Selasa, 03 April 2012

Mengapa Menolak Sawit?

Oleh: Yusriadi

Saya bertemu dengan seorang teman lama kemarin. Dia menceritakan, saat ini dia sedang mengumpulkan berita koran tentang sawit. Dia ingin mendalami soal itu.
”Di kampung kami sekarang sedang rame soal sawit. Saya mau tahu”.
Panjang cerita, ternyata teman ini termasuk kelompok muda yang menolak sawit. Sawit menurutnya tidak bagus. Merusak alam dan menyengsarakan rakyat.
”Kalau sudah ditanami sawit tanah jadi mati. Tak ada tanaman yang tumbuh”.

”Wah”. Saya berguman dalam hati.
Sudah lama saya mendengar orang menolak sawit. Ada yang menolak sawit karena mereka menilai sawit merusak lingkungan. Sawit memerlukan banyak air sehingga air di sekitar akan kering. Sawit membunuh tanah, sehingga tanah di sekitar tanaman sawit akan ’mati’ dan tak ada tanaman yang mau tumbuh.
Ada yang menolak sawit karena perusahaan sawit mengambil tanah rakyat. Perusahaan sawit membuat rakyat lokal menjadi buruh kasar, sedangkan sektor kerja kantoran perusahaan ditangani tenaga kerja luar.
Ada yang menolak sawit karena truk-truk sawit yang lalu lalang merusak jalan. Truk bermuatan tandan buah sawit telah membuat lubang-lubang jalan.
Ada lagi yang menolak sawit karena perusahaan sawit membeli sawit warga dengan harga murah. Masyarakat merasa percuma dan kemudian marah.
Pokoknya, ada bermacam-macam alasan yang pernah saya dengar berkaitan dengan sikap anti sawit. Karena itu saya ingin mendengar kelanjutan cerita teman soal sawit.
Di tengah cerita panjang itu, tiba-tiba terlintas dalam bayangan saya pohon sawit di sepanjang paralel tol di Pontianak. Antara jembatan Kapuas I dan Tol Landak terdapat pohon sawit, di kiri dan kanan jalan.
”Tapi mengapa di bawah pohon sawit di kiri kanan paralel tol bisa banyak yang tumbuh? Macam.”
Dahulu, beberapa tahun lalu, yang tumbuh di bawah pohon sawit di kota itu hanya jenis rumput liar. Lalu, hari demi hari yang tak teramati, tiba-tiba di sana tumbuh gubuk-gubuk kecil yang menjadi kios tempat orang usaha. Ada yang usaha bengkel. Ada usaha minuman. Di beberapa pohon sawit yang lain tumbuh bunga, bambu dan bahkan pisang.
”Bisa gak masih tumbuh”.
Teman saya tercenung mendengar saya membantah argumentasi dia dengan memaparkan contoh itu.
”Eh, iya ke?” Dia mulai ragu.
”He.eh, benar. Kalau tak percaya tengok ke sana. Lewat lampu merah ke Tanjung Raya, sudah nampak pohon sawitnya”.
Contoh apa yang terjadi di bawah pohon sawit di paralel tol memang contoh yang paling lengkap untuk mencerminkan apa yang bisa tumbuh di bawah pohon sawit. Contoh ini merupakan antitesis terhadap tesis yang mengatakan sawit tidak baik dan menyengsarakan.
Mungkin saya tidak sependapat dengan pandangan itu karena saya terlalu terpengaruh oleh pandangan beberapa orang teman yang mengatakan bahwa usaha sawit menguntungkan. Orang yang memiliki kebun kelapa sawit hidupnya lebih enak: pemeliharaannya tidak terlalu rumit. Jika sudah masanya, panen juga sesekali. Karena itu teman pegawai negeri di kampung-kampung yang dekat perkebunan sawit pasti memiliki investasi di kebun ini untuk masa depan, untuk pergi haji, untuk tambahan pendapatan agar anak bisa sekolah setinggi-tingginya, untuk lain-lain.
Malah mereka mengajak saya. ”Jika mau enak di hari tua, kamu investasi sawit saja. Biar saya urus”.
Hm.... benar gak ya?

0 komentar: