Selasa, 30 Maret 2010

Menggali Jalan

Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


Malam itu, beberapa waktu lalu, saya melintas di Jalan Karet, Pontianak Barat. Waktu itu pas tengah malam. Biasanya, kalau saya melewati jalan ini tengah malam--pukul 12 ke atas, jalan ini sepi. Hanya sesekali saja saya berlimpasan dengan pengandara lain.
Kala tengah malam, jalan ini sudah mati. Seingat saya, jika pulang jejak dini hari begini, paling-paling ada tiga tempat yang menyisakan kehidupan di jalan ini.


Pertama, di mulut jalan, di persimpangan Jalan Kom Yos Sudarso. Di sini ada warung gerobak. Di warung ini ada jual mie instant, susu termasuk energen dan sejenisnya, gula, rokok dan korek api, obat nyamuk dan permen. Di sini juga ada jual bensin dan layanan tambal ban. Saya tidak tahu persis sampai jam berapa warung ini tutup. Karena sepanjang lewat kalau malam hari warung ini masih buka. Cuma kadang-kadang, kalau saya singgah beli mie instant, saya harus membangunkan penjual yang ketiduran. Kadang-kadang juga di depan warung ini dijadikan tempat nongkrong sejumlah orang.
Selain itu, di bagian tengah Jalan Karet, di dekat komplek Didies juga terdapat warungkecil menjual bensin dan tambal ban. Warung buka juga sampai sangat larut. Jadi walaupun pemiliknya tidur, bensin tetap diletakkan di atas rak. Orang yang perlu bensin, bisa membangunkan penjaganya yang tidur di warung kecil itu.
Setelah melewati kebun kelapa yang gelap, ada komplek perumahan di sekitar simpang Jalan Karet – Tabrani Ahmad, di sana ada penjaga malam. Penjaga itu seorang lelaki tua, sering saya lihat duduk di kursi di depan pos jaga. Kadang-kadang dia terlihat membakar-bakar sampah.
Nah, malam itu beda. Saat saya melintas tidak jauh dari persimpangan Kom Yos Sudarso, saya melihat ada sekatan di Jalan Karet.
“Heh, apa ya?!”
Saya terkejut. Ada orang jongkok di jalan. Tiga orang. Di bagian pinggir jalan ada sepeda motor dihidupkan lampunya. Lampu dari motor itulah yang menjadi penerangan orang yang jongkok. Mungkin kalau tidak ada lampu itu, orang yang jongkok di jalan tidak akan nampak.
Apa yang mereka buat? Ternyata mereka sedang menggali jalan. Mereka menggali aspal yang mulus dari sebelah kiri ke kanan. Ukurannya lima centi meter. Lubang kecil ini digunakan untuk memasukkan paralon kecil. Paralon itu dari rumah mereka ke parit Sungai Serok--parit besar di pinggir Jalan Karet. Gunanya, untuk menyedot air parit agar masuk rumah, agar mereka dapat mandi dengan mudah tanpa harus pikul-pikul air.
Walaupun saya mengerti mengapa mereka melakukan itu, namun, saya merasa geram juga.
“Uh, enak saja orang itu. Jalan sudah bagus, mereka buat rusak”.
Ya, mereka menggali jalan yang sudah mulus.
Memang setelah digali mereka tutup kembali, namun, karena mereka menutupnya dengan batu kecil, upaya mereka ini tidak membuat jalan jadi mulus kembali. Ya, setelah mereka gali jalan menjadi rusak. Jelek.
Namun, meski begitu, herannya pemerintah tidak risau pada soal ini. Pemerintah tidak menegur warga yang merusak jalan yang sudah mulus. Nampaknya, pemerintah membiarkan begitu saja. Nampaknya setali tiga uang. Padahal, mereka bisa melakukannya. Pemerintah bisa menegur warga yang merusak jalan. Bahkan, bila perlu meminta pertanggngjawabannya. Tapi…
Saya jadi mengeluh: Itulah pemerintah kita. Pemerintah kita memang kurang dapat dan kurang mau melihara.


Baca Selengkapnya...

Mengapa Makan Nasi?

Oleh: Yusriadi

“Sebaiknya masyarakat kita diajarkan untuk tidak makan nasi lagi”.
Itu saran yang disampaikan seorang teman -- seorang akademisi, beberapa waktu lalu. Ketika itu kami sedang santap siang di Hotel Gajahmada, Pontianak, usai workshop.
Saya cukup terkejut juga mendengar gagasan itu. Hampir saya menganggap saran itu setengah merayau. Sebab, bayangkan saja orang enak-enakan makan nasi, tiba-tiba disuruh makan roti, sagu, atau kentang, ubi jagung, dan sejenisnya.

Saya masih ingat betul ungkapan orang tentang hidup dan makan nasi ini.
“Kalau masih mau makan nasi, jangan na’ macam-macam”.
“Apa kau tak mau makan nasi lagi?”
“Kau kira nasi sudah tak enak ke?”
Kata-kata itu sering saya dengar kalau seseorang setengah bercanda mengancam orang lain.
Secara awam, masyarakat kita menganggap nasi dianggap sebagai bagian dari kehidupan. Malah hakikatnya, bagi sebagian orang, hidup adalah nasi!
Karena itu, gagasan yang disampaikan teman tadi jelas tidak mencerminkan realitas budaya masyarakat. Malah sebaliknya, gagasan ini meloncat beberapa jauh ke keluar. Saya sebut beberapa jauh karena komunitas lain sudah banyak yang tidak tergantung pada nasi. Mereka ada makanan lain sebagai alternative.
Saya jadi tertarik menyusuri logika teman tadi, dengan pertanyaan logika di balik.
“Mengapa orang tidak baik lagi makan nasi?”
“Nasi terlalu mahal. Coba hitung biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan sebiji’ nasi ni.”
Dia mencongkel tumpukan nasi di dalam piringnya, lantas berdalil: Katanya, untuk menanam padi perlu lahan yang sangat luas. Menanam padi tidak cukup tanah satu kapling. Perlu satu hektare. Proses menanam dan memelihara juga agak repot. Mulai membuka lahan hingga mengolah bulir padi menjadi beras.
Meskipun penjelasannya sepintas lalu, namun, saya dapat mengikuti alur pikirnya. Iya, saya ingat kalau sudah musim beladang, orang mulai menebas, menebang, membakar, menugal, merumput, menjaga buah padi, panen, memisahkan bulir dan tangkai, hingga menjemur dan menumbuk (menggiling) padi. Tak bisa dihitung biaya operasionalnya. Dan saya kira belum pernah diperhitungkan secara terperinci.
Lagian, masyarakat petani biasanya tidak menghitungnya. Umumnya mereka melaksanakan ritualitas berladang, mengerjakannya tanpa memikirkan semua itu. Mereka sudah menganggap semua itu bagian dari rutinitas yang harus dijalani.
Ada juga sesekali saya dengar orang bilang: “Padi tahun ini meleset. Nyalah. Kalau diitung, buang tulang”.
Tetapi, perhitungan yang teman saya buat, bahwa ongkos kerja produksi padi, besar, sangat masuk akal. Setidaknya, katanya, ongkos itu lebih besar dibandingkan dengan kalau orang menanam kentang. Lahan tidak perlu luas benar, pemeliharaan juga tidak terlalu rumit. Oleh sebab itu, saya kira gagasannya memang baik dipikirkan.
Saya bisa membayangkan jika kemudian kita semua beralih makanan pokok: dari padi ke kentang. Atau mungkin makan sagu, gandum, atau ubi. O walah, pasti seru. Bayangkan, selama ini banyak dari kita yang hanya makan nasi. Kita sering mengatakan belum makan kalau belum ketemu nasi. Hatta, kue mue, makan bubur saja kadang dianggap belum makan. Dalam terminology kita: makan adalah makan nasi. Makan yang lain tidak dianggap makan nasi.
Orang baru berkurang-kurang makan nasi kalau sudah kena diabet atau lagi diet. Pada saat seperti ini mereka tidak lagi tergantung pada makanan pokok itu; tapi sudah bisa beralih kepada makanan lain yang lebih aman. Bisa juga toh?



Baca Selengkapnya...

Mencari yang Jujur

Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


Malam itu, saya mampir di sebuah lapak, di sebuah jalan di kawasan Kota Baru, Pontianak. Saya singgah hendak membeli jus buah Rp5.000.
Saya menghampiri etalase di bagian depan lapak, yang di situ dipajangkan buah apel, jeruk, melon, dll.



Tak lama kemudian, seorang lelaki separoh baya menghampiri saya. Dia berjalan dari ujung lapak. Di bagian ujung itu ada mesin pengolah air minum. Di bagian tengah ada counter jual pulsa, dan di bagian ujung ada etalase memajangkan minyak wangi. Tempat jual juice ada di bagian depan.
Jadi ada empat jenis barang yang dijual di situ.
“Juice apel, Bang”.
Lelaki itu kemudian menjangkau buah apel, seperti yang saya pesan. Membelah menjadi beberapa bagian, dan kemudian mengupasnya.
Dia mencari air untuk mencuci buah. Nampaknya dia agak bingung.
“Biasanya istri yang ngerjakan. Sekarang dia lagi ngurus anak”.
Dia memasukkan susu, apel dan es ke dalam blender. Kemudian dia meninggalkannya, berjalan ke depot air minum. Nampaknya dia sedang membersih gallon dan kemudian mengisinya. Saya melangkah ke dalam melihat-lihat minyak wangi. Sesekali saya bertanya tentang minyak itu, sekadar ingin tahu.
Saya melihat dia sibuk benar. Saya membayangkan dia akan lebih sibuk jika pada saat yang sama datang orang yang mau beli pulsa, beli air dan beli juice. Pada tangannya tidak akan dapat melayaninya sekali gus.
Ketika dia kembali mengerjakan pesanan saya, saya bertanya: “Banyak buka usaha, mengapa tidak cari tenaga kerja?”
“Udah carinya. Tapi susah . Susah mau cari yang jujur”.
Dia ada pengalaman mempekerjakan orang, namun, orang yang menjadi pekerjanya tidak amanah. Tetapi saya tidak bertanya lagi apa tidak amanah itu.
Saya hanya menebak sendiri. Mungkin orang itu menggelapkan uang.
Saya juga memiliki teman seorang pemiliki ruko, juga di kawasan Kota Baru. Dia jual sembako. Pasangan suami istri itu sibuknya minta ampun.
Ketika saya tanya mengapa tidak ambil orang untuk bantu di toko, jawabannya juga sama. “Susah mau cari yang jujur”.
Ah, saya jadi tak habis pikir mengapa orang yang jujur itu susah dicari. Mengapa? Apa yang salah? Apakah kegagalan itu di rumah tangga, di sekolah, atau di lingkungan?
Saya teringat kembali pada hal ini ketika beberapa hari lalu muncul isu kejujuran dalam ujian nasional. Kabarnya, Kalbar, berada peringkat ke-4.
Tapi, ahh… sebenarnya, di sekitar kita pun hari-hari kita lihat ketidakjujuran dilakukan orang. Orang berusaha menipu, orang berusaha tidak jujur. Sampai-sampai, saat ini orang sukar membedakan mana kejujuran dan mana bukan kejujuran.
Saya ambil contoh prilaku korupsi massal. Korupsi terjadi di mana-mana, dalam berbagai bentuk. Yang kadang kala orang yang melakukan tidak sadar bahwa dia telah ikut melakukan korupsi itu.
Entahlah, mungkin kita semua sekarang yang tidak dapat menyesuaikan diri: bahkan sekarang definisi kejujuran telah berubah.


Baca Selengkapnya...

Selasa, 09 Maret 2010

Korupsi Berjamaah

Oleh: Yusriadi

Pejabat ini ditangkap. Pejabat itu ditangkap. Mantan kepala ini diduga korupsi. Mantan kepala itu, juga korupsi.
Rasanya, hampir tiap hari saya mendengar berita korupsi terekspos. Hampir tiap pekan saya baca ada pejabat yang ditahan.
Saya memang tidak menyimak perkembangan ini dengan seksama. Tidak secara khusus. Tetapi, beberapa kasus diikuti, karena ekspose media.
Nah, kemarin, di luar ekspose media, saya mendengar kabar dari teman, ada sebuah kantor pemerintah, kantor dinas, yang sepi. Penyebabnya, pejabat penting di kantor tersebut sudah ditahan. Setelah itu, kemudian, pejabat yang di bawahnya juga menyusul.

Ini perkembangan yang menarik. Saya jadi terbayang-bayang bagaimana suasana kantor tersebut sekarang? Saya jadi mengandai-andai, andai di kantor yang saya bisa amati tiap hari, pejabatnya juga ditahan karena sering membuat laporan fiktif? Saya membayangkan berapa banyak pekerjaan yang akan terbengkalai, berapa banyak orang yang tidak terlayani, dll. Wuih, pasti kisah kantor yang begini ini akan sangat menarik ditulis.
Tetapi, selain cerita dramatis roda pemerintahan, perkembangan ini mengingatkan saya pada kata “korupsi berjamaah”. Saya sering mendengar kata ini diucapkan orang dahulu saat mengkritik perilaku birokrat. Tetapi, saya tidak pernah melihat contoh sebenarnya. Konsep korupsi berjamaah masih seperti yang dikatakan orang, sebatas cerita yang sulit dibuktikan.
Jadi, ketika mendengar pejabat-pejabat kantor ditahan karena korupsi, nyata, bahwa inilah fakta tentang korupsi berjamaah sebenarnya. Ini bukan isapan jempol lagi.
Kisah kantor yang sepi ini juga mengingatkan saya pada cerita bagaimana seorang teman mengurus sebuah proyek. Saya mendengar dia bersama beberapa teman sibuk mengurus sana-sini. Mereka pergi ke toko sana sini minta kwitansi ini dan itu. Ada beberapa yang fiktif. Mengapa begitu?
“Kalau tidak begini, uangnya tidak cair seperti yang disebutkan dalam jumlah itu”.
“Ndak ke yang begitu itu korupsi?”
Pada waktu yang lain dahulu saya pernah mendengar cerita seorang teman yang mengerjakan berkas untuk proyek, pada masa yang sama dengan pengerjaan proyek tersebut. Mengapa tidak ikut prosedur? Kalau ikut prosedur urusan jadi lebih banyak dan panjang, biaya yang dikeluarkan pun juga akan lebih besar. Yang penting menurutnya, adalah bagaimana membuat semua itu seakan-akan sudah sesuai prosedur.
Katanya, sepanjang tujuannya untuk kebaikan, itu tidak korupsi. Sepanjang tidak untuk diri sendiri, itu tidak korupsi. Kolusi dibolehkan untuk kebaikan.
“Yang tidak boleh, makan uang Negara. Uang Negara jangan untuk mengenyangkan perut seorang”.
Itu petuahnya. Petuah itu juga pernah saya dengar dari teman yang lain hampir 10 tahun lalu saat saya pertama dan terakhir kali masuk dalam panitia pengadaan barang. Maklum, saya telah sangat was-was dibuatnya.
“Karena itu, sekarang, yang paling prinsipil adalah soal niat. Niat itulah yang membedakan antara seorang yang jahat dan tidak jahat. Jika tidak buat begitu, pasti kita tidak bisa apa-apa”.
Oleh sebab itu, ketika kasus korupsi bergulir, dan ketika banyak pejabat ditahan, banyak orang memprediksikan, sebagian dari pejabat yang disebutkan tidak akan sampai masuk ke balik jeruji.
Atau sebaliknya, kalaupun masuk, seseorang tidak akan masuk sendiri, atau mungkin tidak akan mendekam lama. Karena ada banyak orang lain yang terlibat dalam mengurusnya. Ada banyak yang terlibat dalam memakan hasilnya. Jika semua masuk jeruji, diyakini, jeruji tidak akan muat.
Dampak lain, kantor-kantor penyelenggara pemerintahan akan lumpuh. Malah mungkin, selanjutnya orang-orang kantoran itu akan berjamaah untuk tidak bekerja. Jamaah lagi!



Baca Selengkapnya...

Diskusi Nikah Siri

Oleh: Yusriadi

Kemarin, untuk kesekian kalinya saya duduk di sebuah warung di pinggir jalan di kota Pontianak, sambil sarapan pagi. Kali ini, di meja yang lain –ada dua meja—ada tiga orang lelaki sedang duduk minum. Di depan mereka ada koran. Mereka mendiskusikan soal RUU Pernikahan yang diusulkan pemerintah.
Tema itu memang cukup menarik perhatian. Setidaknya perhatian media. Liputan soal ini cukup banyak. Jadi, tidak heran jika kemudian orang-orang juga terlibat membicarakan hal ini. Termasuk orang yang berada di depan saya pagi itu.


Saya hanya mendengar mereka bicara. Tidak ingin terlibat. Saya tidak kenal mereka. Lagian, sebenarnya saya juga tidak ingin terlibat dalam diskusi soal hukum begini, sebab pengetahuan hukum Islam saya terbatas. Bayangkan, ayat-ayat hanya hafal satu dua saja. Kaedah fiqih juga tidak tahu. Ibadah juga benar-benar ala kadar. Huh… konon-kononnya hendak bicara hukum agama.
Saya tidak tahu dasar pengetahuan agama mereka yang berdiskusi itu. Tetapi, kelihatnya, mereka cukup kritis.
Mereka agaknya pro-kontra juga dengan RUU ini. Kesan saya, ada yang nada-nadanya mendukung, ada yang menolak. Satu orang lagi yang agaknya mungkin juga menolak, mungkin juga menerima. Dia sangat kritis.
“Kita ribut soal nikah siri. A… paling-paling itu akal orang dekat SBY untuk mengalihkan perhatian public dari kasus Century”.
“Mungkin juga RUU itu untuk ngegap saja karena di DPR itu banyak yang nikah siri”.
Kok begitu? A..ha, dalam hati saya mungkin benar begini. Perhatian public dan media perlu diarahkan pada isu selain isu Century. Ini biasanya, konon, jenis kerja intelejen.
“Ya, ndak mungkin SBY dan DPR tidak mau dengar ulama yang menolak RUU itu. Ulama khan jelas menolak pidana nikah siri”.
Wah… saya jadi makin tertarik pada diskusi mereka.
Pikiran orang-orang itu sempat juga terlintas dalam pikiran saya. Tak mungkin SBY berani mengambil sikap kontra dengan ulama. Kalau SBY dan orang di jajaran pemerintahan orang beragama, pasti beliau mau mendengar kata-kata ulama. Apalagi yang mengatakan hal ini sekarang majelis ulama, lembaga formal tempat berhimpunnya ulama di Indonesia.
Saya ingat kata guru dahulu: Orang yang tidak mau mendengar kata-kata ulama tidak akan selamat hidupnya. Apalagi menentang ulama. Pemali. Murka Allah pasti datang.
Kedua orang yang semula agak ribut kemudian senyap. Agaknya mereka juga merenungi hal itu. Saya menjadi tersenyum. Saya kagum, orang di kaki lima ini masih “memiliki agama” dalam hati mereka.
Saya jadi teringat pernyataan Rhoma Irama bahwa mereka yang mengusulkan dan mendukung RUU Nikah Siri sebagai orang Athies. Tidak beragama. Penilaian ini muncul, karena jelas dalam Al-Quran, kitab suci orang yang mengaku beragama Islam, soal nikah itu sudah diatur dengan jelas. Tidak ada keraguan. Tentang syarat syah nikah selama ini tidak diperdebatkan. Lalu, kenapa sekarang muncul orang yang mendebatkannya? Pernyataan Rhoma cukup pedas.
Saya juga jadi teringat membaca komentar seorang penulis yang mengutip penggalan ayat Quran soal nikah ini untuk mengkritik pandangan ulama. Kesannya kritis. Saya mengenal penulis komentar itu. Owalah… ini seperti kata bos kami dahulu: baru bisa menyelam di kolam sudah berlagak dapat menyelam di laut. Baru tahu satu dua dalil, sudah menyalahkan ulama yang hapal banyak dalil.
Saya jadi mikir: Apakah yang seperti ini sudah mewabah di kalangan orang yang mengaku beragama Islam? Rasanya mungkin iya. Sebab, dahulu pun saya pernah menjumpai ada orang yang mengkritik dan menghujat ulama karena mengeluarkan fatwa haram merokok. Ada yang menyebut ulama kurang kerjaan. Ada yang menyebut fatwa ulama itu picik.
Ihh… saya bergidik. Rasanya azab kian dekat. Ya Allah, lindungi kami dari azab-Mu.









Baca Selengkapnya...

Gang Becek di Kota Pontianak

Oleh Yusriadi
Sejumlah anak sekolah berbaju putih dengan rok dan celana merah manggis melintas di Gang Karet Indah, Jalan Karet, Pontianak, di suatu pagi beberapa hari lalu. Mereka berjalan kaki dari arah Gang Sanubari, Parit Tengah. Dari jauh suara mereka sudah terdengar; ramai dan meriah. Mereka sambil bergurau, agaknya. Tapi, saya tidak dapat menebak apa yang mereka bicarakan. Maklum, mereka menggunakan bahasa Madura; bahasa yang tidak saya mengerti.

Bahasa mereka memang menarik perhatian saya: terutama pola campur antara bahasa Madura dan bahasa Melayu Pontianak. Sering-sering saya mencoba menyimak percakapan mereka. Banyak hal menarik untuk ditulis.
Tetapi, hari itu, bukan bahasa mereka yang menarik perhatian saya. Saya tertarik melihat mereka melintas di depan saya karena semua mereka menjinjing sepatu. Ya, sepatu yang seharusnya mereka pakai, tidak mereka pakai. Mereka nyeker, pakai kaki ayam.
Mengapa begitu? Ini karena lintasan mereka yaitu Gang Karet Indah, tidak seindah namanya. Gangnya tidak indah, tetapi justru berlumpur. Maklum musim hujan. Di gang itu masih ada bagian berlumpur sepanjang 100 meter, dari panjang gang ini lebih kurang 500 meter. Di bagian gang ke arah Jalan Karet sepanjang 300 meter sudah bersemen. Lebarnya lebih kurang 1,5 meter. Saya tahu, bagian ini bisa bersemen begini karena pernah ada bantuan pemerintah kota beberapa tahun lalu. Karena bantuan semen terbatas, bagian yang bisa ditangani hanya separoh itu.
Bagian ujung ke arah Gang Sanubari 2, yang 100 meter itu juga sudah bersemen. Ukurannya kira-kira setengah meter saja. Bagian ini, selain swadaya beberapa keluarga di ujung bagian ini, ada juga bantuan dermawan.
Dahulu, pilihan lintasan utama anak-anak dari Gang Sanubari ke sekolah ibtidaiyah di Jalan Karet, sebenarnya Gang Karet Makmur, bersebelahan dengan Gang Karet Indah. Keadaan Gang Karet Makmur ini kurang lebih sama. Bagian tengah masih belum beraspal dan becek. Ada bagian yang beceknya cukup dalam hingga betis. Sudah pernah beberapa kali ditimbus dengan tanah, tetapi, tidak berhasil. Bagian jalan ini kerap terendam. Jika bukan terendam karena pasang air laut, bagian ini terendam karena air hujan. Aliran airnya tidak lancar. Jalan tanah terendam. Karena sering dilewati, lama-lama becek lagi.
Sekarang, dibandingkan Karet Makmur, Gang Karet Indah ‘agak’ lebih mendingan. Tetapi, walaupun mendingan, anak-anak sekolah tetap harus buka sepatu kala melintasi bagian tengah gang tersebut, agar sepatu tidak basah.
Saya tentu saja sangat terkesan ketika melihat anak-anak menjinjing sepatu. Apa yang terjadi pada anak-anak itu mengingatkan saya pada pengalaman sendiri saat kelas 1 madrasah ibtidaiyah di Riam Panjang, Kapuas Hulu, tahun 1979.
Waktu itu kami masih tinggal di Sebugau, tempatnya di tengah kebun karet, yang lebih dekat ke ladang. Waktu itu bapak belum punya rumah di kampung. Kalau bapak ke kampung, pada hari Jumat, bapak menumpang singgah berganti pakaian salat di rumah keluarga.
Jarak Sebugau – sekolah kira-kira 3 kilometer. Jalannya jalan setapak. Pada musim hujan becek. (Oh, kadang saya sengaja tidak pakai di tengah hutan, agar sepatunya tetap bagus). Ketika kelas satu saya beruntung karena dibelikan sepatu kain; saya lupa mereknya. Nah, sepatu itu saya bawa tiap hari. Kadang saya jinjing dengan ranting, kadang kala saya masukkan dalam “sodung” (jenis ambinan kecil dari rotan). Saya, (dan teman sekolah) ketika itu tidak punya tas. Tempat terbaik untuk menyimpan buku adalah kantong plastik. Tetapi, itupun susah diperoleh. Ada teman yang harus rebutan dengan emaknya, karena emak juga mau pakai kantong plastic sebagai ganti tasnya kalau pergi ke kampung.
Saya hanya memakai sepatu bila sudah sampai di lanting (rakit tempat orang mandi) dekat sekolah. Tepatnya, memakai sepatu setelah kaki bersih dari lumpur.
Sudah lama saya tidak mengingat masa-masa menjinjing sepatu. Sebab, selalunya, saya melihat anak-anak sekarang pakai dan buka sepatu di rumah. Tidak ada lagi istilah jinjing-jinjing karena jalan becek.
Karena itu, ketika kemarin saya menyaksikan anak-anak itu menjinjing sepatu ke sekolah, saya jadi teringat semua itu.
Saya kira ini pemandangan langka. Langka karena pasti jarang-jarang kita melihat hal seperti itu. Terlebih lagi pemandangan itu saya lihat di kota; di pusat pembangunan. Lebih dari sekadar langka, pemandangan ini menyentuh perasaan. Ternyata masih ada banyak orang yang belum dapat bersama kita menikmati kemajuan pembangunan kota Pontianak. Entahlah, siapa yang mau peduli pada pengalaman mereka?!



Baca Selengkapnya...