Oleh Yusriadi
Beberapa hari lalu saya disibukkan oleh bunyi [e]. Ihwalnya sepele. Saya mencari obat sakit tifus. Obat itu namanya : vermint. Saya menyebutnya [permin] –dengan e-pepet.
Saya singgah di 2 toko obat. Di Jalan Gusti Hamzah, dan di Kota Baru. Saya juga mampir di Apotik di Sutomo.
Di tiga tempat itu saya bertanya sama:
“Ada jual permin, ndak?”
Di tiga tempat itu, semuanya minta saya mengulang ucapan. Langsung dan tidak langsung.
Penjaga toko obat di Jalan Gusti Hamzah, seorang lelaki paroh baya, tidak jelas pendengarannya.
“Apa?”
“Permin”.
“Apa? Permen?”
Lelaki itu menekankan bunyi [e] di suku akhir [men] dengan bunyi [e] bunyi taling.
“Permin”.
Tentu saja saya harus mengulang lagi [permin], karena jika tidak, maknanya menjadi lain. Saya kira, dalam bayangan penjual yang saya cari itu permen atau gula-gula. Saya tidak mencari benda itu. Makan gula-gula juga saya sudah jarang, karena takut. Takut kencing manislah, takut batuk, dll.
Saya melihat penjual itu melongo. Apa karena saya salah ucap, atau dia memang tidak familier dengan obat itu.
“Itu… obat untuk sakit tifus”.
Dia masih belum nyambung. Ah, saya jadi ingat pengalaman Prof. Jim, pembimbing saya tentang pedagang di Kota Pontianak. “Pedagang di Pontianak kebanyakan tidak mengerti barang yang dijualnya. Mereka hanya menjual, tidak bisa ditanya. Susah”.
Ah, mungkin penjual obat ini termasuk dalam kelompok pedagang itu. Dia hanya menjual obat, tetapi tidak mengerti tentang obat-obat yang dia jual. Nasib pembelilah mengira-ngira sendiri obat apa yang harus dibeli.
Karena toko obatnya kecil, saya bias menyapu pandangan dari ujung ke ujung rak. Tidak ada. Dia tidak jual obat yang saya cari dan dia tidak tahu juga tentang vermint.
“Ya, udah. Permisi ya”.
Kemudian saya mampir ke apotik di Jalan Sutomo. Saya sering beli obat di sini karena harganya agak murah. Saya pernah membandingkan harga obat yang sama di apotik ini dengan apotik di Tanjung Pura. Selisihnya sampai Rp 6 ribu. Karena itu saya singgah di sini biar bisa saving. Lho, kalau ada tempat yang lebih murah mengapa cari yang mahal.
“Mba’, ada jual permin, ndak?”
“Apa?”
“Permin, obat tifus yang dari cacing itu”.
“Oo… permin”. Dia menekankan bunyi [e] dengan bunyi taling. Bukan bunyi pepet.
“Ya, per-min”. Saya sengaja mengejanya dengan cara dia menyebutkannya.
Dia segera mencari di rak yang terdapat di belakangnya.
“Di mana ya?”
Dia mencari di bagian bawah. Menyapu pandangan di beberapa rak.
“Biasanya di bagian itu”.
Saya mencoba mengingatkan dia tempat biasanya vermint diletakkan. Rak bagian tengah agak ke tepi. Tidak ada.
“Kosong, Pak”.
Saya meninggalkan apotik itu. Lalu di depan SPBU Kota Baru saya singgah di sebuah toko obat.
Seorang penjaga, anak kecil melayani saya.
“Cari apa ya?”
“Saya cari permin”.
“Apa?”
“Permin”.
Cepat dia menjawab, “Tidak ada”.
Saya jadi ragu. Apakah dia cepat menjawab karena saya salah ucap atau karena dia tidak tahu. Maklum, masih budak-budak. Mungkin SD atau SMP.
“Itu obat yang dari cacing, untuk sakit tifus”.
“Tidak ada”.
“Tidak ada?”
Saya mengulang kata itu dalam hati. Aneh juga toko obat dan apotik tidak ada stok itu. Apakah banyak pembeli? Apakah orang yang menderita sakit tifus meningkat?
Saya mungkin agak sedikit kecewa karena tidak mendapatkan barang yang saya cari. Namun, saya merasa beruntung mendapat pengalaman menarik ini. Pengalaman ini menambah keyakinan saya bahwa bunyi e-pepet dan e-taling dalam bahasa Indonesia cukup penting. Mungkin pengambil kebijakan yang menyatuhkan bunyi /e/ dahulu lupa mempertimbangkan hal itu, karena mereka berpikir untuk kepentingan penyederhanaan bahasa Indonesia.
Selasa, 14 September 2010
Gara-gara Bunyi [e]
Diposting oleh Yusriadi di 07.33
Label: Penyelidikan Bahasa, Suara Enggang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Ass....
Kaya'nye orang Melayu harus ade yg buka Apotik nie, biar tak salah mulu....hehehehehe.....
Bahasa Indonesia sering diremeh-temehkan,padahal bahasa resmi negri ini.....
Mulai dari SD, guru yang mengajar rasanya tak begitu faham dgn materi b.Indo yang diajarkan....Tapi, hal ini ternyata sampai di perkuliahan....
Pengajar B. Indonesia waktu semester 1-2 lalu ternyata juga bukan orang yang faham bahasa...
(Ini sesuai ape yang saye rasekan jak Pak.....)
Posting Komentar