Minggu, 19 Februari 2012

Membaca Kerusuhan di Tayan 1997

Oleh: Yusriadi
Saya sedang membaca tugas mahasiswa satu persatu. Dari 40 lebih tugas itu, ada sebuah tugas yang sangat menarik perhatian saya. Pertama, tugas itu dijilid lebih tebal dibandingkan tugas yang lain. Jilid yang lebih tebal itu membuat tugas ini mencolok perhatian.


Kedua, setelah saya baca isinya, hal yang ditulis mahasiswa dalam tugas ini adalah cerita pengalaman pribadi saat dia terjebak dalam kerusuhan 1997. Tentu saja peristiwa itu adalah peristiwa besar dan penting dalam perjalanan Kalbar.
Saya mulai membaca. Ceritanya, mahasiswa itu ingin pulang ke kampung istrinya di daerah Tayan, Sanggau, merayakan lebaran bersama keluarga. Dia menceritakan bagaimana duka perjalanan hingga sampai di kampung. Perjalanan ditempuh melalui motor air dengan susah payah: penumpang bersesakan.
Dia menggambarkan bagaimana ketegangan demi ketegangan melanda dia dan orang-orang di sekitarnya. Ketegangan selalu muncul ketika mereka mendengar cerita dari mulut ke mulut mengenai perkembangan kejadian.
Ketegangan muncul ketika melihat orang-orang yang bersenjata parang, tombak dan senapang lantak, melakukan razia. Ketegangan juga muncul ketika mereka menemukan mayat-mayat bergelimpangan dengan keadaan yang mengenaskan.
“Ketika kembali ke rumah, kami makan. Istri memasak ayam. Pada saat melihat ayam, saya menjadi teringat jenazah-jenazah yang ditemukan di hutan di seberang sungai. Saya mual. Selera makan langsung hilang”.
Begitu dia menggambarkan bagaimana dampak batin peristiwa itu. Dia menggambarkan kejutan mental (shock) yang dialami setelah dia bersama sejumlah warga menguburkan mayat-mayat itu.
Dampak psikologis lain digambarkannya dalam penutup.
“Saya sebenarnya tidak ingin menulis cerita mengenai kejadian ini…. Namun, cerita ini harus ditulis agar orang-orang sadar untuk tidak menciptakan kerusuhan lagi. Ketegangan yang muncul sepanjang masa kerusuhan telah membuat orang hidup dalam kecemasan dan ketakutan.”
Dampak seperti ini memang sangat mudah dipahami. Siapa yang tidak terpengaruh oleh peristiwa seperti itu? Tidak ada. Pasti ada pengaruhnya. Siapa orang yang tidak cemas ketika memikirkan setiap saat mereka mungkin menjadi korban salah sasaran. Siapa yang dapat menghapus bayangan tragis di depan mata dalam sekejap?
Cerita panjang yang ditulis mahasiswa membius saya dalam kenangan buruk itu. Meskipun saat kerusuhan 1997 saya sedang tidak ada Kalbar namun saya seperti melihat gambar kerusuhan diputar kembali. Saya menjadi ikut tegang dan juga cemas. Saya bisa membayangkan jika terperangkap situasi seperti yang digambarkan penulis.
Memang, saya yang mendorong mahasiswa untuk menulis. Saya meminta mereka menulis peristiwa yang paling mengesankan dalam hidup mereka. Menulis peristiwa yang dijalani sendiri akan lebih mudah karena bahannya tidak perlu dicari-cari lagi. Semuanya sudah ada di dalam memori dan langsung menuangkannya. Bandingkan jika mereka harus menulis berdasarkan bahan lain. Jangan-jangan pilihannya mereka memungut dari internet begitu saja, atau mengupah orang lain membuatnya.
***
Lalu, soal kerusuhan, saya kerap kali minta orang di sekitar saya menuliskannya. Saya meminta mereka yang terlibat dalam peristiwa, mereka yang menjadi saksi sejarah, mendokumentasikannya. Sekarang! Sebelum ingatan mereka terhapus satu persatu.
“Profesor A dan B sudah menulis tentang kerusuhan 1997 dan 1999. Mereka mengatakan begini dan begini. Namun, mereka bukan orang yang mengalami langsung. Mereka hanya mendapatkan gambaran dari cerita orang lain. Jika Anda terlibat langsung, maka tulislah. Berikan gambaran secara detail. Tulisan Anda akan menjadi dokumentasi sejarah di tahun-tahun yang akan datang. Mungkin dari tulisan Anda orang akan mendapatkan gambaran sisi lain peristiwa itu dibandingkan dengan yang sudah ditulis. Dan ingat, kerusuhan 1997 dan 1999 adalah peristiwa besar dalam sejarah Kalbar”.
Begitu saya mendorong orang di sekitar saya untuk menulis. Saya selalu beranggapan menulis peristiwa seperti kerusuhan 1997 dan 1999 adalah hal penting untuk memotret peristiwa besar itu di kemudian hari. Tulisan itu akan menjadi pembelajaran bagi generasi mendatang dan pasti akan penting bagi peneliti hubungan antar etnik.
Saya pernah mendengar sebagian orang beranggapan bahwa menulis hal itu bisa membuka luka lama. Dan, karena itu mereka dilanda ketakutan dan kekhawatiran.
Tetapi bercermin dari tulisan Pastor Josef Herman Van Hulten dalam buku “Hidupku Diantara Orang Dayak” saya rasa tidak. Pastor Herman dalam buku itu salah satu bagiannya menceritakan bagaimana dia ketika terperangkap di jalan dalam aliran massa yang sedang bergerak saat melintasi di sekitar Sungai Pinyuh. Pastor itu menceritakan bagaimana massa berteriak, menggambarkan bagaimana rumah terbakar dan juga kematian. Namun, rasanya walaupun tulisan itu sudah lama diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, namun tidak membuat orang yang membacanya marah. Semua orang sudah menyadari bahwa peristiwa itu sudah terjadi dan masing-masing sudah melupakannya. Masing-masing sudah berpikir bahwa peristiwa itu adalah masa lalu yang telah terjadi dan jangan diulangi lagi.
Malah yang banyak saya dengar kemudian, orang yang meneliti sejarah Cina di Kalbar tidak akan melewatkan buku ini untuk memahami posisi Cina di Kalbar di masa lalu. Apatah lagi peneliti yang melakukan studi tentang relasi Cina-Dayak. Mereka memahami peristiwa itu sebagai bagian dari dinamika hubungan –ada pasang surutnya.
Jadi kiranya untuk kepentingan akademik, dokumentasi seperti ini justru dirasakan sangat penting dilakukan. Jika Anda tidak melakukan itu, pasti orang lain yang melakukannya.

0 komentar: