Selasa, 03 April 2012

Mendorong Perubahan

Oleh: Yusriadi
Saya sangat terkesan pada diskusi kecil yang kami laksanakan bersama Pak Maladi Noor dan Ibrahim, beberapa bulan lalu. Kedua orang itu adalah dosen yang memiliki pengalaman melakukan bimbingan terhadap mahasiswa. Khususnya Pak Maladi, dia juga memiliki pengalaman dalam soal perencanaan karena pernah berkecimpung di birokrasi. Dia pernah menjadi pejabat Humas di Pemkot Pontianak beberapa tahun lalu. Selain itu, Pak Maladi juga pernah belajar program master di Australia.

Hari itu saya, Pak Maladi Noor dan Ibrahim membicarakan banyak hal berkaitan dengan apa yang harus dilakukan dosen untuk peningkatan kapasitas mahasiswa. Kami membicarakan perubahan metode mengajar dan saling tukar pengalaman bagaimana cara membuat mahasiswa bisa belajar maksimal.
“Kita harus selalu belajar dan menggali pengalaman orang lain dalam hal meningkatkan kualitas pembelajaran. Kasihan mahasiswa datang dan belajar tetapi mereka tidak mendapatkan apa-apa,” kata Pak Maladi bersemangat.
Tapi, meskipun menyetujui perlunya perubahan atau pembaruan dalam mengajar, namun Pak Maladi menekankan bahwa perubahan juga tidak bisa dilakukan serta merta dan drastic. Perubahan yang drastic akan membuat terkejut. Selain itu, perubahan juga tidak perlu buru-buru dilakukan sebelum mengkaji benar-benar apa yang akan diubah.
Nasehat ini mengingatkan sebuah prinsip Khonghucu yang selalu saya kenang. Jangan pernah merobohkan sebuah tembok sebelum kamu tahu untuk apa dahulu tembok itu dibangun. Bisa jadi tembok itu sebenarnya sangat penting untuk melindungi kamu dari ancaman srigala, dll.
Prinsip ini menjadi pegangan dalam menggagas sebuah perubahan, agar tidak menyesal dan tidak salah. Prinsip ini juga akan membuat kita tidak terburu-buru menyalahkan orang lain saat mereka mengambil sebuah keputusan.
Mengabaikan prinsip ini sering kali membuat orang bolak-balik dalam lingkup perubahan yang di situ-situ saja. Trial and error. Bak kata, hari ini mereka merobohkan tembok, lalu beberapa tahun kemudian mereka terpaksa harus membangun tembok itu kembali. Jika yang seperti ini terjadi, jelas perubahan yang digagas hanya menciptakan suasana berbeda dan menumbuhkan dinamika, tetapi tidak memberikan nilai tambah. Justru sebaliknya, keputusan seperti ini rugi dari sisi waktu karena perubahan tidak membuat kemajuan. Bukankah ada prinsip, hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Jika hari ini sama dengan hari kemarin, maka kita rugi. Dan, jika hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka kita celaka.
Rasanya, kalau diingat-ingat, kita sekarang ini lebih sering memilih menjadi orang yang rugi dan mungkin sesekali dengan sadar memilih menjadi orang yang celaka.
Lihat saja bagaimana hebatnya kita atau orang di sekitar kita mengeritik sebuah kebijakan dan kemudian mengubah kebijakan itu. Padahal, kita belum benar-benar memahami mengapa dahulu kebijakan itu dibuat. Kita menjadi orang yang sangat getol mengeritik. Pikiran kita dipenuhi dengan keinginan mengeritik, mengeritik dan mengeritik. Kita senang melihat orang terjatuh karena kritik. Kita senang melihat orang terhempas setelah dikritik. Alhasil, kehidupan kita hanya dipenuhi oleh ‘hawa’ itu dan akhirnya kita menjadi sukar untuk bergerak maju.

0 komentar: