Minggu, 19 Februari 2012

Pabrik Arak dan Support Bupati Setiman

Oleh: Yusriadi

Saya mengandai. Melihat sebuah bangunan megah di luar kota Sanggau beberapa tahun yang akan datang. Orang masuk dan keluar dari bangunan itu. Orang masuk dan keluar untuk mendukung produksi arak. Lalu, ada mobil pengangkut peti-peti bersegel dengan tulisan: ‘Arak Made In Sanggau’.

Saya seperti melihat di toko-toko, di warung, arak buatan lokal ini dipajang di rak-rak secara terbuka. Harga jualnya lebih murah karena produksi lokal. Kualitas lebih terjamin karena jaminan mutu dipantau tim bentukan bupati.
Karena mudah diperoleh, karena harga terjangkau, karena mutu sudah dijamin bupati, warga terpincut minuman itu. Orang lokal mencicipi.
“Oi, nyaman arak tu’. Wangiiiii”. Begitu enak, cicip lagi.
“Arak apa tu’?”
Karena menyebut nama arak ‘made ini Sanggau’ susah, orang lantas memilih sebutan yang mudah. Merk arak dinisbahkan dengan nama tokoh pensupportnya: Bupati. Lalu, diam-diam nanti muncullah istilah “Arak Bupati’ selain ‘Arak Sanggau’. Brand lokal jadi suguhan utama tamu yang datang. Suguhan yang mendatangkan kebanggaan. Arak Bupati menjadi identitas baru dalam konteks budaya Sanggau.
Tamu jauh juga tertarik. Setiap datang ke Sanggau, mereka pulang dengan buah tangan: “Arak Made In Sanggau”. Mereka akan ingat Sanggau dengan araknya. Seperti ingat Pontianak karena lidah buaya, ingat Sambas karena jeruk. Ingat KKU karena salak. Ingat Kapuas Hulu karena kerupuk basahnya. Bangga ugak bah.
Di pinggir jalan duduklah sekelompok anak muda. Mereka nongkrong sambil minum ‘arak bupati’. Yang mabuk tergeletak di lantai di samping muntahan. Yang setengah mabuk meracau-racau. Ada juga yang pening-pening. Ada yang mata menaning. Nenek lewat dikira pemudi ting ting.
Ada juga sesekali orang yang memborong arak berpeti-peti, disuguhkan kepada orang yang bisa dibujuk hatinya untuk merangsak ke tempat yang dipinta. Orang setengah mabuk diminta berorasi atau menggoyang-goyangkan pagar bangunan sehingga onar lingkungan dibuatnya. Demo akan terasa lebih asyik jika peserta diumpan sebotol arak, dibandingkan dibekalkan sekampil arak yang dibeli secara sembunyi-sembunyi seperti yang dilakukan dahulu ini.
Itulah bayangan yang muncul di benak saya di balik wacana bupati Setiman mensupport pembangunan pabrik arak di Sanggau. Bayangan yang sarat sesungguhnya dengan kekhawatiran pada masa depan Sanggau dan pada masa depan generasi penerus di sana.
Tapi, ahh… pasti kekhawatiran itu berlebihan. Sebab, mungkin nanti orang Sanggau tidak suka minum arak dan kalau pun suka mereka tidak akan berlebihan. Tak ada jualan sembarangan dan tak ada pemabuk teler di pinggir jalan. Mungkin juga bupati pun tidak akan mengizinkan orang minum arak, karena sadar bahwa arak itu lebih banyak merusak badan. Mungkin juga pabrik arak itu akan tutup karena jumlah pembeli tidak sebanyak yang dibayangkan, sementara biaya sosial –untuk fee, sopoi dan lain-lain lebih besar.
Melihat Pak Bupati bersemangat soal pabrik ini, saya menjadi ragu: mungkinkah sebenarnya saya yang tidak bisa memahami cara berpikir bupati Setiman. Melihat dia begitu antusias dengan gagasan ini, pasti ada sesuatu yang penting di sana.
Saya berpikir, tidak mungkin seorang bupati membuat kebijakan yang dikira-kira akan menjerumuskan warganya. Tidak mungkin seorang pemimpin merintis sesuatu yang dikira-kira akan mencelakakan masa depan orang yang mendukungnya.
Sebagai pemimpin pasti dia akan selalu berpikir yang terbaik untuk daerah dan untuk warganya. Apalagi seorang pemimpin itu seperti seorang Pak Haji Setiman. Ngolu aku.

Baca Selengkapnya...

Bahasa Khatib

Oleh: Yusriadi
Jumat itu, saya salat di sebuah masjid di Pontianak Selatan. Sang khatib, sosok pemuda, menyampaikan ceramah soal akhlak. Katanya, akhlak sekarang kurang diperhatikan. Mana lagi media sekarang ini merusak akhlak. Film-film yang diputarkan media menjadi tontonan yang tidak mendidik. Lalu dia paparkan hasil penelitian tentang film anak-anak yang lebih banyak merusak daripada memberikan kebaikan.

Suara khatib mengaum. Dia mengungkapkan keprihatinan, dan sekaligus mungkin meluahkan kemarahan. Dia berkhotbah panjang lebar.
Saya lihat beberapa antara jamaah tertunduk. Tafakur. Beberapa lagi tertunduk, mengantuk. Mereka memejamkan mata. Entahlah telinga.
Di tengah suara lantang sang khatib, terdengar suara obrolan. Suara bersaing dengan suara khatib.
Beberapa kepala menoleh ke arah sumber suara itu. Saya juga turut memutar kepala ke samping belakang. Seorang anak muda itu. Celana hitam, baju kream, tanpa kopiah. Rambutnya pendek. Melihat penampilannya, saya kira dia karyawan sebuah hotel atau mungkin rumah makan.
Dia seperti tidak peduli meskipun biasanya pandangan orang mewakili teguran. Mungkin anak muda itu hidup di ruang sosial yang tidak menggunakan bahasa tubuh seperti itu.
Anak muda itu juga seperti tidak peduli ketika seorang lelaki paroh baya beruban di dekatnya menegur. Malah, dari pandangan matanya, saya melihat dia melawan, tidak terima ditegur. Rasanya, jika anak muda itu di masjid kampung saya di hulu sana, pasti dia sudah kena tampar. Kata orang kampung, perlu diberikan pelajaran, karena dia sepertinya kurang ajar.
Namun demikian untuk sementara anak muda itu tidak bersuara lagi. (Setelah itu beberapa menit kemudian dia ribut lagi). Sedangkan sang bapak kembali fokus mendengar khutbah sang khatib.
Saya terasa ‘mengelegak’ melihat peristiwa itu. Mungkin anak muda itu representasi jiwa saya saat mendengar khutbah itu. Ya, saya sering mendengar orang mengeritik media. Terakhir saya mendengar hal itu saat menjadi nara sumber dalam sebuah pelatihan.
Waktu itu saya katakan, kalau Anda menganggap media itu merusak, mengapa tidak Anda kuasai media itu? Anda bisa ajak umat membeli media itu. Iuran. Jika umat Islam ada puluhan juta, seorang iuran Rp5 ribu, maka uang itu sudah cukup untuk membeli media. Jika tidak, dirikan media baru sebagai tandingan dari media yang dikritik. Lawan.
Kalau tidak, Anda ajak teman-teman untuk masuk ke media dan mewarnai media sekular itu menjadi media agamis. Anda harus mengganti orang-orang di media, jika Anda anggap orang di media tidak baik dan Anda baik. Anda harus melakukan itu.
Terakhir, jika Anda tidak mampu juga, sementara Anda merasa dirinya betul, ajak semua orang baikot media yang tidak senonoh itu. Media tanpa penonton dan tanpa pembaca, akan mati.
Tetapi, berkali-kali saya katakan begitu, bekasnya juga tidak ada. Ngomong saja. Mereka seperti kata orang tua, “cakap macam lidah tak betulang”. Orang tidak peduli.
Ironi. Rasanya ironi itu saya lihat pada khatib saat dia mengatakan, orang sekarang lebih sudah melihat pelawak dibandingkan melihat ustadz ceramah. Orang lebih enak tidur dibandingkan diceramahi, seperti siang itu, orang lebih enak bicara sendiri dibandingkan mendengar khatib bicara. Owala.

Baca Selengkapnya...

Layanan Kelas Sosial

Oleh: Yusriadi

Jika pelanggan ada dua orang, seorang kaya dan seorang lagi pelanggan biasa, siapakah yang kamu layani lebih dahulu?
Kalau pertanyaan ini diajukan ke saya, saya akan mengatakan bahwa pelanggan yang saya layani lebih dahulu adalah siapa yang datang lebih dahulu. Siapa yang datang kemudian akan dilayani kemudian. Tidak perduli kaya atau miskin.
Tetapi kalau ditanya kepada seorang pekerja SPBU di Kuala Ambawang, saya duga mungkin jawabannya adalah yang kaya lebih dahulu. Saya menduga begitu berdasarkan pengalaman mengisi bensin di SPBU Pas ini minggu lalu.

Hari itu pukul 18.53 saya mengisi bensin di SPBU ini. Saya masuk dalam antrian sepeda motor. Di depan saya ada empat motor. Satu per satu motor dilayani. Pada saat hampir tiba giliran saya, sebuah mobil jenis kijang generasi baru datang. Seorang petugas, seorang perempuan berbaju merah putih menyambut kedatangan mobil itu dan mengatur posisinya sejajar dengan pom di depan saya.
Pemilik mobil turun dan membuka tutup tangkinya. Perempuan yang mengatur posisi mobil kemudian meminta kepada rekannya agar mengisi mobil itu lebih dahulu.
Tentu saja saya bingkas. Saya sudah antri tetapi dipotong. Masalahnya, saya juga buru-buru.
“Ini memang jalur mobil”.
Saya membalas. “Mana tulisannya?”
Setahu saya tidak ada tulisan “khusus mobil” di jalur yang saya lalui. Lagi, kalau memang di situ khusus mobil mengapa motor-motor di depan saya dibiarkan antri?
Tetapi perempuan itu tidak menghiraukan protes saya, dan dia tetap meminta temannya untuk mengisi bensin ke mobil lebih dahulu. Geram. Tentu saja. Saya mendekat perempuan itu ingin melihat nama di bajunya.
Tapi saya tidak berhasil. Perempuan itu lebih cepat memalingkan badannya. Dia kemudian seperti melarikan diri masuk ke mini market di SPBU membiarkan rekannya menyelesaikan pengisian mobil.
Peristiwa ini mengingatkan saya pada perilaku banyak orang di negeri ini yang masih menganggap harta adalah kehormatan. Jadi, perempuan yang bertugas di SPBU itu termasuk satu di antaranya.
Sesungguhnya gejala seperti itu juga kadang kala dialami di beberapa toko di kota ini. Sering kali penampilan orang menjadi barometer untuk memberikan pelayanan.
Saya kira sikap ini kadang kala membuat mereka sendiri tertipu. Berapa banyak orang sudah tertipu oleh seseorang yang penampilan keren perlente. Ketika kepercayaan diletakkan pada sisi materi maka orang akan sesekali mengalami kehilangan materi.
Di sisi yang lain, sikap ini menimbulkan rasa diskriminasi, rasa tidak dihargai seperti sebagaimana seharusnya.

Baca Selengkapnya...

Penelitian Ulama di Kalbar

Oleh: Yusriadi

Kemarin, saya menerima kedatangan dua orang peneliti dari Litbang Departemen Agama yang ada di Semarang. Mereka datang ingin mendapatkan informasi tentang karya ulama Kalbar dan tentang pemikiran mereka.
Mereka menjumpai saya karena sebelumnya mendapat cerita bahwa mungkin saya memiliki banyak informasi tentang ulama.

Sesungguhnya saya sempat tertegun mendengar pertanyaan mereka soal ulama Kalbar. Siapa yang layak disebut ulama di daerah ini? Siapa ulama Kalbar kontemporer? Apa karya mereka? Apakah mereka respon terhadap persoalan ummat? Mereka juga bertanya, siapakah ulama Kalbar di tahun 1970an? Siapakah ulama Kalbar pada masa awal kemerdekaan?
Siapa yang harus saya sebutkan namanya? Siapa tokoh Islam albar yang kharismatik –yang sangat dihargai dan suaranya didengar oleh ummat? Apakah pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalbar? Nahdlatul Ulama (NU) Kalbar? Apakah dosen STAIN Pontianak? Siapa ulama Kalbar masa lalu yang bisa saya sebutkan?
Lalu, soal karya, apakah karya tulis para ulama itu? Berapa orang ulama itu yang suka menulis? Berapa orang dari mereka yang memiliki buku? Berapa orang dari mereka yang menuangkan pemikiran dalam bentuk tertulis? Kalau mereka suka menulis, di mana sekarang tulisan itu? Siapa yang menyimpannya? Bagaimana mendapatkannya?
Saya juga bingung menjawab pertanyaan soal respon ulama terhadap persoalan aktual Kalbar. Apakah mereka memberikan komentar dan fatwa tertentu terhadap persoalan aktual masyarakat? Di mana saya membuktikan respon mereka memang seperti yang saya sebutkan?
Saya lebih banyak menjawab tidak tahu. Namun, kasihan mereka. Mereka sudah datang jauh-jauh dari Semarang ke tempat saya tidak mendapatkan apa-apa. Mereka sudah berharap mendapatkan data-data namun data yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Lebih dari itu, saya tergugah oleh pertanyaan mereka. Pertanyaan mereka membangkitkan memori saya bahwa ada banyak pekerjaan penelitian yang harus dilakukan. Saya, teman-teman di Kalbar yang peduli soal dokumentasi data harus berusaha lebih keras lagi untuk mengcover semua hal itu.
Selain itu, tentu saja menurut saya mereka yang disebut para ulama dituntut untuk lebih banyak berkarya sehingga pada akhirnya ada warisan pemikiran untuk ummat di kemudian hari. Sehingga pada akhirnya tak susah-susah saya tunjukkan karya mereka pada orang yang ingin mengetahuinya.
Karena itulah, saat peneliti berpamit pulang mengucapkan terima kasih karena saya telah memberikan informasi, saya juga mengucapkan terima kasih karena pertanyaan-pertanyaan mereka telah memberikan inspirasi untuk pekerjaan besar ke depan.

Baca Selengkapnya...

Membaca Kerusuhan di Tayan 1997

Oleh: Yusriadi
Saya sedang membaca tugas mahasiswa satu persatu. Dari 40 lebih tugas itu, ada sebuah tugas yang sangat menarik perhatian saya. Pertama, tugas itu dijilid lebih tebal dibandingkan tugas yang lain. Jilid yang lebih tebal itu membuat tugas ini mencolok perhatian.


Kedua, setelah saya baca isinya, hal yang ditulis mahasiswa dalam tugas ini adalah cerita pengalaman pribadi saat dia terjebak dalam kerusuhan 1997. Tentu saja peristiwa itu adalah peristiwa besar dan penting dalam perjalanan Kalbar.
Saya mulai membaca. Ceritanya, mahasiswa itu ingin pulang ke kampung istrinya di daerah Tayan, Sanggau, merayakan lebaran bersama keluarga. Dia menceritakan bagaimana duka perjalanan hingga sampai di kampung. Perjalanan ditempuh melalui motor air dengan susah payah: penumpang bersesakan.
Dia menggambarkan bagaimana ketegangan demi ketegangan melanda dia dan orang-orang di sekitarnya. Ketegangan selalu muncul ketika mereka mendengar cerita dari mulut ke mulut mengenai perkembangan kejadian.
Ketegangan muncul ketika melihat orang-orang yang bersenjata parang, tombak dan senapang lantak, melakukan razia. Ketegangan juga muncul ketika mereka menemukan mayat-mayat bergelimpangan dengan keadaan yang mengenaskan.
“Ketika kembali ke rumah, kami makan. Istri memasak ayam. Pada saat melihat ayam, saya menjadi teringat jenazah-jenazah yang ditemukan di hutan di seberang sungai. Saya mual. Selera makan langsung hilang”.
Begitu dia menggambarkan bagaimana dampak batin peristiwa itu. Dia menggambarkan kejutan mental (shock) yang dialami setelah dia bersama sejumlah warga menguburkan mayat-mayat itu.
Dampak psikologis lain digambarkannya dalam penutup.
“Saya sebenarnya tidak ingin menulis cerita mengenai kejadian ini…. Namun, cerita ini harus ditulis agar orang-orang sadar untuk tidak menciptakan kerusuhan lagi. Ketegangan yang muncul sepanjang masa kerusuhan telah membuat orang hidup dalam kecemasan dan ketakutan.”
Dampak seperti ini memang sangat mudah dipahami. Siapa yang tidak terpengaruh oleh peristiwa seperti itu? Tidak ada. Pasti ada pengaruhnya. Siapa orang yang tidak cemas ketika memikirkan setiap saat mereka mungkin menjadi korban salah sasaran. Siapa yang dapat menghapus bayangan tragis di depan mata dalam sekejap?
Cerita panjang yang ditulis mahasiswa membius saya dalam kenangan buruk itu. Meskipun saat kerusuhan 1997 saya sedang tidak ada Kalbar namun saya seperti melihat gambar kerusuhan diputar kembali. Saya menjadi ikut tegang dan juga cemas. Saya bisa membayangkan jika terperangkap situasi seperti yang digambarkan penulis.
Memang, saya yang mendorong mahasiswa untuk menulis. Saya meminta mereka menulis peristiwa yang paling mengesankan dalam hidup mereka. Menulis peristiwa yang dijalani sendiri akan lebih mudah karena bahannya tidak perlu dicari-cari lagi. Semuanya sudah ada di dalam memori dan langsung menuangkannya. Bandingkan jika mereka harus menulis berdasarkan bahan lain. Jangan-jangan pilihannya mereka memungut dari internet begitu saja, atau mengupah orang lain membuatnya.
***
Lalu, soal kerusuhan, saya kerap kali minta orang di sekitar saya menuliskannya. Saya meminta mereka yang terlibat dalam peristiwa, mereka yang menjadi saksi sejarah, mendokumentasikannya. Sekarang! Sebelum ingatan mereka terhapus satu persatu.
“Profesor A dan B sudah menulis tentang kerusuhan 1997 dan 1999. Mereka mengatakan begini dan begini. Namun, mereka bukan orang yang mengalami langsung. Mereka hanya mendapatkan gambaran dari cerita orang lain. Jika Anda terlibat langsung, maka tulislah. Berikan gambaran secara detail. Tulisan Anda akan menjadi dokumentasi sejarah di tahun-tahun yang akan datang. Mungkin dari tulisan Anda orang akan mendapatkan gambaran sisi lain peristiwa itu dibandingkan dengan yang sudah ditulis. Dan ingat, kerusuhan 1997 dan 1999 adalah peristiwa besar dalam sejarah Kalbar”.
Begitu saya mendorong orang di sekitar saya untuk menulis. Saya selalu beranggapan menulis peristiwa seperti kerusuhan 1997 dan 1999 adalah hal penting untuk memotret peristiwa besar itu di kemudian hari. Tulisan itu akan menjadi pembelajaran bagi generasi mendatang dan pasti akan penting bagi peneliti hubungan antar etnik.
Saya pernah mendengar sebagian orang beranggapan bahwa menulis hal itu bisa membuka luka lama. Dan, karena itu mereka dilanda ketakutan dan kekhawatiran.
Tetapi bercermin dari tulisan Pastor Josef Herman Van Hulten dalam buku “Hidupku Diantara Orang Dayak” saya rasa tidak. Pastor Herman dalam buku itu salah satu bagiannya menceritakan bagaimana dia ketika terperangkap di jalan dalam aliran massa yang sedang bergerak saat melintasi di sekitar Sungai Pinyuh. Pastor itu menceritakan bagaimana massa berteriak, menggambarkan bagaimana rumah terbakar dan juga kematian. Namun, rasanya walaupun tulisan itu sudah lama diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, namun tidak membuat orang yang membacanya marah. Semua orang sudah menyadari bahwa peristiwa itu sudah terjadi dan masing-masing sudah melupakannya. Masing-masing sudah berpikir bahwa peristiwa itu adalah masa lalu yang telah terjadi dan jangan diulangi lagi.
Malah yang banyak saya dengar kemudian, orang yang meneliti sejarah Cina di Kalbar tidak akan melewatkan buku ini untuk memahami posisi Cina di Kalbar di masa lalu. Apatah lagi peneliti yang melakukan studi tentang relasi Cina-Dayak. Mereka memahami peristiwa itu sebagai bagian dari dinamika hubungan –ada pasang surutnya.
Jadi kiranya untuk kepentingan akademik, dokumentasi seperti ini justru dirasakan sangat penting dilakukan. Jika Anda tidak melakukan itu, pasti orang lain yang melakukannya.

Baca Selengkapnya...