Minggu, 19 Februari 2012

Bahasa Khatib

Oleh: Yusriadi
Jumat itu, saya salat di sebuah masjid di Pontianak Selatan. Sang khatib, sosok pemuda, menyampaikan ceramah soal akhlak. Katanya, akhlak sekarang kurang diperhatikan. Mana lagi media sekarang ini merusak akhlak. Film-film yang diputarkan media menjadi tontonan yang tidak mendidik. Lalu dia paparkan hasil penelitian tentang film anak-anak yang lebih banyak merusak daripada memberikan kebaikan.

Suara khatib mengaum. Dia mengungkapkan keprihatinan, dan sekaligus mungkin meluahkan kemarahan. Dia berkhotbah panjang lebar.
Saya lihat beberapa antara jamaah tertunduk. Tafakur. Beberapa lagi tertunduk, mengantuk. Mereka memejamkan mata. Entahlah telinga.
Di tengah suara lantang sang khatib, terdengar suara obrolan. Suara bersaing dengan suara khatib.
Beberapa kepala menoleh ke arah sumber suara itu. Saya juga turut memutar kepala ke samping belakang. Seorang anak muda itu. Celana hitam, baju kream, tanpa kopiah. Rambutnya pendek. Melihat penampilannya, saya kira dia karyawan sebuah hotel atau mungkin rumah makan.
Dia seperti tidak peduli meskipun biasanya pandangan orang mewakili teguran. Mungkin anak muda itu hidup di ruang sosial yang tidak menggunakan bahasa tubuh seperti itu.
Anak muda itu juga seperti tidak peduli ketika seorang lelaki paroh baya beruban di dekatnya menegur. Malah, dari pandangan matanya, saya melihat dia melawan, tidak terima ditegur. Rasanya, jika anak muda itu di masjid kampung saya di hulu sana, pasti dia sudah kena tampar. Kata orang kampung, perlu diberikan pelajaran, karena dia sepertinya kurang ajar.
Namun demikian untuk sementara anak muda itu tidak bersuara lagi. (Setelah itu beberapa menit kemudian dia ribut lagi). Sedangkan sang bapak kembali fokus mendengar khutbah sang khatib.
Saya terasa ‘mengelegak’ melihat peristiwa itu. Mungkin anak muda itu representasi jiwa saya saat mendengar khutbah itu. Ya, saya sering mendengar orang mengeritik media. Terakhir saya mendengar hal itu saat menjadi nara sumber dalam sebuah pelatihan.
Waktu itu saya katakan, kalau Anda menganggap media itu merusak, mengapa tidak Anda kuasai media itu? Anda bisa ajak umat membeli media itu. Iuran. Jika umat Islam ada puluhan juta, seorang iuran Rp5 ribu, maka uang itu sudah cukup untuk membeli media. Jika tidak, dirikan media baru sebagai tandingan dari media yang dikritik. Lawan.
Kalau tidak, Anda ajak teman-teman untuk masuk ke media dan mewarnai media sekular itu menjadi media agamis. Anda harus mengganti orang-orang di media, jika Anda anggap orang di media tidak baik dan Anda baik. Anda harus melakukan itu.
Terakhir, jika Anda tidak mampu juga, sementara Anda merasa dirinya betul, ajak semua orang baikot media yang tidak senonoh itu. Media tanpa penonton dan tanpa pembaca, akan mati.
Tetapi, berkali-kali saya katakan begitu, bekasnya juga tidak ada. Ngomong saja. Mereka seperti kata orang tua, “cakap macam lidah tak betulang”. Orang tidak peduli.
Ironi. Rasanya ironi itu saya lihat pada khatib saat dia mengatakan, orang sekarang lebih sudah melihat pelawak dibandingkan melihat ustadz ceramah. Orang lebih enak tidur dibandingkan diceramahi, seperti siang itu, orang lebih enak bicara sendiri dibandingkan mendengar khatib bicara. Owala.

0 komentar: