Selasa, 03 April 2012

Meningkatkan Mutu Dosen Indonesia

Oleh: Yusriadi
Saat peserta Jakarta Lawyer Club TVONE sedang mendebatkan soal premanisme di Indonesia, Prof. JE Sahetapy membuat saya terperangah. Profesor yang sangat terkenal dalam dunia hukum pidana ini menyempatkan diri memberi komentar tentang kebijakan Dirjen Pendidikan Tinggi soal jurnal ilmiah bagi mahasiswa. Akademisi ini berpendapat kebijakan ini harus diikuti dengan peningkatan mutu dosen. Karena menurutnya, mutu dosen sekarang ini kurang.
“Bahasa Inggris saja tidak bisa”.

Katanya, kalau dosen sudah bermutu, mahasiswanya tentu akan bermutu juga.
Mendengar komentar itu, saya jadi berpikir, benarkah mutu dosen sekarang ini kurang? Benarkah mengukur mutu dosen itu dari sisi keterampilan berbahasa Inggris? Benarkah dosen bermutu akan melahirkan mahasiswa bermutu?
Mungkin penilaian profesor ini benar. Mungkin memang benar bahwa dosen sekarang ini kurang bermutu. Mungkin juga benar mengukur mutu dosen itu dari keterampilan berbahasa Inggris. Mungkin juga benar bahwa dosen bermutu akan melahirkan mahasiswa bermutu.
Tetapi kalau mengikuti cara berpikir profesor ini, tentu akan ada diskusi panjang soal mutu dosen dan bahasa Inggris. Rasanya, jika dibandingkan dahulu, rasio dosen yang bisa berbahasa Inggris pastilah lebih banyak sekarang ini. Secara kasat mata kita bisa melihat ada pertambahan jumlah yang signifikan orang-orang di sekitar kita yang bisa berbahasa Inggris dibandingkan dahulu, 10 tahun atau 20 tahun lalu. Jadi, kalau mengukur mutu dosen dari bahasa Inggris, maka seharusnya mutu dosen sekarang bukannya kurang, tetapi meningkat.
Belum lagi bicara mutu mahasiswa sekarang. Rasanya, mahasiswa sekarang tak kurang mutunya. Prestasi mahasiswa mencuat di sana- sini. Tidak saja diakui nasional tetapi juga internasional. Saya mengukur mahasiswa di sekitar saya saja: sekarang ini mereka lebih rajin membaca dan menulis. Karya tulisan mereka malah kadang lebih mantap dibandingkan dosen mereka. Banyak mahasiswa yang saya kenal sudah punya buku sendiri. Bandingkan mahasiswa periode saya dahulu. Tidak ada orang di sekitar saya yang mencapai taraf itu!
Tetapi mengingat karya yang saya jadikan ukuran, saya teringat keheranan salah seorang profesor yang mengajari saya Linguistik Komparatif. Dia mengatakan koleganya bernama Profesor Robert Blust salah seorang ahli linguistik komparatif bahasa di Nusantara ini memiliki sedikit terbitan. Padahal temuan-temuannya sering dikutip oleh profesor lain. Kapasitas Robert Blust juga diakui, kedalaman ilmunya disegani. Karena itu jangan mengukur Robert Blust ini dari karya tulisnya.
Lalu? Agaknya saya harus sampai pada kesadaran bahwa penilaian kualitas orang mesti dilakukan dengan hati-hati dan cermat. Menjudge seseorang tidak berkualitas mungkin lebih baik ditahan-tahan dahulu.
Kisah yang pernah diceritakan seorang khatib pada suatu kesempatan mungkin bisa menjadi pembelajaran. Diceritakan seorang nabiyullah yang diminta mencari makhluk yang lebih buruk dibandingkan dirinya. Lalu sang nabi berjalan di pasar. Dia melihat seorang pengemis. Semula dia berpikir pengemis itu lebih buruk dibandingkan dirinya. Ada beberapa perbandingan. Dia ingin membawa pengemis itu. Namun, sebelum niatnya terlaksana dia sempat menepis pikiran itu. Dalam beberapa hal pengemis itu masih lebih baik dibandingkan dirinya.
Dia berjalan lagi. Di perjalanan dia melihat seekor anjing kurap yang mengais-ngais sampah mencari makan. Dia ingin menangkap anjing itu. Dia berpikir, tentu anjing kurap lebih buruk dibandingkan dirinya. Tetapi, sebelum dia sempat menangkap anjing itu sisi lain pikirannya membantah. Tidak, anjing itu lebih baik dibandingkan dirinya.
Pada akhirnya, dia kembali pulang dengan hampa, dan melaporkan bahwa menurutnya tidak ada makhluk lain yang lebih jelek dibandingkan dirinya.
Apa yang terjadi? Justru orang yang memberi perintah memuji sang nabi.
“Untung kamu tidak menemukannya. Kalau kamu mengatakan orang lain lebih buruk dibandingkan kamu, itulah tandanya ada kesombongan di hatimu. Hampir saja kamu termasuk dalam kelompok orang-orang yang sombong”.
Bagaimana kita?

0 komentar: