdua tidak hanya dipatri dalam ingatan. Kami memiliki foto bersama. Ada foto kami berdua berdiri hitam putih dengan pakaian seragam sekolah. Ada juga foto ramai-ramai ketika kami ujian di sekolah MAS Jongkong, dan juga ketika kami bertamasya ke Bukit Semujan. Ini yang mematri kenangan kami.
Saya teringat kenangan itu karena beberapa hari lalu melihat dokumentasi itu. Sukiman yang saya temui di rumahnya di Nanga Lotuh, masih menyimpannya. Dokumentasi yang saya kira sudah tidak ada lagi. Foto yang saya simpan hilang.
Selain foto itu, ada beberapa lagi foto lain yang disimpan Sukiman. Sayangnya foto-foto itu tidak utuh lagi. Bagian tepi foto sudah blur dimakan angin. Akibatnya, wajah yang di bagian tepi tak dapat dilihat lagi. Termasuk wajah saya.
“Padahal saya sudah menyimpannya baik-baik. Dalam lemari,” kata Sukiman. Ada nada kecewa.
Saya memaklumi kekecewaan itu. Bukan salah Sukiman. Mungkin salah cuaca di sekitar yang lembab. Karena itu, sekalipun penyimpannnya rapat, namun, tetap saja ada bagian foto yang ‘dimakan angin’. Itulah yang biasa terjadi.
Bukan hanya Sukiman. Bukan hanya saya. Banyak orang lain yang mengalami hal itu. Banyak orang yang kehilangan ikatan ingatan karena cuaca. Bahkan, Kalbar juga banyak kehilangan masa lalu karena dokumen aus ‘dimakan angin’, lenyap bersama perjalanan waktu.
Kita menjadi tidak berdaya karenanya. Apatah lagi kita tidak bisa membalikkan masa lalu ke masa kini untuk membuatkan dokumentasi seperti itu.
Inilah yang kemudian membuat ingatan kita pada masa lalu hilang. Masa lalu tidak dapat dikenang dengan baik. Bagi masa sekarang, masa lalu seperti itu bak tragedi.
Ingat tragedi itu saya jadi ingat rencana sebuah organisasi membangun museum di sebuah daerah. Rencana itu tidak mulus. Ada yang menolak karena menganggap tak ada gunanya, masih banyak hal lain yang perlu. Mereka tidak melihat manfaatnya.
Lalu akhirnya sampai hari ini gagasan menyimpan dokumentasi itu tidak terwujud hingga hari ini. Mungkin tidak akan pernah terwujud sampai semua kekayaan hari ini dan masa lalu yang akan disimpan di sana musnah. Lalu, kita semua menjadi seakan-akan tidak punya masa lalu; kecuali yang bisa diingat. Lalu, seakan-akan kita tidak punya masa lalu yang dipatrikan. Duh, tragisnya.

Baca Selengkapnya...

Kesabaran Sopir

Oleh: Yusriadi

Saya sering teringat pada dua pengalaman hari itu, di pertengahan bulan lalu. Ya, hari itu saya naik bis dari Putussibau ke Pontianak. Bis berangkat dari Putussibau sekitar pukul 3 sore. Sepatutnya, bis itu sudah sampai di kampung saya – tempat saya menunggu, pukul 6an. Namun, sekitar pukul 7 baru bis itu sampai.
Dari kampung ke Pontianak lebih kurang 17 jam. Kami sampai di Pontianak hampir pukul 12 siang, esok harinya. Saat azan Zuhur berkumandang, bis baru merayap di tol Kapuas. Padahal seharusnya, jam 7 pagi bis itu sudah sampai di Pontianak.


Mengapa sampai lama? Sopir membawanya tidak kencang. Relatif pelan. Saya kira, sopir tidak membawa laju karena memperhatikan keselamatan penumpang. Lagi, dari Putussibau ke Pontianak dia membawa sendiri, tidak ada cadangan. Hal yang satu ini jelas membuat saya berdoa dalam hati: semoga sopir tidak tiba-tiba terlelap. Doa itu terucap karena melihat sang sopir sudah berusia. Mungkin 50 tahun. Jangankan dia yang 50-an, orang muda pilih-pilih yang tahan tidak tidur 24 jam. Biasanya, bis berhenti dan sopir tidur sebentar.
Kok bisa sopir kuat begitu? Entah fisiknya memang kuat atau dia menggunakan obat kuat, jamu atau miuman. Saya tidak menanyakan hal itu. Saya memuji fisik dia.
Saya juga memuji kesabaran dia membawa bis dengan pelan. Memuji dia karena sekalipun sudah berumur masih dapat bertahan di atas bis. Memuji dia karena dapat menghabiskan waktu lebih panjang di sana. Memuji dia yang berhasil membawa bis dengan selamat sampai tujuan.
Bahkan kemudian, ketika saya mendengar cerita dari teman penumpang yang duduk di dekat sopir hari itu, saya memberikan pujian tambahan untuk sopir bis ini. Bis ternyata remnya tidak bagus. Hebat sekali dia bisa membawa bis yang remnya tidak bagus dari Putussibau ke Pontianak. Jalannya berkelok-kelok, turun naik. Nyalinya luar biasa. Kalau tidak bernyali besar pasti dia sudah singgah di bengkel membetulkannya. Semoga dia tidak berpikir kalau kecelakaan adalah hal biasa. Toh semuanya sudah diasuransikan?
Hebat juga dia tidak terdengar mengeluhkan masalah bis sepanjang perjalanan. Tak ada sumpah serapahnya karena rem tidak berfungsi. Tidak ada kemarahannya pada bos yang tidak menyediakan bis yang baik untuk perjalanan jauh. Jika dia mengeluh pasti penumpang akan bekalot.
Ternyata tak hanya sopir bis yang layak dipuji hari itu. Saya juga memuji sopir taksi. Kejadiannya, saat melintas di Jalan Trans Kalimantan; di bagian jalan berlumpur mungkin 4 atau 5 kilometer jauh ujung aspal Lintang Batang. Ada sebuah taksi melaju dari arah Tayan mengambil jalan kanan.
Pada saat yang sama ada taksi dari arah Pontianak melintas di jalur sama.
Taksi dari arah Tayan mengambil jalur kanan, jalur orang lain, hendak menyalib bis yang kami tumpangi.
Kecepatan memang tidak tinggi karena jalan berlumpur.
Kira-kira 5 meter lagi saya bayangkan ada tabrakan. Ternyata tidak. Taksi di arah Pontianak hanya mengerem, dan dalam jarak yang dekat taksi dari arah Tayan banting ke kanan.
Sopir taksi dari arah Pontianak membuka kaca mobil bagian depan dengan mengacungkan tangannya. Ngajak betinju? Tidak. Justru dia mengacungkan jempol.
Dia tidak memperlihatkan kemarahannya. Dia senyum. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tidak ada ada bunyi klakson.
Orangnya sabar sekali.
Saya menarik nafas. Alangkah indahnya jika semua orang bisa menunjukkan kesabaran seperti itu. (Borneo Tribune, 28/5/2011)

Baca Selengkapnya...

Setelah Tamu Agung Pulang

Oleh: Yusriadi

Hari ini Kalbar menjadi tuan rumah, menyambut kedatangan SBY, tamu agung, seorang presiden dari ratusan juta orang Indonesia. Sejauh ini, tuan rumah sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin agar sang tamu merasa dimuliakan dan selalu dihormati.
Tapi, ingat kedatangan SBY, membuat saya juga jadi teringat dahulu ketika mendengar ada teman pejabat level menengah di Pemprov Kalbar yang bercerita bahwa mereka sering menyambut kedatangan wakil presiden. Kali pertama kedatangan disambut dengan bangga. Maklum bangsa sendiri yang menjadi wakil penguasa.

Jauh-jauh hari sebelum sang wakil datang, orang daerah berbenah. Jalan-jalan yang akan dilalui dibenahi. Tak boleh ada lubang di jalan yang akan mengganggu kenyamanan sang tamu daerah itu. Servisnya luar biasa. Hatta, sang wakil pun datang disambut seperti pahlawan.
Tetapi setelah kunjungan tersebut, tak ada perubahan signifikan didapat. Sang wakil tidak datang membawa habuan. Tak juga ada berkah. Program dipinta tak juga terkabul. Proyek Negara yang ada tak juga terciprat. Kalbar tetap saja tidak merasa sebagai daerah prioritas, sekalipun sudah memberikan prioritas dalam menyambut orang besar dari pusat.
Lalu terjadilah paradoknya. Kunjungan pertama dimulai dengan bangga, kunjungan berikut berganti kecewa. Tak ada rasa seperti rasa pertama.
Sebaliknya, malah atas nama alasan protokoler kedatangan wakil penguasa itu menjadi beban daerah. Keuangan daerah tersedot untuk pelayanan protokoler standar. Permintaan layanan dipenuhi setengah hati.
“Ngabis-ngabiskan anggaran, jak,”
Kasihan sungguh, ketika mendengar tuan rumah mengeluh. Tak sampai hati ketika mengetahui bahwa setelah tamu pulang tuan rumah ngomel berkepanjangan karena repot memberikan pelayanan. Capek tenaga, banyak pula keluar biaya. Sementara, untungnya bagi mereka tidak ada.
Apakah kunjungan tamu agung kali ini akan seperti itu juga? Semoga tidak. Jika bisa mengingatkan saya harap dapat mengingatkan agar kita menyambut kedatangan tamu agung dengan ikhlas. Toh, ada dalam keyakinan kita bahwa menyambut tamu dengan baik – malah sebaik-baiknya, merupakan kewajiban.
Tamu harus dihormati dan dihargai bukan karena tergantung pada berapa besar tamu itu memberikan habuan dan berkah kepada kita. Tamu harus dihormati dan dihargai karena memang itu etika kita dan itu juga kewajiban sebagian dari kita.
Saya bergumam dalam hati.
“Masak sih, tamu yang berduit banyak dan berkuasa disambut lebih dibandingkan tamu yang miskin dan tak punya pengaruh?!”
“Masak sih, kita jadi orang materialistis seperti itu?”
Semoga tidak.
Tapi, seorang teman saya bilang, tamu juga harus tahu diri. Jika datang, janganlah datang kosong. Apalagi memiliki uang dan pengaruh.
“Bak kata tak bantu beli beras. Tengok-tengoklah garam dan micin”.
Begitukah? Entahlah!
Selamat menyambut kedatangan SBY. (Borneo Tribune, 30/5/2011)*



Baca Selengkapnya...

Di antara Puing-puing Prasejarah Kalbar

Oleh: Yusriadi

Dalam sebulan terakhir ini saya berada di antara puing-puing pra-sejarah Kalbar. “Tugas” sebagai anggota tim penulis buku Sejarah Melayu di Kalbar membuat saya ‘tersesat’ ke sana.
Tetapi, saya menikmati ketersesatan itu. Sangat menikmati. Apalagi ada banyak kejutan yang saya jumpai di sana.


Ya, sangat banyak kejutan yang saya rasakan dalam ketersesatan itu. Banyak hal yang tidak pernah saya dengar, tidak pernah saya ketahui, tidak pernah saya bayangkan, saya temui dalam ketersesatan itu. Banyak hal yang hanya saya dengar sepintas lalu, bisa saya dalami dan saya simak saat berada di antara puing-puing itu. Semua itu membangkitkan kekaguman yang luar biasa.
Di antara puing pra-sejarah Kalbar yang saya jumpai, laporan penelitian arkeologi yang dilakukan Prof. Dr. Nik Hassan Shuhaimi dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dan rekannya Bambang Budi Utomo dari Pusat Arkeologi Nasional Indonesia, merupakan laporan yang paling menarik disebutkan di sini.
Saya terkesima pada laporan tentang ada temuan prasasti Batu Sampai di dekat Sanggau. Ternyata, penelitian tentang batu itu sudah sejak sebelum Indonesia merdeka dilakukan. Ternyata sudah banyak ahli arkeologi dunia yang datang ke sana. Ternyata, batu itu penting sekali dalam konteks untuk menunjukkan adanya peradaban masa lalu masyarakat Kalbar di abad ke 5 (7?).
Saya juga terkejut ketika melihat laporan tentang prasasti di Batu Pait, Nanga Mahap di hulu Sekadau. Ada juga laporan tentang arca yang ditemukan di Nanga Sepauk, dekat Sintang. Ada dilaporan lukisan gua batu di Sedahan, Sukadana, yang dilakukan orang pra-sejarah. Selain itu, dilaporkan juga temuan-temuan berupa tembikar, keramik, dan lain-lain.
Saya sempat membayangkan temuan ini akan memeranjatkan orang yang hanya bisa berpikir bahwa orang Kalbar masa lalu itu terbelakang dan tertinggal: hanya bisa hidup di atas pohon, hanya ‘berpakaian’ menutup aurat, hanya memakan buah-buahan dan binatang atau ikan.
Lha, bagaimana mungkin orang tertinggal bisa meninggalkan peradaban seperti itu?
Sayangnya, temuan ini belum banyak diketahui, atau kalaupun diketahui, belum diketahui dengan baik. Masih samar-samar. Publikasi yang terbatas telah menjadi kendala bagi banyak orang untuk mengetahui apa yang ditemukan oleh kalangan peneliti. Sayangnya para pengambil kebijakan di sekitar kita belum peduli pada soal seperti ini. Memprihatinkan!
Di tengah keprihatinan ini, tiba-tiba saya teringat pujian saya untuk Bu Juniar Purba dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Kalbar yang mengajak saya bergabung dalam tim ini; sehingga akhirnya saya mendapatkan kejutan yang luar biasa itu.
Saya memuji beliau yang berpikir untuk menulis sejarah Melayu di Kalbar, sementara banyak orang Melayu – khususnya intelektual Melayu belum berpikir tentang itu. Saya memuji beliau mengambil langkah memprakarsai kepenulisan itu, sedangkan orang Melayu sendiri tidak melakukannya.
Karena itu kira, saya, orang Melayu Kalbar, dan orang Kalbar semua, semestinya berterima kasih pada Bu Juniar karena apa yang beliau prakarsai akan menjadi sesuatu yang monumental untuk mematri ingatan generasi yang akan datang tentang sejarah Kalbar. (*)



Baca Selengkapnya...

Sastra Lisan di Kalbar

Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


Malam itu, beberapa hari lalu, saya tenggelam dalam laporan penelitian Professor Hanapi Dollah, seorang ilmuan dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) tentang sastra lisan di Kalimantan Barat.
Laporan yang dimuat di Jurnal Rumpun Melayu-Polenisia, Edisi 16, Oktober 2002 mengingatkan saya banyak hal yang terjadi belasan tahun lalu.

Dalam laporan itu Prof. Hanapi memaparkan temuan penelitiannya terhadap sastra lisan yang dilakukan di Kalimantan Barat tahun 1997-1999. Penelitian itu dilakukannya bersama beberapa orang lagi. Mereka yang terlibat dalam kegiatan itu antara lain Hadi Kifli (sekarang dia pengusaha sembako yang sukses), Prof. James T. Collins (pembimbing saya), Jo (pemuda asal Daup) dan Profesor Chairil Effendy (Untan Pontianak). Saya juga bagian dari tim itu. Kami berangkat dari Pontianak dalam kurungan kabut tebal dan mencemaskan. Kami sampai di Daup ketika sore menjelang setelah menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan, sambung menyambung.
Membaca synopsis Kisah Pelanduk, Kisah Mak Miskin, Puteri Jadi Ruwai, Puteri Kijang, Burung Klukuk, Pak Saloi, Pak Kiding, Si Morong, Nek Kuntan, Nek Gergasi, Mak Sariande, dll, yang saya buat itu, saya jadi teringat bagaimana waktu itu kami mengumpulkan data lapangan. Kami menjumpai para pencerita yang ramah.
Betapa menakjubkan ketika kami dapat menemui begitu banyak orang yang pandai bertutur cerita lisan. Sesuatu yang tidak dibayangkannya waktu datang.
Cerita yang kami kumpulkan itu kami simpan. Saya, karena bertugas menangani data yang terkumpul di lapangan, menyimpannya di dalam disket. Saya juga memrinnya. Tetapi, kemana benda itu sekarang? Disket sudah berkarat dan berjamur di sana sini. Print outnya juga entah ada di mana. Menyesal? Tentu saja. Sebab saya yakin, jika saya ke Daup sekarang, saya tidak akan menemukan kekayaan itu lagi.
Waktu sudah berlalu. Masa sudah berputar. Saya yakin, sebagian besar penutur mungkin sudah meninggal. Saya yakin sebagian mereka karena termakan usia sudah tidak ‘sepacak’ dahulu bercerita.
Saya yakin koleksi cerita mereka hilang karena mereka mungkin lupa.
Situasi lingkungan sosial sekarang sudah tidak seperti dahulu lagi. Daup sekarang sudah berbeda. Daup sekarang kabarnya sudah terbuka. Sudah ada motor yang bisa masuk. Listrik juga sudah.
Keadaan pertengahan tahun 1990 malah sebaliknya. Daup masih tertutup.
Waktu itu listrik Negara belum ada. Jalan darat hanya jalan setapak. Jalan di depan rumah hanya jalan tembok. Pengangkutan cuma sampan dan motor air. Hanya Babinsa yang menginterogasi saya dan Prof. Hanapi di lokasi yang punya perahu fiber dan speed. (Saya selalu terkenang pada Pak Babinsa yang bertanya macam-macamm berulang-ulang, dan lama; sehingga Prof. Hanapi ingin cepat pulang dari lapangan).
Perubahan lingkungan social ini pasti berpengaruh pada koleksi sastra lisan masyarakat. Mereka kehilangan. Kita juga kehilangan. Tetapi, mau apa lagi. Mungkin ini sudah takdir. Hanya kita sedikit beruntung karena synopsis yang saya buat itu sudah diterbitkan oleh Prof. Hanapi dan kita bisa menjejaki sesuatu yang hilang dari terbitan itu – seperti yang saya lakukan malam itu.* (Borneo Tribune, 4/6/2011)

Baca Selengkapnya...

Bahasa untuk Bahasa

Oleh: Yusriadi

“Pak, mengapa bapak tadi menyarankan, menulis tentang kemponan. Bukankah itu syirik dan harus ditinggalkan?”
Sebuah pertanyaan kritis diajukan seorang mahasiswa pada saya saat saat kami belajar menulis, Sabtu, awal Mei 2011 lalu. Kami sedang belajar memilih tema untuk tulisan. “Cak-cak’annya” saya memberikan mereka pilihan tema yang ada di sekitar mereka; hal yang saya pikir pasti mereka kuasai.

Ihwal munculnya kata ‘kemponan’, bermula ketika saya memberikan contoh beberapa agenda sosial budaya yang perlu ditulis. Satu paket dengan kemponan, saya menyarankan mahasiswa menulis tentang mitologi dan legenda di daerah-daerah, patang larang dan upacara adat.
Nah, rupanya mahasiswa itu melihat budaya kemponan dari perspektif akidah. Dari sudut akidah memang kemponan tidak benar. Malah mungkin syirik. Masa’ sih hal seperti itu dipercayai?
Saya agak gelagapan menjawab bantahan mahasiswa ini. Saya melihat budaya kemponan dalam perspektif khazanah lokal. Ini menarik. Penggalian informasi seumpama ini akan memberikan bayangan tentang kepercayaan dan praktik budaya masyarakat. Materi budaya seperti ini belum banyak ditulis. Karena itu setiap orang yang menulis hal itu akan menjadi penulis perintis.
Di tengah keadaan gelabah itu saya jadi teringat pada sebuah pertanyaan yang sering muncul di kalangan linguis (pengkaji bahasa). Ketika dahulu mula mendalami bidang linguistik (bahasa), Professor Dr. James T. Collins memberitahukan bahwa sering kali orang akan bertanya: “Untuk apa belajar bahasa?”
Sering kali orang meremehkan ilmu bahasa karena mereka melihat ilmu bahasa tidak berguna secara langsung untuk kehidupan manusia.
Belajar bahasa tidak sama dengan belajar ilmu mesin, ilmu pertanian, ilmu pendidikan, ilmu komputer.
Jika belajar fonem, vokal, konsonan, morfem, sintaksis, dan sejenisnya, orang dapat apa? Kalau sudah tahu hal itu, untuk apa?
Saya dapat membayangkan, pertanyaan itu akan kurang lebih sama dengan pertanyaan yang sering diajukan oleh seseorang di kampung saya dahulu – yang sering diingatkan bapak. Sedikit-sedikit jika diajak melakukan sesuatu dia akan bertanya: “Apa bisa dapat beras dari situ?”
Orang itu menolak menyekolahkan anaknya karena menurutnya, anak ke sekolah tidak bisa dapat beras. Sekolah menurutnya malah bikin rugi. Jika anak sekolah, anak tidak dapat membantu bekerja. Sebaliknya anak sekolah menghabiskan biaya. Rugi. Beras tak dapat, uang “malar” keluar.
Tiba-tiba saya sadar bahwa mungkin mahasiswa itu satu tipe dengan orang di kampung itu; orang yang selalu melihat sesuatu dari perspektif kekinian. Saya, mengikuti cara pandang bapak, menganggap orang yang berpikir begitu adalah orang pintar. Pintar berhitung.
Lalu bagaimana menghadapi orang pintar seperti itu? Kalau boleh memilih, sebenarnya ingin saya memilih tidak menjawab. Saya lebih suka memilih menghindar.
Saya ingin menekankan prinsip: “Kita menulis atau belajar tentang sesuatu bukan berarti kita harus mengamalkan sesuatu itu. Kita perlu belajar banyak hal biar lebih banyak tahu, dan mungkin ini akan membuat kita menjadi sedikit arif”. (Borneo Tribune, 4/6/2011)*

Baca Selengkapnya...

Selasa, 19 April 2011

Bagian 8 -- Pintu Metal Detector




Oleh: Yusriadi

Pukul 18.20. Lantai 9 di depan pintu Grand Ball Room mulai ramai. Ada kawan-kawan dari Borneo Tribune, ada juga petugas dari Polda (termasuk dari Brimob).
Kawan-kawan dengan pakaian batik warna coklat –khas Borneo Tribune, sibuk di belakang meja penerima tamu. Ada yang mempersiapkan buku tamu, ada yang mempersiapkan buku JMCB untuk tamu, dan ada yang … entah, kayaknya cekak-cekikik, ngobrol-ngobrol saja.
Sedangkan petugas kepolisian (dari Brimob dan dari Mapolda Kalbar) berjaga di pintu masuk kegiatan. Maklum, di pintu masuk itu dipasang pintu keselamatan atau pintu “Metal Detector” untuk mendeteksi barang bawaan undangan.
Pemasangan pintu ini dilakukan polisi usai acara gladi bersih. Ini merupakan inisiatif pihak kepolisian. Pertimbangannya karena ada orang penting kepolisian dari Jakarta yang hadir. Mantan pimpinan mereka.
Pemasangan pintu pendeteksi besi ini di pintu masuk tempat kegiatan anugerah Muri dan bedah buku JMCB menjadi gerbang penting dalam membentuk kesan orang terhadap acara ini. Kesan yang penting adalah bahwa acara ini serius. Orang yang masuk discreening oleh sinar x. Tidak sembarangan.
Memang setahu saya tidak banyak kegiatan yang dilengkapi alat deteksi begini. Dalam beberapa kali kegiatan yang saya ikuti --dahulu, pintu ini hanya dipasang jika ada presiden atau atau wakil presiden yang datang. Sedangkan kegiatan menteri hanya kadang-kadang saja ada digunakan pintu ini.
Kekecualiannya, pintu ini selalu ada di pintu masuk menuju ruang tunggu penumpang di lapangan terbang Supadio, Pontianak.
Saya memang tidak heran karena ketika siang setelah gladi bersih melihat langsung petugas dari Brimob Kalbar memasang pintu ini. Bahkan ikut memberikan saran ketika pintu ini dipasang.
Lagian, saya memahami prosedur pengamanan ini. Maklum, panitia di Pontianak juga ingin pelaksanaan acara tidak jauh beda dibandingkan acara di Jakarta. Di Hotel Grand Sahid pada saat acara launching buku JMCB, pintu deteksi di pasang di pintu masuk hotel sebelum tangga menuju ruang Grand Ball Room, tempat kegiatan berlangsung.
Selain itu, saya menangkap ada kesan ‘wah’ di mata undangan untuk kegiatan kali ini. Ini bukan kegiatan biasa.
Selain itu, kehadiran pintu deteksi ini menimbulkan kesan lucu. Beberapa orang undangan yang baru keluar lift dengan cekak-cekik, begitu berhadapan dengan pintu deteksi, cekak-cekikiknya langsung padam. Kaget. Pasti mereka agak terkejut karena tidak menyangka ada screening begitu. Mana pernah ada acara bedah buku di Pontianak dilengkapi pintu deteksi.
Beberapa teman bahkan nampak panik. Mereka panik karena harus memindahkan telepon di atas nampan sebelum melewati pintu ini. Ada yang harus membuka jaket, melepaskan tas. Dll.
Lantas beberapa orang sempat ketinggalan barang mereka di pintu deteksi. Sebelum kemudian kembali lagi dengan tersipu-sipu.
“Eh, lupa”.
Saya juga melihat polisi yang berjaga-jaga di pintu itu tersenyum melihat orang-orang yang tersipu-sipu itu.
Pintu ini membuat lalu lalang orang keluar masuk ruangan menjadi terbatas. Sungkan karena setiap kali keluar masuk mereka harus ‘diperiksa’. Saya kira suasananya pasti agak berbeda dibandingkan jika tidak ada pintu ini. (*).

Foto///Acara Anugrah Muri untuk Buku JMCB, menyisakan kenangan. Karena itu, beberapa orang mengabadikan momen itu dengan foto-foto. Termasuk Wartawan Borneo Tribune, Abdul Khoir yang mengajak anggota Brimob berpose di luar ruang acara. Foto Istimewa/Borneo Tribune.


Baca Selengkapnya...

Sabtu, 02 April 2011

Ingat Pasar Sentral, Ingat Gadong, Brunei



Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune



Ingat Pasar Sentral Pontianak, saya ingat kawasan Gadong, Brunei Darussalam. Itulah hal yang melintas dalam pikiran saya ketika melewati Pasar Sentral kemarin, dan kemarinnya lagi.
Saya ingat itu ketika saya lihat di persimpangan arah Pasar Sentral – Gusti Sulung Lelanang ada bekas bambu membentuk kerangka ‘sesuatu’. Kerangka itu sebelum ini pernah digunakan ‘pengelola’ dengan dipasangkan ‘hiasan’ untuk menyambut hari besar beberapa waktu lalu. Waktu itu saya melihat hiasan itu dengan kekaguman yang luar biasa. Kagum karena ‘pengelola’ itu begitu kreatif, dan kagum karena waktu itu pemerintah kota mengizinkan kreativitas itu ditunjukkan di depan publik. Waktu itu saya melihat ada keindahan yang berbeda ditunjukkan pengelola di persimpangan ini.
Kemarin, ketika melintas di sana, ketika melihat hanya kerangka saja, saya sempat membayangkan hal buruk: kerangka ini akan lapuk dan tidak ada apapun lagi di pertigaan itu kelak kecuali semen yang membatu dan tidak menarik. Kalau itu benar-benar terjadi, sungguh disayangkan. Rugi!
Saya memberikan apresiasi pada kreativitas pengelola itu karena saya termimpi-mimpi kala melihat hal yang hampir sama di Gadong, Brunei Darussalam. Waktu itu, kebetulan ada seminar di Negara Sultan Bolkiah ini, dan malam itu Dr. Yabit Alas membawa kami keliling kota Brunei. Ketika melintas di Gadong, kami berhenti. Dr. Yabit menunjukkan sebuah kawasan yang berwarna warni, dan di sana ada patung yang waktu itu dipakaikan baju sanghai. Lampion digantungkan di sana sini.
Selain kami, ada banyak orang yang singgah di sana malam itu. Pengunjung juga. Mereka sama seperti kami, berfoto-foto dengan latar belakang lampu dan patung itu.
Kata Dr. Yabit, lokasi itu dikelola oleh sebuah showroom mobil. Pakaian patung itu selalu disesuaikan dengan momentum. Kalau Natal, patung itu menjadi Sinterklas. Kalau musim Idul Fitri, patung itu mengenakan baju muslim. Begitu juga jika Imlek.
“Ini kemudian menjadi salah satu objek wisata di sini,” katanya waktu itu.
Saya sempat menghayalkan di Pontianak, ada juga ruang itu. Pemerintah mengajak swasta tertentu untuk mengelola sebuah lokasi dan lokasi itu dijaga mereka, plus dengan kreativitas pengelola lantas dikemas sedemikian rupa sehingga membuat kota menjadi indah.
Tempatnya, entah itu di kawasan pasar atau di pinggiran kota yang lahannya masih agak luas.
Pada akhirnya, setelah Sutarmidji menjadi walikota Pontianak, saya melihat mimpi itu mulai wujud. Setidaknya, ketika saya melihat ada swasta yang diserahkan mengelola tugu di bundaran Kota Baru Pontianak. Sejauh ini swasta mengelola dengan baik. Air mancurnya terjaga. Lampu terpelihara. Kebersihan dan keindahan juga menyinari mata saat memandangnya – walaupun ada juga yang memandang keindahan ini dengan kacamata minus.
Nah, sekarang, apakah cikal bakal kerangka bambu di simpang Pasar Dahlia – Jalan Gusti Sulung Lelanang akan diurus seperti Bundaran Kota Baru? Saya berharap begitu. Jika pun simpang Dahlia terlalu sempit, mungkin pemerintah bisa melepaskan Bundaran Pos kepada pihak swasta sehingga pada akhirnya keindahan lokasi itu menyerlah juga. Bukan saja kota akan bertambah tempat wisata, tetapi juga pemerintah akan berkurang bebannya. Saya kira, lumayan juga dana dikeluarkan pemerintah untuk urusan taman itu per tahunnya, sekalipun kenyataannya taman itu hanya diurus apa adanya dan tidak mengundang daya tarik pun. (22/1/2011) *

Baca Selengkapnya...

Asuk

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


“Suk, Asuk… Minum dulu’-lah”.
Saya mendengar adik saya memanggil tukang yang sedang bekerja membesarkan bagian dapur rumah mereka, agar berhenti bekerja: minum dulu. Minuman, kopi, sudah disediakan dari tadi. Tapi, lelaki berumur 50 tahun itu belum menyentuhnya. Dia asyik menggali tanah untuk pondasi rumah.
Sebenarnya saya sudah memperhatikan lelaki tua itu bekerja sejak awal. Dia, bercelana pendek, dengan baju diikatkan di kepala. Mungkin maksudnya menutup kepala dari panas. Kepalanya ditutup, sedangkan badannya yang kekar itu tidak. Kulitnya yang agak putih memerah terbakar panas. Berlendir dibanjiri keringat.

“Iya…”
Dia hanya menjawab singkat, sambil terus bekerja.
Saya jadi sangat tertarik pada lelaki tua itu. Saya jadi bernostalgia. Dahulu, sewaktu di Jongkong, Kapuas Hulu, dua puluh tahun lalu, saya mengenal seorang lelaki tua yang oleh orang-orang di Jongkong dipanggil dengan “Asuk Anyi”. Dia, orang Tionghoa. Setiap hari, terutama sore, dia berjalan kaki di atas gertak, seraya mengenakan ‘tangui’ topi dari daun.
Biasanya dia menggunakan baju kaos putih, tipis, singlet. Celananya panjang seperti piyama. Warnanya khas: abu-abu.
Jika orang baru melihat, apa yang dilakukan Asuk Anyi ini aneh. Tetapi, orang Jongkong – khususnya Jongkong Kanan dan Jongkong Pasar, apa yang dilakukan Asuk ini tidak aneh lagi. Biasa. Hanya jalan-jalan di sore hari. Mungkin orang baru merasa aneh bila melihat Asuk tidak mengenakan tangui.
Saya tahu sekarang, dia jalan sore sebagai pengganti olahraga. Biar sehat. Dan Asuk Anyi memang nampak sehat. Sekalipun sudah tua waktu itu, tetapi, dia masih berjalan dengan tegap. Sekarang saya baru merasa heran: bagaimana Asuk bisa tahu bahwa olahraga sore itu sehat, padahal dia orang di Jongkong. Orang di Jongkong waktu itu belum mengenal jalan-jalan sore untuk kesehatan. Hanya orang kota yang kenal itu. Lebih hebat lagi, bagaimana Asuk Anyi bisa begitu disiplin melakukannya.
Setelah tidak lagi di Jongkong, saya tidak pernah mendengar tentang beliau lagi – karena tidak ada tema yang dibicarakan berkaitan dengan beliau. Bahkan, saya dan mungkin orang-orang di Jongkong lainnya tidak pernah mengingatnya.
Setelah dari Jongkong saya juga tidak pernah mendengar lagi ada panggilan “Asuk”. Ketika di Pontianak, saya bertemu dengan cukup banyak orang Tionghoa, saya memanggilnya Bapak, Toke, Keh, atau Akong. Tidak “Asuk”. Saya juga tidak pernah mendengar orang Tionghoa memanggil “Asuk” kepada orang tua. Ya, mungkin sebenarnya panggilan itu ada, tetapi karena situasinya berbeda dibandingkan Jongkong, maka panggilan “Asuk” tidak ketara terdengar.
Nah, hinggalah kemarin, saya mendengar adik saya menggunakan kata itu “Asuk” kepada lelaki yang bekerja di rumah mereka. Lalu, saya pun memanggil lelaki tua itu dengan “Asuk” juga.
Kami ngobrol banyak tentang kepercayaan orang Tionghoa dalam membangun rumah. Asyik sekali. Banyak hal yang saya baru dengar. Banyak pantang larang yang menarik ditulis di kemudian hari.
Selama ngobrol saya terus menerus memanggilnya “Asuk” tanpa mendalami makna sosialnya. Suatu saat saya akan mendalaminya. Tetapi, walau panggilan “Asuk” saya gunakan hanya sekadar ikut-ikutan, namun, panggilan ini membentangkan kembali lembaran kehidupan saya ketika di Jongkong, 20 tahun lalu. Jauh sudah rupanya! (29/1/2011)

Baca Selengkapnya...

Pilih Api atau Manusia?

Oleh: Yusriadi

Ulla Asri, fotografer Borneo Tribune memperlihatkan foto-foto kebakaran di Kapuas Besar kepada saya, Jumat (4/2) kemarin. Foto itu hasil bidikannya ketika api mengamuk pusat perbelanjaan itu Kamis (3/2).
Kemampuan Ulla memotret jelas sangat bagus. Karena itu, tidak heran, hasil bidikannya selalu menarik dilihat. Ada foto tentang pemadam dari berbagai yayasan sedang bekerja sama memasang kran. Ada foto petugas pemadam sedang menyemprotkan api. Ada foto api yang membara. Ada foto-foto sisa kebakaran. Ada foto warga yang mencoba mengambil barangnya di antara puing-puing.

Tapi dari sekian banyak foto itu, foto petugas menyemprot air melalui celah pintu besi (folding gate) yang tertutup, sungguh sangat mengesankan. Bukan soal bagaimana petugas berusaha memadamkan sisa-sisa api yang masih menyala. Juga bukan soal keberanian petugas tersebut.
Yang mengesankan saya adalah soal pintu yang dikunci. Menurut informasi Ulla dari petugas pemadam kebakaran, pintu dikunci telah membuat petugas agak susah melakukan penyemprotan ke dalam. Dan karena itulah api yang menyala Kamis itu, belum sepenuhnya padam hingga Jumat pagi. Api masih menyala di dalam bangunan di lantai bawah.
Pintu ruko dikunci pemilik ketika melarikan diri, karena mereka ingin menghindari penjarahan. Kemungkinan penjarahan sangat besar terjadi pada saat kebakaran. Sering sekali terjadi, di saat orang sibuk memadamkan api, di samping beberapa orang sibuk menyelamatkan harta benda, ada orang yang memanfaatkan kesempatan. Mencuri. Mereka ikut mengangkut harta milik korban kebakaran, seperti orang menolong, namun, sebenarnya mereka mengangkut harta orang dan tak mengembalikannya.
Inilah watak tercela orang-orang kita: suka aji mumpung. Melihat ada kesempatan, mengetahui orang lain lengah mereka bergerilya. Mereka tidak sedikitpun berempati terhadap penderitaan orang yang sedang mengalami musibah. Seboleh-boleh mereka menambah penderitaan itu. Mereka tidak peduli pada orang yang kehilangan rumah, kehilangan harta benda, malah, mereka menambahnya. Mereka tidak memiliki perasaan.
Jadi untuk menghindari kemungkinan inilah, pemilik mengunci pintu ruko mereka. Agaknya, pemilik berpikir daripada barang mereka menjadi sasaran pencurian, dari pada barang mereka diangkut orang, lebih baik barang dimakan api. Daripada mengenyangkan perut orang lebih baik memberi makan api.
Walaupun amat prihatin pada musibah yang menimpa mereka para korban itu, namun sikap mereka juga membuat prihatin. Prinsip dan cara berpikir seperti ini rasanya agak kurang sesuai dalam konteks hidup berdampingan, bersama.
Ah, andai ada orang yang bisa berprinsip: ambillah dari apa yang saya miliki pada saat-saat terakhir. Daripada dimakan api lebih baik dimakan manusia. Dimakan api pasti musnah, dimakan manusia tentu akan menjadi darah daging. Dimakan api akan jadi sia-sia, dimakan manusia akan menjadi ‘modal sosial’ dan ‘modal masa depan’.
Tetapi sebaliknya lagi saya segera menyadari, bahwa saya hanya pandai prihatin pada penderitaan orang. Saya hanya pandai meluahkan rasa mual kepada orang yang otaknya dipenuhi nafsu menjarah.
Pada akhirnya, saya hanya bisa menikmati gambar yang disajikan, melihat dari konteks sebagai seorang jurnalis. (5/2/2011) (*)



Baca Selengkapnya...

Inspirasi dari Borneo

Oleh: Farninda Aditya

Sabtu (22/01/11), di club menulis. Pertemuan kali ini, pembahasanya sama dengan minggu sebelumnya. Menulis resensi buku. Salah satu cara mudah untuk meresensi ialah membaca pengantar penulis. Karena, kita akan mendapat informasi, mengenai tujuan penulisan, kelebihan, jenis tulisan atau kekuranganya. Tapi perlu diingat. Hal ini bukan berarti kita mengambil isi pengantar sebagai tulisan dalam resensi.
Setiap orang membaca pengantar buku yang telah dipilihnya. Saya membaca buku, Inspirasi dari Borneo. Buku terbitan STAIN Press, yang berisi tulisan dari rubrik Suara Enggang di harian Borneo Tribune karya Yusriadi.
Benar, saya mendapatkan tujuan dari penerbitan buku, melalui kata pengantar itu. Buku ini memang kisah nyata, yang dialami oleh penulis. Kisah-kisah yang berasal lingkungan sekitar. Namun, kisah ini menyajikan gagasan-gagasan yang memberi inspirasi. Si penulis juga mendapat inspirasi menulis dari kisah yang dialaminya. Penulis bilang, gagasan yang ia dapati tak perlu disimpan sendiri, baik untuk dibagikan. Ingin yang lainnya ikut terispirasi.
“Ada banyak gagasan yang ingin disampaikan. Ada banyak pembelajaran yang dipesankan. Dan, ada banyak impian yang diidam-idamkan. Makanya, gagasan, pembelajaran dan impian tak boleh disimpan sendiri. Harus dibagikan dan dikongsi kepada orang lain,” begitu kata pengantar penulis.
Buku itu, terbagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama adalah Inspirasi dari Kampung. Inspirasi dari kampung, terbagi lagi dalam beberapa kisah. Seingat saya ada inspirasi yang berasal dari Sanggau Permai dan belajar dari orang Teluk Bakung.
Bagian kedua, Inspirasi dari Kota. Kisah yang berasal dari kota. Ada, Kampanye Menulis di SDN 20 Pontianak. Salah satu SD yang terkenal dengan kebersihanya di Kota Pontianak. Sekolah ini mendapat penghargaan dari bapak presiden SBY, karena berhasil menjaga kebersihan di lingkungan sekolahnya.
Bagian ketiga, ialah Inspirasi dari Masyarakat. Ya, memang banyak kisah-kisah menarik dari masyarakat kita. Terutama perpektif mereka. Misalnya; Kisah batu dalam celana. Salah satu cara, yang dipercayai masyarakat Pontianak sebagai penahan atau menunda si pengguna batu dalam celana untuk buang air.
Bagian ke empat, Inspirasi dari Kata. Katanya, bagian dari inspirasi ini ingin menunjukan bahwa ada kata dan rangkaian kata yang digunakan orang memiliki implikasi. Misalnya saja Kondom. Secara umum, dijual di apotik atau toko obat. Tapi, kondom yang dikisahkan. Kondom yang dijual di conter HP. Sederhana saja kisah-kisah yang dipaparkan oleh, penulis. Tapi, kisah sederhana itu berhasil mengundang inspirasi. Saya berani, berkata ini. Karena saya sudah mendapatkan inspirasi dari tulisan tersebut. Si penulis, berhasil. Berhasil menyentak inspirasi saya untuk keluar.
Inspirasi ini sebenarnya sama saja seperti jenis tulisan yang telah dibuat oleh penulis. Saya terinspirasi untuk membuat tulisan yang kisahnya sederhana. Tapi, memberi makna. Jika saya berhasil membuat tulisan seperti itu, saya juga ingin membukukannya. Wow, inspirasi saya keren juga ya?. Pontianak, 22.01.11. SKKP.

Baca Selengkapnya...