Senin, 30 Juni 2008

MENUNGGU PEMERINTAH



Masyarakat Sungai Karawang. Mereka berharap pemerintah memberikan perhatian pada nasib mereka. Mereka berharap masa depan yang lebih baik. Foto Yusriadi/Borneo Tribune.




Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Sungai Karawang, Batu Ampar (5)

Oleh: Yusriadi

Hari berikutnya saya melanjutkan pengumpulan data lapangan. Saya bertemu dengan beberapa orang di TR – sebutan untuk wilayah pemukiman di sini, dan mereka sangat membantu saya.

Ketika saya bertanya rumah ketua RT, mereka menunjukkan. Mereka juga membantu memberitahu letak rumah warga yang terpilih sebagai responden. Saya sangat terkesan dengan keramahan mereka secara umum.
Hanya, memang tidak semua berjalan mulus. Ada rumah responden yang harus saya datangi beberapa kali –sebab orang yang sedang dicari tidak ada di rumah. Beberapa di antarnya baru bisa saya jumpai pada kunjungan berikut.
Hari itu suasana di Karawang memang sepi. Maklum, saat itu musim ladang, atau sebagian orang pergi ke kebun mereka. Orang Sungai Karawang adalah orang-orang yang rajin.
Karena pilihan responden sudah ditetapkan berdasarkan rumus statistik, saya menunggu mereka.
Dan, pada akhirnya saya berhasil juga. Saya bisa mengambil data dari mereka.

***

Dari sekian banyak informan yang saya temui, ada dua tempat yang sangat mengesankan saya. Ada dua responden perempuan yang tidak bisa berbahasa Indonesia –atau bahasa Indonesianya sangat sedikit. Mereka melayani saya dengan bahasa Jawa. Saya mengingat jawaban “mbuh” yang saya tahu bermakna tidak, berkali-kali. Sesungguhnya saya agak kesulitan memahami apa yang mereka sampaikan secara tepat. Saya hanya bisa menebak –lebih tepatnya, pura-pura tahu dan mengerti apa yang mereka sampaikan.
Untung selama wawancara selalu ada orang lain –penduduk setempat yang menemani, sehingga sedikit banyak mereka menjadi penterjemah bahasa Jawa bagi saya.
“Ah, rupanya banyak orang yang belum benar-benar terbuka. Sesuatu yang pasti tidak dibayangkan oleh orang di Pontianak, oleh mereka para pengambil kebijakan,” bisik saya.
Tetapi malangnya, para pejabat kita tidak punya banyak waktu untuk memahami masyarakat seperti ini. Mereka terlalu sibuk.
Di ujung Sungai Karawang saya bertemu dengan sejumlah warga; saya bertanya di mana rumah ketua RT. Dua orang warga mengantarkan saya ke rumah ketua RT.
Di rumah ketua RT sedang berkumpul banyak orang. Ada acara nanti malam.
Pak RT menyambut kedatangan saya Dia cukup ramah. Warga yang ada di rumah tersebut sebelumnya juga ikut bergabung. Ruangan tidak cukup. Ada yang duduk di teras melihat melalui pintu dan jendela. Agaknya kedatangan orang baru merupakan sesuatu yang unik di sini.
“Di sini jarang dikunjungi orang luar,” kata seorang warga.
Jangankan orang jauh dari provinsi atau dari kabupaten, dari kecamatan pun tidak. Kunjungan ke kampong ini biasanya berhenti sampai di rumah kepala desa. RT ini terlalu jauh di ujung kampong dan pasti tidak penting.
Saya memberitahukan kedatangan saya. Dia membantu menyebutkan nama penduduk di RT-nya. Warga yang duduk di ruangan itu juga membantu. Saya merasa senang. Sekalipun sesekali mereka berdebat soal nama asli dan nama panggil. Ada juga perdebatan soal warga yang baru datang atau warga yang baru pindah.
Ketika sampai pada penentuan responden, saya menjadi sasaran perdebatan mereka. Setidaknya ada dua warga yang protes berat karena responden yang terpilih melalui rumus statistik itu adalah mereka yang menurut mereka tidak mengerti apa-apa. “Bagaimana penelitian ini. Kamu bertanya pada orang yang tidak mengerti politik,” kata seorang warga protes. Suaranya cukup keras.
Dia menceramahi saya soal ini. Seharusnya saya memilih orang yang mengerti politik. Cukup lama saya meyakinkan mereka soal metode pemilihan responden. Namun pada akhirnya mereka diam saja. Saya tahu mereka menyimpan rasa tidak puas. Tapi walau begitu mereka tetap membantu saya. Ikut mengantar saya ke rumah responden yang terpilih.

***

Tidak saja soal data yang saya butuhkan, mereka juga berharap saya membantu mereka. “Tolong sampaikan kepada pemerintah, kami perlu pekerjaan. Harus dibuka lapangan kerja,” pinta seorang warga.
Menurut mereka, lapangan kerja sangat sulit sekarang. Keadaan ekonomi sangat susah. Masyarakat terpaksa bekerja di luar kampong untuk mencari penghidupan. Banyak yang pergi ke luar negeri. Beberapa pemuda yang berkumpul di ruangan mengaku sudah pernah merantu. Mereka pulang sesekali.
“Saya baru pulang dari Malaysia,” katanya.
Tetapi yang aneh, meskipun mereka bekerja di luar namun aliran ekonomi ke kampong tidak seperti yang saya bayangkan. Seharusnya hidup mereka lebih makmur. Rumah mereka seharusnya lebih bagus. Kenyataannya, rumah penduduk di sini agak memprihatinkan.
Rumahnya umumnya terbuat dari papan. Sebagiannya dari bambu.
Jalan menuju ke rumah penduduk juga sangat sederhana. Saya harus ekstra hati-hati ketika melewati jalan ke rumah pak RT tadi. Untuk menyeberang parit seukuran 2 meter, dibuat dari bambu yang dianyam. Ukuran lebarnya cuma satu meter. Kalau diinjak, bambu itu berenjuk. Untung ada pegangan.
Saya tidak bisa membayangkan betapa sulitnya kehidupan di sini. Hebat orang di sini bisa bertahan, tidak pindah.
Seseorang memberikan penjelasan.
“Yang susah pengangkutan. Sungai hanyalah parit kecil yang tidak bisa dilalui motor air. Sedangkan jalan darat mungkin, tetapi tidak ada kendaraan roda empat. Ada uang pun percuma,” katanya.
Apakah harapan mereka kelak akan terpenuhi? Apakah janji politik yang diucapkan orang yang berniat menjadi calon pemimpin akan terpenuhi? Apakah masyarakat Sungai Karawang akan berhasil mencapai kemajuan, tunggu saja!
Habis.

Baca Selengkapnya...

Minggu, 22 Juni 2008

Anak Sungai Karawang


Anak-anak Sungai Karawang mengikuti kegiatan keagamaan di masjid desa. Foto Yusriadi.



Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Sungai Karawang, Batu Ampar (4)

Oleh: Yusriadi

Dan memang ketika tampil dalam acara resmi di masjid, Sujiwo menyampaikan sekali lagi janji-janji yang sebelumnya disampaikannya kepada ibu kepala desa. Namun demikian dia dengan cerdas untuk melapis janjinya – bahwa untuk mewujudkannya harus ada dukungan.



“Tapi saya bukan kampanye,” ingatnya. Senyum. Saya kira senyum khas orang politik.
“Saya mohon doa karena akan maju dalam pemilihan bupati Kubu Raya nanti,” tambahnya.
Ada beberapa suara berguman menyahut Sujiwo dari dalam masjid. Sedangkan di teras masjid saya lihat beberapa warga sibuk sendiri. Anak-anak yang berada di teras sejak awal tadi bicara sendiri. Hanya sesekali mereka diam. Mereka diam ketika mendengar orang tua tertawa – maklum ada bebepa kali joke segar dikeluarkan.
Agus yang tampil kemudian lebih terbuka soal dukungan.
“Saya yang bukan orang Jawa mendukung Bapak Sujiwo. Kalau orang Jawa tidak mendukung sesama orang Jawa, itu kebangetan,” katanya menyentuh sentimen etnik.
Saya salut dengan keberanian Agus membangkitkan isu ini, di masjid. Memang kalau mau menang harus begitu. Harus lebih cepat. Harus menyentuh perasaan. Memang, isu etnisitas kerap kali lebih menyentuh dibandingkan isu lain. Bahkan kadang calon kepala daerah tidak perlu menyampaikan visi misinya secara jelas. Toh, rakyat Kalbar yang rata-rata pendidikannya tamat SD tidak mengerti amat soal visi misi itu. Mereka jauh lebih mudah mengerti bahwa yang maju adalah orang sendiri dan perlu didukung. Rakyat kecil sudah merasa cukup kalau disentuh dengan isu ini. Dan, pada pendapat saya, Agus sedang melakukan itu di Sungai Karawang.
Tentu saja merasa jengah. Kiranya, cara Agus ini bukan mencerdaskan masyarakat. Bukannya memberikan rakyat pilihan yang terbaik. Karena yang saya tahu kemudian, tanpa menonjolkan isu etnisitas, orang-orang di Sungai Karawang sangat mengenal Sujiwo dan sebagian besar akan memilihnya. “Dia sudah beberapa kali datang ke sini. Kami mengenal dia,” kata seorang warga.
Namun, kalau isu Jawa terus disentuh, sangat mungkin orang-orang bukan Jawa akan enggan memilihnya. Pada akhirnya, kalau situasinya tidak tepat, apa yang dilakukan Agus dengan kampanye berbau ras- akan menjadi bumerang bagi Sujiwo.
Cukup panjang Agus dan Sujiwo bicara. Sampai-sampai waktu yang semula agihkan untuk ceramah agama terpotong. Uztad yang dibawa Sujiwo dari Pontianak yang juga mengajak masyarakat memilih Sujiwo terpaksa membatasinya ceramahnya. Seorang lagi penceramah yang dijawalkan batal tampil karena waktunya sudah terlalu sore. Bahkan shalat Ashar molor dari jadwalnya.
Politik memang dapat mengalahkan banyak hal. Termasuk peringatan Islam soal shalat tepat waktu, kata saya dalam hati.

***

Setelah shalat Ashar yang molor itu, saya beredar dari masjid. Saya kembali ke rumah kepala desa. Rupanya beliau sudah ada di rumah. Ada ibu-ibu yang sedang bertamu.
Saya menyela percakapan mereka. Saya bertanya soal Rukun Tetangga (RT) di lingkungan desa Sungai Karawang dan kemudian beliau memberikan informasi mengenai RT-RT yang saya cari.
Setelah informasi cukup saya pamit. “Biar lebih cepat selesai pekerjaan,” kata saya memberikan alasan.
Ibu Kades menawarkan kendaraan –sepeda motor. Namun saya menolak. Saya kikuk kalau menggunakan motor di tempat baru. Saya takut. Takut tak tahu jalan. Takut motornya mogok, takut kalau-kalau terjadi kecelakaan, dll. Saya pikir, tidak hati-hati bisa timbul masalah baru. Lagian, jalan kaki juga lebih enak. Dan saya terbiasa melakukan hal itu.
Saya berjalan ke arah hilir kampung, melewati jalan yang sebelumnya saya lewati saat pertama datang. Ada beberapa orang di pinggir jalan. Saya menyapa mereka. Mereka ramah. Ya, mungkin selain karena orang kampung memang baik-baik, saya baru ingat, tadi waktu di masjid, Ibu Kades juga menyebut nama saya. Dan dia minta agar warganya memberikan bantu.
Di ujung kampung saya bertemu dengan salah seorang anak muda yang sedang duduk di atas motor di tengah jembatan besar. Saya masih mengenal wajahnya. Dia adalah anak muda yang duduk di dekat saya sewaktu di masjid tadi. Dan, rupanya dia juga masih ingat dengan wajah saya. Dia tersenyum. Saya bertanya padanya di mana rumah ketua RT yang saya cari.
“Mas masuk lewat jalan ini. Ada rumah pertama di sebelah kanan, itulah dia,” katanya.
Saya mengangguk. Mengucapkan terima kasih dan kemudian mengikuti petunjuknya.
Saya sampai di rumah yang dituju.
Saya mengucapkan salam dan seorang lelaki keluar. Masih muda.
Saya menyebutkan nama orang yang saya cari dan dialah orangnya.
Dia mempersilakan saya masuk.
Saya kemudian memberitahukan tugas saya dan apa yang saya cari. Dia melayani saya dengan sangat memuaskan. “Sebelumnya juga pernah ada yang datang. Kayak begini,” katanya.
Wawancara berjalan sangat lancar. Tetapi karena banyak pertanyaan yang diajukan, prosesnya berlangsung hingga maghrib. Penerangannya hanya pelita. Tidak ada listrik. “Sudah diajukan, tetapi sampai sekarang .. beginilah,” katanya. Lirih.
“Malang sungguh. Tempat yang sebenarnya hanya sepelempar batu dari Pontianak kok begini,” kata saya dalam hati.
Setelah wawancara selesai, saya pamit menuju calon responden berikutnya. Dia berbaik hati menawarkan jasanya mengantar saya. “Saya antar. Tempatnya agak jauh di ujung,” katanya.
Saya tidak punya lampu. Dia pun juga tidak punya lampu. Penerangan kami hanyalah lampun HP saya yang tidak seberapa dan korek api. Untung jalannya agak lempang, meskipun berlumpur. Ada satu kali teman saya kakinya terperosok ke dalam lumpur.
Yang kami khawatirkan, parit di kanan jalan ada buaya. “Biasa buaya melintang di jalan. Orang sering lihat,” katanya.
Tentu saja saya bergidik.
“Belum lama ini ada orang sini yang kena tangkap buaya. Parah. Sampai dibawa ke Pontianak,” tambahnya.
Dia mengingatkan saya agar hati-hati dengan parit di depan rumah kepala desa. Karena di parit itulah buaya yang menangkap korban itu biasa nampak.
“Mengapa tidak ditangkap? Mengapa tidak dibunuh?,” tanya saya.
Menurutnya, orang kampung percaya bahwa buaya itu bukan sembarang buaya. Buaya bukan sekadar binatang melata. Karena itu sekalipun buaya memangsa manusia namun manusia tidak berani membalasnya.
Kami sampai di rumah yang dituju. Namun, orang yang dicari tidak ada. “Sedang nonton TV,” kata anaknya.
Teman saya memberitahukan di mana tempat orang yang kami cari menonton. “Orang di sini belum semua punya TV, jadi menontonnya ramai-ramai,” katanya menambahkan..
Karena jarak nontonnya juga cukup jauh, akhirnya kami membuat janji: besok saya akan datang lagi. Saya juga tidak mau mengganggu kenikmatan orang menonton TV.
Kami kembali. Teman saya mengajak saya naik ke rumahnya lagi. Istrinya –yang kemudian saya tahu berasal dari Sambas, sudah menyiapkan makan malam. Kami makan nasi baru, hasil panen keluarga ini.
Saya menjadi lebih akrab dengan keluarga ini. Dia menceritakan perjalanan hidupnya sebelum ini. Dia pernah bekerja di Batu Ampar di perusahaan kayu. Di sinilah dia bertemu dengan istrinya sekarang. Sejak kawin pasangan ini menetap di Sungai Karawang, meninggalkan pekerjaan di sawmill Batu Ampar. Mereka kini memiliki dua orang anak.
Beberapa saat kemudian saya pamit. Teman saya menemani hingga rumah tempat orang menonton TV.

***

Saya sampai di rumah bu Kades sekitar pukul 20.20 wib. Ada banyak orang. Ada yang duduk di teras, ada yang berada di dalam rumah. Mereka menonton TV. Rupanya, ada bagian dari dinding rumah bu Kades yang ‘dicopot’ khususnya agar orang bisa nonton TV dari luar. Siang tadi saya lihat dinding itu masih terpasang.
“Kalau nonton di dalam rumah semua, kadang tidak cukup. Kalau dibuka orang masih bisa nonton dari teras,” kata Bu Kades.
Saya jadi teringat keadaan di kampung di Riam Panjang, Kapuas Hulu, saya tahun 1980-an awal. Beginilah keadaannya. Kalau malam hari orang berkumpul di rumah pemilik TV. Nonton. Waktu itu orang yang memiliki TV sangat terbatas. Hanya ada satu dua orang saja. Hanya orang-orang kaya yang bisa membeli TV, dengan parabola dan mesin TS –merek mesin sejenis diesel untuk menghidupkan listrik.
Nonton bersama walaupun repot – karena tidak bisa leluasa baring dan tidak leluasa memilih tontonan yang sesuai dengan keinginan pribadi –pastinya sesuai selera pemilik TV, tetapi banyak asyiknya. Bagi saya sangat mengesankan. Saya masih mengingat masa-masa itu. Sekarang keadaan itu tidak ada lagi di Riam Panjang. Listrik PLN sudah masuk. Sudah banyak orang yang punya TV.
Tapi, malam itu setelah bercakap-cakap dengan bu kades dan suaminya, saya langsung memilih tidur. Saya ingin istirahat. Saya telah melalui hari yang sangat melelahkan sejak dari Batu Ampar. Dan, besok saya masih harus melakukan banyak hal. Bersambung.



Baca Selengkapnya...

Jumat, 20 Juni 2008

Perjalanan ke KKU (2): Sukadana Menunggu Sentuhan Pemekaran



DANGKAL ===
Pelabuhan Sukadana sangat dangkal. Jangkan motor besar, perahu kecil juga sulit melintas. Penumpang harus turun mendorong perahu yang kandas. Foto Yusriadi

Oleh: Yusriadi

Apa yang saya lihat di Sukadana mengingatkan saya pada Sambas. Saya melihat ada sisi persamaan –sekalipun saya belum tentu benar.
Sebelum pemekaran Sambas adalah kota tua yang sepi. Saya mengunjungi ibukota Sambas tahun 1997 sebelum kerusuhan –bersama seorang ilmuan dari Universiti Kebangsaan Malaysia –Dr. Hanapi Dollah (sekarang sudah profesor). Waktu itu saya melakukan pengumpulan data ke Daup, kampung di Sungai Tempapan, kecamatan Teluk Keramat –sekarang di bawah kecamatan Galing.

Saya sempat menginap di Sambas. Waktu itu keadaannya sangat sederhana. Kota Sambas hanya memanjang dari ujung jembatan di seberang keraton. Rukonya hanya baru beberapa petak. Saya sempat menyusuri lorong dan melihat aktivitas yang tidak ramai. Padahal, Sambas adalah sebuah kota besar dalam sejarah pantai Borneo Barat. Ironi, Sambas dicatat dengan tinta emas dalam sejarah Kalbar, ternyata hanya tempat di ujung pantai utara Kalbar. Wilayah yang jarang dikunjungi. Wilayah yang hampir tidak memiliki daya tarik, kecuali kraton yang menyisakan sejarah itu.
Saya dan Dr Hanapi singgah di Sambas karena ingin melihat keraton yang tersohor saat itu. Waktu itu, keraton juga belum dikemas dengan baik. Masih seperti rumah biasa: hanya ada dua ruangan yang dianggap ruang bersejarah dengan pajangan benda-benda peninggalan sultan. Selebihnya, tidak ada yang menarik diceritakan. Wempy, waktu itu seorang muda yang masih sederhana: menerima kedatangan kami dengan celana pendek sambil memperbaiki kemeja pendek warna putih. Belum nampak sebagai seorang sultan yang pamornya mulai menanjak pasca kerusuhan. Keadaan ini membuat pembicaraan menjadi tidak formal. [Dan saya merasa beruntung bisa bertemu beliau sebelum beliau menjadi sultan yang dihormati dan dimuliakan; karena pasti tampilan sang pangeran sudah jauh berubah].
Di kemudian hari saya mendapat cerita Sambas memang tidak maju. Pembangunan relatif jalan di tempat. Kurang diperhatikan. Pembangunan lebih terfokus di Singkawang. Singkawang menjadi jauh lebih maju dibandingkan Sambas.
Bahkan ada yang menduga Sambas sengaja dimundurkan. “Ada alasan politik. Itu juga yang menyebabkan sewaktu penetapan ibukota kabupaten Sambas, pusatnya bukan di Sambas, tetapi di Singkawang,” cerita seorang informan.
Waktu itu saya hanya mengangguk. Mungkin benar. Saya juga tidak tahu kebenaran itu.
Tetapi, ketika kemudian saya menjejakkan kaki di Sambas tahun 2004 atau 6 tahun kemudian, saya melihat Sambas mulai berbenah. Kemajuan Sambas cukup nyata. Ketika tahun 2007 sekali lagi saya ke Sambas, saya melihat kemajuan yang mencengangkan. Menurut pendapat saya, Sambas maju pesat. Dalam beberapa tahun terakhir ini. Dan wajar kalau kemudian masyarakat Sambas masih memilih Burhanuddin Rasyid sebagai bupati. Burhanuddin tidak menyia-nyiakan amanat sebagai orang yang diberikan amanah memajukan Sambas.
Selain Sambas, kemajuan yang dicapai Ngabang pasca pemekaran juga bisa menjadi cermin Sukadana. Ngabang sebelum pemekaran hanyalah kota kecil yang memiliki beberapa ruko saja. Kalau bis-bis Sintang tidak berhenti di terminal Ngabang (dahulu) mungkin nasib kota bersejarah ini juga akan tetap menjadi ‘kampung tua yang sederhana’.
Tetapi setelah pemekaran, setelah Ngabang menjadi ibokota kabupaten Landak, kota kecil ini perlahan menjadi kota besar. Pembangunan bertambah pesat. Dan kemajuan Ngabang hari ini sangat bisa diandalkan.
Lalu, akankah Sukadana bisa mengikuti jejak Sambas dan Ngabang sebagai daerah lama yang baru maju setelah pemekaran?

***

Sekarang kemajuan Sukadana diserahkan pada kendali Hildy Hamid. Hildy dan pasangannya Mohammad Said Tihi sudah terpilih sebagai bupati KKU mengalahkan pasangan Dahlan-Djumadi, serta pasangan Citra Duarni-Adi Murdiani. Hildy diharapkan akan membawa kemajuan Sukadana untuk lima tahun mendatang –sebentar lagi dilantik.
Saya tidak menyimak Pilkada KKU –dan saya tidak bisa membandingkan apa kelebihan Hildy dibandingkan calon yang lain. Pengetahuan saya tentang program yang ditawarkan Hildy untuk kemajuan daerah sedikit: saya hanya tahu soal janji pendidikan gratis.
Meskipun OSO berada di belakang Hildy –mungkin ini yang menurut banyak orang membuat Hildy menang telak, namun, Hildy juga harus dapat memegang amanah. Paling tidak untuk menunjukkan, meskipun dia masih akan terus berada di bawah bayang-bayang OSO, Hildy mampu melakukan sesuatu. Hildy harus berusaha menunjukkan bahwa dia bukan pilihan yang salah. OSO tidak salah memilihnya dan masyarakat juga tidak salah mempercayakan masa depan mereka.
Saya mendengar beberapa warga KKU menyebutkan bahwa pekerjaan Hildy tidak mudah. Sukadana sebagai pusat kota hampir tidak memiliki potensi sumber daya alam yang dapat serta merta mendongkrak pendapatan daerah. Sukadana yang meskipun menjadi pusat pemerintah, tidak serta merta akan menjadi pusat ekonomi KKU. Karet, sawit, ikan, atau mungkin kemudian walet, sejauh ini belum akan menjadi primadona orang Sukadana.
“Sukadana bukan pusat ekonomi. Sukadana pusat pertahanan,” kata saya.
Bang Rustam mengangguk. Ismail Ruslan, M.Si Ketua Prodi Ekonomi Islam Jurusan Syariah STAIN Pontianak yang ikut dalam rombongan kami juga tidak berkomentar ketika mendengar kesimpulan saya –semoga saya salah.
Saya menunjuk bukit-bukit yang mengelilingi kota Sukadana. Bukit yang tinggi dan pantai yang landai dangkal pasti akan sangat baik untuk pertahanan. Musuh akan sulit menyerang tiba-tiba ke Sukadana. Sulit menyerang Sukadana tanpa diketahui. Saya mendengar kemudian bahwa orang Dayak yang berada di beberapa kampung di atas Sukadana mirip-mirip orang Jawa. Ada yang menduga orang Dayak itu adalah keturunan dari prajurit Majapahit yang tidak kembali lagi ke Jawa.
“Memang kapal agak besar tidak bisa masuk ke Sukadana,” Bang Rustam menyampuk.
Padahal kapal besar perlu untuk mengangkut hasil alam Sukadana keluar dan sebaliknya membawa barang-barang makanan masuk ke Sukadana. Menurut dugaan saya tanpa kapal besar –tanpa pengangkutan yang memadai, tidak mungkin ekonomi masyarakat tumbuh membesar.
Sangat sukar membayangkan di Sukadana akan berdiri pelabuhan laut, sekalipun agak dekat laut, karena pantai-pantainya yang dangkal. Ketika air laut surut, jangankan kapal, motor air kecil juga tidak bisa merapat ke pelabuhan Sukadana. Hari itu, dari pelabuhan pasar Sukadana, kami terpaksa diangkut dengan sampan kecil menuju motor air yang menunggu ‘di tengah laut’. “Laut pinggir” di Sukadana terlalu dangkal. Sampan kecil yang kami tumpangi kerap kandas. Beberapa penumpang harus turun membantu mendorong perahu. Saya pikir, terlalu riskan aktivitas ekonomi Sukadana kelak harus bergantung pada pasang surut air laut.
Terminal Sukadana –seperti yang saya lihat sebelumnya terlalu kecil. Belum perlu besar. Sebab mobilitas keluar dan masuk ke Sukadana belum begitu ramai. Memang di akhir pekan orang yang bekerja di Sukadana ‘berlibur’ di Ketapang atau Pontianak, tetapi jumlah mereka –para pegawai itu, belum cukup ramai. Sukadana bukan kota yang berada di lintasan utama. Akan berbeda kalau Sukadana berada di pinggiran lintasan trans-Kalimantan. Kalau di lintasan trans, Sukadana pasti akan menjadi kota yang maju dan pertumbuhannya akan sangat cepat.
Pelabuhan udara juga tidak mungkin dibangun di Sukadana, karena kontur tanah yang berbukit-bukit. Bukit yang mengelilingi Sukadana pasti tidak akan sesuai untuk keperluan itu. Lagian, meskipun jangka waktunya sangat panjang pasti pembangunan pelabuhan udara tidak menjanjikan.
Fasilitas yang terbatas ini pasti memerlukan kerja keras Hildy dan teamnya. Banyak yang berharap kesabaran yang selama ini diperlihatkan Hildy akan menjadi modal menghadapi situasi dan kondisi Sukadana yang masih sangat sederhana ini.
Kesabaran itu juga diperlukan karena beberapa orang menyebutkan ada masalah kerja di daerah baru ini. Sejumlah pegawai tidak cukup betah berada di tempat –pada akhir pekan dan masa liburan para pegawai memilih ke Pontianak atau Ketapang. Sewajarnya, karena tempat ini masih sepi. Orang juga tidak menyekolahkan anak di sini karena sekolah di sini belum memadai. Sukadana lama tidak dikenal sebagai pusat pendidikan. Entah-entah jika kemudian Hildy berhasil melalui janji pendidikan gratisnya, yang menyebabkan KKU dan Sukadana menjadi pusat pendidikan di pantai selatan bagian barat ini.
Tunggu saja. Habis.

Baca Selengkapnya...

Kamis, 19 Juni 2008

Pusat Kota Sukadana


Kota Sukadana, Ibukota Kabupaten Kayong Utara (KKU), Kalimantan Barat. Kota yang sederhana. Rukonya berhias dengan gambar simbol rokok Betha. pembangunan selama ini belum menyentuh sudut-sudut kota kecil ini. Pasar utama Sukadana hanya terdiri dari beberapa ruko sederhana, jauh lebih kecil dibandingkan sejumlah kota kabupaten di pedalaman Kalbar yang tidak pernah dikenal dalam sejarah. Padahal, kota ini adalah salah satu kota bersejarah di Kalbar, namanya sangat dikenal dan besar dalam sejumlah dokumen lama. Foto Yusriadi.



Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke KKU (1) Sukadana, Kota Tua yang Benar-benar Tua

Oleh Yusriadi

Sudah sering saya pergi ke Ketapang. Penelitian bahasa dan masyarakat membawa langkah kaki saya ke kampung-kampung di bagian timur dan utara Ketapang. Banyak yang dikunjungi dan banyak yang dilintasi. Beberapa kali. Saya hampir mengenal Ketapang dengan baik. Saya pernah membuat beberapa tulisan tentang Ketapang.

Sukadana termasuk daerah yang saya lintasi. Saya belum pernah singgah di sini. Saya melintasi Sukadana sewaktu melakukan penelitian di hulu Sungai Laur tahun 2002. Dari Ketapang ke Laur waktu itu melalui Telok Melano, tembus ke Gerai. Dari Gerai naik motor ke Aur Kuning.
Bagi saya waktu itu Sukadana hanyalah sebuah kampung kecil. Sepi. Saya membaca plang sebuah sekolah dan di plang itu ada tulisan Sukadana. Saya tidak melihat keistimewaan Sukadana.
Sukadana yang saya lintasi waktu itu jauh sekali dibandingkan Sukadana yang saya bayangkan. Saya memiliki bayangan yang sangat besar tentang Sukadana. Berdasarkan catatan sejarah yang saya baca, Sukadana adalah salah satu tempat bersejarah di Kalimantan Barat. Tempat ini disebutkan sebagai daerah kekuasaan Majapahit.
Ada sumber yang menyebutkan bahwa di Sukadana pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan Tangjungpura -- ini juga yang mendorong Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Endjat Djaenuderadjat mengajak rombongan mahasiswa melalui Arung Sejarah Bahari (AJARI) II mengunjungi Sukadana tahun 2007 lalu.
Tempat ini juga menjadi tempat yang sangat penting di bagian pantai selatan pada abad ke – 17 – 18 M. Dalam sejarah Kalbar ada cerita kepahlawanan Opu Daeng Manambon dan saudara-saudaranya. Salah satu tempat dalam setting kepahlawanan wira Bugis itu adalah Sukadana.
Sukadana juga pernah menjadi tempat penting bagi Belanda. Belanda menjadikan Sukadana sebagai salah satu pusat pemerintahan di Pantai Barat Borneo. Ada beberapa tulisan Belanda tentang tempat ini.
Melihat catatan-catatan itu, saya membayangkan Sukadana adalah sebuah tempat istimewa. Sebuah wilayah yang sudah tua, tempat berdirinya sebuah kerajaan besar. Sebuah pusat pemerintah pastilah sebuah tempat yang maju dan berkembang.
Tetapi, alamak! Sukadana hanyalah sebuah kampung kecil memanjang –setidaknya itulah yang saya lihat dari jalan waktu itu. Saya tidak percaya, Saya menghibur diri sendiri: Mungkin saya hanyalah orang buta yang mendeskripsikan gajah, padahal gajah yang dideskripsikan cuma ekornya.
Tetapi, saya tidak sempat menindaklanjuti keheranan itu. Saya tidak berusaha mencari jawabannya. Saya tidak menjadikan Sukadana sebagai pusat perhatian. Saya tidak mempelajari lebih jauh sumber-sumber itu. Keheranan itu lewat begitu saja. Seharusnya saya merasa rugi melewatkan sesuatu yang berharga itu.
Syukurlah! Saya mendapat kesempatan kembali melintasi Sukadana, bulan lalu. Jadi, kira-kira sudah 6 tahun. Ketika itu saya ikut rombongan panitia Keaksaraaan Fungsional (KF) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pontianak. Kami singgah di Sukadana dalam perjalanan menuju Pulau Maya. Lumayan lama. Ada beberapa jam. Dan beruntungnya, dalam rombongan itu ada H. Rustam Abong, M.Pd. Bang Rustam, kelahiran Pulau Maya. Dia pernah sekolah di Sukadana. Dia mengenal kota kecil ini.
Kami sempat singgah di masjid besar yang dibangun Oesman Sapta (OSO) di pinggir lintasan Sukadana – Telok Melano. Masjidnya tinggi menjulang dan besar. Setelah itu kami bergerak melintasi pasar menuju tempat penjualan tiket di pinggir sungai.

***

“Inilah pusat kotanya. Mane lage’?!,”
Bang Yapandi setengah tertawa menjawab dan melihat reaksi saya soal Sukadana. Bang Yapandi, tepatnya H. Yapandi Ramli, M.Pd adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat STAIN Pontianak, Ketua Panitia KF STAIN Pontianak. Dialah yang kami sebut bos dalam perjalanan ke Pulau Maya kali ini. Yapandi sudah beberapa kali singgah dan melalui Sukadana.
Jawaban Bang Yapandi membuat Saya heran. Sukadana yang saya lihat hari ini juga belum memperlihatkan kemajuan berarti. Sudah enam tahun. Mengapa kemajuannya begitu lambat. Saya bandingkan kota Nanga Pinoh, Melawi yang meskipun di pedalaman tetapi memperlihat kemajuan yang pesat.
Saya berani jamin akan banyak orang sependapat dengan saya: Inikah sebuah ibukota kabupaten? Saya menduga dalam hati: Kalau bukan karena kehebatan seorang OSO mungkin KKU belum jadi sebuah kabupaten. Dan mungkin Sukadana tidak akan menjadi sebuah ibukota kabupaten. Dan saya merasa sangat wajar jika orang-orang di Sukadana sangat menghormati OSO –dan memujanya sebagai pahlawan. Orang Sukadana tidak cukup berterima kasih lewat mulut pada OSO. Mereka harus menunjukkan dengan hati dan sikap. Karena pasti, perhatian dan sumbangan OSO untuk masa depan Sukadana –dan itu berarti untuk anak cucu orang di Sukadana, sangat besar dan tak ternilai. Sukadana yang besar dan maju beberapa tahun mendatang adalah buah dari perjuangan putra Sukadana ini.
Saya bahkan harus mengatakan: Sukadana harusnya menjadi Kota OSO. Milik OSO. Kalau ada kerajaan di Sukadana yang didirikan hari ini, OSO-lah rajanya. Saya ingat kata Nazril Hijar, teman saya di Teluk Batang, sebuah kota kecil tidak jauh dari Sukadana, waktu kami berdiskusi soal KKU pagi tadi. “Citra OSO sangat bagus,” katanya. Pagi tadi Nazril menceritakan perhatian OSO terhadap pemekaran, panjang lebar. Dia tunjukkan foto-foto selama perjuangan pemekaran dilakukan. Semuanya diatur oleh OSO.
Yang saya lihat ada beberapa blok ruko memanjang kiri kanan dari simpang jalan utama menuju ke tempat penjualan tiket di pinggir sungai kecil –yang sedang surut. Minibus jurusan Teluk Batang – Sukadana terparkir di depan bangunan –yang saya tahu kemudian bahwa di situlah terminalnya, kalau mau disebut terminal. Di Pontianak tempat berhenti seperti ini disebut terminal bayangan.
Pada ruko-ruko itu dijual barang kelontong, pakaian, minuman, makanan, dan perabot rumah tangga. Di beberapa bagian bangunan terdapat simbol rokok Betha. Seakan-akan bangunan ini tempat usaha rokoh tersebut.
Saya sempat berjalan kaki melintas ruko itu untuk mencari tempat menjual pulsa. Saat melintas saya bisa melihat ruko dari jarak dekat.
“Ah, sangat sederhana,” bisik saya.
Sederhana karena saya membandingkannya dengan apa yang saya biasa dilihat di Pontianak. Bersambung.







Baca Selengkapnya...

Jumat, 13 Juni 2008

Dermaga Pulau Maya


Awak motor air menurunkan muatan --penumpang dan barang, yang diangkut dari Sukadana, KKU. Motor air ini berangkat dari Sukadana tengah hari sekitar pukul 13.00 dan sampai di Pulau Maya pukul 17.00. Perjalanan sebenarnya hanya 2 jam lebih. Perjalanan menjadi lambat karena motor air tidak bisa masuk ke pelabuhan Sukadana. Penumpang dari pelabuhan menuju motor air harus diangkut menggunakan sampan kecil -- bolak balik. Bolak balik sampan kecil memakan waktu berjam-jam. FOTO Yusriadi.



Baca Selengkapnya...

Penulis Buku Mozaik Dayak


Tiga penulis buku Mozaik Dayak di Kalimantan Barat; Catharina Pancer Istiyani, Sujarni Alloy, dan Albertus. Buku ini merupakan buku utama untuk mengetahui sub-suku Dayak di Kalimantan Barat. FOTO Yusriadi.





Baca Selengkapnya...