Minggu, 24 Februari 2008

MASYARAKAT EMBAU, KAPUAS HULU



Masyarakat Mawan. Salah satu kampung Melayu di sungai Pengkadan. Sungai Pengkadan adalah anak sungai Embau, salah satu cabang utama Sungai Kapuas, di Kapuas Hulu. Foto diambil saat masyarakat sedang menyaksikan pertandingan sepakbola sebagai bagian dari perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2007. Foto Yusriadi.



Baca Selengkapnya...

MASYARAKAT DAN BAHASA DI CUPANG GADING,

Kalimantan Barat dikenal dengan keragaman masyarakat dan bahasanya. Di tengah keragaman ini, berbagai pihak berusaha memberikan generalisasi dengan memberikan batas hitam-putih. Padahal pandangan itu sudah banyak kali ditolak. Data lapangan menunjukkan bahwa ‘stigma’ mengenai batas geografi-etnik dan batas bahasa – etnik yang mempengaruhi pandangan dunia luar ketika menyoroti masyarakat pribumi Kalbar justru bertolak belakang.

Oleh: Yusriadi



Cupang Gading, sebuah kampung di pedalaman Kalimantan Barat, menegaskan bahwa orang Melayu bukan hanya penghuni pantai, dan orang Dayak bukan hanya penghuni pedalaman. Justru kenyataan ini menggambarkan bagaimana dua masyarakat etnik hidup berdampingan. Menggunakan bahasa Melayu sebagai alat komunikasi. Tentu saja, keadaan ini memberikan gambaran mengenai ciri khas komunitas ini. Yang berbeda tidak sama dengan ke-Melayuan orang Pontianak atau Malaysia.

Tulisan ini berusaha menggambarkan masyarakat Cupang Gading. Tulisan ini merupakan bagian dari laporan dan catatan kunjungan lapangan melaksanakan Proyek Penelitian Etnisitas, Identitas dan Kesatuan kerja sama Institut Alam dan Tamadun Melayu, UKM dan Pusat Kajian Budaya Melayu Universitas Tanjungpura Pontianak, April 2001. Proyek ini didanai SEASREP, The Toyota Foundation.

Deskripsi Wilayah

Cupang Gading adalah nama satu kampung Melayu di tepi Sungai Menterap, anak Sungai Sekadau. Kampung ini, luasnya mencapai 63.45 Km2, sekarang berada di bawah wilayah administrasi Desa Cupang Gading. Nama kampung ini dipakai karena waktu re-grouping desa tahun 1994 di Indonesia, kampung yang besar ini menjadi pusat desa pengembangan. Dan masyarakat dari kampung lain menerima begitu saja nama tersebut karena sudah ditetapkan Pemerintah.

Selain Kampung Cupang Gading yang berada di bawah administrasi Desa Cupang Gading, ada lagi kampung bukan Melayu, yakni, Cupang Belungai, Jopo, Kiata’, Kunsit, Odong. Dibandingkan kampung-kampung ini, Cupang Gading memang jauh lebih besar kampung dan jumlah penduduknya.

Keadaan kampung ini kelihatan masih seperti model kampung-kampung lama. Hampir semua rumah penduduk menghadap ke sungai –satu arah saja, kecuali satu dua rumah yang baru dibangun membelakangi sungai, berhadapan dengan rumah yang sudah dibangun sebelumnya. Pola pembangunan yang diatur begini, menyebabkan kampung ini sangat panjang. Lebih satu kilometer panjangnya antar ujung kampung paling hilir sampai ujung paling hulu.

Penduduk memilih mendirikan rumah di menghala satu arah ke sungai, karena sungai merupakan sumber penghidupan mereka. Meskipun ada jalan timuk –jalan di depan rumah yang lebarnya sekitar dua meter-, namun sejak kampung ini berdiri hingga tahun 1995, transportasi utama ke bandar atau kampung-kampung yang jauh menggunakan sungai.

Sungai yang jernih dan besar itu juga menjadi tempat mereka mandi, mencuci beras dan pakaian, dan tempat buang air. Untuk turun ke sungai Menterap itu, umumnya tidak dibuat tangga khusus, tetapi cukup dengan melalui tebing setinggi tiga meter itu. Penduduk membuat tangga alami dengan menebuk tanah sehingga membentuk landasan tempat berpijak. Di bawah, ada satu dua jamban –tempat mandi dari kayu bulat yang terapung. Tetapi selebihnya, pemandian hanya kayu atau batu sungai yang besar.

Rumah penduduk adalah bertipe rumah panggung dengan tiang setinggi antar setengah sampai satu meter dari atas permukaan tanah. Tidak nampak ada rumah yang berlantai tanah –sekurangnya seperti rumah di kota, sekali pun rumah dibangun di atas bagian tanah yang menyerupai bukit kecil di tengah kampung. Memang, menurut mereka yang memiliki rumah di bagian hilir, rumah harus bertiang karena sesekali juga banjir besar dan tingginya, sehingga tanah rendah sekitar kampung Cupang Gading tenggelam. Sedangkan yang lain mengatakan rumah bertiang perlu untuk menghindari kemungkinan rayapan ular atau binatang berbisa lainnya ke dalam rumah.

Umumnya rumah masih menggunakan bahan kayu, baik untuk dinding, untuk atap, lantai, juga jendela. Rumah yang menggunakan semen (rumah batu) dapat dihitung dengan telunjuk. Begitu juga dengan rumah yang beratap seng.

Persekitaran kampung Cupang Gading adalah hutan muda. Sejauh yang dapat disaksikan pohon-pohonnya relatif kecil. Kecuali di bagian tengah kampung –di bagian yang sedikit tinggi di bandingkan yang lain, ada beberapa pohon durian yang berdiameter sekitar satu meter. Begitu juga pohon yang terdapat di seberang sungai. Bambu munti’, merupakan jenis bambu yang banyak dijumpai di sini. Selain itu, pokok karet yang ditanam di belakang rumah penduduk. Karet banyak dijumpai karena pohon ini ditanam dan menjadi sandaran penghidupan mereka. Di sana sini juga ada pohon buah-buahan seperti tengkawang, cempedak, asam, rambutan, dan lainnya .

Tidak adanya hutan rimba, karena sememangnya penduduk di sini menebangnya suatu ketika dahulu. Selain menyadap karet, penduduk juga berladang di lahan kering. Jadi, di sekitar kampung semua lahan pernah menjadi ladang penduduk.



Transportasi

Untuk mencapai kampung ini dapat ditempuh menggunakan moda transportasi sungai. Tetapi belakangan ini jalur sungai sudah jarang digunakan. Seorang pedagang setempat mengaku sungai jarang digunakan sekarang ini karena sudah ada transportasi darat yang ringkas dan cepat. Untuk sampai ke Sekadau misalnya, bila menggunakan angkutan sungai memakan masa satu hari untuk milir, dan dua hari untuk mudik. Sedangkan bila menggunakan angkutan darat hanya perlu waktu sekitar tiga jam saja sudah sampai ke Sekadau.

Tetapi sekali-sekali jalur sungai digunakan juga. Sebab, jalur darat sangat terbatas, dan hanya mungkin dilalui sepeda motor saja. Jalan ini sukar digunakan untuk membawa hasil karet ke Sekadau, atau membawa makanan pokok yang akan dijual kepada penduduk di sini. Sedangkan motor air, dapat mengangkut sampai dua atau tiga ton. Karenanya, pedagang di sini mengaku bahwa meskipun lama, motor air digunakan juga. Begitu juga, ketika saya berada di Cupang Gading, peduduk memilih membawa kayu balok ke Sekadau melalui sungai yang dibuat rakit. Perjalanan berakit ini memakan masa selama dua hari. Agak lebih cepat jika air sungai meluap, dan mereka tidak singgah bermalam bila gelap.

Ada puluhan kampung yang dilalui untuk sampai di Sekadau. Kampung itu antara lain Cupang Belungai, Bau, Sungai Agung, Mondi, Bonti, Setawar, dan seterusnya sampai Sekadau.

Jalur darat menyajikan dua pilihan. Pertama, dapat melalui Jopo, ke arah barat, dan akan sampai di jalan beraspal di Nanga Taman. Jalur ini memakan masa perjalanan satu setengah jam dengan sepeda motor. Kedua, melalui Cupang Belungai dan Kiata’ akan sampai di jalan beraspal di Rawak. Menempuh jalur ini memakan masa sekitar dua jam bersepada motor, dan dari Rawak ini, akan dapat terus ke Sekadau atau pun ke Nanga Taman,Nanga Mahap.

Bedanya, laluan yang melalui Cupang Belungai ini adalah jalan kampung, dan sebagiannya menerobos bukit-bukit kecil, semak belukar, mengarungi lumpur, jembatan yang rusak. Terutama jalan antara Odong – Kiata’ dan setengah perjalanan dari Kiata’ – Rawak, adalah jalan kampung, yang dibuka masyarakat. Dan sesekali masyarakat sekitar bergotong royong membersihkan semak yang menutupi jalan. Di laluan ini, sebenarnya ada jalan besar. Jalan ini adalah jalan perusahaan, dibuka sebuah perusahaan sawit yang kini angkat kaki, dari Rawak.

Sedangkan jalan yang melalui Jopo, adalah jalan besar ukuran 6 meter, yang dikerjakan alat-alat berat beberapa tahun lepas. Jalan ini belum beraspal, dan banyak tanjakan yang tajam –ada yang mencapai tiga puluh derajat. Orang Cupang Gading, jarang sekali menggunakan jalur ini -- apalagi untuk jalan kaki menuju Sekadau. Selain jalan berbukit-bukit, dan melingkar, juga panas.

Laluan lain, yang ingin disebutkan di sini adalah laluan yang menghubungkan Cupang Gading dengan kampung di arah hulu Sungai Menterap, yakni mencapai Odong, Kunsit dan Penayun. Laluan ini meniti tebing sungai Menterap, lebarnya antara dua meter. Dahulu, jalan ini adalah jalan tikus. Namun sekarang, sudah dikerjakan secara gotong royong, sehingga nampak seperti jalan di dalam kampung Cupang Gading juga. Jalan ini di beberapa bagiannya becek, dan terdapat jembatan yang tidak kokoh. Tiap hari jalan ini digunakan orang Odong yang pergi ke Cupang Gading atau ke Rawak. Sekurang-kurangnya digunakan anak sekolah Odong yang belajar di Sekolah Dasar Cupang Gading.

Penduduk

Data sensus penduduk tahun 1993, menyebutkan bahwa di Cupang Gading terdapat 112 kepala Keluarga, dengan jumlah penduduk mencapai 400 jiwa. Tidak diperoleh data rinci berapa jumlah lelaki dan perempuan, atau jumlah orang tua, atau anak-anak.

Penduduk di sini semuanya beragama Islam, dan mereka dikenal sebagai orang Melayu. Kecuali satu ketika dahulu, 10 tahun lalu, ada dua keluarga Cina yang pernah tinggal di kampung ini. Masih ada rumah dan kebun milik orang Cina yang kini pindah dan berniaga di Sekadau itu.

Dari segi asal usul, mereka bukan berasal dari satu tandan . Ada yang berasal dari Sekadau, Sanggau, dan Rawak. Sebagian lagi adalah orang-orang turunan Saway Sesat dari beberapa kampung bukan Melayu yang ada di sekelilingnya. Mereka dari jauh ini, kawin dengan penduduk setempat, dan memeluk agama Islam.

Beberapa orang percaya jumlah yang turunan orang Saway di sini mencapai 30 per sen, turunan orang Taman mencapai 60 per sen dan 10 per sen lagi adalah pendatang dari Sekadau dan kampung Melayu lain.

Penampilan penduduk di sini, sebagaimana kebanyakan orang Melayu di pedalaman Kalimantan Barat. Perempuan tua-tua lebih banyak memakain kain, sedangkan yang muda menggunakan rok atau celana panjang. Mereka yang tua-tua nampak masih mengunyah sirih.

Penduduk di sini sangat ramah kepada orang luar. Meskipun kampung ini berada di laluan dan menjadi tempat sekolah anak-anak sekitarnya, namun kampung ini relatif jarang dimasuki orang luar. Sebagaimana data kependudukan yang terlihat dari buku tamu yang disodorkan kepada saya, kunjungan banyak dilakukan mereka yang melakukan survey tanah untuk perkebunan, dan mereka yang berdagang keliling. Dalam masa beberapa hari kala kunjungan pertama di sini, beberapa kali pedagang keliling membawa barang kelontongan dari plastik, dan alat-alat rumah tangga, serta permainan anak-anak. Sedangkan golongan lain, seperti golongan pejabat kecamatan, kabupaten, jarang-jarang sekali ke sini.

Data lain yang penting dilaporkan adalah bahwa di sini terdapat satu masjid. Masjid terdapat di tengah-tengah kampung. Bentuknya dengan kubah bawang, ukurannya mencapai 20 X 20 meter. Satu ukuran yang cukup besar sebenarnya dibandingkan jumlah penduduk. Bahkan sewaktu shalat jum’at masjid hanya terisi seperempat saja. Saya diberitahu, jika musim-musim tertentu misalnya saat sembahyang hari lebaran, masjid hampir penuh oleh penduduk kampung.

Masjid agak sepi pada hari Jumat, karena seperti akan dijelaskan di bahagian selanjutnya, kebanyakan anak muda pergi keluar kampung. Sebagian mereka bekerja kayu di Ketapang, ada yang bekerja emas di daerah sekitar Mandor, ada yang merantau ke Kapuas Hulu, dan sebagian lagi menjadi tenaga kerja, bekerja di luar negeri.

Hari-hari di Cupang Gading, memang pemuda nampak sedikit sekali. Malahan untuk mencari dua belas orang agar cukup bermain volly sukar. Main volly digabung antar pemuda dan pemudi. Sebagian adalah mereka yang sudah berumah tangga, dan beranak-pinak.


Mata Pencaharian

Mata pencaharian utama yang dilakukan banyak orang sehari-hari adalah menyadap karet. Berladang boleh juga disebut sebagai pekerjan tetap, yang dilakukan sekali dalam satu tahun. Sepanjang tahun dua pekerjaan tersebut dilaksanakan silih berganti.

Penduduk menanam karet dari biji yang mereka pungut atau mereka benih dari anak karet yang tumbuh sendiri. Tetapi, karet mereka kelihatan bukan kebun karet. Maksudnya, karet memang ditanam tetapi tidak dijaga secara khusus. Beberapa orang mengaku, mereka jarang menyiangi karet yang mereka tanam. Karet dibiarkan tumbuh sendiri, dan bila ada waktu yang luang barulah mereka menyianginya. Malahan, kadangkala, tiga atau empat kali saja karet disiangi, selama umur bertahun-tahun menjelang diambil getahnya.

Itu juga yang menjadi alasan mereka, kenapa karet alam lebih disenangi daripada menanam karet unggul. Karet unggul kabarnya memang menjanjikan hasil yang lebih banyak dan baik, tetapi karet itu juga menyusahkan mereka. Harus diberi pupuk, disiangi –tidak boleh bersemak belukar, dan lain sebagainya. Jika tidak dirawat demikian, maka karet akan mati.

Sebagai penyadap karet mereka sangat tergantung pada musim atau cuaca. Bila musim hujan mereka sukar bekerja. Karet tidak dapat disadap, karena getahnya akan tercampur air, dan membuat lelehan dari penampangan . Musim hujan juga menyebabkan bekas torehan tidak mengering dan menyebabkan pokok karet ditumbuhi jamur yang membuat bagian torehan jadi buruk. Tetapi sebaliknya, musim kering yang berkepanjangan juga tidak baik untuk mereka. Kemarau menyebabkan getah cepat mengering.

Pagi-pagi mereka sudah pergi ke kebun, malah kadang saat cuaca masih gelap. Pada keadaan begini mereka menggunakan tereng –lampu minyak tanah, yang lebih mirip pelita besar. Ada juga mereka yang menggunakan lampu senter. Saya diberitahu, ada yang tidak menggunakan lampu, dan berjalan dalam gelap . Pukul 08.00-09.00. WIB mereka selesai menyadapnya, dan kemudian mengambil air getah yang sudah ditampung dalam wadah dari tempurung atau bambu. Air getah itu dikumpulkan dan kemudian dibekukan dalam satu cetakan [tong] yang dibuat dari kayu. Sebagian kecil yang membeku di wadah, dibuat menjadi ‘kulat’. Sekitar pukul 10.00-11.00 WIB, hampir semua orang sudah pulang dari kebun karet mereka. Hasil yang bisa diperoleh satu hari bervariasi antara 2 – 10 kilogram per kali turun. Jika nilai jual getah per kilo Rp 2.300 maka ditaksir pendapatan mereka mencapai Rp 4.600 – 23 ribu.

Sesudah itu, penduduk bisa masa istirahat. Tetapi, kaum ibu sibuk di dapur, sedangkan lelaki pergi ke hutan.

Pekerjaan pokok lain, adalah berladang. Berladang masih dilakukan sekali dalam satu tahun di tanah tegalan, atau lahan kering. Karena terbatasnya lahan yang sesuai, sedikit saja mereka yang membuat sawah. Mereka juga tidak dapat berladang lebih dari satu kali dalam satu tahun karena kaitannya dengan musim dan hama. Menebas semak belukar dan membakar ladang dilakukan di musim kering, sedangkan musim tanam dilakukan di saat curah hujan banyak.

Usaha berladang merupakan tradisi yang diturunkan dari orang tua mereka. Pekerjaan ini tidak dilakukan sembarang waktu. Ada penanggalan khusus yang diikuti, selain syarat-syarat lain –termasuk pantang larang, yang mesti dijaga. Jika mau membuka ladang, penduduk menggunakan tanda bulan dan bintang di langit. Tanda alam ini jarang meleset, dan sesuai untuk musim bertanam padi. Maksudnya, perhitungan dengan tanda alam ini sesuai untuk masa membuka lahan, membakar lahan, dan menanam padi, masa padi mengandung, hampar dan panen. Siklus alam ini teratur setiap tahun.

Untuk mengetahui masa yang tepat penduduk merujuk kepada orang yang pandai di kampung. Mereka mungkin dukun, atau orang-orang lain yang dituakan. Mereka membicarakan hal ini, dari mulut ke mulut, dan mulailah musim menilik lahan. Seseorang diutus untuk mengambil tanah yang dipilih, sekaligus minta izin kepada penunggunya.

Setelah itu, mereka mulai menebas, menebang, membakar ladang, menugal, membuang rumput, masa padi muda, panen. Masa ini berlangsung seluruhnya sekitar sembilan bulan.

Tetapi, sungguh pun demikian, berladang memang tidak selamanya dapat menjadi andalan. Kadang-kadang bila musim kering berkepanjangan, atau adanya serangan hama, seperti walangsangit, dan lainnya, hasil yang mereka peroleh tidak sebanding dengan jerih payah dikeluarkan.

Tetapi, sepanjang yang diketahui, padi di sini tidak pernah dijual seperti di kawasan pertanian umumnya. Padi mereka simpan untuk mereka makan sendiri, sebagai cadangan sehingga tidak perlu membeli beras di warung. Hasil yang sesuai biasanya, padi panenan tahun ini cukup dimakan sampai panen tahun depan. Jadi, antara waktu tersebut, tidak perlu lagi membeli beras yang dijual di toko.

Hanya saja mereka yang berhasil panen seperti ini jumlah tidak banyak, dan sekali lagi seperti nasib saja. Perolehan padi banyak bergantung pada kemampuan tenaga membuka lahan. Semakin besar dan luas lahan, semakin besar kemungkinan memperoleh hasil yang banyak. Selain itu, perolehan ini juga bergantung pada tanah. Apakah tanah yang digunakan untuk berladang itu tanah tua atau muda, apakah pembakaran ladang itu baik atau tidak. Tanah tua –yang lama tidak diladangi, dan pembakaran yang baik lebih disukai .

Jika panenan tidak berhasil, penduduk –dan itu banyak terjadi, bertumpu pada hasil usaha lain. Jadi, untuk membeli kebutuhan dapur dan rumah tangga, diperoleh dengan menjual karet yang mereka hasilkan itu.

Atau kemungkinan lain, mereka bertumpu pada anak-anak mereka yang bekerja di luar kampung. Misalnya ada yang bekerja sebagai penebang kayu, bekerja sebagai penambang emas, bekerja sebagai buruh di kota.

Mereka sendiri merasakan kesulitan dalam hal ini. Tidak ada harapan yang besar untuk menyekolahkan anak mereka agar dapat bersekolah lebih tinggi. Tidak banyak harapan untuk memiliki pesawat televisi dan antena parabola, atau memiliki sepeda motor. Kecuali mengandalkan usaha di luar karet –seperti berdagang, atau bekerja di luar kampung .

Mereka belum dapat berkembang seperti orang di kampung tetangga, di Sungai Agung, yang sudah bisa mengembangkan perkebunan kopi dan pisang untuk menunjang pendapatan dari sektor karet.

Ada memang beberapa orang yang membuka usaha dagang. Mereka menjual kebutuhan harian masyarakat, yang ditukar dengan karet.


Pendidikan

Pendidikan di sini tidak dapat dikatakan maju. Hal ini disebabkan sekolah yang ada hanya sampai sekolah dasar (SD) saja . SD ini berdiri sejak tahun 1980-an. Sebelumnya hanya ada sekolah swasta. Sekolah yang ada di kampung ini juga menampung anak-anak sekolah kampung sekitarnya. Mereka yang bersekolah di sini datang dari Cupang Belungai, Kiata’ dan Odong.

Jumlah guru yang mengajar di sekolah ini ada enam orang, termasuk kepala sekolah. Guru-guru ini berasal dari berbagai tempat, dan tidak seorang pun berasal dari orang Cupang Gading. Kepala sekolah berasal dari Jawa, seorang guru dari Pontianak, ada dari daerah sekitar Nanga Taman.

Sedangkan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, seperti Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA), mereka dihadapkan oleh kenyataan harus mengeluarkan biaya ekstra. SMP yang terdekat ada di Kota Rawak dan Nanga Taman yang keduanya harus dijangkau dengan berjalan kaki selama 2-3 jam.

Meskipun jarak ini sebenarnya tidak terlalu jauh, sekitar 17 kilometer saja, tetapi seperti yang disebutkan di muka, jalan ini adalah jalan setapak, melalui semak belukar dan Natay yang curam. Laluan ini memang dapat dilalui oleh motor roda dua. Tetapi sepeda, sukar sekali.

Oleh sebab itu, bisa dipahami bahwa wajib belajar 9 tahun di sini masih belum dipenuhi. Umumnya, anak-anak putus sekolah, setelah menamatkan SD. Mereka yang bersekolah sampai ke SMP apalagi SMA atau perguruan tinggi dapat dihitung dengan telunjuk. Jumlah mereka yang bersekolah di SMP atau SMA ada 20-an orang. Mereka sekolah di Sekadau, Sintang, dan Pontianak. Pernah juga ada yang bersekolah sampai ke perguruan tinggi . Dari seluruh penduduk kampung, yang kini menjadi pegawai negeri ada empat orang, yang semuanya bertugas di luar daerah mereka sendiri.


Agama

Soal agama ini menarik sekali. Seperti yang umum dijumpai di Kalimantan Barat, agama merupakan sesuatu penentu identi di sini. Maksudnya mereka disebut sebagai Melayu, karena memang memeluk agama Islam. Sedangkan mereka yang tidak memeluk agama Islam disebut sebagai Dayak. Baik mereka yang beragama Katolik atau pun protestan (Lihat Yusriadi dan Haitami Salim, 2000).

Di Cupang Gading, seperti singgung di bahagian awal, semua penduduknya seratus persen beragama Islam. Sebagian beragama Islam sejak lahir –karena orang tuanya sudah beragama Islam, dan sebagian lagi adalah mereka yang memeluk agama Islam kemudian.

Memang, perpindahan agama (konversi agama) banyak terjadi di sini. Ada beberapa kes pindah agama. Kebanyakan memang mereka yang pindah agama, dari bukan Islam kepada agama Islam. Ada puluhan orang yang dapat ditunjuk sebagai contohnya.

Sedangkan perpindahan sebaliknya dari Islam menjadi bukan Islam, walau pun ada jarang terjadi. Malahan saya sempat berjumpa, ada orang Melayu Cupang Gading yang “pulang Dayak” .

Pindah agama, sekalipun dilakukan orang, tidaklah sederhana. Jika ingin memeluk agama Islam di sini, seseorang harus mengikuti upacara kecil. Dia, atau wakilnya menghadap penghulu, dan melaporkan keinginannya itu. Penghulu mempersiapkan beberapa kelengkapan, termasuk ember, air tanah, sendok atau gelas, serta surat menyurat sebagai syarat bentuk formal. Kemudian, orang yang akan memeluk agama Islam itu dibawa ke sungai, atau ke jamban. Dia dimandikan dengan air yang bercampur tanah. Setelah itu, dia juga minum ala kadarnya, air tersebut . Setelah itu barulah dia diajarkan bacaan-bacaan yang perlu, termasuk seuntai nasehat.

Penghulu setempat, yang selama ini memimpin upacara itu mengatakan bahwa mandi dengan air tanah merupakan sertu. Sertu ini, sama dengan sertu yang biasa dilakukan atas piring, kuali yang dijilat anjing –mungkin juga babi. Sebab kedua binatang ini merupakan binatang yang diharamkan dalam agama Islam, bukan saja memakannya, tetapi bekas dan jilatannya juga haram. Keduanya dikelompokkan pada najis berat (Mukhallazah)(Sabiq 1985). Dan untuk membersihkannya, harus menggunakan air bercampur tanah.

Jadi, analogi ini diterapkan dalam proses peng-Islaman ini. Mereka yang sebelumnya bukan Islam harus membersihkan diri luar dalam dengan air tanah. Sebab, mereka sebelumnya mungkin makan babi, atau bergaul rapat dengan anjing. Bersih di luar dilakukan dengan cara mandi air tanah, sedangkan bersih di dalam dengan cara meminumnya.

Yang menarik, jika tujuan pemelukan agama itu untuk seseorang yang akan kawin, dan dalam keseharian sebelumnya pasangan itu telah nampak rapat, maka pasangan yang muslim juga harus ikut minum air tanah. Penghulu mengatakan, minum air tanah bagi pasangan yang muslim ini juga untuk membersihkan, kemungkinan mereka telah dekat selama ini. Hanya saja dekat dalam konteks ini tidak jelas, apakah ciuman, atau hubungan badan . Mandi dan minum air tanah ini juga dikaitkan dengan ‘asal manusia’. Islam, katanya meyakini manusia dari tanah dan kembali ke tanah, jadi mereka yang masuk Islam juga harus memulai melalui pemandian air tanah.

Hal lain yang biasanya menarik dalam kaitan dengan proses pengIslaman ini adalah sunat. Sunat lelaki memang tidak aneh untuk alasan membersihkan. Tetapi di sini, perempuan yang masuk Islam kadang juga disunat. Sunatan ini dilakukan oleh bidan kampung. Caranya, seperti yang biasa terjadi pada anak-anak perempuan yang baru lahir menggunakan pisau, pangut, atau serpihan bambu .

Tidak hanya proses itu yang harus ditempuh seseorang yang akan memeluk agama Islam. Mereka yang sebelumnya Taman, misalnya, harus lebih membayr ‘pelepasan’ adat yang ditentukan oleh tetua adat kampung asal. Jumlah yang harus dibayar mencapai ratusan ribu rupiah.

Dalam soal agama, penghulu, dan sejumlah tokoh masyarakat setempat mengaku mereka sangat kurang. Penghulu mencontohkan, kadangkala mereka yang mau kawin kesulitan mengucapkan kalimah syahadat. Mereka –untuk anak-anak mereka, juga tidak ada guru agama. Sekarang ini, tidak ada kegiatan belajar mengajar baca Al-Quran. Sudah ada permohonan agar ada guru agama Islam di sana . Tetapi, permohonan itu tidak terpenuhi.

Ketika kunjungan dilakukan, tidak ada satu pun lulusan sekolah menengah agama (Madrasah Aliyah), yang biasanya –di berbagai tempat di pedalam, dapat menjadi andalan untuk bidang agama ini. Saya ditunjukan dengan satu anak yang sekarang sedang bersekolah menengah agama (Madrasah Tsanawiyah) di Sekadau.

Kegiatan shalat lima waktu –Isya, Subuh, Zohor, Asyar, dan Maghrib di masjid tidak nampak dilaksanakan sewaktu kunjungan lapangan. Masjid digunakan untuk shalat Jumat, satu kali seminggu. Tetapi, saya juga diberitahu, jika bulan ramadhan tiba, masjid akan ramai dikunjungi, terutama untuk shalat sunat taraweh.


Sejarah Singkat

Sukar mendapatkan catatan sejarah mengenai Cupang Gading. Seperti dalam kebanyakan kendala dalam mendapatkan maklumat mengenai Kalimantan Barat –umumnya, kita terpaksa bergantung pada informasi lisan. Sebenarnya bukan tidak ada informasi tertulis yang mungkin boleh dijadikan panduan. Hanya saja informasi tertulis tersebut masih berwujud serpihan yang perlu disusun dalam satu gambar .

Saya ingin menunjukkan betapa sulitnya merujuk kepada informasi lisan tersebut. Saya ditunjuk kepada seorang tetua kampung bernama Zakril. Zakril yang juga dikenal sebagai orang pintar (dukun) dikatakan sebagai orang asli Cupang Gading, dan Zakril membenarkannya. Menurutnya, mereka masih turunan Majapahit. Datok moyang mereka itu bernama Mas Yasa, salisilah berurai kepada Abdul Hakim, kemudian turun kepada Sultan Yahya, seterusnya kepada Dayang Lopakng, kepada Aji Ahmad, kepada Kiyai Ugam, kepada Ami, dan terakhir kepada Zakril yang kini berusia sekitar 60 tahun itu. Yang pertama kali diam di kampung ini adalah masa Kiyai Ugam. Sekali pun tidak disebutkan tahunnya, kita mengagak, jika peringkatnya hanya dua tingkat di atas Zakril, Kiyai Ugam ditaksir 100 tahun lalu.

Tetapi, beberapa orang membantah kalau perkampungan di Cupang Gading ini berusia 100 tahun. Mereka menunjuk bekas kampung lama yang terdapat di seberang kampung sekarang. Waktu itu nama kampung adalah Beranung. Lalu, kampung itu pindah ke bahagian darat dari kampung sekarang. Tempat itu disebut Cupang Melayu, dan kini hanya ada tonggak tiang dari kayu belian. Setelah itu, penduduk menempati lokasi baru di tepi sungai, sampai sekarang ini. Nama kampung mereka ini adalah Cupang Gading .

Tetapi, sebagian lagi menduga mereka masih ada hubungan dengan Cupang Belungai. Cupang Belungai adalah kampung lama, dan kampung asal sebenarnya. Bila telah memeluk agama Islam, sebagian orang memisahkan diri dan mendirikan kampung baru, sehingga sampai hari ini berkembang biak menjadi kampung Cupang Gading itu . Hal lain yang mendukung dugaan ini adalah adanya nama Cupang Melayu, untuk memisahkan diri daripada nama Cupang Belungai. Perlu penelitian mendalam untuk memastikan hal seperti ini.

Sementara itu, catatan tertulis mengenai Cupang kita peroleh dalam laporan Enthoven (Enthoven 1903:593) seratus tahun lalu. Menurutnya:

Hun voornaamste vestiging is het 105 m. lange huis te Tjoepang, met 35 pintoe’s en weinig stroomopwaarts van Bandan aan de S. Menterap gelegen, dat door een goed bruikbaar pad met het vroeger genoemde Merajoen aan de S. Taman verbonden is.

De voornaamste vestiging der Maleiers in Menterap en Kerabat, met een 8tal Maleische woningen en een kleine balai (logeergebouw) van den vorst van Sekadau, waar een der vorstentelgen verblijf houdt.

Tidak begitu jelas apa yang dimaksudkan Enthoven, bahwa Tjoepang termasuk dalam kelompok Dajaks Menterap. Seperti yang ditulisnya di halaman berikutnya. Enthoven (1903: 696), ketika menyinggung sedikit adanya suku Kerabat, Sawai, dan Jawan di aliran Sungai Menterap.

De Menterap Dajaks, die nog onderverdeeld kunnen worden in de Kerabat’s, de Sawai’s en de Djawan’s, tellen thans ongeveer 400 pintoe’s met 2000 zielen en bewonen het stroomgebied der Menterap.


Jika keberadaan mereka dikaitkan dengan Islamisasi (Melayuisasi) di Sekadau, maka informasi ini dapat kita kaitkan dengan salasilah Raja Sekadau yang ditampil dalam supplemen Enthoven (1903), untuk memperkuat gambaran masa lalu mengenai kawasan ini.

Tertulis pada salasilah Tjoeat (Cuat) ‘bigenaamd Siak Beroeloen, hoofd der Dajaks in de Boven –Sekadau’ berikutnya adalah Nan Mantang – Nang Loekis g.m. Dajang Sri Awan sebagai raja pertama Sekadau. Tetapi kita tidak tahu tahun berapa kerajaan ini bertapak dan informasi tahun beru nampak pada tingkat ke lima (5), yakni Dajang Sri Bunga yang berada di bawah salasilah Nang Loekis, raja ke dua –Kjia Dipati Soema Negara, raja ke tiga, Dajang Katjang kawin dengan Abang Itam (Kjai Dpati Toewa) raja Sekadau ke empat, Abang Karang atau Kjai Dpati Toembah Baj, raja Sekadau ke lima.
Nah, raja Sekadau ke enam Dajang Ineh, bersaudara dengan Abang Moenang atau Kjai Lalang dan Njai Anta yang tahun 1720 kawin dengan Sultan Mangkoerat, Radja Melamat (Matan).

Jadi dengan salasilah ini, kerajaan Sekadau sudah wujud sebelum tahun 1729. Sama ada 100 tahun atau 50 tahun tidak dapat dipastikan. Hanya saja, paling tidak abad ke-17 akhir kerajaan Sekadau telah wujud. Ini tentu saja dengan mengambil kira, misalnya setelah Njai Anta yang menikah dengan Sultan Matan (1720) yang hidup sezaman dengan Raja Sekadau ke enam.

Sampai tahun 1780 umpamanya, Sekadau di bawah pemerintahan raka ke tujuh, Abang Ingkang (pangeran Agoeng). Lalu tahun 1870 atau lebih kurang 100 tahun setelah Njai Anta, Sekadau diperintah oleh Abang Ipoeng atau Pangeran Koesoema Negara, raja ke sembilan, sampai tahun 1830.

Kenyataan ini membawa kita pada anggapan bahwa dalam kurun waktu 110 tahun tersebut, ada empat raja yang memerintah. Jadi purata, seorang raja berkuasa selama hampir 30 tahun. Jadi cukup munasabah jika kita membayangkan bahawa kerajaan Sekadau sudah bertapak sejak aban ke-17 awal.

Implikasi kepada Cupang Gading meski langsung tetapi boleh memberikan bayangan bahwa tiga ratus tahun lalu, sudah ada penguasa di muara Sungai Sekadau. Kehadiran keraton Sekadau di muara sungai Sekadau bukan merupakan ssesuatu yang kebetulan, tetapi istana ini menjadi pintu gerbang masuk ke lembangan sungai yang panjangnya mencapai 33 kilometer ini. (Enthoven 1903, Veth 1854, King 1994),

Keraton yang kemudian diperintah oleh raja yang beragama Islam, dan kemudian dikenal sebagai Melayu membawa implikasi nyata terhadap perubahan identiti di pedalam ini. Cupang Gading yang meskipun periperal, berada di hulu sungai, namun sungai itu bukan sungai yang kecil. Sungai Kerabat adalah sungai yang besar yang airnya dalam dan mudah dilalui perahu. Adanya sarana transportasi yang mudah seperti ini pasti memberikan implikasi mobilitas penduduknya.

Tetapi sekali lagi, ‘sejarah’ yang bercanggah seperti cuba ditampilkan di atas memerlukan penelusuran lebih jauh. Kita hanya memberikan bayangan bahwa dalam kurun satu abad lalu, Cupang Gading telah dikenal sebagai orang Melayu, mereka telah memeluk agama Islam.


Bahasa

Bahasa sehari-hari yang dipakai di Cupang Gading adalah bahasa Melayu Cupang Gading (BMCG) yang dekat dengan varian pertuturan di Sekadau. Tidak terdapat perbedaan dari segi Fonologi dan Morfologi. Terdapat beberapa ciri suprasegmental yang merupakan ciri tersendiri. Bahkan ada yang menganggap varian mereka sama dengan varian Sanggau.

Tidak seperti lazimnya orang Melayu di Kalimantan Barat yang tidak pandai bertutur varian lain selain varian mereka (Collins 2000), di sini rata-rata orang mampu menuturkan lebih dari satu varian. Boleh dikata mereka di sini multi lingual (multi dialektal). Sebut misalnya, mereka dapat bertutur bahasa Indonesia, berbahasa Melayu, dan mereka juga mengaku dapat ‘berbahasa Saway’.

Hal ini terjadi karena memang lokasi mereka yang dikelilingi oleh kampung yang menuturkan varian yang berbeda dengan yang mereka tuturkan. Ciri-ciri dialek lain mereka cam, dan penanda itu akan digunakan dalam berkomunikasi. Hampir semua orang dapat dengan mudah menyebutkan ciri varian orang lain.


Pandangan tentang Varian Lain

Hampir selalu dijumpai di sini, ada sikap negatif atas varian orang lain. Anggapan yang tersemai dalam benak masyarakat adalah masyarakat bahwa pertuturan mereka sederhana dan mudah. Sedangkan perturuan orang lain sukar dan berbelit-belit. Menariknya, mereka mengaku dapat meniru bunyi pertuturan kelompok lain. Dan apabila tiruan itu dilakukan, kita akan menangkap kesan ‘berlebihan’.

Jawaban seperti ini menarik, karena kesan ini melekat kepada dua kelompok varian ini. Bahkan mereka bisa menggambarkan dengan cara mereka, termasuk dalam mengelompokkan varian masing-masing kelompok.

Tetapi, lepas dari kesan negatif atas pertuturan orang lain, bahasa Melayu menjadi lingua franca di sini. Semua orang dapat berbahasa Melayu. Ini dikarenakan posisi bahasa Melayu yang dominan. Kalangan orang Saway misalnya, mengaku bahwa mereka menggunakan bahasa Melayu bila bertutur dengan orang Melayu. Mereka juga bertutur bahasa Melayu bila bertutur dengan orang Mentuka’, kelompok masyarakat yang bertutur bahasa dalam kelompok Malayik (Lihat juga dalam Chong Shin dan Collins 2001).

Jadi dengan kerajaan Melayu di muara sungai yang diperintah oleh mereka yang menuturkan bahasa Melayu, tentu kesan dan pengaruhnya juga kepada bahasa masyarakat. Lebih lagi apabila afiliasinya didasarkan agama, maka faktor magnetik itu semakin kuat.

Kenyataan ini dapat dipahami karena saat ini masyarakat sedang berusaha menunjukkan identiti sehingga nampak berbeza dengan orang lain. Sekalipun seperti yang dilaporkan, agama merupakan faktor pemisah yang tegas dan ini sudah diperkatakan dalam banyak tulisan (King 1993, Riwut 1978, Hanapi 1997, Yusriadi 2000), bahasa tetap menjadi alat kepada mereka untuk mempertegas pisahan ini. Collins (2000) sudah merasakan pengalaman bagaimana informan berusaha menunjukkan pisahan bahasa. Daftar kata yang sebenarnya dipakai dan juga dipahami oleh sekelompok masyarakat tidak diakui sebagai bahasa sendiri tetapi disebutkan sebagai milik kelompok lainnya, sekalipun mereka sendiri juga menggunakannya .

Pengamatan yang dilakukan penulis di Cupang Gading, juga menunjukkan pola serupa. Di sini, kelompok Melayu, Saway Sesat dan Taman Sesat hidup berdampingan sebagai kelompok masyarakat bahasa yang berbeza. Mereka menunjukkan diri berbeza dengan yang lain, sekalipun, tidak jarang terlontar pengakuan bahawa mereka berasal dari asal usul yang sama, atau masih memiliki hubungan kerabat. Jadi, dua atau tiga kelompok ini mempertegas perbedaan termasuk dengan mengidentifikasikan bahasa mereka berbeza satu dengan yang lainnya.

Lembah Sekadau ini cukup penting di era pra sejarah kawasan Borneo. Saat ini misalnya di daerah Kampung Pait di hulu sungai Sekadau terdapat batu tulis. Batu itu diduga merupakan peninggalan kerajaan Hindu Majapahit .


Penutup


REFERENSI


[Angka] Kecamatan dalam Angka Tahun 1993, Sekadau Hulu. Biro Pusat Statistik, Kantor Statistik Kabupaten Sanggau.

Censee, A.A. dan E.M. Uchlenbeck. 1958. Critical survey of studies on the languages of Borneo
. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Chambers, J.K. dan P. Trudgill. 1990. Dialektologi. Terj. Anuar Ayub. Kuala Lumpur; Dewan Bahasa dan Pustaka.

Collins, James T. 1999. Keragaman Bahasa di Kalimantan Barat. Makalah yang dibentangkan dalam Festival Budaya Nusantara Regio Kalimantan, di Pontianak 23 September.

Collins, James T. 2000. Dayak Islam di Kalimantan Barat. Kertas Kerja Kollokium Dayak Islam di Pontianak, 12 September 2000

Collins dan Zaharani 2000. Language and Identity in Malay.

Collins, James T dan Chong Shin. 2001. Six varian Bidayuhic in Sekadau River. Data Papers Borneo Homeland Series 2.

Collins, James T. 2001. Catatan lapangan Cupang Gading. Naskhah.

Enthoven. J.J.K. 1903. Bijdragen tot de geographie van Borneo Westerafdeeling. Leiden: E.J. Brill.


Irwin, Graham. 1986. Borneo Abad ke-19. Terj. Moh. Nor Ghani dan Noraini Ismail. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

King Victor T. 1993. The People of Borneo. Oxford: Blackwell.

Sellato, Bernard. 1989. Hornbill and dragon – burung enggang dan naga. Kuala Lumpur: Elf Aquitaine Indonesie-Malaysia.

Sujarni Aloy, dkk. 1999. Keragaman bahasa Dayak di Kalimantan Barat Berdasarkan Epistimologi Tradisional. Makalah yang dibentangkan dalam Festival Budaya Nusantara Regio Kalimantan, di Pontianak 23 September.

Tjilik Riwut. 1979. Kalimantan Membangun. Palangkaraya: t.pt.

Veth P. J. 1854. Bornoes wester-afdeeling. Geografiphisch, statistisch, historicsh. Zaltbommel: Joh. Noman en Zoon.

Yusriadi. 2000. Dialek Melayu Ulu Kapuas. Tesis MA Jabatan Linguistik UKM.

Yusriadi. 2001. Catatan lapangan penelitian Etnik dan Identitas di Kalimantan Barat. Manuskrip.

Yusriadi dan Haitami Salim. 2001. Dayak Islam di Kalimantan Barat, Fenomena di Gerbang Abad ke-21. Pengantar Prosiding Kollokium Dayak Islam di Kalimantan Barat. STAIN Pontianak.

Zahri Abdullah. 1988. Riwayat Singkat Perkembangan Kerajaan Sangau dan Perkembangan Islam. Naskhah.







Baca Selengkapnya...

Catatan Perjalanan 4: Masyarakat dan Bahasa Kantuk di Kalbar

Masyarakat di Nanga Kantuk — Kantuk, Iban, maupun Melayu, memperlihatkan kemampuan mereka berkomunikasi menggunakan banyak bahasa. Pilihannya tergantung konteks latar belakang penutur, isi pembicaraan dan situasi yang dihadapi.



Dalam perjalanan pulang kami melalui kampung Iban Kayu Baung dan Batu Ampar. Saya ingin singgah sebenarnya, dan Nuar pun agaknya dengan senang hati menepikan perahunya. Saya ingin melihat bentuk rumah, bentuk kampung, suasananya dan bertanya mengenai penggunaan bahasa, dan lain-lain.

Namun, karena kesuntukan masa, keinginan itu dipedam. Perahu hanya berhenti sebentar di tepian – tempat mandi, agar saya dapat mencatat kordinat kampung. Mungkin suatu saat saya bisa bertemu orang Iban dari kampung itu di Pontianak dan mencatat bahasa mereka, jadi tinggal cocokkan dengan kordinat itu.
Sampai di Pakan kami berhenti.

“Singah dulu’,” kata Nuar.

Saya hanya menganggukkan kepala. “Na’ apa, asal na lama’. Saya janji dengan Andi,”
Sampan ditambat di tangga tepian.

Kampung Iban ini agak berbeda dengan kampung Iban di kiri kanan jalan Putussibau – Badau. Tidak ada rumah panjang. Saya kira, keadaannya sama seperti kampung Melayu di pedalaman; rumah kayu di atas tiang –sekalipun letaknya di dataran yang agak tinggi. Rumah berhadap-hadapan di kiri kanan jalan kampung. Dan jarak antara satu dengan yang lain, padat. Menumpuk.

Saya sempat melihat ruang tamu sebuah rumah dan isi rumah juga seperti rumah di kampung Melayu; ada kursi, meja, dan barang elektronik.
Namun satu yang beda dibandingkan kampung Melayu, yaitu di sini ada banyak babi yang berkeliaran.

Kami duduk di teras. Ada neneknya Budin dan pamannya. Mereka bicara dalam bahasa Iban –sekalipun Nuar dan pamannya Budin itu orang Kanayatn. Sesekali saja diselingi dengan bahasa Melayu. Mereka agaknya adalah orang-orang polyglot –yaitu orang-orang yang dapat menuturkan banyak bahasa sama baik kemampuannya.

Bagi saya sebenarnya akan jadi lebih menarik seandainya dapat disimak pilihan-pilihan bahasa yang mereka gunakan. Dalam wacana apa mereka berbahasa Iban, dan dalam wacana apa pula mereka berbahasa Melayu? Dengan begitu kedudukan masing-masing bahasa dapat diketahui dan gambarannya menjadi jelas.

Macam-macam topik yang dibicarakan: meloncat-loncat tentang perjalanan saya, tentang kegiatan Nuar, tentang gawai, juga tentang harga karet dan minyak, atau tentang anak sekolah, dll. Mereka juga cerita tentang pasukan Libas (Lintas Batas) pada malam kemarin berhasil menangkap empat kepiting di Kantuk Asam, dekat perbatasan. Empat alat berat itu akan dibawa ke Badau, namun terkendala di jalan sebab kehabisan minyak. Katanya, ada beberapa anggota tentara itu yang datang ke kampung Pakan mencari solar untuk alat berat itu. Tetapi tak ada.

Obrolan masih berlanjut. Rupanya Budin meminta seseorang membeli tuak. Itung-itung sebagai buah tangan perjalanan dari Selupai.

Kami pamit ketika tuak yang ditunggu datang. Sekadar basa basi Nuar bertanya apakah tuak itu manis atau tidak. Sambil berjalan, Nuar membuka tutup ken, dan mencelupkan telunjuknya. “Nyaman,” katanya.

Dia sempat menawarkan pada saya, apakah mau mencoba. Saya geleng kepala, seraya mengatakan tidak. Justru yang menarik perhatian saya adalah bagaimana Nuar tampak terbiasa dengan benda itu. Saya jadi teringat pengalaman ketika mengadakan penelitian di Cupang Gading, sebuah kampung Melayu di hulu sungai Menterap, anak sungai Sekadau. Saya bersama beberapa orang Melayu Cupang Gading mengunjungi kampung Jopo, kampung orang Dayak. Saat itu musim Paskah.

Kami naik ke rumah orang Jopo dan di sana disajikan tuak, aneka kue dan daging babi. Teman saya tidak begitu berani meminum tuak yang disajikan. Mereka hanya mencoba sedikit itu dengan sikap ragu-ragu.

Sikap Nuar memperlihatkan bagaimana pergaulan antar masyarakat Melayu-Dayak begitu rapat sehingga agaknya batas-batas ‘halal-haram’ dari sisi agama tidak cukup penting.

Perjalanan dilanjutkan. Beda dibandingkan waktu pagi, di sore hari jumlah orang yang kami temui di sungai lebih banyak. Orang-orang itu sedang mencari ikan; ada yang menggunakan pancing, ada pula yang memasang pukat. Seperti sebelumnya, Nuar dengan ramah menyapa mereka.

Sampai di Nanga Kantuk menjelang malam. Saya sempat rehat sebentar, sebelum akhirnya Andi muncul. Kami melanjutkan pekerjaan mentranskrip data rekaman yang saya peroleh dari Pak Masing, orang Kantuk Telutuk. Budin sempat muncul sekejap. Percakapan kami dalam bahasa Melayu. Saya kira pilihan itu karena ada saya. Lalu, saya bertanya sendiri, kalau Andi dan Budin bertemu: apakah mereka akan bercakap Iban atau Kantuk?

Setelah Budin pulang, kami kembali bekerja. Kadang kala selang seling saya bertanya soal perjalanan Andi ke Malaysia, atau soal kegiatan kampung. Hingga larut malam.

***

Pagi, sekitar pukul 06.00 WIB saya bertolak ke Badau menggunakan ojek Jaka. Sebenarnya ada niat mau naik helak –begitu masyarakat menyebut mobil asal Malaysia yang menjadi kendaraan tumpangan Nanga Kantuk – Badau. Selain karena biar dapat pengalaman baru juga biayanya lebih murah (Rp 35 ribu).

Namun, saya jadi ragu karena tidak jelas kapan kendaraan itu berangkat dan menunggu di mana. Kadang-kadang ada, kadang tidak. Orang-orang bilang, helak mau jalan kalau penumpangnya ada lima orang, kalau kurang tidak mau, sebab bisa rugi.
Lagian, biasanya helak Nanga Kantuk – Badau sudah bertolak pada pukul 05.00 WIB, saat mulai terang tanah. Bagi saya berangkat jam segitu rasanya akan terasa buru-buru. Bagaimanapun kalau berangkat pukul 05.00 berarti saya harus sudah bangun pukul 04.00 WIB.

Karena ketidakjelasan itu, akhirnya saya pilih naik ojek Jaka –lebih jelas, pasti, lebih tenang dan tidak buru-buru. Mungkin dengan sedikit risiko; biaya agak sedikit mahal.

Kami berangkat jam 06.00 WIB karena kalau berangkat lebih cepat ada harapan bisa mengejar bis pagi dari Badau – Putussibau yang berangkat pukul 08.00 WIB. Sebenarnya dengan Jaka sudah memberitahukan bahwa kalau pakai motor cuma satu jam saja. Namun, kalau berangkat pukul 06.00 WIB bisa sampai di Badau pukul 07.00 WIB dan waktu satu jam bisa digunakan untuk urus tiket, makan atau lihat-lihat suasana di Badau.
Meski perkiraan masih banyak waktu, namun, Jaka tetap memacu motor dengan kencang. Saya hanya bisa menikmati saja ketika motor menabrak batu sekepelan tangan yang berserakan di jalan, atau ketika kendaraan terperosok ke lubang. Sekadar berjaga-jaga saya berpegang pada besi yang terletak di bagian belakang jok motor.

Beda dibandingkan perjalanan dari Badau-Nanga Kantuk pada malam hari ketika saya datang, dalam perjalanan pulang ini saya dapat melihat keadaan sepanjang perjalanan dengan jelas. Ya, jalan Nanga Kantuk – Badau rupanya lebih parah dari yang dilihat malam itu. Jalan keriting, lubang di sana sini, batu-batu sekepalan tangan berhamburan. Aneh lagi, jalan-jalan ini seperti terpenggal. Ada bagian yang beraspal, jalan tanah, jalan pekerasan. Jalan-jalan ini akan semakin parah karena tidak tampak adanya tanda-tanda perbaikan. Beberapa jembatan juga dalam keadaan mengkhawatirkan. Maklum letaknya jauh dari pandangan mata, sehingga harap dimengerti jika keadaan terbiarkan begitu.

Jaka tidak tahu mengapa jalan seperti ini. Mungkin juga dia tidak mau mengatakan cerita-cerita mengenai keadaan ini. Dia hanya berharap agar keadaan jalan segera diperhatikan pemerintah, sehingga dengan begitu dia jadi lebih enak. “Kalau lewat jalan begini, kita juga sakit. Tangan pegal-pegal,” akunya.

Saya membayangkan, keadaan jalan semakin rusak karena kerap dilewati alat-alat berat. Misalnya pagi itu, terlihat ada beberapa rekahan baru di aspal, bekas ‘kaki kepiting’ yang dibawa Libas dari Kantuk Asam. Ya, mana pula aspal yang tipis bisa menahan beban berat seperti itu. Sedangkan harapan akan adanya perbaikan mungkin terlalu lama. Maklum, Nanga Kantuk tidak terletak di bagian tengah yang memungkinan jadi tempat laluan orang dari mana-mana. Nanga Kantuk terletak di bagian ujung jalan. Jalan dari Badau setakat ini mentok di Nanga Kantuk.


Lagian, Nanga Kantuk bukan tempat yang ramai. Penduduknya sedikit, dan kampung-kampungnya terpencar yang jarak antara satu dengan yang lain cukup jauh. Prospeknya tidak cukup cerah.

Banyak orang mengatakan keadaan ekonomi Nanga Kantuk sekarang ini makin parah. Sejak era kayu berakhir, keadaan ekonomi merosot dan kedatangan orang luar terbatas. Sekarang, satu-satunya harapan ada pada karet yang harganya mulai beranjak naik. Namun, mereka juga tidak terlalu yakin karet dapat membangkitkan ekonomi masyarakat seperti kayu sebelumnya.

Disebut-sebut ada potensi batu bara di sini, dan pernah ada tim yang melakukan survey. Namun, kemungkinannya sangat kecil. Karena kabarnya, belum apa-apa calon investor sudah muncul hambatan teknis yang membuat mereka harus mengeluarkan biaya ekstra.

Nanga Kantuk juga tidak menjadi perhatian utama pemerintah. Boleh dikata, dibandingkan Badau, Nanga Kantuk berada di pinggiran. Kiranya, kalau pun nanti Badau menjadi kawasan yang ramai dan geliat ekonominya rancak, Nanga Kantuk hanya bisa menjadi penyanggah saja.

Sekitar pukul 07.15 WIB kami sampai di Badau. Saya diturunkan di terminal, dan Jaka langsung berpatah balik, kembali ke Nanga Kantuk. Dia mengaku masih harus membawa dagangannya –ikan asin, keliling kampung sekitar Nanga Kantuk. Dia masih harus memburu rupiah dan ringgit di kampung-kampung itu, berhadapan dengan alam yang keras. Menghadapi berbagai tantangan alam.

Berinteraksi dengan orang Kantuk dan Iban, dan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa mereka tanpa menganggap adanya sekat dan hambatan. Kepiawaian yang seharusnya dimiliki semua orang dan ditampilkan ke permukaan. Habis.


Baca Selengkapnya...

Catatan Perjalanan 3 : Mengenal Masyarakat dan Bahasa Kantuk di Kalbar

Kamis (29/6) pagi saya merekam cerita mitologi orang Kantuk dengan Jami (Jambi), orang tua Kantuk di kampung yang sama. Pak Jami demikian disapa, pernah menjadi pejabat desa. Sekarang tidak lagi karena umurnya sudah lanjut. Masa muda dia sering ke mana-mana, baik untuk urusan dinas, untuk urusan adat istiadat Kantuk, atau untuk mengunjungi kaum kerabatnya di tempat lain. Beberapa pejabat penting di Putussibau dan di Pontianak di antaranya anak pangkat ponakan Pak Jami.


Ceritanya sungguh menarik. Tidak saja karena isinya tetapi cara dia bertutur, sangat kemas. Seakan-akan kata demi kata meluncur dari hafalan. Padahal sebelumnya dengan merendah Pak Jami mengatakan dia tidak pandai bercerita. Apa yang dia ceritakan hanya yang pokok-pokoknya saja. Bagi saya, orang seperti Pak Jami jarang dijumpai.
Nama Pak Jami juga aneh. Bagi saya, nama itu tidak biasa dalam rumus fonotaktik bahasa Kantuk. Dan memanglah ketika saya tanyakan, Pak Jami mengakui bahwa namanya itu diambil dari nama kapal Belanda dahulu: Kapal Jambi. Pemberian nama ini untuk mengingat bahwa dia dilahirkan ketika ibunya menumpang kapal itu.

Lantas, setelah agak siang, saya ke Telutuk, kampung Kantuk di Sungai Empanang paling hulu, berbatasan dengan kampung Iban. Saya jalan bersama Jaka, menggunakan motor. Jalannya sangat parah. Beberapa bagian adalah kubangan lumpur. Untuk melewati bagian itu, diletakkan papan kayu. Sawan juga, khawatir jatuh. Untung Jaka terampil. Kakinya yang kukuh menjadi tongkat yang baik, sehingga kalaupun motor sempat sekali dua terpeleset, namun tidak sampai jatuh.

“Sewaktu usaha kayu masih jalan ini lumayan bagus. Sekarang tidak lagi. Sekarang agak bagus. Kalau musim hujan tidak ada yang bisa lewat,” katanya.
Sekitar satu jam kemudian kami sampai di Telutuk. Mula-mula tampak bangunan sekolah dasar, kemudian terlihat rumah-rumah penduduk. Kampung ini tampak sepi. Saya hanya melihat satu dua penduduk di depan rumah, atau melongok di depan pintu melihat motor kami lewat. Mungkin karena kami datang siang, entahlah!

Jaka kemudian menghentikan motor di depan seorang wanita paroh baya yang sedang berjalan searah perjalanan kami. Dia menyapa dengan bahasa Kantuk, bertanya di mana rumah kepala dusun. Wanita dengan ambenan ini menjawab ramah, menunjuk sebuah rumah di arah depan, seraya mengatakan bahwa mungkin kepala dusun tidak ada di rumah.
Jaka bertanya lagi di mana rumah tokoh adat, dan wanita itu kemudian menunjuk ke arah rumah bercat hijau yang tidak jauh dari tempat kami berhenti.
Kemudian kami menuju rumah hijau itu. Mula-mula kami bercakap-cakap dengan Paulus Nyangin, tak lama kemudian datang warga lain, misalnya Petrus Begili, Abdur Rasak dan Masing, serta beberapa anak muda dan wanita. Masing adalah kebayan di Telutuk, umurnya sudah lanjut 72 tahun. Dia termasuk saksi sejarah konfrontasi Indonesia Malaysia. Pada saat konfrontasi dia sempat menjadi penunjuk jalan bagi tentara Indonesia.

Selain itu, nama Abdur Rasak menarik perhatian saya karena nama itu berbau nama Islam atau Melayu. Sudah banyak kali sebenarnya keadaan seperti ini ditemui di lapangan. Namun, bagi saya ‘fakta’ ini tetap saja menarik. Membayangkan pengaruh Islam (Melayu) atas orang Kantuk, sekaligus membayangkan hubungan yang rapat antar komuniti Islam-bukan Islam, Melayu - bukan Melayu. Fakta ini menunjukkan bahwa pada suatu ketika nama bukan bagian yang penting dalam penanda identitas orang di sini. Tidak seperti sekarang, dari nama orang sudah langsung memastikan dari kelompok mana seseorang berasal dan bagaimana harus memperlakukannya.

Di sini proses wawancara pengisian daftar kata berlangsung menarik. Mereka yang ada di sana memperlihatkan antusiasme mereka. Memberikan penjelasan atau keterangan tambahan hampir pada setiap entri kata.

Cerita mengenai asal usul Kantuk Telutuk, perpindahan rumah panjang, konflik dengan Iban, serta adat istiadat, sungguh menarik disimak. Rasanya, perjalanan sulit ke Telutuk tidak terasa dibandingkan data dan informasi yang diperoleh.

Menjelang sore kami kembali ke Nanga Kantuk. Singgah di warung sekejap, kemudian saya rehat di penginapan. Menjelang maghrib, Andi muncul. Kami mentranskripsikan rekaman cerita yang saya buat di Nanga Kantuk. Kami bekerja hingga larut malam.

***

Pagi Jumat (30/6). Saya agak bingung. Mulanya saya mau pergi ke wilayah Jelemuk, di sana ada beberapa perkampungan orang Kantuk. Letaknya di bagian utara Nanga Kantuk masuk dalam wilayah kabupaten Sintang. Informasi yang masuk mengatakan bahasa di beberapa kampung di sana beda dengan bahasa di Nanga Kantuk.
Tetapi, last minute, saya mengubah rencana. Saya membatalkan rencana ke Jelemuk dengan risiko kehilangan kesempatan mengetahui bahasa Kantuk yang beda. Saya menghibur diri: ah, Jelemuk bukan dalam wilayah aliran sungai Empanang!

Saya mengubah rencana karena mendengar cerita ada kampung Kantuk lain di bagian hilir sungai Empanang, yaitu Selupai. Saya melihat peta, dan, Puji Tuhan, Selupai ada dalam peta yang saya bawa. Untung saya melihat itu. Kalau tidak, sudah tentu Selupai akan tercicir dari kunjungan saya. Dan sudah pasti saya akan menyesal. Bayangkan, sebuah kampung Kantuk yang tua terletak di bagian paling hilir berbatasan dengan kampung-kampung Melayu, sudah pasti kampung yang istimewa. Biasanya kampung-kampung seumpama ini akan memperlihatkan perbedaan dibandingkan kampung-kampung yang terpencil (terisolasi) atau kampung yang dikelilingi penutur bahasa yang sama.

Saya berangkat ke Selupai sekitar pukul 08.00 WIB, setelah sarapan dan pemilik sampan bersiap-siap. Saya pikirkan, sekitar pukul 09.00 WIB sudah sampai dan menjelang shalat Jumat sudah bisa sampai di Nanga Kantuk lagi. Bagaimanapun sebelumnya, pemilik perahu mengatakan Selupai tidak terlalu jauh dari Nanga Kantuk.
Saya diberi tahu perahunya dengan speed 3,5 PK sudah siap menunggu di tepian. Ada orang yang akan mengantarkan saya ke sana –pemilik perahu memberitahukan yang akan membawa saya ke Selupai itu ponakannya. Sampai di tepian, saya lihat ada anak muda menjongkong di tebing sungai. Badannya gempal dan rambutnya berkuncir. Kulitnya agak gelap. Saya menyapanya dan bertanya tentang perahu yang akan ke Selupai. Dia lantas menunjuk pada sebuah perahu yang ditambat di lanting (tempat mandi yang terbuat dari batangan kayu besar). Dia memberi tahu akan ikut mengantar ke Selupai, bersama temannya bernama Nuar.

Saya agak tertarik dengan pemuda itu ketika dia memberi tahu namanya: Budin dan nama temannya Nuar. Ya, nama itu familier di telinga saya. Banyak teman punya nama seperti itu. Bagi saya, lagi-lagi nama itu mengingatkan pada identitas Melayu atau Islam. Tetapi saya menduga pemuda itu bukan Melayu dan bukan Islam. Dia mungkin Iban atau Kantuk, dan dia umat Kristiani. ‘Fakta’ ini sama seperti nama Abdur Rasak yang saya temui di Telutuk.

“Nama Japari Budin, Antonius Japari Budin,” katanya. Nama ini diberikan oleh orang tua karena mengingatkan pada nama Bupati Kapuas Hulu AM Japari. “Waktu saya dilahirkan, Pak Japari pas berkunjung ke kampung kami,” katanya.

Tak lama kemudian datang Nuar. Saya tidak bertanya lagi soal nama Nuar. Karena memperkirakan Nuar itu orang Iban atau Kantuk. Lagi, sebelumnya pemilik perahu sudah memberi tahu bahwa pengantar itu adalah ponakannya. Jadi kesimpulan saya kalau pemiliknya orang Iban, ya, ponakannya orang Iban juga. Jadi tak perlulah banyak tanya.

Beberapa kali komunikasi antara Budin dan Nuar dalam bahasa Iban. Kadang juga dalam bahasa Melayu. Sesekali saya juga nyeletuk, masuk dalam pembicaraan mereka.
Saya sempat cun juga ketika perahu mulai bergerak. Aliran sungai berkelok-kelok, kayu di mana-mana. Sungainya juga kecil. Saya membayangkan keadaannya seperti sungai Pengkadan bagian hilir – anak Sungai Embau. Pada waktu kecil saya sering hilir mudik melalui sungai Pengkadan bersama bapak kalau hendak ke Jongkong. Saya mulai ragu kalau perjalanan bisa ditempuh dalam waktu satu jam.

Sepanjang perjalanan kami berpapasan dengan banyak orang. Ada yang pulang dari kebun mereka, ada yang mencari ikan, ada yang mudik membawa barang. Setiap bertemu orang Nuar menyapa mereka dalam bahasa Iban (mungkin juga Kantuk) dan Melayu. Ini yang membuat saya agak yakin bahwa Nuar itu orang Iban.

Memang, kampung-kampung di aliran sungai Empanang adalah kampung Iban. Kampung Kantuk hanya di Telutuk Batu, itu pun agak jauh dari sungai. Nuar dengan antusias memberikan penjelasan ketika ditanya kampung-kampung yang dilewati itu. Dia tahu karena sering berkunjung ke kampung tersebut dan dia kerap kali membawa barang-barang orang kampung itu.

Setelah hampir 2 jam perjalanan, kami sampai di Selupai. Perahu berhenti di sebuah stigher dan gerbang bertuliskan ‘Selamat Datang di Selupai”. Tulisan dan gerbang itu menarik karena bisa menunjukkan tradisi keberaksaraan masyarakat setempat. Jadi, jangan kira masyarakat kampung tidak bisa membaca. Jangan kira masyarakat kampung tidak menganggap penting tulisan.

Yang juga menarik, ada motor air di sana. Motor air ini sekaligus mengingatkan saya mengenai image orang terhadap orang Dayak. Biasanya orang menganggap orang Dayak itu orang gunung, orang pedalaman, orang Darat. Tetapi, orang Kantuk ini, bukan orang Darat. Mereka orang sungai. Mereka buat perahu sendiri, dan mereka punya motor air. Jelas image seperti itu tidak bisa diterima. Saya pun bisa menunjukkan ada orang Melayu yang membuat kampung agak jauh di darat, berladang di atas gunung, tinggal terisolasi di pedalaman.

Kami mencari rumah kepala desa, sebagai bentuk ‘permisi’. Namun kepala desa tidak ada. Yang ada hanya orang tuanya Demung, 75. Kami berbincang-bincang. Ternyata dia asalnya orang Desa yang kawin dengan orang Kantuk. Mungkin dia dapat memberikan informasi, namun, jelas tidak bisa dijadikan informan untuk mengisi daftar kata. Sebab untuk daftar kata harus penutur asli Kantuk. Beruntung tak lama kemudian muncul Idau, 43. Idau adalah termasuk pengurus desa. Dia memang orang Kantuk.

Proses pengumpulan daftar kata dimulai. Idau sangat antusias membantu, padahal siang itu dia berencana pergi ke ladang. Dia juga sangat ramah. Bahkan sesekali terlontar dari mulutnya keheranan dengan apa yang saya cari. Sebelum ini dia tidak pernah membayangkan ada orang datang untuk belajar bahasa Kantuk! “Panjang-panjang umur, bertemu juga dengan hal seperti ini,” katanya dalam bahasa Kantuk, sambil tertawa.
Tidak cuma dia, tetapi Demung dan sejumlah orang yang mendengarkan pernyataan itu juga tertawa. Mereka juga tertawa jika pertanyaan yang saya ajukan aneh. Misalnya, ketika saya bertanya tentang struktur tubuh manusia, mulai rambut sampai ujung kaki. Sampai pada pertanyaan tentang kemaluan lelaki dan perempuan, mereka kembali tertawa, seraya tampak agak malu-malu menjawab. –Biasanya sepanjang pengumpulan data, memang bagian ini yang membuat orang tertawa-tawa.

Yang juga agak menarik, saat pengumpulan data, beberapa kali Nuar, Budin, dan Demung berusaha membantu menjelaskan apa sebenarnya yang saya maksudkan, atau kadang kala mereka memberikan jawabannya. Tetapi, sering juga jawaban itu diperbaiki. “Itu bahasa Melayu. Kantuk bukan begitu”, atau “Itu bahasa Iban, bukan Kantuk”.

Cara menjawab seperti ini menunjukkan betapa meskipun mereka bergaul tetapi identitas bahasa masing-masing cukup tegas. Saya kira menarik kalau diteliti lebih jauh bagaimana proses pertembungan bahasa di sini, antara bahasa Melayu, Iban dan Kantuk. Kedudukan Selupai yang diapit kampung Melayu (di hilir) dan Iban di hulu, sudah pasti berpengaruh pada perkembangan bahasa dan identitas mereka. Saya waktu yang tersedia tidak cukup untuk melakukan itu.

Sememangnya, saya menemukan salah satu ciri Kantuk Selupai yang berbeda dibandingkan Kantuk di Nanga Kantuk, Telutuk atau di Kedamin. Ciri itu adalah bunyi ‘r’ yang mirip dengan bunyi ‘r’ Melayu atau bunyi ‘r’ bekarat. Sebab biasanya, bunyi ‘r’ Kantuk adalah ‘r’ getaran. Bahkan teman saya Dr. Chong Shin yang pernah mengumpulkan data di Sintang menemukan bunyi ‘flap’ atau tamparan, yaitu agak mirip getaran namun getarannya singkat, hanya satu kali saja.

***

Lewat tengah hari kami kembali. Saya sangat senang dengan kunjungan ini. Namun walau begitu perjalanan memudiki sungai Empanang tetap saja terasa susah. Speed kecil mengarungi sungai yang alurnya sempit dan cukup deras, membuat perjalanan terasa lamban. Apa lagi sesekali kipas speed terbentur kayu. Nuar dan Budin harus mengganti pin yang patah.

Di tengah perjalanan, saya bertanya pada Nuar mengenai asal usulnya. Dan ternyata, dugaan saya salah. Sebab, Nuar rupanya orang Islam. Dia orang Melayu Suhaid. Lahir di kampung Melayi di pinggir sungai Kapuas. Kakeknya dahulu memang Iban, tetapi ayahnya Islam dan menikah dengan orang Melayu di Suhaid. Nuar dibesarkan dalam lingkungan Melayu. Kemudian, dia merantau ke Nanga Kantuk dan bekerja pada pamannya yang Iban.

Ya, saya salah. Ternyata nama, kemampuan bahasa, tidak selalu mencerminkan suku dan agama. Semakin jauh perjalanan semakin banyak fakta yang ditemukan.



Baca Selengkapnya...

Catatan Perjalanan 2: Mengenal Masyarakat dan Bahasa Kantuk di Kalbar

Informan memberi tahu bahwa mereka tinggal di sini dalam beberapa generasi lalu. Pada mulanya mereka tinggal di rumah panjang. Namun, sekarang tidak lagi. Rumah panjang sudah berganti dengan rumah tunggal.



Mereka berpindah dari daerah Nanga Kantu’. Perpindahan terjadi sekitar 150 tahun lalu. Mereka mengungsi karena terjadi bentrok dengan orang Iban, yang masih terhitung saudara mereka. Bentrok terjadi karena berbagai versi. Ada yang menyebutkan kemelut itu terjadi karena mereka berebut buah labu di atas pelataran (tanjuk). Masing-masing mengaku labu itu milik mereka. Karena tidak ada yang mau mengalah akhirnya mereka perang.

Ketika memetik daftar kata, ada salah seorang anak muda yang duduk di sampai Y Sangga. Dia lebih banyak diam. Hanya sesekali membantu saya menjelaskan maksud pertanyaan kepada informan. Dia kadang meluruskan jika informan mengucapkan kata-kata bukan dalam logat asli Kantu’. Atau sebaliknya kalau dia mencoba memberi tahu saya mengenai bentu pertuturan Kantu’, informan mengingatkan ucapan itu tidak tepat.
Bantuannya sangat penting. Karena itu saya ingin mengetahui mengenai anak muda itu. Dia memberi tahu asalnya dari Kalimantan Tengah, Dayak Ot Danum. Dia kawin dengan orang di kampung itu dan kini menjadi penduduk di sana. Karena interaksi dengan istri dan orang di kampung dia jadi bisa bahasa Kantu’.

Kenyataan ini mengingatkan saya dua hal. Bahwa migrasi di pedalaman Kalimantan terjadi. Orang satu kampung pindah ke kampung yang lain. Jadi, orang pedalaman sebenarnya tidak benar-benar terisolasi. Interaksi penduduk satu kampung dengan kampung yang lain berlangsung intens.

Orang dari sub-suku yang satu menjadi sub-suku yang lain. Jadi, mereka boleh menjadi Kantu’ atau sebaliknya boleh keluar Kantu’. Jadi suku apa anak mereka kelak tergantung di mana anak itu dibesarkan. Bukan karena siapa yang lebih dominan –apakah ibu atau bapak, dalam keluarga. Kelihatannya tidak hanya bisa “Jadi Melayu” saja!

Ketika sampai di penginapan, kami lantas memeriksa kembali rekaman yang dibuat di kampung. Agak menarik bahwa menurut pendamping saya, ketika kami mendengarkan rekaman-rekaman itu, dia mengatakan banyak pengaruh bahasa Indonesia, atau bahasa Melayu. Ada beberapa contoh, misalnya : ......... Padahal tadi waktu rekaman cerita saya sudah wanti-wanti meminta mereka bercakap dalam bahasa Kantu’.

Kenyataan ini membayangkan pada saya mengenai ekologi bahasa, kontinum dialek, peminjaman, emblematic, dan identitas orang Kantu’. Saya tidak sampai pada kesimpulan benar salah. Tetapi saya melihat bentuk-bentuk yang ‘bukan Kantu” digunakan orang Kantu’ dalam berkomunikasi. Pada orang Kantu’ ada kesadaran bahwa ini bahasa mereka dan ini bahasa orang lain.

***

Hari berikutnya saya pergi ke Nanga Kantu’, melalui Badau, tempat yang sering saya dengar namun sebenarnya masih asing. Saya sangat akrab dengan Badau sebagai tempat yang memiliki prosfek cerah. Saya tidak bisa membayangkan jalan mana pergi ke Badau.
Kami berangkat agak siang. Bis mulanya berputar-putar menjemput penumpang. Sebelum akhirnya keluar menuju Badau. Seperti yang dibayangkan, jalannya sempit dan kecil. Tetapi, masih lumayan dibandingkan jalan Sintang – Putussibau. Jalan ini relatif baik, tidak terdapat lubang jalan yang besar. Memang lubang kecil tidak membuat nyaman berkendaraan.

Ada beberapa perbaikan di ruas ini. Jembatan-jembatan diperbaiki. Di tengah perjalanan tampak tumpukan batu dan bekas aspal. Cukup panjang juga. Jadinya perjalanan agak nyaman. Namun ada sedikit gangguan karena beberapa kali bis yang kami tumpangan mogok, masuk angin.

Sepanjang jalan terdapat kampung Iban. Di antaranya terdapat rumah-rumah panjang. Sebagian rumah panjang itu sedang dibangun, atau baru selesai dibangun –jadi tampak masih baru. Saya merasa takjub juga karena jarang sekali saya mendengar pertumbuhan komunitas rumah panjang di Kalbar. Karena kurang makanya rumah panjang di Melapi, tempat tinggal orang Taman, menjadio objek wisata. Saya sendiri tidak punya banyak bayangan mengenai rumah panjang di Kalbar ini. Karena seumur-umur baru naik rumah panjang orang Iban di Kepiat, sebuah kampung di dekat Jongkong, itu pun waktu masih belajar di Madrasah Tsanawiyah (SMP) karena ikut paman yang mengajar di sana. Kalaupun ada bayangan sedikit itu pun melalui beberapa tulisan terdahulu mengenai orang Iban atau Kantuk.

Sepanjang penelitian di kampung-kampung Kalbar baik di sepanjang sungai Sekadau, Sungai Laur, Sungai Kualan, di Meliau, tidak pernah berjumpa rumah panjang. Kalau pun ada hanya ketemu bekas-bekasnya saja. Ini berbeda dengan Sarawak. Ketika saya melakukan penelitian untuk disertasi, setiap kampung ada rumah panjang.
Karena itu saya begitu sepok ketika melintas di jalan depan rumah panjang Melapi, atau ketika melintas di kampung-kampung Iban di sekitar kecamatan Batang Lupar, dan kecamatan Badau.

Sampai di Badau sekitar pukul 16.00 WIB. Bis berhenti di simpang di luar terminal. Menurunkan penumpang. Saya ragu karena Badau yang saya lihat tidak seperti yang dibayangkan. Saya mencari-cari di mana pasarnya, di mana terminalnya. Mana lagi sepi! Ketika kami turun ada beberapa orang tukangan ojek menawarkan jasanya. Dia menyebut nama tempat yang bisa dilayani.

Ketika dia menyebut nama Nanga Kantu’, spontan saya mencoleknya.
“Berapa ke sana?”
“Biasa. Rp 100 ribu,” katanya.

Saya menawar. Namun dia bertahan. Ya, sudah. Saya menerima. Saya pikir hari menjelang malam. Kalau saya menginap di Badau dan baru besoknya ke Nanga Kantuk ikut mobil helak (jenis jep dari Malaysia –high lux) biayanya juga akan kurang lebih. Katanya, di Nanga Kantuk juga ada penginapan. Jalan ke sana tidak bagus. Dia membawa teman tukang ojek lain. Mengapa, khawatir terjadi sesuatu di perjalanan. Karena pulang malam. “Kalau ke Nanga Kantuk sore begini, saya selalu ajak teman,” aku tukang ojek.

Setelah makan, kami berangkat ke Nanga Kantuk. Waktu hampir pukul 17. Tukang ojek memacu motor bebek berplat Malaysia. Sedangkan temannya menggunakan jenis motor besar King. Benar seperti yang dikatakannya, jalan Badau – Nanga Kantu’ rusak. Beberapa kali saya harus turun dari motor ketika melewati kolam di tengah jalan.
Sekitar beberapa menit perjalanan, tiba-tiba ban motor pecah. Masih untung di jalan lurus. Jika pecahnya pas di tikungan, mungkin nahas. Kami berhenti memeriksanya. Malang, rupanya pecah terlalu besar. Sehingga harus diganti. Karena memang tukang ojek siap dengan peralatannya, maka persoalan kecil ini ditangani sendiri. Bongkar ban dan pasang ban dalam memakan waktu juga. Sedangkan waktu terus berjalan. Selesai. Tukang ojek memompa ban. Dia coba. Belum cukup. Dipompa lagi. “Harus terik,” katanya.

Mungkin karena terlalu terik, ban yang sedang dipompa meletus. Tukang ojek melenguh panjang. Saya hanya bisa tersenyum kecut. “Ban ini memang jelek. Kalau ban Malaysia bagus,” ujar tukang ojek. Rupanya bucu (picu) yang jebol.

Untung masih ada satu lagi stok ban. Ban yang bocor dikeluarkan dan dipasang ban baru, lantas dipompa lagi. Belajar dari pengalaman sebelumnya, kali ini pompaannya tidak maksimal. Cukup bisa bawa satu orang saja. “Nanti, kamu ikut dia (dia menunjukkan ke temannya, red), saya bawa tas saja,” kata tukang ojek pada saya.
Hampir gelap. Kami melanjutkan perjalanan. Naik motor besar di jalan yang keriting (jalan tanah yang bergelombang) agak selesa sedikit dibandingkan naik motor kecil. Dengan motor besar goncangannya tidak terasa amat. Kami melewati kampung-kampung Iban. Tampak mereka duduk-duduk di ruang bagian depan rumah, atau di tangga semen –sebab rumah panjangnya tidak bertiang tinggi. Di beberapa tempat tampak anak-anak Iban bermain di halaman depan rumah mereka.

Kini keadaan benar-benar gelap. Umumnya rumah panjang juga gelap. Ada tiang listrik, namun tidak ada aliran. Nyala lampu baru terlihat ketika kami sampai di Nanga Kantuk, sekitar pukul 19.00 WIB.

Kami berhenti di sebuah warung. Ada beberapa orang duduk di sana. Rupanya tukang ojek sudah kenal dengan pemilik warung. Mereka berbasa basi, menceritakan hal ehwal perjalanan. Sebelum akhirnya mereka membicarakan maksud kedatangan saya.
Pemilik warung menanyakan identitas saya, dan menanyakan maksud kedatangan. Saya juga bertanya tentang dia. Rupanya dia orang Melayu asal Selimbau. Saya menyebutkan keluarga mara yang ada di Selimbau, mungkin dia kenal. Susun-susun susur galur, rupanya hitung-hitung masih keluarga. Saya pikir jalan mudah untuk kegiatan lapangan. Dan biasanya hal seperti ini sangat membantu.

Dia kemudian menceritakan tentang penduduk Nanga Kantuk, tentang penginapan, dan tentang kampung-kampung Kantuk. Informasi yang sangat berharga. Dia juga menawarkan anak angkatnya yang dapat membantu saya mengunjungi kampung-kampung orang Kantuk.
Setelah tukang ojek pulang, saya diantarnya menuju penginapan. Sebuah rumah di bagian hilir berlantai dua. Tak ada plang yang menunjukkan adanya penginapan. Bagian bawah toko dan tempat tinggal pemilik. Sedangkan kamar-kamar kosong di lantai atas.
Pemilik penginapan —suami istri, kelihatan jadi sibuk memasang spray, sarung bantal, mengangkut air untuk WC yang kering, mencoba lampu. “Belum jadi benar,” kata pemilik penginapan.

Lagian, sekarang penginapan agak jarang digunakan. Sejak era kayu berakhir, hanya sesekali saja orang singgah di penginapan ini.
Setelah membongkar barang dan rehat sebentar, saya kembali ke warung. Di sana sudah ada anak angkat pemilik warung. Kami menyusun rencana.
Lantas kemudian kami menuju rumah kepala desa Nanga Kantuk. Letaknya di bagian hulu. Tapi, dia tidak ada di sana.

Lalu, kami menuju rumah Temenggung Kantuk di Nanga Kantuk. Rumahnya berada di depan penginapan.
Temenggung Kantuk, Antonius Suring menyambut kami dengan ramah. Saya mengemukakan tujuan kedatangan dan apa-apa yang saya lakukan di Nanga Kantuk. Dia bersedia membantu.

Menceritakan mengenai sejarah Kantuk, dan mengeluarkan sejumlah dokumen mengenai adat istiadat. Secara khusus dia menceritakan mengenai kisah Kantuk di wilayah ketemenggungan dia.

Ketika saya memerlukan seorang anak muda untuk mentranskripsikan dan menerjemahkan rekaman cerita Kantuk, dia lantas memanggil anaknya, Pilipus Andi.
Panjang cerita, dia kemudian menceritakan bahwa sebelum saya pernah ada orang putih yang melakukan penelitian mengenai Kantuk di kampung lama mereka, dahulu sewaktu dia masih muda. Peneliti itu, Michael R Dove. Dia memuji kesungguhan Dove melakukan penelitian tentang peladangan. Hal-hal kecil ditanyakan, diamati dan dicatat. Temenggung Suring mengaku menemai Dove kala itu.

Tentu saja cerita ini mengingatkan saya pada tulisan Dove mengenai peladangan orang Kantuk. Saya mengingat dalam tulisan ini ada foto rumah panjang, ada gambar-gambar lain. Sayangnya saya tidak membawa tulisan itu, sehingga memungkinkan saya membuat sedikit bandingan. Pasti sekian puluh tahun berjalan keadaan sudah lain.
Bukti paling nyata, kini rumah panjang itu tidak ada. Penghuni rumah panjang sudah membangun rumah tunggal. Tidak lagi di kampung lama terpencil. Kini, penghuni rumah panjang itu sudah tinggal di kota! –sekalipun kota kecil Nanga Kantuk. Rumah orang Kantuk sekarang sudah modern. Bahkan isi rumah Temenggung misalnya, kursi jati! Sebuah gambaran mengenai cita rasa orang Kantuk sekarang.

“Kami, orang Kantuk tidak lagi tinggal di rumah panjang. Lebih baik begini,” kata Temenggung.

Memang diakui ada lebih ada kurangnya kalau tinggal di rumah panjang. Tinggal di rumah panjang membuat orang Kantuk lebih mudah menjalin komunikasi. Tetapi masalahnya, pada kebersihan, pada soal kepercayaan, dan lain-lain. “Namanya kalau ramai, ada-ada saja yang buang sampah sembarang,” ujarnya.

Menurutnya orang Kantuk percaya bahwa mereka harus pindah kalau di rumah panjang itu ada orang yang meninggal berturut-turut. Padahal katanya, kalau sering-sering pindah repot. Tidak pindah, susah juga karena berarti akan tinggal sendiri di rumah yang besar itu. “Kalau sudah tinggal di rumah sendiri-sendiri tidak akan seperti itu,” tambahnya. Bersambung.

Baca Selengkapnya...

Catatan Perjalanan 1: Masyarakat dan Bahasa Kantuk di Kalbar

aya sudah mengenal nama Kantuk sejak lama, sejak kecil-kecil dahulu, melalui moyang, kakek-nenek, Bapak-Umak, paman-paman dan keluarga jauh. Saya diperkenalkan oleh mereka bahwa orang Kantuk adalah salah satu kelompok orang masyarakat yang tinggal di wilayah sekitar Silat-Suhaid. Mereka masih ada hubungannya dengan orang Iban dan orang Mmayan --kelompok bukan Islam yang letaknya tidak jauh dari kampung kami, Riam Panjang. Seingat saya, hanya itu yang saya ketahui mengenai komunitas ini.


Saya ingat saya mengenal kembali Kantuk ketika mulai belajar linguistik di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Ketiak itu saya berkenalan dengan Dr. Rahim Aman, salah seorang ahli bahasa yang membuat penelitian mengenai orang Kantuk. Rahim sering mengajak saya berdiskusi, dan dia juga mengajak saya turun ke kampung Kantuk di sekitar Semitau. Rahim juga menunjukkan pada saya tesis masternya di UKM yang menulis tertentang perbandingan fonologi dan morfologi kelompok Iban, Kantuk dan Mualang. Ketiga kelompok masyarakat ini menurut ahli linguistik disebut sebagai kelompok Ibanik (Adelaar 1993).

perspektif linguistik. Bahwa, bahasa Kantuk termasuk dalam kelompok Ibanik, dengan sedikit perbedaan dibandingkan bahasa Iban. Penelitian Michael R Dove menambah informasi mengenai masyarakat ini, khususnya dari sisi kegiatan peladangan. Begitu juga dengan informasi yang ditampilkan Zulyani Hidayah dalam Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia, sedikit banyak menambah informasi mengenai kelompok masyarakat ini.

***
Dengan informasi sedemikian dangkal, saya masih merasa gelap. Bak kata, ketika ke lapangan jalannya seperti meraba-raba. Saya hanya punya bayangan mencari orang Kantuk ke Sungai Kantuk.

Bagaimana mau ke sana? Itu satu hal lagi. Ada yang mengatakan sebaiknya lewat Putussibau, ada yang menyarankan lewat Semitau. Dua-dua pilihan sama sulitnya. Lewat Semitau konon, menggunakan speedboat, itu belum tentu ada setiap hari. Kalau ada banyak penumpang berangkat, jika tidak, menunggu. Kalau mau cepat harus carter. Biayanya, muahal.

Bisa lewat Putussibau, melalui Lanjak, dan seterusnya ke Nanga Kantuk. Ada angkutan setiap hari. Cuma jalannya tidak baik. Dan memakan waktu puluhan jam. Dibandingkan lewat Semitau, kononnya lewat jalur Putussibau lebih murah. Ya, sudah, saya memilih lewat Putussibau saja.

Saya belum mantap buat putusan, ketika berangkat dari Pontianak Sabtu (24/6). Biar perjalanan tidak berat amat, dari Pontianak singgah di Sintang. Minggu, (25/6), saya melanjutkan perjalanan ke Putussibau mengunakan bis Perintis.

Tetapi, malangnya, perjalanan tidak selancar yang dibayangkan. Hujan yang terus mengguyur menyebabkan lubang jalan tergenang air. Ini yang menyebabkan lubang-lubang di jalan menganga semakin lebar dan lalu lintas terkendala. Berkali-kali bis yang saya tumpangi terperangkap di lubang jalan dan karena itu harus menunggu kendaraan lain menariknya. Di Pelimping misalnya, kami terperangkap di sana selama lebih enam jam. Penyebabnya, ada truk dan bis terperangkap di tengah jalan. Untung, selama berjam-jam itu, ada warung kaget yang menjual mie rebus sehingga kami tidak sampai “kebuluran”.

Kami menunggu lama karena kendaraan yang terperangkap tidak bisa ditarik mundur. Jadi, praktis menunggu kendaraan yang datang dari arah Simpang Silat. Sekitar pukul 3 baru muncul bis jurusan Putussibau – Pontianak. Mula-mula bis itu sendiri mencoba menarik bis yang terperangkap, tetapi tidak bisa. Setelah ada truk datang membantu menarik menggunakan sleng, barulah bis yang terperangkap bisa keluar dari lubang jalan. Proses itu berlangsung cukup lama.

Selama proses ‘pertolongan’ dilakukan, saya bertemu dengan beberapa penumpang bis dari Putussibau itu. Di antaranya Wan Usop –saya panggil begitu. Dia Sekretaris Wilayah NU Kalbar. Ada juga Pak Misbahudin, guru dari Riam Panjang. Mereka menceritakan bahwa mereka sudah satu malam di jalan. Semalam mereka terperangkap di beberapa tempat sebelum Simpang Silat. Sebelumnya beberapa kali mereka harus turun kalau bis amblas. Sesekali mereka harus membantu mendorong bis. Tidak heran, kalau Wan Usop sudah seperti kondektur: Baju dan celananya penuh berlumpur!

Bis kami melanjutkan perjalanan. Namun, hanya beberapa kilometer dari Pelimping, bis kembali terperangkap dalam kolam di tengah jalan. Di sini pun bis harus ditarik kembali. Ketika mencapai tugu perbatasan Sintang-Kapuas Hulu saya melihat banyak kendaraan berhenti. Jumlah orang yang duduk di atas beton di kaki “mungguk” itu juga ramai, saya hitung ada puluhan orang. Mereka memandang ke arah lembah, di sana tiga truk –dua di antaranya truk tanki sedang menarik sebuah mobil yang terperangkap dalam “paret” di tengah jalan. Lubang paret yang berlumur itu tidak kurang dari satu meter, dengan panjang 3-4 meter, menyebabkan tidak mungkin sebuah kendaraan bisa lewat tanpa ditarik. Di sinilah sebelumnya bis jurusan Putussibau-Pontianak terperangkap berjam-jam.

Bis kami juga tertahan di sana menunggu giliran lewat sampai malam. Ya, sekitar pukul 7 malam baru bis lanjut sampai ke Simpang Silat, tempat bis berhenti, dan di sana, penumpang bisa makan. Walaupun gelap –karena listrik tidak menyala, ramai sekali Simpang Silat malam itu. Sejumlah truk berhenti. Mereka akan melanjutkan perjalanan esok harinya.

Sekitar pukul 9 malam, kami melanjutkan perjalanan. Benar saja, tidak lama kemudian kami kembali terperangkap di sebuah tanjakan berlumpur. Kendaraan dari arah Putussibau tidak bisa melewati tanjakan itu tanpa ditarik. Licin! Tidak kurang dua jam kami di sini menungu giliran lewat.

Hampir tengah malam kami sampai di Pala Kota. Sopir, Bang Nasir –begitu disapa, memutuskan singgah di sebuah rumah makan dan bermalam di sana. Rupanya di warung itu sudah banyak awak truk yang mendengkur. Saya hitung lebih dua puluh orang malam itu nginap di rumah makan Pala Kota.

Walaupun banyak penumpang yang ngomel karena menurut mereka pemerintah –khususnya kepala daerah, tidak serius memerhatikan keadaan jalan negara itu, saya menikmati perjalanan itu. Sebuah pengalaman yang langka! Bayangkan, naik bis, dan bermalam di jalan. Saya ingat seperti waktu kecil dahulu kami naik sampan dari Riam Panjang – Jongkong, kami bermalam di rumah orang di pinggir sungai, apabila capek mendayung sampan.

Pagi, setelah mandi, makan pagi, kami melanjutkan perjalanan. Agak mendingan malam tidak hujan. Sehingga jalan agak kering. Hanya ada satu tempat yang sukar dilewati. Kondektur bis Perintis, Arif dan Lay, bersama beberapa awak kendaraan lain memperbaiki jalan tempat bis lewat. Lumayan lama. Sampai-sampai ada penumpang yang merungut.

Di tempat lain kami keadaan relatif baik. Ada sekali kami harus menarik bis dengan sleng ketika melalui tanjakan yang lincin. Sampai di Nanga Tepuai bis berhenti dan penumpang turun makan.

Di batas Menendang - Riam Panjang sebuah truk pengangkut pasir terperangkap di tengah jalan. Di sampingnya, sebuah bis jurusan Putussibau – Jongkong juga terperosok. Bis terperosok di pinggir jalan saat berusaha mencari jalan alternatif, tetapi, malang. Saya turun di sini, melanjutkan perjalanan dengan motor menuju rumah. Sedangkan bis, baru sore hari bisa melanjutkan perjalanan menuju Putussibau.

***

Pagi Selasa (27/6), saya melanjutkan perjalanan ke Putussibau. Siang hari sampai di sana. Setelah rehat sekejap, saya bersama Nanang Fadli, mencari informasi mengenai Kantuk di Kapuas Hulu. Kami sempat bertemu dengan beberapa orang untuk mendapatkan informasi mengenai Kantuk dan mengenai perjalanan ke Nanga Kantuk.

Setelah itu, kami mendatangi kampung Kantuk di hulu sungai Bika, yaitu kampung Kedamin Darat Hulu. Kampung ini ada kampung Kantuk paling timur, berbatasan dengan wilayah Orang Taman. Saya dapat merekam cerita soal migrasi dan memungut daftar kata dan informasi mengenai persebaran orang Kantuk. Sore saya ajak seorang anak muda di kampung itu ke penginapan saya di Putussibau untuk mentranskripsi dan menterjemahkan cerita itu.

Contoh Bahasa Kantuk di Kedamin Darat

1. tangan jari
2. siku siku
3. depa depa’
4. kuku kukut
5. telunjuk tunyuk
6. kiri kiba’
7. kanan kanan
8. kaki kaki
9. mata kaki buku’ lali’
10. tumit tumit
11. lutut pala’ patung

Catatan: Bunyi r adalah bunyi getaran.
Orang Kantu’ di Kalimantan Barat
(Sumber Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia)

Orang Kantu’ berdiam di sekitar hulu sungai Kapuas dan anak sungai Kapuas, di provinsi Kalimantan Barat. Jumlah populasinya sekitar seribu – 2000 jiwa. Mereka tersebar di wilayah kecamatan nanga kantuk dan Semitau, di kabupaten Sanggau. Sebagian lain berdiam di wilayah kabupaten Sintang, di sebelah utara daerah aliran sungai Kapuas, sampai ke daerah perbatasan dengan Sarawak. Mata pencarian mereka bercocok tanam padi san sayur-sayuran di ladang, Selain itu jugamenanam karet dan lada untuk dijual, dan hasilnya untuk membeli pakaian, garam, ikan dan tembakau. Berburu dan menangkap ikan sering pula mereka lakukan, binatang buruannya biasanya babi, rusa dan pelanduk.

Orang Kantu’ hidup dalam kesatuan komunitas kampung-kampung, ditandai oleh adanya bangunan tempat tinggal bersama (rumah komunal) yang disebut rumah panjang atau rumah tegoh. Rumah panjang ini berstruktur multikeluarga permanen yang terlelak di pusat wilayah pemukiman. Selain itu mereka membangun gubuk di ladang sebagai tempat tinggal selama musim tanam. Selain rumah tegoh, ada lagi rumah panjang lain yang disebut dampa. Dampa memiliki konstruksi yang lebih sederhana dengan ukuran lebih kecil dan dengan muatan keluarga yang lebih sedikit pula.

Setiap kampung dipimpin oleh seorang kepala kampung dan pembantunya yang disebut kebayan. Selain itu ada pula tokoh-tokoh pemimpin informal yang disebut puun rumah, yaitu keluarga yang memegang tiang pertama ketika rumah panjang itu dibuat, keluarga paling tua (bilek tuai), dan dukun (nanang). Orang Kantu’ memiliki sikap egalitarisme yang kuat sehinga wewenang seseorang atau keluarga tertentu relatif kecil, yang lebih penting adalah wewenang seluruh keluarga.

Masalah-masalah penting diselesaikan melalui musyawarah (pekat) di ruang terbuka. Semua pria dewasa wajib datang ke rapat ini dan wanita tetap berada dalam bilek. Akan tetapi mereka bisa ikut berpartisipasi dengan meneriakkan pendapat dari bilek atau muncul sejenak ke serambi. Apabila terjadi pelanggaran adat maka pengadilan rumah panjang mengharuskan pihak yang bersalah mengorbankan seekor babi atau lebih kepada dewa-dewi.

Dalam kegiatan perladangan mereka biasa mengadakan kerja saling tolong, misalnya dalam rangka menebang hutan, menanam bibit padi, menyaingi, memanen, dan mengangkut hasil panen. Kerja sama ini mereka sebut bertolong atau berimpoh. Ada pula kerja sama yang disebut bedurok, artinya tenaga kerja itu diganti secara ketat berdasarkan harikerja. Kompensasi yang lebih ketat lagi ditemukan pada acara bekuli, karena imbalannya berupa padi atau uang. (Dipetik dari Zulyani Hidayah. 1996. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Halaman 115-116; Sumber yang dikutip Zulyani adalah Dove 1985, Riwut 1958, 1962, King 1985).

Informan memberi tahu bahwa mereka tinggal di sini dalam beberapa generasi lalu. Pada mulanya mereka tinggal di rumah panjang. Namun, sekarang tidak lagi. Rumah panjang sudah berganti dengan rumah tunggal.

Mereka berpindah dari daerah Nanga Kantu’. Perpindahan terjadi sekitar 150 tahun lalu. Mereka mengungsi karena terjadi bentrok dengan orang Iban, yang masih terhitung saudara mereka. Bentrok terjadi karena berbagai versi. Ada yang menyebutkan kemelut itu terjadi karena mereka berebut buah labu di atas pelataran (tanjuk). Masing-masing mengaku labu itu milik mereka. Karena tidak ada yang mau mengalah akhirnya mereka perang.

Ketika memetik daftar kata, ada salah seorang anak muda yang duduk di sampai Y Sangga. Dia lebih banyak diam. Hanya sesekali membantu saya menjelaskan maksud pertanyaan kepada informan. Dia kadang meluruskan jika informan mengucapkan kata-kata bukan dalam logat asli Kantu’. Atau sebaliknya kalau dia mencoba memberi tahu saya mengenai bentu pertuturan Kantu’, informan mengingatkan ucapan itu tidak tepat.
Bantuannya sangat penting. Karena itu saya ingin mengetahui mengenai anak muda itu. Dia memberi tahu asalnya dari Kalimantan Tengah, Dayak Ot Danum. Dia kawin dengan orang di kampung itu dan kini menjadi penduduk di sana. Karena interaksi dengan istri dan orang di kampung dia jadi bisa bahasa Kantu’.

Kenyataan ini mengingatkan saya dua hal. Bahwa migrasi di pedalaman Kalimantan terjadi. Orang satu kampung pindah ke kampung yang lain. Jadi, orang pedalaman sebenarnya tidak benar-benar terisolasi. Interaksi penduduk satu kampung dengan kampung yang lain berlangsung intens.

Orang dari sub-suku yang satu menjadi sub-suku yang lain. Jadi, mereka boleh menjadi Kantu’ atau sebaliknya boleh keluar Kantu’. Jadi suku apa anak mereka kelak tergantung di mana anak itu dibesarkan. Bukan karena siapa yang lebih dominan –apakah ibu atau bapak, dalam keluarga. Kelihatannya tidak hanya bisa “Jadi Melayu” saja!

Ketika sampai di penginapan, kami lantas memeriksa kembali rekaman yang dibuat di kampung. Agak menarik bahwa menurut pendamping saya, ketika kami mendengarkan rekaman-rekaman itu, dia mengatakan banyak pengaruh bahasa Indonesia, atau bahasa Melayu. Ada beberapa contoh, misalnya : ......... Padahal tadi waktu rekaman cerita saya sudah wanti-wanti meminta mereka bercakap dalam bahasa Kantu’.

Kenyataan ini membayangkan pada saya mengenai ekologi bahasa, kontinum dialek, peminjaman, emblematic, dan identitas orang Kantu’. Saya tidak sampai pada kesimpulan benar salah. Tetapi saya melihat bentuk-bentuk yang ‘bukan Kantu” digunakan orang Kantu’ dalam berkomunikasi. Pada orang Kantu’ ada kesadaran bahwa ini bahasa mereka dan ini bahasa orang lain.

***

Hari berikutnya saya pergi ke Nanga Kantu’, melalui Badau, tempat yang sering saya dengar namun sebenarnya masih asing. Saya sangat akrab dengan Badau sebagai tempat yang memiliki prosfek cerah. Saya tidak bisa membayangkan jalan mana pergi ke Badau.
Kami berangkat agak siang. Bis mulanya berputar-putar menjemput penumpang. Sebelum akhirnya keluar menuju Badau. Seperti yang dibayangkan, jalannya sempit dan kecil. Tetapi, masih lumayan dibandingkan jalan Sintang – Putussibau. Jalan ini relatif baik, tidak terdapat lubang jalan yang besar. Memang lubang kecil tidak membuat nyaman berkendaraan.

Ada beberapa perbaikan di ruas ini. Jembatan-jembatan diperbaiki. Di tengah perjalanan tampak tumpukan batu dan bekas aspal. Cukup panjang juga. Jadinya perjalanan agak nyaman. Namun ada sedikit gangguan karena beberapa kali bis yang kami tumpangan mogok, masuk angin.

Sepanjang jalan terdapat kampung Iban. Di antaranya terdapat rumah-rumah panjang. Sebagian rumah panjang itu sedang dibangun, atau baru selesai dibangun –jadi tampak masih baru. Saya merasa takjub juga karena jarang sekali saya mendengar pertumbuhan komunitas rumah panjang di Kalbar. Karena kurang makanya rumah panjang di Melapi, tempat tinggal orang Taman, menjadio objek wisata. Saya sendiri tidak punya banyak bayangan mengenai rumah panjang di Kalbar ini. Karena seumur-umur baru naik rumah panjang orang Iban di Kepiat, sebuah kampung di dekat Jongkong, itu pun waktu masih belajar di Madrasah Tsanawiyah (SMP) karena ikut paman yang mengajar di sana. Kalaupun ada bayangan sedikit itu pun melalui beberapa tulisan terdahulu mengenai orang Iban atau Kantuk.

Sepanjang penelitian di kampung-kampung Kalbar baik di sepanjang sungai Sekadau, Sungai Laur, Sungai Kualan, di Meliau, tidak pernah berjumpa rumah panjang. Kalau pun ada hanya ketemu bekas-bekasnya saja. Ini berbeda dengan Sarawak. Ketika saya melakukan penelitian untuk disertasi, setiap kampung ada rumah panjang.
Karena itu saya begitu sepok ketika melintas di jalan depan rumah panjang Melapi, atau ketika melintas di kampung-kampung Iban di sekitar kecamatan Batang Lupar, dan kecamatan Badau.

Sampai di Badau sekitar pukul 16.00 WIB. Bis berhenti di simpang di luar terminal. Menurunkan penumpang. Saya ragu karena Badau yang saya lihat tidak seperti yang dibayangkan. Saya mencari-cari di mana pasarnya, di mana terminalnya. Mana lagi sepi! Ketika kami turun ada beberapa orang tukangan ojek menawarkan jasanya. Dia menyebut nama tempat yang bisa dilayani.

Ketika dia menyebut nama Nanga Kantu’, spontan saya mencoleknya. “Berapa ke sana?”
“Biasa. Rp 100 ribu,” katanya.

Saya menawar. Namun dia bertahan. Ya, sudah. Saya menerima. Saya pikir hari menjelang malam. Kalau saya menginap di Badau dan baru besoknya ke Nanga Kantuk ikut mobil helak (jenis jep dari Malaysia –high lux) biayanya juga akan kurang lebih. Katanya, di Nanga Kantuk juga ada penginapan. Jalan ke sana tidak bagus. Dia membawa teman tukang ojek lain. Mengapa, khawatir terjadi sesuatu di perjalanan. Karena pulang malam. “Kalau ke Nanga Kantuk sore begini, saya selalu ajak teman,” aku tukang ojek.

Setelah makan, kami berangkat ke Nanga Kantuk. Waktu hampir pukul 17. Tukang ojek memacu motor bebek berplat Malaysia. Sedangkan temannya menggunakan jenis motor besar King. Benar seperti yang dikatakannya, jalan Badau – Nanga Kantu’ rusak. Beberapa kali saya harus turun dari motor ketika melewati kolam di tengah jalan.
Sekitar beberapa menit perjalanan, tiba-tiba ban motor pecah. Masih untung di jalan lurus. Jika pecahnya pas di tikungan, mungkin nahas. Kami berhenti memeriksanya. Malang, rupanya pecah terlalu besar. Sehingga harus diganti. Karena memang tukang ojek siap dengan peralatannya, maka persoalan kecil ini ditangani sendiri. Bongkar ban dan pasang ban dalam memakan waktu juga. Sedangkan waktu terus berjalan. Selesai. Tukang ojek memompa ban. Dia coba. Belum cukup. Dipompa lagi. “Harus terik,” katanya.

Mungkin karena terlalu terik, ban yang sedang dipompa meletus. Tukang ojek melenguh panjang. Saya hanya bisa tersenyum kecut. “Ban ini memang jelek. Kalau ban Malaysia bagus,” ujar tukang ojek. Rupanya bucu (picu) yang jebol.

Untung masih ada satu lagi stok ban. Ban yang bocor dikeluarkan dan dipasang ban baru, lantas dipompa lagi. Belajar dari pengalaman sebelumnya, kali ini pompaannya tidak maksimal. Cukup bisa bawa satu orang saja. “Nanti, kamu ikut dia (dia menunjukkan ke temannya, red), saya bawa tas saja,” kata tukang ojek pada saya.
Hampir gelap. Kami melanjutkan perjalanan. Naik motor besar di jalan yang keriting (jalan tanah yang bergelombang) agak selesa sedikit dibandingkan naik motor kecil. Dengan motor besar goncangannya tidak terasa amat. Kami melewati kampung-kampung Iban. Tampak mereka duduk-duduk di ruang bagian depan rumah, atau di tangga semen –sebab rumah panjangnya tidak bertiang tinggi. Di beberapa tempat tampak anak-anak Iban bermain di halaman depan rumah mereka.

Kini keadaan benar-benar gelap. Umumnya rumah panjang juga gelap. Ada tiang listrik, namun tidak ada aliran. Nyala lampu baru terlihat ketika kami sampai di Nanga Kantuk, sekitar pukul 19.00 WIB.

Kami berhenti di sebuah warung. Ada beberapa orang duduk di sana. Rupanya tukang ojek sudah kenal dengan pemilik warung. Mereka berbasa basi, menceritakan hal ehwal perjalanan. Sebelum akhirnya mereka membicarakan maksud kedatangan saya.
Pemilik warung menanyakan identitas saya, dan menanyakan maksud kedatangan. Saya juga bertanya tentang dia. Rupanya dia orang Melayu asal Selimbau. Saya menyebutkan keluarga mara yang ada di Selimbau, mungkin dia kenal. Susun-susun susur galur, rupanya hitung-hitung masih keluarga. Saya pikir jalan mudah untuk kegiatan lapangan. Dan biasanya hal seperti ini sangat membantu.

Dia kemudian menceritakan tentang penduduk Nanga Kantuk, tentang penginapan, dan tentang kampung-kampung Kantuk. Informasi yang sangat berharga. Dia juga menawarkan anak angkatnya yang dapat membantu saya mengunjungi kampung-kampung orang Kantuk.
Setelah tukang ojek pulang, saya diantarnya menuju penginapan. Sebuah rumah di bagian hilir berlantai dua. Tak ada plang yang menunjukkan adanya penginapan. Bagian bawah toko dan tempat tinggal pemilik. Sedangkan kamar-kamar kosong di lantai atas.
Pemilik penginapan —suami istri, kelihatan jadi sibuk memasang spray, sarung bantal, mengangkut air untuk WC yang kering, mencoba lampu. “Belum jadi benar,” kata pemilik penginapan.

Lagian, sekarang penginapan agak jarang digunakan. Sejak era kayu berakhir, hanya sesekali saja orang singgah di penginapan ini.
Setelah membongkar barang dan rehat sebentar, saya kembali ke warung. Di sana sudah ada anak angkat pemilik warung. Kami menyusun rencana.
Lantas kemudian kami menuju rumah kepala desa Nanga Kantuk. Letaknya di bagian hulu. Tapi, dia tidak ada di sana.

Lalu, kami menuju rumah Temenggung Kantuk di Nanga Kantuk. Rumahnya berada di depan penginapan.
Temenggung Kantuk, Antonius Suring menyambut kami dengan ramah. Saya mengemukakan tujuan kedatangan dan apa-apa yang saya lakukan di Nanga Kantuk. Dia bersedia membantu.

Menceritakan mengenai sejarah Kantuk, dan mengeluarkan sejumlah dokumen mengenai adat istiadat. Secara khusus dia menceritakan mengenai kisah Kantuk di wilayah ketemenggungan dia.

Ketika saya memerlukan seorang anak muda untuk mentranskripsikan dan menerjemahkan rekaman cerita Kantuk, dia lantas memanggil anaknya, Pilipus Andi.
Panjang cerita, dia kemudian menceritakan bahwa sebelum saya pernah ada orang putih yang melakukan penelitian mengenai Kantuk di kampung lama mereka, dahulu sewaktu dia masih muda. Peneliti itu, Michael R Dove. Dia memuji kesungguhan Dove melakukan penelitian tentang peladangan. Hal-hal kecil ditanyakan, diamati dan dicatat. Temenggung Suring mengaku menemai Dove kala itu.

Tentu saja cerita ini mengingatkan saya pada tulisan Dove mengenai peladangan orang Kantuk. Saya mengingat dalam tulisan ini ada foto rumah panjang, ada gambar-gambar lain. Sayangnya saya tidak membawa tulisan itu, sehingga memungkinkan saya membuat sedikit bandingan. Pasti sekian puluh tahun berjalan keadaan sudah lain.

Bukti paling nyata, kini rumah panjang itu tidak ada. Penghuni rumah panjang sudah membangun rumah tunggal. Tidak lagi di kampung lama terpencil. Kini, penghuni rumah panjang itu sudah tinggal di kota! –sekalipun kota kecil Nanga Kantuk. Rumah orang Kantuk sekarang sudah modern. Bahkan isi rumah Temenggung misalnya, kursi jati! Sebuah gambaran mengenai cita rasa orang Kantuk sekarang.
“Kami, orang Kantuk tidak lagi tinggal di rumah panjang. Lebih baik begini,” kata Temenggung.

Memang diakui ada lebih ada kurangnya kalau tinggal di rumah panjang. Tinggal di rumah panjang membuat orang Kantuk lebih mudah menjalin komunikasi. Tetapi masalahnya, pada kebersihan, pada soal kepercayaan, dan lain-lain. “Namanya kalau ramai, ada-ada saja yang buang sampah sembarang,” ujarnya.

Menurutnya orang Kantuk percaya bahwa mereka harus pindah kalau di rumah panjang itu ada orang yang meninggal berturut-turut. Padahal katanya, kalau sering-sering pindah repot. Tidak pindah, susah juga karena berarti akan tinggal sendiri di rumah yang besar itu. “Kalau sudah tinggal di rumah sendiri-sendiri tidak akan seperti itu,” tambahnya.

***

Kamis (29/6) pagi saya merekam cerita mitologi orang Kantuk dengan Jami (Jambi), orang tua Kantuk di kampung yang sama. Pak Jami demikian disapa, pernah menjadi pejabat desa. Sekarang tidak lagi karena umurnya sudah lanjut. Masa muda dia sering ke mana-mana, baik untuk urusan dinas, untuk urusan adat istiadat Kantuk, atau untuk mengunjungi kaum kerabatnya di tempat lain. Beberapa pejabat penting di Putussibau dan di Pontianak di antaranya anak pangkat ponakan Pak Jami.

Ceritanya sungguh menarik. Tidak saja karena isinya tetapi cara dia bertutur, sangat kemas. Seakan-akan kata demi kata meluncur dari hafalan. Padahal sebelumnya dengan merendah Pak Jami mengatakan dia tidak pandai bercerita. Apa yang dia ceritakan hanya yang pokok-pokoknya saja. Bagi saya, orang seperti Pak Jami jarang dijumpai.
Nama Pak Jami juga aneh. Bagi saya, nama itu tidak biasa dalam rumus fonotaktik bahasa Kantuk. Dan memanglah ketika saya tanyakan, Pak Jami mengakui bahwa namanya itu diambil dari nama kapal Belanda dahulu: Kapal Jambi. Pemberian nama ini untuk mengingat bahwa dia dilahirkan ketika ibunya menumpang kapal itu.

Lantas, setelah agak siang, saya ke Telutuk, kampung Kantuk di Sungai Empanang paling hulu, berbatasan dengan kampung Iban. Saya jalan bersama Jaka, menggunakan motor. Jalannya sangat parah. Beberapa bagian adalah kubangan lumpur. Untuk melewati bagian itu, diletakkan papan kayu. Sawan juga, khawatir jatuh. Untung Jaka terampil. Kakinya yang kukuh menjadi tongkat yang baik, sehingga kalaupun motor sempat sekali dua terpeleset, namun tidak sampai jatuh.

“Sewaktu usaha kayu masih jalan ini lumayan bagus. Sekarang tidak lagi. Sekarang agak bagus. Kalau musim hujan tidak ada yang bisa lewat,” katanya.
Sekitar satu jam kemudian kami sampai di Telutuk. Mula-mula tampak bangunan sekolah dasar, kemudian terlihat rumah-rumah penduduk. Kampung ini tampak sepi. Saya hanya melihat satu dua penduduk di depan rumah, atau melongok di depan pintu melihat motor kami lewat. Mungkin karena kami datang siang, entahlah!

Jaka kemudian menghentikan motor di depan seorang wanita paroh baya yang sedang berjalan searah perjalanan kami. Dia menyapa dengan bahasa Kantuk, bertanya di mana rumah kepala dusun. Wanita dengan ambenan ini menjawab ramah, menunjuk sebuah rumah di arah depan, seraya mengatakan bahwa mungkin kepala dusun tidak ada di rumah.
Jaka bertanya lagi di mana rumah tokoh adat, dan wanita itu kemudian menunjuk ke arah rumah bercat hijau yang tidak jauh dari tempat kami berhenti.

Kemudian kami menuju rumah hijau itu. Mula-mula kami bercakap-cakap dengan Paulus Nyangin, tak lama kemudian datang warga lain, misalnya Petrus Begili, Abdur Rasak dan Masing, serta beberapa anak muda dan wanita. Masing adalah kebayan di Telutuk, umurnya sudah lanjut 72 tahun. Dia termasuk saksi sejarah konfrontasi Indonesia Malaysia. Pada saat konfrontasi dia sempat menjadi penunjuk jalan bagi tentara Indonesia.

Selain itu, nama Abdur Rasak menarik perhatian saya karena nama itu berbau nama Islam atau Melayu. Sudah banyak kali sebenarnya keadaan seperti ini ditemui di lapangan. Namun, bagi saya ‘fakta’ ini tetap saja menarik. Membayangkan pengaruh Islam (Melayu) atas orang Kantuk, sekaligus membayangkan hubungan yang rapat antar komuniti Islam-bukan Islam, Melayu - bukan Melayu. Fakta ini menunjukkan bahwa pada suatu ketika nama bukan bagian yang penting dalam penanda identitas orang di sini. Tidak seperti sekarang, dari nama orang sudah langsung memastikan dari kelompok mana seseorang berasal dan bagaimana harus memperlakukannya.

Di sini proses wawancara pengisian daftar kata berlangsung menarik. Mereka yang ada di sana memperlihatkan antusiasme mereka. Memberikan penjelasan atau keterangan tambahan hampir pada setiap entri kata.

Cerita mengenai asal usul Kantuk Telutuk, perpindahan rumah panjang, konflik dengan Iban, serta adat istiadat, sungguh menarik disimak. Rasanya, perjalanan sulit ke Telutuk tidak terasa dibandingkan data dan informasi yang diperoleh.
Menjelang sore kami kembali ke Nanga Kantuk. Singgah di warung sekejap, kemudian saya rehat di penginapan. Menjelang maghrib, Andi muncul. Kami mentranskripsikan rekaman cerita yang saya buat di Nanga Kantuk. Kami bekerja hingga larut malam.

***

Pagi Jumat (30/6). Saya agak bingung. Mulanya saya mau pergi ke wilayah Jelemuk, di sana ada beberapa perkampungan orang Kantuk. Letaknya di bagian utara Nanga Kantuk masuk dalam wilayah kabupaten Sintang. Informasi yang masuk mengatakan bahasa di beberapa kampung di sana beda dengan bahasa di Nanga Kantuk.

Tetapi, last minute, saya mengubah rencana. Saya membatalkan rencana ke Jelemuk dengan risiko kehilangan kesempatan mengetahui bahasa Kantuk yang beda. Saya menghibur diri: ah, Jelemuk bukan dalam wilayah aliran sungai Empanang!

Saya mengubah rencana karena mendengar cerita ada kampung Kantuk lain di bagian hilir sungai Empanang, yaitu Selupai. Saya melihat peta, dan, Puji Tuhan, Selupai ada dalam peta yang saya bawa. Untung saya melihat itu. Kalau tidak, sudah tentu Selupai akan tercicir dari kunjungan saya. Dan sudah pasti saya akan menyesal.

Bayangkan, sebuah kampung Kantuk yang tua terletak di bagian paling hilir berbatasan dengan kampung-kampung Melayu, sudah pasti kampung yang istimewa. Biasanya kampung-kampung seumpama ini akan memperlihatkan perbedaan dibandingkan kampung-kampung yang terpencil (terisolasi) atau kampung yang dikelilingi penutur bahasa yang sama.

Saya berangkat ke Selupai sekitar pukul 08.00 WIB, setelah sarapan dan pemilik sampan bersiap-siap. Saya pikirkan, sekitar pukul 09.00 WIB sudah sampai dan menjelang shalat Jumat sudah bisa sampai di Nanga Kantuk lagi. Bagaimanapun sebelumnya, pemilik perahu mengatakan Selupai tidak terlalu jauh dari Nanga Kantuk.
Saya diberi tahu perahunya dengan speed 3,5 PK sudah siap menunggu di tepian. Ada orang yang akan mengantarkan saya ke sana –pemilik perahu memberitahukan yang akan membawa saya ke Selupai itu ponakannya. Sampai di tepian, saya lihat ada anak muda menjongkong di tebing sungai. Badannya gempal dan rambutnya berkuncir. Kulitnya agak gelap. Saya menyapanya dan bertanya tentang perahu yang akan ke Selupai. Dia lantas menunjuk pada sebuah perahu yang ditambat di lanting (tempat mandi yang terbuat dari batangan kayu besar). Dia memberi tahu akan ikut mengantar ke Selupai, bersama temannya bernama Nuar.

Saya agak tertarik dengan pemuda itu ketika dia memberi tahu namanya: Budin dan nama temannya Nuar. Ya, nama itu familier di telinga saya. Banyak teman punya nama seperti itu. Bagi saya, lagi-lagi nama itu mengingatkan pada identitas Melayu atau Islam. Tetapi saya menduga pemuda itu bukan Melayu dan bukan Islam. Dia mungkin Iban atau Kantuk, dan dia umat Kristiani. ‘Fakta’ ini sama seperti nama Abdur Rasak yang saya temui di Telutuk.

“Nama Japari Budin, Antonius Japari Budin,” katanya. Nama ini diberikan oleh orang tua karena mengingatkan pada nama Bupati Kapuas Hulu AM Japari. “Waktu saya dilahirkan, Pak Japari pas berkunjung ke kampung kami,” katanya.

Tak lama kemudian datang Nuar. Saya tidak bertanya lagi soal nama Nuar. Karena memperkirakan Nuar itu orang Iban atau Kantuk. Lagi, sebelumnya pemilik perahu sudah memberi tahu bahwa pengantar itu adalah ponakannya. Jadi kesimpulan saya kalau pemiliknya orang Iban, ya, ponakannya orang Iban juga. Jadi tak perlulah banyak tanya.

Beberapa kali komunikasi antara Budin dan Nuar dalam bahasa Iban. Kadang juga dalam bahasa Melayu. Sesekali saya juga nyeletuk, masuk dalam pembicaraan mereka.
Saya sempat cun juga ketika perahu mulai bergerak. Aliran sungai berkelok-kelok, kayu di mana-mana. Sungainya juga kecil. Saya membayangkan keadaannya seperti sungai Pengkadan bagian hilir – anak Sungai Embau. Pada waktu kecil saya sering hilir mudik melalui sungai Pengkadan bersama bapak kalau hendak ke Jongkong. Saya mulai ragu kalau perjalanan bisa ditempuh dalam waktu satu jam.

Sepanjang perjalanan kami berpapasan dengan banyak orang. Ada yang pulang dari kebun mereka, ada yang mencari ikan, ada yang mudik membawa barang. Setiap bertemu orang Nuar menyapa mereka dalam bahasa Iban (mungkin juga Kantuk) dan Melayu. Ini yang membuat saya agak yakin bahwa Nuar itu orang Iban.

Memang, kampung-kampung di aliran sungai Empanang adalah kampung Iban. Kampung Kantuk hanya di Telutuk Batu, itu pun agak jauh dari sungai. Nuar dengan antusias memberikan penjelasan ketika ditanya kampung-kampung yang dilewati itu. Dia tahu karena sering berkunjung ke kampung tersebut dan dia kerap kali membawa barang-barang orang kampung itu.

Setelah hampir 2 jam perjalanan, kami sampai di Selupai. Perahu berhenti di sebuah stigher dan gerbang bertuliskan ‘Selamat Datang di Selupai”. Tulisan dan gerbang itu menarik karena bisa menunjukkan tradisi keberaksaraan masyarakat setempat. Jadi, jangan kira masyarakat kampung tidak bisa membaca. Jangan kira masyarakat kampung tidak menganggap penting tulisan.

Yang juga menarik, ada motor air di sana. Motor air ini sekaligus mengingatkan saya mengenai image orang terhadap orang Dayak. Biasanya orang menganggap orang Dayak itu orang gunung, orang pedalaman, orang Darat. Tetapi, orang Kantuk ini, bukan orang Darat. Mereka orang sungai. Mereka buat perahu sendiri, dan mereka punya motor air. Jelas image seperti itu tidak bisa diterima. Saya pun bisa menunjukkan ada orang Melayu yang membuat kampung agak jauh di darat, berladang di atas gunung, tinggal terisolasi di pedalaman.

Kami mencari rumah kepala desa, sebagai bentuk ‘permisi’. Namun kepala desa tidak ada. Yang ada hanya orang tuanya Demung, 75. Kami berbincang-bincang. Ternyata dia asalnya orang Desa yang kawin dengan orang Kantuk. Mungkin dia dapat memberikan informasi, namun, jelas tidak bisa dijadikan informan untuk mengisi daftar kata. Sebab untuk daftar kata harus penutur asli Kantuk. Beruntung tak lama kemudian muncul Idau, 43. Idau adalah termasuk pengurus desa. Dia memang orang Kantuk.

Proses pengumpulan daftar kata dimulai. Idau sangat antusias membantu, padahal siang itu dia berencana pergi ke ladang. Dia juga sangat ramah. Bahkan sesekali terlontar dari mulutnya keheranan dengan apa yang saya cari. Sebelum ini dia tidak pernah membayangkan ada orang datang untuk belajar bahasa Kantuk! “Panjang-panjang umur, bertemu juga dengan hal seperti ini,” katanya dalam bahasa Kantuk, sambil tertawa.
Tidak cuma dia, tetapi Demung dan sejumlah orang yang mendengarkan pernyataan itu juga tertawa. Mereka juga tertawa jika pertanyaan yang saya ajukan aneh. Misalnya, ketika saya bertanya tentang struktur tubuh manusia, mulai rambut sampai ujung kaki. Sampai pada pertanyaan tentang kemaluan lelaki dan perempuan, mereka kembali tertawa, seraya tampak agak malu-malu menjawab. –Biasanya sepanjang pengumpulan data, memang bagian ini yang membuat orang tertawa-tawa.

Yang juga agak menarik, saat pengumpulan data, beberapa kali Nuar, Budin, dan Demung berusaha membantu menjelaskan apa sebenarnya yang saya maksudkan, atau kadang kala mereka memberikan jawabannya. Tetapi, sering juga jawaban itu diperbaiki. “Itu bahasa Melayu. Kantuk bukan begitu”, atau “Itu bahasa Iban, bukan Kantuk”.

Cara menjawab seperti ini menunjukkan betapa meskipun mereka bergaul tetapi identitas bahasa masing-masing cukup tegas. Saya kira menarik kalau diteliti lebih jauh bagaimana proses pertembungan bahasa di sini, antara bahasa Melayu, Iban dan Kantuk. Kedudukan Selupai yang diapit kampung Melayu (di hilir) dan Iban di hulu, sudah pasti berpengaruh pada perkembangan bahasa dan identitas mereka. Saya waktu yang tersedia tidak cukup untuk melakukan itu.

Sememangnya, saya menemukan salah satu ciri Kantuk Selupai yang berbeda dibandingkan Kantuk di Nanga Kantuk, Telutuk atau di Kedamin. Ciri itu adalah bunyi ‘r’ yang mirip dengan bunyi ‘r’ Melayu atau bunyi ‘r’ bekarat. Sebab biasanya, bunyi ‘r’ Kantuk adalah ‘r’ getaran. Bahkan teman saya Dr. Chong Shin yang pernah mengumpulkan data di Sintang menemukan bunyi ‘flap’ atau tamparan, yaitu agak mirip getaran namun getarannya singkat, hanya satu kali saja.

***

Lewat tengah hari kami kembali. Saya sangat senang dengan kunjungan ini. Namun walau begitu perjalanan memudiki sungai Empanang tetap saja terasa susah. Speed kecil mengarungi sungai yang alurnya sempit dan cukup deras, membuat perjalanan terasa lamban. Apa lagi sesekali kipas speed terbentur kayu. Nuar dan Budin harus mengganti pin yang patah.

Di tengah perjalanan, saya bertanya pada Nuar mengenai asal usulnya. Dan ternyata, dugaan saya salah. Sebab, Nuar rupanya orang Islam. Dia orang Melayu Suhaid. Lahir di kampung Melayi di pinggir sungai Kapuas. Kakeknya dahulu memang Iban, tetapi ayahnya Islam dan menikah dengan orang Melayu di Suhaid. Nuar dibesarkan dalam lingkungan Melayu. Kemudian, dia merantau ke Nanga Kantuk dan bekerja pada pamannya yang Iban.

Ya, saya salah. Ternyata nama, kemampuan bahasa, tidak selalu mencerminkan suku dan agama. Semakin jauh perjalanan semakin banyak fakta yang ditemukan.
Masyarakat di Nanga Kantuk — Kantuk, Iban, maupun Melayu, memperlihatkan kemampuan mereka berkomunikasi menggunakan banyak bahasa. Pilihannya tergantung konteks latar belakang penutur, isi pembicaraan dan situasi yang dihadapi.

Dalam perjalanan pulang kami melalui kampung Iban Kayu Baung dan Batu Ampar. Saya ingin singgah sebenarnya, dan Nuar pun agaknya dengan senang hati menepikan perahunya. Saya ingin melihat bentuk rumah, bentuk kampung, suasananya dan bertanya mengenai penggunaan bahasa, dan lain-lain.

Namun, karena kesuntukan masa, keinginan itu dipedam. Perahu hanya berhenti sebentar di tepian – tempat mandi, agar saya dapat mencatat kordinat kampung. Mungkin suatu saat saya bisa bertemu orang Iban dari kampung itu di Pontianak dan mencatat bahasa mereka, jadi tinggal cocokkan dengan kordinat itu.
Sampai di Pakan kami berhenti.

“Singah dulu’,” kata Nuar.
Saya hanya menganggukkan kepala. “Na’ apa, asal na lama’. Saya janji dengan Andi,”
Sampan ditambat di tangga tepian.

Kampung Iban ini agak berbeda dengan kampung Iban di kiri kanan jalan Putussibau – Badau. Tidak ada rumah panjang. Saya kira, keadaannya sama seperti kampung Melayu di pedalaman; rumah kayu di atas tiang –sekalipun letaknya di dataran yang agak tinggi. Rumah berhadap-hadapan di kiri kanan jalan kampung. Dan jarak antara satu dengan yang lain, padat. Menumpuk.

Saya sempat melihat ruang tamu sebuah rumah dan isi rumah juga seperti rumah di kampung Melayu; ada kursi, meja, dan barang elektronik.
Namun satu yang beda dibandingkan kampung Melayu, yaitu di sini ada banyak babi yang berkeliaran.

Kami duduk di teras. Ada neneknya Budin dan pamannya. Mereka bicara dalam bahasa Iban –sekalipun Nuar dan pamannya Budin itu orang Kanayatn. Sesekali saja diselingi dengan bahasa Melayu. Mereka agaknya adalah orang-orang polyglot –yaitu orang-orang yang dapat menuturkan banyak bahasa sama baik kemampuannya.

Bagi saya sebenarnya akan jadi lebih menarik seandainya dapat disimak pilihan-pilihan bahasa yang mereka gunakan. Dalam wacana apa mereka berbahasa Iban, dan dalam wacana apa pula mereka berbahasa Melayu? Dengan begitu kedudukan masing-masing bahasa dapat diketahui dan gambarannya menjadi jelas.

Macam-macam topik yang dibicarakan: meloncat-loncat tentang perjalanan saya, tentang kegiatan Nuar, tentang gawai, juga tentang harga karet dan minyak, atau tentang anak sekolah, dll. Mereka juga cerita tentang pasukan Libas (Lintas Batas) pada malam kemarin berhasil menangkap empat kepiting di Kantuk Asam, dekat perbatasan. Empat alat berat itu akan dibawa ke Badau, namun terkendala di jalan sebab kehabisan minyak. Katanya, ada beberapa anggota tentara itu yang datang ke kampung Pakan mencari solar untuk alat berat itu. Tetapi tak ada.

Obrolan masih berlanjut. Rupanya Budin meminta seseorang membeli tuak. Itung-itung sebagai buah tangan perjalanan dari Selupai.
Kami pamit ketika tuak yang ditunggu datang. Sekadar basa basi Nuar bertanya apakah tuak itu manis atau tidak. Sambil berjalan, Nuar membuka tutup ken, dan mencelupkan telunjuknya. “Nyaman,” katanya.

Dia sempat menawarkan pada saya, apakah mau mencoba. Saya geleng kepala, seraya mengatakan tidak. Justru yang menarik perhatian saya adalah bagaimana Nuar tampak terbiasa dengan benda itu. Saya jadi teringat pengalaman ketika mengadakan penelitian di Cupang Gading, sebuah kampung Melayu di hulu sungai Menterap, anak sungai Sekadau. Saya bersama beberapa orang Melayu Cupang Gading mengunjungi kampung Jopo, kampung orang Dayak. Saat itu musim Paskah.

Kami naik ke rumah orang Jopo dan di sana disajikan tuak, aneka kue dan daging babi. Teman saya tidak begitu berani meminum tuak yang disajikan. Mereka hanya mencoba sedikit itu dengan sikap ragu-ragu.

Sikap Nuar memperlihatkan bagaimana pergaulan antar masyarakat Melayu-Dayak begitu rapat sehingga agaknya batas-batas ‘halal-haram’ dari sisi agama tidak cukup penting.

Perjalanan dilanjutkan. Beda dibandingkan waktu pagi, di sore hari jumlah orang yang kami temui di sungai lebih banyak. Orang-orang itu sedang mencari ikan; ada yang menggunakan pancing, ada pula yang memasang pukat. Seperti sebelumnya, Nuar dengan ramah menyapa mereka.

Sampai di Nanga Kantuk menjelang malam. Saya sempat rehat sebentar, sebelum akhirnya Andi muncul. Kami melanjutkan pekerjaan mentranskrip data rekaman yang saya peroleh dari Pak Masing, orang Kantuk Telutuk. Budin sempat muncul sekejap. Percakapan kami dalam bahasa Melayu. Saya kira pilihan itu karena ada saya. Lalu, saya bertanya sendiri, kalau Andi dan Budin bertemu: apakah mereka akan bercakap Iban atau Kantuk?

Setelah Budin pulang, kami kembali bekerja. Kadang kala selang seling saya bertanya soal perjalanan Andi ke Malaysia, atau soal kegiatan kampung. Hingga larut malam.

***

Pagi, sekitar pukul 06.00 WIB saya bertolak ke Badau menggunakan ojek Jaka. Sebenarnya ada niat mau naik helak –begitu masyarakat menyebut mobil asal Malaysia yang menjadi kendaraan tumpangan Nanga Kantuk – Badau. Selain karena biar dapat pengalaman baru juga biayanya lebih murah (Rp 35 ribu).

Namun, saya jadi ragu karena tidak jelas kapan kendaraan itu berangkat dan menunggu di mana. Kadang-kadang ada, kadang tidak. Orang-orang bilang, helak mau jalan kalau penumpangnya ada lima orang, kalau kurang tidak mau, sebab bisa rugi.
Lagian, biasanya helak Nanga Kantuk – Badau sudah bertolak pada pukul 05.00 WIB, saat mulai terang tanah. Bagi saya berangkat jam segitu rasanya akan terasa buru-buru. Bagaimanapun kalau berangkat pukul 05.00 berarti saya harus sudah bangun pukul 04.00 WIB.

Karena ketidakjelasan itu, akhirnya saya pilih naik ojek Jaka –lebih jelas, pasti, lebih tenang dan tidak buru-buru. Mungkin dengan sedikit risiko; biaya agak sedikit mahal.

Kami berangkat jam 06.00 WIB karena kalau berangkat lebih cepat ada harapan bisa mengejar bis pagi dari Badau – Putussibau yang berangkat pukul 08.00 WIB. Sebenarnya dengan Jaka sudah memberitahukan bahwa kalau pakai motor cuma satu jam saja. Namun, kalau berangkat pukul 06.00 WIB bisa sampai di Badau pukul 07.00 WIB dan waktu satu jam bisa digunakan untuk urus tiket, makan atau lihat-lihat suasana di Badau.

Meski perkiraan masih banyak waktu, namun, Jaka tetap memacu motor dengan kencang. Saya hanya bisa menikmati saja ketika motor menabrak batu sekepelan tangan yang berserakan di jalan, atau ketika kendaraan terperosok ke lubang. Sekadar berjaga-jaga saya berpegang pada besi yang terletak di bagian belakang jok motor.
Beda dibandingkan perjalanan dari Badau-Nanga Kantuk pada malam hari ketika saya datang, dalam perjalanan pulang ini saya dapat melihat keadaan sepanjang perjalanan dengan jelas. Ya, jalan Nanga Kantuk – Badau rupanya lebih parah dari yang dilihat malam itu. Jalan keriting, lubang di sana sini, batu-batu sekepalan tangan berhamburan. Aneh lagi, jalan-jalan ini seperti terpenggal. Ada bagian yang beraspal, jalan tanah, jalan pekerasan. Jalan-jalan ini akan semakin parah karena tidak tampak adanya tanda-tanda perbaikan. Beberapa jembatan juga dalam keadaan mengkhawatirkan. Maklum letaknya jauh dari pandangan mata, sehingga harap dimengerti jika keadaan terbiarkan begitu.

Jaka tidak tahu mengapa jalan seperti ini. Mungkin juga dia tidak mau mengatakan cerita-cerita mengenai keadaan ini. Dia hanya berharap agar keadaan jalan segera diperhatikan pemerintah, sehingga dengan begitu dia jadi lebih enak. “Kalau lewat jalan begini, kita juga sakit. Tangan pegal-pegal,” akunya.

Saya membayangkan, keadaan jalan semakin rusak karena kerap dilewati alat-alat berat. Misalnya pagi itu, terlihat ada beberapa rekahan baru di aspal, bekas ‘kaki kepiting’ yang dibawa Libas dari Kantuk Asam. Ya, mana pula aspal yang tipis bisa menahan beban berat seperti itu. Sedangkan harapan akan adanya perbaikan mungkin terlalu lama. Maklum, Nanga Kantuk tidak terletak di bagian tengah yang memungkinan jadi tempat laluan orang dari mana-mana. Nanga Kantuk terletak di bagian ujung jalan. Jalan dari Badau setakat ini mentok di Nanga Kantuk.

Lagian, Nanga Kantuk bukan tempat yang ramai. Penduduknya sedikit, dan kampung-kampungnya terpencar yang jarak antara satu dengan yang lain cukup jauh. Prospeknya tidak cukup cerah.

Banyak orang mengatakan keadaan ekonomi Nanga Kantuk sekarang ini makin parah. Sejak era kayu berakhir, keadaan ekonomi merosot dan kedatangan orang luar terbatas. Sekarang, satu-satunya harapan ada pada karet yang harganya mulai beranjak naik. Namun, mereka juga tidak terlalu yakin karet dapat membangkitkan ekonomi masyarakat seperti kayu sebelumnya.

Disebut-sebut ada potensi batu bara di sini, dan pernah ada tim yang melakukan survey. Namun, kemungkinannya sangat kecil. Karena kabarnya, belum apa-apa calon investor sudah muncul hambatan teknis yang membuat mereka harus mengeluarkan biaya ekstra.

Nanga Kantuk juga tidak menjadi perhatian utama pemerintah. Boleh dikata, dibandingkan Badau, Nanga Kantuk berada di pinggiran. Kiranya, kalau pun nanti Badau menjadi kawasan yang ramai dan geliat ekonominya rancak, Nanga Kantuk hanya bisa menjadi penyanggah saja.

Sekitar pukul 07.15 WIB kami sampai di Badau. Saya diturunkan di terminal, dan Jaka langsung berpatah balik, kembali ke Nanga Kantuk. Dia mengaku masih harus membawa dagangannya –ikan asin, keliling kampung sekitar Nanga Kantuk. Dia masih harus memburu rupiah dan ringgit di kampung-kampung itu, berhadapan dengan alam yang keras. Menghadapi berbagai tantangan alam.

Berinteraksi dengan orang Kantuk dan Iban, dan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa mereka tanpa menganggap adanya sekat dan hambatan. Kepiawaian yang seharusnya dimiliki semua orang dan ditampilkan ke permukaan. Bersambung.




Baca Selengkapnya...