Selasa, 03 April 2012

Filosofi Tanam Durian

Oleh: Yusriadi
Seorang dosen mengingatkan saya pada “filosofi menanam durian” saat kami berbincang tentang pencapaian dan prestasi dalam hidup.
Katanya, kita hidup mesti selalu ingat dengan filosofi orang tua dahulu ketika menaman durian. Orang tua dahulu ketika menanam durian di bekas ladangnya sering kali tidak berpikir apakah kelak dia akan makan durian yang dia tanam atau tidak.
“Dia tanam saja ketika melihat ada lahan kosong, melihat ada bibit atau biji”.
Lalu, bibit durian yang dia tanam tumbuh. Dia pelihara.

Tetapi sering kali, orang tua yang menanam itu tidak bisa memakannya. Karena dia sudah semakin tua saat durian berbuah, karena dia kolestrol tinggi, mungkin juga karena dia sudah meninggal. Orang tua tidak terlalu memikirkan diri sendiri soal menanam itu.
Jika dia memikirkan diri sendiri mungkin dia tidak akan mau menanamnya, karena besar kemungkinan dia tidak bisa menikmati apa yang dia tanam. Yang menikmati adalah anak cucunya. Bahkan mungkin, orang lain yang tidak dikenalnya.
“Begitulah filosofinya. Dalam kehidupan kita, sebisa mungkin kita berpikir seperti orang tua itu, menanam untuk anak cucu, tanpa memikirkan diri sendiri”.
Sembari sang dosen menceritakan perjalanan hidupnya untuk menguatkan konsep filosofi menanam durian, saya teringat nasehat yang diberikan bapak saya.
Dahulu, waktu saya masih muda, bapak saya juga pernah menasehatkan hal yang kurang lebih sama. Bapak selalu mengingatkan bekerja dengan ikhlas. Bekerjalah sebisa mungkin, tidak memikirkan imbalan yang diperoleh dari pekerjaan itu. Jangan pikirkan akan mendapatkan apa. Jangan pikirkan akan diberi apa.
“Insya Allah, jika kerja bagus maka kamu akan dapat hasilnya. Jika tidak sekarang nanti. Kerja jangan bereken”.
Nanti, maksudnya adalah besok, lusa, minggu depan, bulan depan, mungkin tahun depan. Mungkin juga nanti setelah meninggal. Kata bapak, urusan imbalan itu tidak usah dipikirkan karena itu urusan Tuhan. Tuhan Maha Tahu.
Orang tidak akan bahagia hidupnya jika dia memikirkan imbalan saat bekerja. Karena dengan begitu dia tidak dapat menikmati pekerjaannya. Bahkan mungkin pekerjaan yang dilakukan karena imbalan akan mendatangkan beban. Beban itu membuat orang tidak dapat menikmati pekerjaan. Orang yang tidak dapat menikmati pekerjaan dia akan menderita. Tidak bisa bahagia.
Teringatlah saya pada nasehat Mario Teguh yang saya tonton pada acara Golden Ways di Metro TV beberapa waktu lalu. Katanya, pekerjaan harus dinikmati. Ikhlaslah saat bekerja. Jika ikhlas, kita akan bahagia. Dia juga mengingatkan kebahagiaan itu ada dalam proses, bukan pada tujuan.






0 komentar: