Senin, 30 Januari 2012

Pendidikan Karakter (3)

Oleh: Yusriadi

Hari itu, saat membuka acara Gempita Ekonomi Kreatif yang diselenggarakan Harian Borneo Tribune – Tribune Institute-HIPMI Kalbar di Kampus Untan Pontianak, Pembantu Rektor I Untan, Dr. Abu Bakar Alwi menyebutkan contoh kebersamaan orang Jepang. 12 orang ambil master, ke mana-mana sama. Akhirnya, pola pendidikan ini membuat semangat kolektif Jepang menonjol.
“Kenyataan ini sangat berbeda dibandingkan kita. Orang kita, ramai, hakikatnya sendiri,” katanya.

Dr. Abu Bakar Alwi ingin ada perubahan budaya. Ada perubahan di kalangan mahasiswa.
Apa yang disampaikan Dr. Abu Bakar Alwi merupakan kritik dan juga otokritik terhadap penyelenggara pendidikan di perguruan tinggi. Kalau kenyataan yang disampaikan Abu Bakar benar, dan itu tentu benar, maka metode pendidikan kita harus dievaluasi. Apakah metode pendidikan di semua level telah mengarahkan peserta didik ke arah kesadaran kolektif. Atau, sebaliknya, bagaimana mengarahkan peserta didik ke arah hidup individualistik ke arah yang mengedepankan kolektivitas.
Saya memberi catatan pada Dr. Abu Bakar Alwi. Beliau sudah memiliki kesadaran menuju kolektivisme. Kesadaran ini pasti bisa menjadi bekal untuk melakukan perbaikan ke depan. Apatah lagi beliau memiliki kekuasaan untuk mengubah. Sebagai Pembantu Rektor I, beliau memiliki kewenangan untuk membina dosen, sehingga pada akhirnya, dosen-dosen itu kelak bisa mendukung program yang beliau susun.
Tentu saja tidak begitu mudah. Sering kali dosen dengan dalih otonomi dosen, memiliki ego yang kuat. Mungkin ada bantahan.
Tetapi saya percaya, kedudukan Abu Bakar Alwi sebagai Pembantu Rektor I Untan akan membuat yang tidak mudah itu menjadi mudah. Adakah dosen sebagai bagian tugas fungsional seorang pegawai negeri nekad membandel pada atasannya?
Lagi, tak mungkin dosen-dosen akan ’degil’ amat menolak sesuatu yang baik. Bukankah dosen adalah agen perubahan? Bukankah mereka insan pembelajar?
Jika dosen bukan agen perubahan, tak mau berubah dan bukan seorang insan pembelajar, maka lebih baik dia menjadi batu saja. Terlalu bahaya dosen yang seperti itu. Mereka berbahaya karena mereka akan mempengaruhi mahasiswa-mahasiswa yang datang hendak belajar di perguruan tinggi.
Ingat kata pepatah: guru kencing berdiri, anak-anak kencing berlari.



0 komentar: