Senin, 30 Januari 2012

Pendidikan Karakter (1)

Oleh: Yusriadi

Jumat (23/12) kemarin, secara kebetulan saya bertemu dan mengobrol dengan seorang lelaki paroh baya. Dia orang Pontianak yang sekarang tinggal di sebuah perkampungan nelayan di Sambas. Kami bertemu di sekolah saat pembagian raport. Saya dan dia sama-sama mendampingi ponakan mengambil raport.
Kami bisa ngobrol karena kami duduk berdekatan. Dia sangat terbuka dan ramah. Dia mengatakan tentang anak-anaknya. Anak-anaknya berprestasi.

”Istri saya yang banyak mendidik anak. Istri saya keras. Anak-anak dipaksanya belajar. Kalau jamnya belajar dia harus belajar. Pintu dikunci. Nanti kalau sudah belajar baru kemudian anak boleh bermain. Hasilnya, anak-anak saya dapat rangking”.
Istri diandalkan karena lelaki paroh baya itu lebih banyak berada di laut. Pekerjaannya sebagai nelayan membuatnya tidak bisa mendampingi anak-anaknya di rumah.
Karena itu, nampaknya dia sangat bangga pada istrinya yang bisa mendidik anak. Istrilah yang diandalkan untuk mendidik anak.
Saya kira, beruntunglah dia. Beruntunglah istrinya.
Tetapi kemudian saya harus katakan bahwa anaknya juga beruntung memiliki ayah seperti itu.
Ya, saya bisa mengatakan begitu ketika dia menceritakan bahwa dia sudah tiga puluh tahun hidup sebagai pelaut. Dan, sebagai orang laut dia sudah pergi ke mana-mana. Sudah banyak negara yang dikunjunginya. Itu sisi senangnya.
Dari sisi lain, dia juga mengalami beberapa kejadian yang juga tidak bisa dilupakan. Sudah tiga kali dia tenggelam di laut.
”Waktu di Selat Makasar, saya terombang-ambing di laut selama 5 hari, di atas galon. Saya diselamatkan oleh nelayan”.
Dia menyambung cerita soal dampak kehidupan sebagai pelaut yang ke sana ke mari itu. Pelaut dan nelayan sering terkena penyakit. Menurutnya, penyakit pelaut ada tiga. Penyakit pertama, perempuan; penyakit kedua, minum; penyakit ketiga, judi. Pelaut kena penyakit ini.
Seraya dia menjelaskan penyakit itu satu persatu, saya jadi teringat suatu ketika saya memang pernah mendengar cerita-cerita mirip begini. Penyakit perempuan menyergap nelayan dan pelaut ketika mereka berlabuh di dermaga. Penyakit judi dan minuman keras menyerang mereka saat berada di tengah laut. Karena hal ini, makanya, kononnya, wanita-wanita yang beroperasi sebagai pelacur di kota-kota pelabuhan, lebih banyak terkena penyakit kelamin, dan HIV-AIDS.
”Saya hanya kena satu penyakit. Minum. Perempuan dan judi saya tidak ikut”.
Sekarang, katanya, dia sudah berusaha berhenti. Tidak lagi minum minuman keras. Dia berhenti dengan susah. Maklum, kawan-kawan masih terus mengajak. Kawan-kawan juga menyindir.
”Saya dikata mulai alim oleh kawan-kawannya”.
Yang membuat saya tertarik, dia menyebutkan kalau dia bisa berhenti minum karena dia malu sama anak-anak. Dia berhenti bukan karena khawatir terkena penyakit atau berhenti karena mulai insyaf bahwa agama telah melarangnya.
”Saya malu dengan anak-anak. Mereka sudah besar. Malu kalau sampai ditegur anak-anak”.
Pengakuan bahwa dia malu pada anak menunjukkan bahwa keberhasilan anak meraih prestasi berkat didikan sang istri, berkelindan dengan pengembangan nilai-nilai hidup dalam keluarga ini. Dan, bapak paroh baya itu memperlihatkan bagaimana dia menghormati nilai-nilai itu.

0 komentar: