Jumat, 02 Juli 2010

Batu dalam Celana

Yusriadi
Redaktur Borneo Metro

Pagi itu, beberapa hari lalu, saya bersama dua teman saya –Me dan Miji, lari pagi menyusuri jalan di Kota Singkawang. Lari pagi kami lakukan untuk menjaga fisik agar tetap segar saat laga futsal Porda Depag 2010.
Kami menyusuri Jalan Diponegoro – masuk pasar, lewat patung Naga, hingga sampai ke ujung Jalan Niaga. Di depan masjid raya, kami berhenti, singgah di kedai makan. Kami pesan bubur dan minuman. Bubur porsinya agak jumbo.
Usai makan, tiba-tiba saya rasa ada yang mau lewat.

Me juga bilang dia memerlukan WC karena kebelet. Saya mendatangi penjaga kedai, bertanya di mana tempat pembuangan akhir. Mulanya saya kira di belakang warung ada tempat.
Tetapi malangnya, WC tidak ada.
“Kalau mau, bisa numpang WC masjid,” kata pemilik warung itu.
Dia memberi petunjuk. WCnya ada di samping kanan masjid. “Itu di sebelah situ ada pagar, masuk saja, lurus”.
Saya melangkah tangkas, berjalan paling depan menyeberang jalan menuju masjid. Sedangkan teman yang hampir kebelet tadi berjalan agak lambat. Maklum, sudah benar-benar pengin keluar katanya. Dia khawatir kalau melangkah buru-buru, yang mau lewat itu bisa lewat benaran.
Kami masuk lewat celah pagar yang masih sedang dalam pengerjaan—bukan lewat pintu. Mungkin karena hari masih pagi belum ada pekerja di sana. Beberapa meter dari pagar itu sudah nampak WC masjid.
Ada tiga WC di sini. Saya masuk ke salah satu WC itu. Karena hanya melepas yang kecil, tidak lama, saya sudah keluar.
Tapi, saya terkejut karena ternyata teman saya yang kebelet sudah berdiri di dekat pagar.
“Lho, kok udah?”
“Kencing jak Bang,”
“Heh? Katanya tadi udah mau keluar?”
“Ndak jadi. Nanti di penginapan saja,” katanya.
“Kuat? Khan jauh”.
“Udah. Ini udah pakai batu”.
Dia merogoh sakunya. Menunjukkan sesuatu sebesar ibu jari.
“Maksudnya?”
Me menjelaskan, menurut Miji kalau kebelet bisa diatasi dengan batu. Batu dimasukkan di dalam saku celana.
“Itu petua orang tua,”
“Kami percaya itu. Keci’-keci’ dulu saya sering begitu. Biasanya memang benar,” Miji menimpali.
Miji, orang Melayu. Dia kelahiran kota Pontianak. Kecil-kecil dia main di kampung Bansir.
Saya belum pernah mendengar hal begitu dipercayai orang di Pontianak. Tentu saja apa yang saya dengar dari Miji pagi itu-- bahwa di Pontianak ada orang yang percaya pada hal seperti itu, merupakan hal baru. Biasanya, kepercayaan seperti itu ada pada orang kampung saja, tempat yang nun jauh dari kota.
Ini jelas petanda kalau saya masih buta pada khazanah budaya masyarakat Melayu di kota Pontianak. Saya merasa takjub mendengar bentuk kearifan begini. Sepanjang jalan pulang tak habis-habisnya saya memikirkan hal ini. Duh, sayang belum ada penelitian tentang hal ini.
Kami terus berjalan menuju penginapan sambil bercakap-cakap. Sesekali saya bertanya pada Me.
“Gimana Me, manjur ndak batunya?”
“Kayaknya iya Bang. Udah ndak macam tadi”.
Walaupun kami melihat kenyataan batu bisa membuat orang tidak jadi buang air, namun, masing-masing ada keraguan. Setidaknya kami tidak menemukan apa kaitannya antara batu dengan keinginan buang air itu. Mengapa orang yang sangat ingin ‘beol’ bisa tahan setelah batu dimasukkan ke dalam saku.
“Apakah ini hanya sugesti saja?!”
Entahlah. Saya harap suatu saat ada orang yang bisa menjelaskan hubungan antara batu dan beol itu. Apakah hubungan itu lebih dari sekadar sugesti?

Baca Selengkapnya...

Perlu Teman Menulis

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Metro

Hari itu, beberapa waktu lalu, seorang mahasiswa datang kepada saya minta didaftarkan dalam kelompok Klub Menulis STAIN Pontianak yang saat ini saya kelola. Katanya, dia ingin belajar menulis secara lebih intensif bersama orang lain.
“Selama ini saya menulis sendiri dalam buku harian,” katanya.
Saya terangguk-angguk mendengar ceritanya itu. Ya, saya memberikan apresiasi terhadap dia karena sudah ada upaya menulis kisah hidup sehari-hari. Dia sudah berusaha. Usaha yang baik dan sangat produktif. Saya katakan ini baik karena saya membandingkan dengan banyak orang lain yang tidak punya tulisan, tidak punya karya.
Saya juga memberikan apresiasi terhadapnya karena dengan begitu dia menunjukkan kapasitasnya sebagai mahasiswa, makhluk kampus.


Selama ini saya selalu menganggap bahwa sebagai komunitas akademik mahasiswa harus menulis. Tidak cukup hanya belajar duduk di dalam kelas mendengar dosen ceramah. Mahasiswa harus menulis untuk mengukur pemahaman dia terhadap materi yang disampaikan. Mahasiswa harus menulis untuk mendalami masalah atau tema-tema dalam perkuliahan. Mahasiswa harus menulis dengan begitu dia mengasah kemampuan dirinya.
Sebaliknya dari anggapan ini, saya selalu merasa agak heran ketika mendapati mahasiswa malas menulis (dan malas membaca). Lebih mengherankan lagi kalau melihat mereka tidak menyukai aktivitas ini, sementara pada saat yang lain mereka berapi-api mengklaim dirinya sebagai intelektual kampus. Saya member cap: “Ngomongnya berasap, nulisnya, angin”.
Kadang kala sering kepikiran, mengapa mahasiswa begitu? Mengapa mereka tidak menyukai aktivitas ini? Mengapa?
“Oh, mungkin mereka ikut dosen mereka?”
Lho? Ya, banyak dosen yang malas menulis. Meskipun Tri Dharma Perguruan Tinggi sering disinggung-singgung, namun penerapannya kurang. Tidak banyak dosen yang terlibat dalam kegiatan penelitian dan publikasi karya akademik mereka. Tidak banyak dosen yang memiliki karya akademik yang proporsional.
Saya kenal seorang dosen senior. Dia sudah bertugas selama lebih dari 20 tahun. Golongan kepangkatannya sudah tinggi. Namun, sampai saat ini bukunya baru 2, itupun nama sebagai penulis bersama –yang tulisannya termasukk dalam bab dari buku itu. Dia numpang satu bab tulisan dalam buku ini. Bukan buku sendiri.
Seorang lagi dosen dibuatkan profil oleh media. Dia disebut sebagai dosen yang hebat. Pendapatnya sering dikutip wartawan. Dia disebut pakar dalam banyak bidang. Tetapi, alamak … ketika saya lihat riwayat penelitiannya, penelitiannya dapat dihitung dengan telunjuk. Itupun, tidak semua penelitian dia lakukan. Dia hanya menumpang nama. Beberapa lagi penelitian tidak ada hubungan dengan bidang dasar ilmu dia.
Walaupun saya belum melakukan riset untuk melihat kompetensi dosen dalam menulis dan menerbitkan buku, rasanya, secara kasar jumlahnya pasti tidak banyak. Lebih banyak dosen melupakan tradisi meneliti dan menulis makalah, karena disibukkan oleh pelbagai urusan. Mulai urusan mengajar, hingga urusan sibuk menangani proyek luar.
Nah, jika dosen sudah begitu, wajar saja kalau mahasiswa pun meniru-niru. Bagaimanapun dosen adalah contoh dan teladan mahasiswa. Ini yang dikatakan pepatah: “Guru kencing berdiri, anak-anak kencing berlari”.
Bah, apa jadinya kalau komunitas intelektual melempem seperti itu?
Tetapi, hal ini tidak bisa dihindari karena mereka, kita semua, berangkat dari system yang terbangun selama ini. Selama ini mereka memang tidak dibina menjadi akademisi yang intelektual. Mereka hanya dibentuk menjadi seperti guru. Bisanya hanya mengajar. Sedangkan meneliti dan publikasi, kurang ditekuni karena tidak dipentingkan.
Oleh sebab itulah ketika melihat ada kegairahan menulis dan berkarya di kalangan mahasiswa yang ingin bergabung dalam Klub Menulis, saya menaruhkan harapan baru: generasi intelektual bakal lahir. Hanya soalnya sekarang apakah saya (sendiri) dapat membesarkan mereka? Siapa yang mau peduli dan siapa yang mau membantu?

Baca Selengkapnya...

Trademark Kota Pontianak

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Metro
Tiba-tiba terlintas bayangan dalam benak saya: Orang berkumpul di sepanjang Jalan Ahmad Yani Pontianak. Mereka yang melakukan jogging dan jalan-jalan bersama anak istri. Peminat futsal, bermain santai di atas aspal. Sebagian lagi memilih bersenam erobik atau taichi. Di bagian tertentu di jalan ini ada yang jualan makanan ringan, yang lain jualan perlengkapan olah raga atau mainan.



Mengapa bayangan itu terlintas? Rudi Agus pasalnya. Rudi, yang kini menjadi Pimred Metro Pontianak bertemu saya kemarin, usai salat Jumat di masjid Syahid Pontianak. Panjang cerita, Rudi menceritakan bahwa dia sedang mengupayakan program car free day di setiap daerah. Di Pontianak program itu sudah dicanangkan oleh Gubernur Kalbar; kawasan yang dipilih adalah Jalan A. Yani Pontianak. Salah satu ruas jalan A Yani, yakni jalur dari simpang empat A. Yani – Ahmad Dahlan, hingga belokan SPBU OSO, dipilih sebagai kawasan jalan bebas di hari Minggu mulai pukul 07.00-09.00. Namun, di tengah perjalanan, program ini ada yang protes.
Walaupun begitu, program ini terus berjalan. Ada dukungan yang diberikan oleh Pemerintah Kota Pontianak.
Sampai hari ini kegiatan itu berjalan, walaupun perjalanannya tidak seperti yang dibayang pencetusnya.
“Kita inginkan Jalan A Yani ini bisa menjadi tempat alternative berkumpulnya warga di hari Minggu, selain stadion,” kata Rudi.
Ya, saya kira, impian itu bukan impian kosong. Pasti bisa diwujudkan. Bisa -- jika sosialisasinya berjalan, jika program itu dikemas dengan baik sehingga jadi menarik.
Seperti Rudi, saya sudah bisa membayangkan satu ruas jalan itu akan menjadi tempat orang berkumpul untuk berbagai tujuan – untuk olahraga, santai, wisata keluarga, dan juga untuk berjualan.
Tidak sulit membayangkan tempat seperti itu. Monas, Jakarta, merupakan contohnya. Di luar negeri, di Malaysia, sudah ada misalannya: pasar malam (minus olahraganya).
Saya kira, jika Buchary membangun beberapa trade mark kota Pontianak, Sutarmijdi dapat juga melakukan hal itu. Ada monumennya.
Lantas saya teringat upaya yang sekarang dilakukan Sutarmidji: penataan kawasan Kota Baru Pontianak. Di Kota Baru itu dibangun tugu indah. Ada taman kecil, ada tempat santai, ada air mancur. Tugu itu sekarang sudah menjadi salah satu objek wisata: sering saya melihat orang singgah di sini, sembari foto-foto.
Di Kubu Raya, tugu di persimpangan Ambawang juga sekarang menjadi salah satu tempat ‘indah’ untuk foto-foto.
Nah, pasti tidak akan sukar membangun hal yang hampir serupa di sekitar persimpangan A Yani itu, atau kalau mana-mana tempat yang memungkinkan. Tempat itu akan menjadi daya tarik tambahan di kawasan ini; sekaligus mendukung program seperti yang Rudi bayangkan. Rasanya pasti akan lebih semarak dibandingkan Taman Alun Kapuas, tugu Khatulistiwa, atau bahkan Stadion sendiri.

Baca Selengkapnya...

Untuk Mereka yang Kalah

Oleh: Yusriadi
Redaktur Borneo Metro
Seorang teman dari tim sukses salah satu kandidat bupati yang bertarung dalam pilkada di sebuah kabupaten di Kalbar belum lama ini, menceritakan kandidat itu sekarang sedang agak stress. Dia stress karena memikirkan uangnya yang sudah banyak keluar.
Iseng-iseng saya bertanya: “Berapa banyak dia keluar uang?”
“Miliaran rupiah,” katanya.



“Wow”.
Saya takjub. Sangat takjub. Saya membayangkan kalau uang miliaran itu dikumpul-kumpul. Satu tas pun tak akan muat – agaknya. Kalau disusun-susun pasti bertumpuk-tumpuk tingginya.
Saya lebih takjub lagi memikirkan bagaimana orang begitu agak mudah mengumpulkan uang sebanyak itu. Saya sering mengagak-agak: berapa lamakah dia mengumpulkan uang sebanyak itu? Satu bulan? Setengah tahun? Satu tahun?
Lalu, bagaimana caranya mendapatkan uang sebanyak itu?
Saya tentu mengukur diri sendiri. Saya tidak kebayang bagaimana bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Kalau ikut kerja saya sekarang, seumur-umur kayaknya tidak akan terkumpul uang sejumlah itu.
Padahal, kalau dipikir-pikir, rasanya kerja yang dilakukan sudah maksimal. Karena itu, saya harus menganggap orang yang bisa mengumpulkan uang puluhan miliaran rupiah dalam waktu setahun atau beberapa tahun, adalah orang yang luar biasa. Hebat.
Tetapi, rasa takjub tidak berhenti di situ. Saya masih sangat takjub pada mereka yang punya uang miliaran rupiah, dan mau-maunya membagikan pada orang lain. Mau-maunya mereka menghamburkan dan menaburkannya.
Ya, saya katakan menghamburkan uang karena sepanjang yang saya lihat dalam pilkada, calon bupati dan wakil bupati selalu royal memberikan uang mereka. Mereka dikelilingi orang, dan orang yang datang pada mereka mendapatkan ‘habuan’. Saya dengar dahulu dari seorang asisten calon gubernur, setiap bulan ada banyak proposal yang masuk ke meja mereka. Proposal pembangunan rumah ibadah, proposal pembangunan jembatan dan jalan, proposal pertandingan sepakbola, proposal lomba ini itu… dan seterusnya.
Mereka yang datang untuk keperluan pribadi juga sangat banyak. Ada yang datang minta uang tiket, uang jalan, uang sekolah, uang makan, hingga uang rokok.
Saya merasa takjub karena membayangkan begitu pemurahnya ‘beliau’ itu mengalirkan uangnya. Uang macam tidak ada harga baginya – kecuali agar dia dianggap baik dan layak dipilih. Padahal, terpilih juga belum pasti.
Saya takjub membayangkan dia bisa menjadi seperti malaikat yang sangat baik hati, padahal sebenarnya kebaikan itu diberikan karena dia mengharapkan sesuatu.
Ahh… saya menarik nafas, sembari membayangkan, andai beliau yang menaburkan uangnya itu, benar-benar berbaik hati. Uang miliaran rupiah itu bisa digunakan untuk menyekolahkan anak dari satu kecamatan, hingga mereka menjadi sarjana. Uang miliaran rupiah bisa digunakan untuk membangun sekolah di kampung, atau pesantren dengan fasilitas yang lengkap. Uang miliran rupiah bisa digunakan untuk membantu modal usaha dan aneka kegiatan produktif.
Bantuan itu pasti akan mengubah banyak hal di masyarakat. Perubahan yang terjadi pasti nyata. Saya kira, perubahan itu pasti akan menyebabkan masyarakat tertambat hatinya. Pasti perubahan begini ini akan menjadi daya tarik yang luar biasa. Daya tarik yang akan membuat orang memilihnya dengan sukarela – bukan seperti yang terjadi sebelum ini: orang memilihnya berpura-pura. Di depan dia katakan mendukung, di belakang mentertawakannya. Cara ini pasti tidak akan membuatnya stress – karena menabur uang di lautan.
Tapi, saya tak bisa mengingatkan calon itu. Tak kenal. Kalau kenal pun, saya tak berani mengingatkan calon itu. Takut dianggap celupar. Dalam situasi sekarang dia tidak butuh nasehat. Nasehat justru akan membuatnya berang.
Biarlah dia renung sendiri masalahnya. Ini pelajaran berharga buat dia, dan juga buat calon yang lain di kemudian hari.

Baca Selengkapnya...

Makalah Hasan Karman

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Metro
Saya merasa sangat tertarik menyaksikan reaksi Zulfidar, dkk serta reaksi Fron Pembela Islam (FPI) dan KNPI Singkawang, terhadap makalah Hasan Karman. Saya ingin terus mengikuti perkembangan dan ending aksi ini.
Karena itu saya berusaha membaca media utama di daerah ini. Entah itu Borneo Tribune, Pontianak Post, Equator maupun Tribune Pontianak. Saya memerlukan bacaan itu karena saya tahu ideology masing-masing dan apa yang terjadi di ruang redaksi media ini berbeda. Saya kira tugas dari redaktur untuk wartawan juga akan membuat bahan tulisan yang disajikan kepada public akan berbeda. Dan senyatanya memang begitu.



Dari semua berita itu, saya kira yang paling penting bagi saya adalah ketika membaca teks lengkap makalah HK yang dimuat di Borneo Tribune beberapa hari lalu. Ya, membaca teks lengkap itu sangat perlu untuk memahami duduk persoalan.
Bagi saya –dan beberapa teman lain, pertanyaan penting dari kasus ini sebenarnya adalah kayak apa sih makalah HK itu? Bagian mana yang dipersoalkan? Sejauhmana persoalannya –sampai-sampai kok dia harus mundur?
Kalau kita tidak mencari fakta itu, kita mungkin akan terjebak opini. Mana lagi begitu banyak komentar muncul terhadap makalah itu.
Dan, ketika saya bandingkan dengan isi makalah dengan opini yang berkembang, saya justru ragu: apakah komentator itu ada membaca makalah HK atau tidak?
Lalu pada akhirnya, saya sendiri berpendapat bahwa persoalan makalah HK bukan semata soal makalah. Reaksi karena makalah tidak akan sehebat itu.
Tentu ada sebab lain. Dan rentetan kasusnya jelas. Misalnya, bagaimana FPI muncul dan mengaitkan makalah itu dengan patung naga. Kita memang tahu bahwa selama ini patung naga memang dipersoalkan dan reaksi yang diberikan sejak mula rencana pembangunan, sampai sekarang – sampai patung ini menjadi ikon baru kota singkawang, tidak pernah berhenti. Tetapi, protes mereka tidak membuahkan hasil. HK tidak meluluskan permohonan mereka.
Setelah membaca makalah, saya juga menganggap HK sempat berlebihan memberikan reaksi atas reaksi Zulfidar, dkk. Berlebihan? Saya sempat membaca komentar HK pada mulanya menolak minta maaf. HK tidak merasa bersalah.
Benarkah makalah itu tidak ada masalah?
Pertama, saya kira masalah di makalah itu adalah: HK tidak mengutip sumbernya. Yuan Bingling yang disebut-sebut tidak ada. Begitu juga dengan Graham Irwin. Komentar soal catatan kaki yang diberikan beberapa orang juga tidak nampak. Tak ada tanda makalah itu memiliki catatan kaki. Dalam referensi, yang disebutkan hanya beberapa karya mulai dari Harun Aminurrasyid hingga Elias Suryani Soren.
Justru itu, masalah makalah HK menjadi sangat serius jika dilihat dari sudut metodologi penulisan akademik; HK tidak memenuhi itu. Titik lemah makalah itu sebenarnya seharusnya disadari HK sejak awal.
Kedua, saya menilai Ketua MABM Kalbar Chairil Effendi benar ketika mengkritik penggunaan sumber colonial untuk tulisan ini tanpa dipadukan dengan sumber bukan kolonial. Ini berkaitan dengan isu kapasitas sumber rujukan. Sebagai ilmuan, kita menyadari tidak semua sumber layak dirujuk. Ilmuan harus memilah dan memilih. Kadang kala justru sumber-sumber tertentu ditampilkan untuk dikritisi.
Hanya masalahnya, apakah ada tulisan tentang sejarah Sambas yang dibuat oleh ekspert dalam soal ini? Siapa ekspert itu? Siapa pakar sejarah Melayu di Kalbar?
Pada konteks ini, sebenarnya ini juga harus direnungkan orang Melayu. Orang Melayu Kalbar belum menulis sejarahnya sendiri. Mereka belum menulis sejarah berdasarkan perspektif dalaman sebagai antitesa terhadap pendapat orang kolonial.
Saya tidak hendak menafikan ada beberapa tulisan sejarah yang dibuat oleh peminat sejarah yang berasal dari orang Melayu di Kalbar, tetapi, metode tata tulis, metode analisis, masih sangat lemah. Konstruksi keilmuan masih harus ditingkatkan lagi.
Saya pernah menyampaikan hal ini dalam sebuah forum akademisi dan di sana juga ada orang dari Balai Pelestarian Sejarah Pontianak, bahwa yang paling menyedihkan bagi kita semua di Kalbar, kita tidak punya pakar sejarah. Kalbar tidak punya professor sejarah. Kalbar tidak punya doctor dalam bidang sejarah. Tidak ada di lembaga penelitian, tidak ada juga di Untan.
Nah, ketika masalah penggunaan sumber local diangkat oleh Pak Chairil, saya kira masalahnya seharusnya juga menjadi perhatian bagi orang Melayu – khususnya para akademisi, bukan HK saja. Orang Melayu harus mendoktorkan anak Melayu untuk mengisi kekosongan itu.
Jadi, pada intinya, munculnya kontroversi makalah HK lebih baik juga diimbangi dengan menjadikannya sebagai bahan renungan bagi kita semua, bagi orang Melayu, dan juga bagi HK. Dari berbagai sudut. Lalu setelah renungan itu kita memperbaiki kelemahan itu bersama-sama. Lihat sisi positifnya.

Baca Selengkapnya...

"Mengapa Katanya?"

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Metro

Hari itu saya sedang mengajar tentang kalimat dalam bahasa Indonesia. Setelah menerangkan konsep kalimat dalam bahasa Indonesia, saya menampilkan kalimat: Katanya: “Saya ingin pulang,” dan beberapa kalimat lagi, sebagai contoh kalimat langsung.
Tiba-tiba seorang mahasiswa bertanya.
“Pak, mengapa di situ ada katanya?”

Saya sempat mengerutkan kening mendapat pertanyaan itu. Mengapa dia bertanya tentang itu? Saya belum menangkap apa sebenarnya maksud pertanyaan mahasiswa itu.
“Iya, mengapa di situ ada kata ‘katanya’? Padahal itu ‘kan kalimat”.
Wah… saya terpana mendengar pertanyaan itu. Kini saya mengerti pertanyaan itu. Pertanyaan ini yang sungguh sangat kritis. Saya tidak pernah berpikir tentang itu, sekalipun saya memberikan contoh itu.
Saya ingat, selama ini saya menerima mentah saja dalam menggunakan ‘katanya’. Lebih-lebih sebagai jurnalis, sejak belajar menulis berita lebih 20 tahun lalu, ‘katanya’ hari-hari saya pakai untuk menunjukkan adanya ujaran, ucapan. Hingga sekarang, saya malah mengajarkan pemakaian ‘katanya’ kepada calon wartawan yang mengikuti kelas Jurnalistik.
Pertanyaan mahasiswa itu sungguh berbobot. Saya tahu, kalau ikut logika seharusnya bukan ‘katanya’, tetapi, ‘kalimatnya’.
Teks lengkap seharusnya: Kalimatnya: “Saya ingin pulang”.
Tetapi, tidak pernah ada ‘kalimatnya’ untuk merujuk kepada kalimat yang diucapkan seseorang. Selalu saja yang digunakan ‘katanya’, ‘ujarnya’, ‘ungkapnya’, ‘tandasnya’. Sesekali juga ada kata lain yang digunakan ‘dia berwacana’.
Lalu, bagaimana harus menjawab pertanyaan mahasiswa itu? Apakah saya harus mengatakan bahwa ‘katanya’ merupakan konsensus penutur bahasa Indonesia untuk semua jenis kalimat yang diujarkan, sesuatu yang diucapkan, sesuatu yang dikatakan. Katanya menunjukkan rangkaian bunyi yang membentuk kata-kata yang keluar dari mulut seseorang.
Hanya saya ragu pada jawaban ini karena dalam konteks linguistic, kata bukan akhir dari rangkaian ucapan bermakna seorang penutur. Masih ada kalimat, yaitu konstruksi dari kata-kata itu.
Saya katakan kepada mahasiswa penanya, seharusnya ‘kalimatnya’ dipergunakan, dan bukan ‘katanya’. Sebab yang diucapkan adalah kalimat, rangkaian dari kata-kata yang memiliki makna.
“Tetapi, mengapa ya orang tidak pernah memakai ‘kalimatnya’ untuk menutup kutipan ujaran? Saya tidak tahu jawabannya”.
Saya menyerah. Saya lupa apakah saya garuk-garuk kepala atau tidak saat itu.
“Kalau saudara mau pakai ‘kalimatnya’ seharusnya tidak ada masalah”.
Mereka terdiam.
“Bagaimana?”
Saya mendengar bisik-bisik kecil di antara mereka. Saya tahu mereka sulit menyampaikan komentar. Saya tahu mereka sudah lupa pada jawaban pertama saya tadi, soal “saya tidak tahu”.
Saya lantas memberikan kuliah tentang konsensus sebagai salah satu bagian dari proses pembentukan bahasa. Kalau soal ini saya bisa bahas panjang lebar. Maklum, itu ilmu linguistik yang saya pelajari.
Setelah saya menjelaskan tentang konsensus itu, saya kemudian menutup jawaban dengan mengatakan lagi-lagi saya tidak bisa memberikan jawaban atas pertanyaan mahasiswa itu. Saya minta tempo untuk memikirkannya. Saya mengatakan begitu untuk menegaskan bahwa saya memang tidak tahu, dan saya masih harus belajar banyak. Saya tidak ingin mengagak-agak jawabannya, apalagi mengagak dengan kemungkinan yang salah. Kasihan mereka, bisa sesat.
Ketika sampai di ruang kerja, saya berusaha mencari jawaban dengan membuka internet untuk melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam jaringan.
Saya menemukan kenyataan yang juga masih membuat saya tidak puas. Dalam KBBI kata dan kalimat diberikan pengertian yang kurang lebih sama. Kalimat diberi pengertian: 1 kesatuan ujar yg mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan; Kata diberi pengertian: unsur bahasa yg diucapkan atau dituliskan yg merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yg dapat digunakan dl berbahasa.
Dua pengertian ini membuat saya yakin bahwa pada akhirnya mengapa banyak muncul penggunaan ‘katanya’ dan tidak pernah ada ‘kalimatnya’ karena soal kebiasaan saja. Itu tadi, konsensus, kesepakatan pengguna bahasa.
Ugh.. menemukan jawaban begitu membuat saya lega. Untung saya sudah menjawab dengan mengatakan saya tidak tahu. Untung saya bisa memperlihatkan kepada mereka bahwa saya masih bodoh.
Coba bayangkan jika saya pura-pura tahu? Pasti jawaban saya ngawur. Pasti mereka sesat.
Peristiwa ini juga menjadi pelajaran tambahan bagi saya: jangan pernah malu mengaku tidak tahu – sekalipun kamu mungkin dianggap orang sebagai orang yang tahu.

Baca Selengkapnya...

Belajar Bahasa Indonesia

Oleh: Yusriadi
Redaktur Borneo Metro
Dahulu, pada saat kelas-kelas awal semester, sering kali saya menghadapi mahasiswa yang mengeluh karena banyak tugas kuliah diberikan untuk mereka. Mereka merasa sangat terbebani jika banyak tugas harus dikerjakan.
Mengapa?
“Mengarang itu susah. Susah mau memulainya”.
“Susah menyusun kata-kata”.


Karena susah itu, mereka menjadi sangat terbebani. Bahan harus dicari. Kata-kata mesti disusun. Bukan mudah menyusun kata-kata – apatah lagi jika kata-kata yang harus disusun sangat banyak. Sedangkan jika tidak dikerjakan, salah-salah mimpi, mereka bisa dikeluarkan dari kelas.
Oleh sebab itu ada di antara mereka yang memilih membuat tugas copy paste, ada yang memilih ‘ngerental’ tugas. Rental tugas maksudnya, meminta teman lain membuat tugas mereka. Mereka cukup membayar saja sekian ribu rupiah. Setelah itu terima bersih.
Sistem tugas palsu ini mereka pilih karena mereka pikir dosen kali ini sama dengan sebagian dosen mereka sebelumnya. Sebelumnya, ada dosen yang memberi tugas namun mereka tidak benar-benar memeriksa tugas mahasiswa. Tugas dikumpulkan, kemudian ditumpukkan di rak begitu begitu saja. Jadi, soal apakah tugas mahasiswa itu dibuat dengan serius, original atau tidak, tidak jadi soal. Apakah tugas itu dibuat dengan susah payah atau dengan mudah, juga tidak masalah.
Sebagian mahasiswa sudah cukup dimanjakan dengan system ini. Mereka sudah terlanjur merasa nyaman karena tidak perlu terlalu bersusah payah mengerjakan tugas. Toh, bagi mereka bukan belajar menambah ilmu yang penting. Yang penting adalah nilai. Nilai yang akan mengantarkan mereka memperoleh gelar sarjana kelak.
Mengubah kebiasaan ini tidak mudah. Sudah coba diingatkan, namun selalu saja ditemukan ada mahasiswa yang coba-coba melakukan kebiasaan buruk itu.
Nah, saya merasa bersyukur sejak empat semester ini, bisa menerapkan system penugasan membuat karangan tentang diri, keluarga, orang yang dicintai, dll, serta pembuatan buku harian untuk dalam mata kuliah Bahasa Indonesia.
System ini, bukan saja membuat saya bisa meminta mahasiswa benar-benar menulis dan menerapkan keterampilan berbahasa standar, tetapi juga bisa memaksa mereka membuat tulisan yang orisinil. Ya, orisinil karena dengan begitu mereka hanya bisa menyerahkan tugas yang dibuatkan sendiri. Tidak ada lagi tugas yang dibuatkan teman lain. Tidak ada lagi system rental buat tugas.
Mahasiswa juga tidak lagi merasa sulit membuat tugas. Sebab, apa yang mereka tulis itu bahannya sudah ada dalam benak mereka. Tinggal menuangkan saja. Mereka juga merasa mudah karena dengan begitu mereka terhindari dari kesukaran mencari-cari bahan untuk tulisan.
Saya senang dengan cara ini karena nyatanya mahasiswa bisa menikmati dunia kepenulisan. Sebagian besar mulai dapat menikmati. Mereka merasakan ada kesenangan dan kepuasan tersendiri yang bisa dicapai. Malah, ada beberapa yang sudah membuat buku otobiografi berdasarkan bahan-bahan itu. Buku yang sederhana!
Yang paling menyenangkan saya adalah ketika saya mendengar mahasiswa membandingkan apa yang mereka dapatkan di sekolah menengah dahulu. Saat di sekolah menengah dahulu sebagian dari mereka mengatakan sangat jarang diajarkan menulis oleh guru.
Saya pernah mendengar seorang mahasiswa mengaku, ketika sekolah dahulu, khususnya di akhir-akhir tahun, mereka lebih banyak diajak membahas soal. Bukan mengarang.
Bagi saya bukan soal bandingan itu yang penting. Yang penting adalah di balik kemampuan mereka membandingkan itu berarti mereka sudah memiliki kesadaran – kesadaran tentang pentingnya keterampilan berbahasa Indonesia bagi mereka.
Jika mereka benar-benar sudah merasa penting menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi mereka, sasaran pembelajaran bahasa Indonesia sudah tercapai. Dan, ini juga pasti akan membuat pembelajaran bahasa Indonesia tidak akan menimbulkan isu sukar dan mudah lagi. Tidak akan banyak problem lagi.



Baca Selengkapnya...

Membawa Teman ke Tiang Gantungan

Yusriadi
Redaktur Borneo Metro

Memiliki orang dekat yang mempunyai jabatan penting, memang enak. Enak karena bisa ketiban untung. Jika tidak ketiban rizeki langsung, bisa juga kena cipratan tempias-tempiasnya. Sesekali bisa numpang lagak dan popularitas. Oleh karena itu, biasanya orang selalu mau mendukung teman yang dikenal, orang dekat, orang sendiri, maju dalam perebutan jabatan.
Nah, teman saya ini pengecualiannya. Dia justru beda pendapat dari kebanyakan orang lain. Punya teman yang memiliki jabatan menurutnya tidak selalu enak. Oleh sebab itu, dia ini tidak selalu mau mendukung temannya sendiri maju dalam perebutan jabatan. Dia pilih-pilih. Kalau cocok, dia dukung. Jika tidak, dia malah menegahkannya.


Mengapa begitu? “Kadang saya pikir, mendorong teman maju untuk suatu jabatan seperti mendorongnya maju ke tiang gantungan,” katanya.
Dia berargumentasi dengan menunjukkan banyak contoh. Misalnya, kini ada orang yang dia kenal bernama WM, mantan Kadis PU Kapuas Hulu yang sedang berurusan dengan hukum setelah terlibat dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan Bunut-Mangin di Kapuas Hulu. “Kalau WM tidak didorong-dorong masuk ke jajaran eksekutif, jika WM tetap jadi seorang akademisi, tentu dia tidak menjadi terdakwa”.
Menyesali takdir? Begitulah nampaknya. Tetapi, biarlah itu jalan hidup orang. Toh, apa yang disesalinya benar juga. Saya memang tidak kenal WM, tetapi, saya tahu cerita dosen Untan Pontianak itu. Beliau belum terlalu lama dipakai oleh Pak Tambul, Bupati Kapuas Hulu, untuk menjadi kepala dinas.
Saya sempat mendengar cerita dia–diceritakan teman saya yang lain, betapa susahnya dia menjadi kepala dinas PU, karena itu kemudian dia mutasi ke dinas lain pada periode berikutnya. “Tak mampu dia menghadapi orang-orang….”
Ya, maklum saja kepala dinas PU banyak mengurusi proyek, uang. Orang tentu datang berpusu-pusu menghadap beliau minta bagian. Konon, ada yang datang dengan halus, baik-baik, ada juga yang datang dengan cara kasar. Salah-salah kaca meja bederai, katanya.
Tidak saja contoh WM, banyak lagi contoh orang yang nampaknya baik-baik dan terhormat kemudian ditetapkan menjadi tersangka.
Teman saya menunjuk contoh seorang mantan pimpinan legislatif yang sekarang terkait korupsi pembangunan lintasan balap di Pontianak. Ada juga mantan pejabat eksekutif yang diperiksa berkali-kali oleh Badan Pengawas Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, karena ada pencairan uang “yang harus dijelaskan”. “Mereka tentu tertekan dengan situasi ini. Salah-salah sedikit, dia akan menghuni hotel prodeo. Khan kasihan”.
Pasti. Saya membenarkan dugaannya. Saya mengenal dua orang yang disebutkannya itu. Bahkan saya mengenal beberapa lagi tokoh Indonesia yang sangat tragis nasibnya. Mulyana W Kusuma, akademisi, aktivis, yang menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, kemudian dipenjarakan karena kasus korupsi dana di KPU.
Atau, Said Agil Husin Al-Munawar, akademisi yang kemudian menjadi menteri agama RI tahun 2001-2004. Said Agil dipersalahkan karena menyalahgunakan Dana Abadi Umat (DAU) yang mengalir untuk pembiayaan perjalanan dinas DPR, dan termasuk juga untuk biaya-biaya umrah orang-orang yang saat ini menjadi pejabat negara. “Oleh karena itu, kalau saya lihat temannya tidak benar-benar mampu untuk posisi yang diperebutkannya itu, lebih baik kita tidak mendukungnya. Jabatan bukan untuk dikejar-kejar. Jabatan itu amanah”.
Saya menaruh respek terhadap sikapnya itu. Ingin rasanya bisa berpikir jernih seperti itu. Teman bukan teman tidak penting dalam memilih orang untuk posisi apapun. Yang penting adalah kemampuannya. Ah, sungguh jarang orang yang berpikir begitu. Biasanya, seperti yang biasa kita lihat, orang lebih suka melihat orang dekatnya menjadi pemimpin, pengambil keputusan. Orang lebih sering subjektif dalam memilih.
Orang suka, karena dengan begitu dia mendapat kesempatan mendapat bagian dari proyek. Dia akan mudah menjolok uang Negara melalui permohonan bantuan, dll. Biasanya, bila orang sendiri yang menjadi pengambil keputusan, tentu proposal apapun yang diajukan akan diluluskan. Tak ada pos anggaran pun, bisa diatur-atur bagaimana caranya.
Pada tingkat seperti ini, orang sudah tidak memikirkan kepentingan lembaga, unit, daerah, yang akan dipimpin ke depan. Orang tidak memikirkan lagi kemajuan apa yang bisa dibawa orang yang mereka dukung itu. Orang juga tidak memikirkan kegagalan apa yang kelak akan terjadi ketika orang yang dimajukan itu bukan orang yang layak untuk posisi itu.
Tidak banyak orang yang sempat berpikir bahwa mendorong teman untuk memegang amanah sama saja dengan menyiapkan tali gantungan untuk dia. Maklumlah, aji mumpung! Rezeki kongsi bersama, akibat tanggung sendiri.

Baca Selengkapnya...

Sabu-sabu di Entikong

Oleh: Yusriadi
Redaktur Borneo Metro
Nahas betul dua kurir itu. Itu kata yang terlintas di dalam benak saya ketika membaca berita tertangkapnya dua kurir sabu-sabu yang membawa 3 dan 4 kilo heroin melewati perbatasan Entikong. (Borneo Metro 5-6/5).
Lama saya membayangkan bagaimana proses penangkapan itu terjadi. Apakah tas itu mereka letakkan di bagasi, lalu petugas memeriksanya? Atau apakah tas itu dijinjing dan harus mereka masukkan ke tempat pemeriksaan? Tetapi saya tidak berhasil mendapatkan gambaran utuh bagaimana kasus ini terungkap.

Masalahnya, setelah puluhan kali melintas di perbatasan Entikong – Tebedu, saya belum yakin aparat melakukan pemeriksaan barang dengan maksimal.
Selama ini, meskipun di pos Entikong ada prosedur rutin pemeriksaan barang penumpang, tetapi kesan saya pemeriksaan tidak lebih dari sekadar basa-basi. Pemeriksaan tidak ketat.
Saya juga melihat pemeriksaan tidak juga harus dilalui setiap orang. Saya katakan tidak, karena sejauh ini tidak ada konsekuensi apa-apa pada orang yang sudah membawa barang mereka ke depan petugas, dan yang belum. Mungkin peraturan ada – ada keharusan – tetapi petugas pun juga akan sulit menerapkannya.
Sulit, karena seingat saya petugas tidak bisa membedakan mana tas yang sudah diperiksa dan mana yang belum. Tidak ada tandanya. Kalau di lapangan terbang, tas yang sudah diperiksa petugas dengan sinar x dipasangkan stiker, tetapi di Entikong rasanya tidak.
Malah, saya sering tersenyum dalam hati ketika melihat orang berpusu-pusu membawa barang mereka turun dari bis. Mereka menurunkan tas dari bagasi yang nampak berat, kemudian ditunjukkan kepada petugas, dan setelah aparat tengok-tengok sebentar itu, mereka pikul kembali masuk ke dalam bis. Sedangkan pemeriksaan di bagasi dilakukan dengan manual. Petugas memeriksa kotak, karung dan tas, serta barang-barang penumpang bis. Kadang-kadang kotak itu dibeset-beset, dibolongkan, dll.
Nah, karena pemeriksaan dilakukan manual, kadang kala saya lihat petugas nampak capek juga melakukan kerja begitu. Lebih capek lagi karena setelah diperiksa, mereka hanya menemukan pakaian dan barang-barang lain yang tidak penting.
Kiranya, karena kenyataan ini, selama ini laluan Entikong-Tebedu menjadi laluan mudah untuk penyelundupan. Para penyelundup menganggap laluan ini lebih aman ketimbang laluan lain. Kasus penyelundupan gula dari Malaysia merupakan contoh dari kenyataan ini. Seringkali gula asal Malaysia dapat lolos melalui perbatasan Entikong, namun kemudian justru tertangkap di tengah perjalanan. Bayangkan saja barang nyata dan mudah dilihat seperti itu, bisa tidak terlihat oleh petugas pemeriksa di perbatasan.
Prosedur rutin dan sikap petugas yang terkesan tidak mau capek, mungkin yang membuat kali ini kurir narkoba itu merasa pe de membawa barang haram melintas di Entikong. Apatah lagi barang yang mereka bawa dalam tas sudah dianggap aman karena tas itu sudah dimodifikasi.
Tetapi, dasar mereka lagi nahas. Rupanya kali petugas melakukan pemeriksaan yang cukup ketat dan teliti. Petugas pemeriksa lebih awas.
Oleh karena itulah, saya kira aparat di perbatasan yang berhasil menangkap sabu-sabu itu harus diberikan apresiasi dan penghargaan. Penghargaan ini tentu akan menjadi contoh bagi petugas lain untuk bekerja maksimal. Mungkin dengan cara seperti ini Kalbar tidak akan menjadi tempat transit yang mudah untuk jenis barang haram itu. Mudah-mudahan dengan cara ini petugas di pintu masuk Kalbar tidak dianggap petugas yang enggan capek.

Baca Selengkapnya...