Rabu, 29 Agustus 2007

Melihat Orang Dayak di Kalbar Hari Ini

Oleh Yusriadi



Bagaimana orang Dayak di Kalbar hari ini? Bagaimana keseharian mereka? Bagaimana lingkungan tempat mereka tumbuh?


Kampung Selupai sepi. Kami singgah di staigher di pinggir sungai Empanang, Kapuas Hulu, tempat yang khusus disediakan untuk perahu singgah dan penumpang naik. Di steher itu –begitu disebut, tertambat perahu, speedboat dan kapal motor berdinding dan beratap ukuran 5 ton. Di sana juga tertambat jamban tempat mandi.
Setelah naik tangga di tebing sungai Empanang itu, kami berhenti di pendopo. Dari arah pendopo menuju jalan utama terhubung jembatan kayu (papan). Pas di ujung jalan terdapat gereja dan sekolah dasar. Di jalan saya lihat ada babi berkeliaran.
Kami bertiga –saya bersama dua teman lain datang ke sini untuk mengumpulkan daftar kata bahasa Kantuk varian Selupai.

***

Di Selupai, rumah penduduknya terpisah, dalam bentuk rumah tunggal. Sekalipun di bangun di dataran yang agak tinggi namun semuanya bertiang. Tinggi tiangnya kira-kira 1 meter dari permukaan tanah. Ada tangga dari papan (kayu), ada tanjuk --jungkar bahasa Melayu. Rumah orang Selupai sebagian dari bahan kayu, sebagian lagi dari bahan semen. Begitu juga dengan atap, sebagian beratap kayu (sirap) ada juga yang beratap zeng.
Keadaan isi rumah yang kami naiki memperlihatkan cita rasa rumah perkotaan. Isi rumah ada kursi tamu, ada juga lemari yang dibeli dari ‘kota’.
Bagi saya, sepintas lalu situasinya seperti kebanyakan kampung Melayu yang pernah saya kunjungi. Bahkan jika di kampung ini dibangun masjid, tidak ada babi berkeliaran, sudah pasti saya akan menganggap kampung ini kampung Melayu.
Kami dihidangkan dengan kopi, minuman paling lazim di kampung.
Setelah berkenalan dengan tuan rumah, baru saya tahu kalau tuan rumah bukan asal orang Selupai, bukan pula orang Kantuk. Dia orang Desa, yang menikah dengan orang Kantuk. Yang orang Kantuk rupanya anaknya. Tetapi saya tidak terlalu heran dengan keadaan ini. Saya biasa menemukan suku bapak atau ibu berbeda dengan suku anak. Anak cenderung dianggap bersuku sama dengan di mana dia tinggal, bukan ikut garis bapak dan bukan juga ikut garis ibu.
Mereka juga menceritakan biasa bagi orang di sini menikah dengan orang dari kampung lain.
Di kampung Kantuk yang lain saya bertemu dengan orang Taman, atau orang Sejiram.
Sampai-sampai saya berkesimpulan adalah biasa bagi orang pedalaman pindah dari tempat ke tempat lain, dari satu kampung ke kampung lain. Konsep terisolasi bukan berarti orang Dayak terkungkung pada satu tempat. Malah mungkin sesungguhnya migrasi orang di pedalaman lebih rancak dari yang dibayangkan orang.
Bahasa orang di Selupai berbeda dibandingkan bahasa orang Kantuk pada umumnya. Sebelum ini saya berkesimpulan bahasa orang Kantuk itu ‘satu’ saja. Ternyata tidak. Sebab di Selupai bahasanya berbeda dengan Kantuk lain. Ciri pembeda mudah dikenal dengan bunyi [r] geseran. Kebanyakan orang Kantuk memperlihatkan [r] getaran. Oleh sebab itu ada yang mengatakan pada saya, bahasa Kantuk di sini mirip dengan bahasa orang Melayu yang tinggal di kampung tetangga.

***

Enam bulan lalu. Motor saya kehabisan bensin di Jalan Karet, Pontianak. Saya menyeretnya menuju sebuah kios bensin terdekat. Kios buka namun tidak ada penjaga. Terpaksi berteriak memanggil.
Seorang wanita paroh baya keluar dari dalam rumah. Untuk membuka percakapan, saya bertanya padanya.
“Lagi apa?”
“O, itu lagi nganyam manik,” aku wanita tersebut.
Saya tentu sangat terkejut. Saya tidak membayangkan manik-manik khas Dayak yang kerap kali dipakai orang Dayak ternyata dianyam orang Bugis.
“Heh”.
“Biasa. Kami sudah sejak lama merangkai manik-manik. Ada orang pesan,” akunya.
“Pandai buat”
“Sudah ada contoh. Mudah,” katanya.
Dia juga menceritakan tidak cuma dia yang merangkai manik-manik tetapi ada juga tetangga lainnya.
Saya menemukan ternyata orang Madura yang tinggal di kawasan Parit Tengah, Pontianak juga menganyam manik-manik pesanan. Ada orang yang datang kepada mereka membawa barang dan memesan bentuk dan komposisi warna.
Belakangan ketika hal ini saya tanyakan kepada teman orang Dayak, ternyata mereka juga tahu. Tahu kalau identitas mereka dibentuk oleh orang Bugis.
Teman juga memberitahukan kalau manik-manik Dayak tidak hanya dianyam orang Bugis, tetapi ada juga orang Madura. Jadi, bukan temuan saya saja.

***

Kemarin, saya bertemu dengan Edy Barau. Tepatnya Panglima Barau. Dia adalah penyambut tamu yang akan berpidato pada acara pembukaan Gawai Dayak 2007. Edy menyebutnya “saya jadi display’. Dia menggunakan kacamata, dan berpakaian kebesaran, ciri khas Dayak. Tutup kepala anyaman dari bulu burung. Bagian depan ada paroh enggang. Dia mengenakan kalung, dengan asesoris bulu burung, taring binatang, gasing kecil. Edy menggunakan semacam cawat dari benang prada dominan warna merah-kuning. “Namanya sirat. Sama dengan cawat,” jelas Edy seraya memainkan ujung kain penutup.
Edy juga mengenakan semacam engkel warna merah yang dibandul dengan kerincingan (gentekng, Kanayatn) –saya mengenalnya sebagai gerunong, kalau dibawa jalan berbunyi. Dia juga mengenakan sepatu, yang diperkenalkannya sebagai kasut.
Karena Edy tidak menggunakan baju, sekujur tubuhnya nampak tato. Ada tato bunga terung, buah tengkawang, tato perisai, bunga kanji, dan di atas lututnya terdapat tato labi-labi. Ada juga tulisan ‘panglima kota’ “Ini tato asli adat orang Iban,” jelasnya.
“Ini yang buat aku malas duduk di luar. Suka ditanya orang,” kata Edy sambil bercanda.
Biasanya dia malas menjawab kalau ditanya orang. Namun kepada saya Edi terbuka.
Selama pembicaraan Edy merokok. Saya perhatikan rokoknya jenis filter Gudang Garam. Di meja sebelah kanan Edy terdapat meja dari plastik warga hijau dan gelas berisi bir hitam. Sepanjang pembicaraan dengan saya, dua kali saya lihat Edy menuangkan air bir ke dalam gelas dan meleguknya.

***

Sementara itu, sehari sebelumnya, di arena Gawai Dayak, saya bertemua dengan L Daniel. Saya menyebutnya sebagai intelektual Dayak karena dia mengajar di Akademi Perawat Dharma Insan Pontianak. Dia mengajak saya berdiskusi mengenai orang Dayak hari ini. Diskusi dimulai dari kerisauannya bahwa selama ini orang menganggap Dayak itu terbelakang, dll. Menurutnya tidak semua orang Dayak terbelakang. Banyak Dayak yang maju. Banyak Dayang yang pintar. Berkuasa dan berpengaruh. Setidaknya dia menunjuk ada Ovang Oeray orang Dayak dari Kapuas Hulu yang pernah menjadi gubernur. Ada beberapa lagi bupati yang dijabat orang Dayak. Oleh sebab itu asumsi Dayak terbelakang menyinggung perasaannya.
Dia juga menunjukkan betapa anggapan yang keliru masih muncul. Misalnya ada yang menganggap orang Dayak itu masih terbelakang, menggunakan cawat, dll. “Carilah di mana bisa bertemu dengan orang Dayak yang pakai cawat,” tantangnya.
Cuma dalam soal rumah panjang, dia berpendapat ada campur tangan dari pemerintah dalam mengubah orang Dayak. Dia amat kesal karena menurutnya banyak kelebihan bagi orang Dayak kalau tetap tinggal di rumah panjang. Di sini suasana demokrasi terpelihara. Banyak hal, kearifan orang Dayak bermula dari sini. “Ketika berada di rumah panjang, mereka benar-benar menerapkan pola hidup komunal,” kata Daniel. Dia bersemangat membicarakan hal itu.
Perubahan pola tempat tinggal telah membuat identitas orang Dayak yang sedemikian, berubah. Kini di beberapa tempat terntu rumah panjang sudah tidak ada lagi. Di kalangan masyarakat Kantuk di perbatasan mungkin hanya ada satu atau dua saja. Kebanyakan sudah pindah ke rumah tunggal. Begitu juga dengan orang Kanayatn –yang kabarnya hanya ada tiga lagi rumah panjang. Dengan catatan rumah panjang di Sahapm, Sengah Temila sudah tua dan beberapa keluarga sudah membangun rumah tunggal di sekitarnya. Di kalangan Dayak Gerai, Ketapang beberapa tahun lalu, saya hanya menemukan sisa-sisa tiang dan sebagian atap. Tidak ada lagi yang mempertahankannya.
Kekecualian dari itu, rumah panjang masih berkembang di kalangan masyarakat Iban di Kapuas Hulu. Di sepanjang Jalan Lintas Utara dari Putussibau menuju Badau, banyak rumah panjang dibangun. Beberapa di antaranya lebih mirip deretan ruko karena desainnya.

***

Ya, pada akhirnya memang harus disadari, dunia berubah. Dan, orang Dayak yang merupakan bagian dari dunia ini, memang harus ikut dalam perubahan itu. Bahkan di beberapa kondisi mereka berada terdepan dalam perubahan. Seorang teman peneliti asing pernah menyampaikan kekagumannya, bahwa banyak orang Dayak di Kalbar yang ditemuinya pandai berbahasa Inggris, dibandingkan orang Melayu.
Bagaimanapun seperti yang diakui Daniel, hampir tidak mungkin melihat orang Dayak menggunakan cawat, kecuali ketika perayaan-perayaan resmi. Mungkin pada akhirnya jika identitas seperti itu yang dibayangkan, identitas yang diperlihatkan lebih merupakan bentuk nostalgia dibandingkan identitas yang dipakai sehari-hari. Entahlah!

Baca Selengkapnya...