Senin, 30 Januari 2012

Bahasa Politik

Oleh: Yusriadi
Hari itu seorang kolega datang ke ruang saya dan menyampaikan gagasan besar. Ingin membuat buku.
Gagasan itu sempat membuat saya antusias. Ya, buku selalu penting dalam hidup saya belakangan ini. Sedikit-sedikit buku. Sedikit-sedikit buku. Buku adalah obsesi. Saya ingin menerbitkan buku sebanyak-banyaknya. Soal mutu, nanti dulu. Mutu bisa digarap sambil jalan. Alah bisa karena biasa.

Saya ingin begitu karena ingin menjadikan buku sebagai monumen bagi kehidupan. Setidaknya, jika saya meninggal dunia kelak, saya sudah meninggalkan tulisan dan mematri nama saya dalam beberapa buku. Mudah-mudahan, buku-buku yang saya buat ada gunanya bagi banyak orang.
Setidaknya dengan usaha dokumentasi sekarang ini, kelak jejak-jejak yang penting tentang kehidupan hari ini bisa diketahui generasi mendatang.
“Buku ini, dibuat untuk mendukung bapak….”
Dia menyebut nama seseorang. Nama itu saya kenal lewat koran. Kabarnya dia akan terjun ke dunia politik dan akan bertarung dalam pemilihan umum mendatang.
Byurrr. Semangat saya langsung meredup. Bak api diguyur air.
“Ahhhh… kalau yang begitu saya tidak mau ikut”.
“Bukan begitu … “ Bla… bla… kolega menjelaskan duduk persoalannya. Membujuk.
Saya menolak serta merta. Tak pakai basa-basi. Saya memilih tidak terjun ke dunia politik seperti itu. Politik bagi saya menyisakan bayangan yang tidak cerah. Apalagi kalau sudah bicara soal perebutan posisi dan kekuasaan.
Bagi saya kekuasaan bukan untuk diperebutkan. Kekuasaan itu amanah yang diberikan kepada seseorang yang memang layak menyandangnya.
Karena itu jika saya punya suara, saya akan memilih dan akan mendukung orang yang benar-benar layak didukung. Dukungan yang diberikan kepada orang yang biasa-biasa apalagi orang yang ambisius akan memberikan dampak yang tidak baik bagi masa depan. Saya tidak mau dipimpin oleh orang yang tidak layak memimpin. Sama seperti ajaran fiqh dalam agama saya: saya tidak boleh berimam kepada orang yang tidak memenuhi syarat sebagai imam. Apa syaratnya? Bacaannya paling baik, wara’ dan lebih tua umurnya. Dalam konteks kita, pemimpin yang didukung adalah pemimpin yang lisan, tindakan dan cara berpikirnya baik.
Mencari pemimpin seperti itu tidak susah. Kita bisa melihat track recordnya sehari-hari. Kita bisa menggali informasi tentang dia.
Karena itulah, saya tidak sepemikiran dengan kolega tadi yang ingin membuat buku untuk mempromosikan sosok tertentu dengan maksud agar terbentuk opini publik. Saya tidak ingin membuat sosok menjadi nampak baik sementara saya belum mengenal dia sebelumnya.
Sampai di sini saya jadi ingat beberapa teman saya merana karena uangnya mengalir bak air ledeng saat Pemilu. Penyauk datang berbondong-bondong mengaloikan dia, namun tidak benar-benar mendukungnya. Uang habis, suara tiada.
Saya tak sampai hati membuat (calon) politisi menerima nasib seperti itu. Kesihan.

0 komentar: