Senin, 08 Agustus 2011

Perjalanan ke Sungai Kakap 1: Berkenalan dengan Penjual Pengkang


Lisan, Aheng dan Nisa, tiga anak berbeda suku sedang bercanda di sela-sela kegiatan mereka menjual pengkang di Sungai Kakap. FOTO Dedy Ari Asfar

Oleh: Yusriadi

“Aku Cina asli, lho”.
“Aku Cindai. Cina Dayak”.
Lisan, Aheng, menyebutkan identitas mereka. Ini terjadi ketika kami berkenalan. Dan ketika kami tanyakan, “Kamu orang apa?”
Lisan, adalah seorang remaja tanggung. Berusia 12 tahun. Sekarang dia duduk di kelas 2 SMP di Sungai Kakap.
Adapun Aheng, temannya, berusia 11 tahun, kelas 1 SMP di Kakap.

Kami berkenalan hari Minggu (17/7) kemarin. Saat itu saya bersama Dedy Ari Asfar dan sejumlah teman dari Club Menulis berkunjung sambil mencari data tentang orang Tionghoa di Kakap. Kami berkunjung ke Pekong Terapung yang terdapat di laut dekat muara Kakap. Kami juga berkunjung ke Vihara Dewa Laut Utara yang terletak di tengah pasar Sungai Kakap.
Kami mendatangi vihara itulah setelah bertemu dengan pengurus vihara Pak Kui. Ketika sampai di tempat ibadah itu, saya dan Dedy memilih duduk di kursi yang tersedia di bagian depan, melihat-lihat orang sembayang. Saat itulah kemudian datang Lisan, Aheng dan Nisa.
Mereka bertiga menjajakan pengkang. Makanan berbungkus daun pisang. Isinya pulut yang dikukus. Lalu kemudian dibakar. Saya mengenal pengkang sejak beberapa tahun lalu, saat singgah di rumah pengkang di Segedong, dalam perjalanan ke Pontianak. Jarak Segedong Pontianak lebih kurang 40 menit perjalanan dengan motor. Di sini ada rumah pengkang milik orang Tionghoa.
Rumah pengkang ini ramai. Enak. Rumah inilah yang menyebabkan pengkang menjadi lebih dikenal belakangan ini di Pontianak.
Lisan dengan bangga mengatakan dirinya sebagai Cina asli. Sedangkan Aheng nampak juga ceria mengaku diri sebagai cindai. Mereka menegaskan identitas itu beberapa kali. Apatah lagi, ada Nisa seorang anak perempuan yang mengaku diri sebagai Melayu. Nisa berumur 9 tahun.
Dibandingkan Lisan dan Aheng, Nisa lebih banyak cerita. Nisa juga menceritakan mereka memiliki teman lain yang juga jualan pengkang. Namanya Iing, seorang anak perempuan berusia lebih kurang 12 tahun. “Iing malu,” katanya.
Sebenarnya, Dedy yang pertama memanggil mereka saat melintas di depan vihara. Mereka menghampiri.
“Beli bang?”
Mereka menawarkan pengkang pada Dedy.
“Siapa yang punya?”
Nisa menjawab tangkas, “Yang punya orang Cina. Yang buat orang Melayu”.
Dedy mengeluarkan catatan.
“Hah, ditulis lagi,”
Nisa bergumam. Tertawa.
“Lhoh?”
“Iya tadi sudah ada yang tanya-tanya. Ditulis-tulis. Sekarang ditulis lagi,” katanya sambil tersenyum.
Lisan dan Aheng membenarkan.
Dedy mulai bertanya harga. Dan dia membeli beberapa buah pengkang. Nisa mengatur pembelian. Masing-masing diambil secara rata. Lisan dan Aheng setuju.
Pertanyaan Dedy dan saya lebih banyak ditujukan pada Lisan. Lisan sudah mulai terbiasa. Tidak malu seperti awal tadi.

Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Kakap 2: Senang Disebut Tionghoa


Vihara Budha Kutub Utara.
Tempat sembayang penganut Buddha dan Khonghucu di Sungai Kakap. Vihara ini menjadi symbol identitas Tionghoa di wilayah ini. FOTO Dedy Ari Asfar/Borneo Tribune

Oleh: Yusriadi

Lisan mengaku dia berjualan setiap hari Minggu. Hari Minggu dia bisa berjualan karena hari libur. Sedangkan pada hari lain dia bersekolah. Sekolah pulangnya siang. Setelah itu dia harus belajar.
Pada hari Minggu, setiap berjualan, dia bisa menjual 100 buah pengkang. Jika dinilai dengan rupiah, dia mendapat Rp100 ribu. Tapi sebagian besar harus disetorkan kepada pemiliknya. Sebagai penjual dia hanya mendapat 15 persen, terhitung upah.
“15 persen, ya, 15 ribu, doang,





Saya tak bisa menilai besar atau kecil Rp15 ribu itu. Namun, berapapun, Lisan menunjukkan diri sebagai anak yang berbakti, membantu orang tua. Lisan menunjukkan walau masih kecil dia bisa mencari uang.
Lisan mengaku uang yang diperoleh adalah untuk membantu keluarga. Dia memiliki 4 saudara. Dia adalah anak ke-empat dari saudara itu. Ayahnya sudah tidak ada. Kini dia bersama emaknya. Mereka orang Tiocuw.
Selain soal hitungan dan kemampuan Lisan, saya juga memberi catatan khusus pada kata “doang” yang diucapkannya. Doang itu tidak biasa saya dengar diucapkan oleh penutur Melayu di Pontianak. Doang adalah partikel sintaksis yang lazim dipakai penutur bahasa Melayu Jakarta. Di mana Lisan mendapatkannya? Apakah melalui TV atau melalui interaksi dia dengan penutur lain?
Logat Melayu Lisan cukup baik. Sekalipun, beberapa aksen memperlihatkan perbedaan dibandingkan penutur yang lain. Mungkin karena dia banyak bergaul dengan penutur bahasa Melayu. Setidaknya, teman mainnya Nisa yang merupakan penurut bahasa Melayu; dan mungkin penutur Melayu lain di sekolahnya.


***

Apa yang saya amati pada Lisan, mengingatkan saya pada apa yang saya lihat pada orang Tionghoa lain di Kakap.
The Dek Kui. Dia Ketua Vihara Buddha Kutub Utara (bukan Dewa Laut Utara, seperti yang ditulis kemarin). Kami menjumpai di rumahnya di ujung Jembatan Bintang Tujuh; jembatan yang melintang di atas Sungai Kakap. Jembatan ini menghubungkan Dusun Merpati dengan Pasar Sungai Kakap.
Pak Kui lahir di Pontianak. Sewaktu kecil dia sekolah di sekolah Tionghoa di dekat Gertak I Pontianak. Namun tidak selesai. Setahun hampir selesai belajar, sekolah ditutup. Peristiwa G30 S PKI meletus. Menikah dengan orang Sungai Kakap. Pernikahan inilah yang mengantarkannya menjadi orang Sungai Kakap hari ini.
Di Sungai Kakap menurutnya, jika di wilayah pasar 90 per sen itu orang Tionghoa. Komunitas ini memiliki tiga identifikasi. Ada yang menyebut ‘Cin’, ‘Cina’ dan ‘Tionghoa’.
“Sebutan Tionghoa agak baru saya dengar. Satu-satu pejabat yang pakai. Camat, polisi,” katanya.
Sebutan Cin lebih sering digunakan. Begitu juga dengan sebutan Cina. Sebutan Cina pasar lebih banyak dipakai kalangan muda.
Ketika ditanya dari tiga sebutan itu, mana yang lebih disukai, Pak Kui mengatakan dia lebih suka sebutan Tionghoa.
“Disebut Tionghoa, agak senang dikit,” katanya sambil tersenyum.

Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Sungai Kakap 5: Pikong Laut


Oleh: Yusriadi

Kisah Pak Salim mengingatkan saya pada cerita sebelumnya yang dituturkan Nisa. Ketika ditanya, siapa yang punya pengkang yang mereka jual, Nisa mengatakan pengkang yang mereka jual milik orang Cina.
“Tapi yang buatnya orang Islam,” katanya.
Jika cerita ini disambung maka akan muncul kenyataan baru: yang menjual pengkang itu orang Tionghoa dan orang Melayu, dan yang makan pengkang itu orang Tionghoa, Melayu, mungkin juga orang Madura atau siapalah. Sebagian dari rombongan Club Menulis saat perjalanan ke
Kenyataan ini merupakan suatu fakta yang penting dicatat; sebuah fakta yang menunjukkan bahwa relasi antar etnik terbangun rapat di sini. Sering kali batas etnik tidak dapat dilihat dalam konteks ekonomi dan sosial.

***

Saya juga menemukan fakta menarik soal relasi ini ketika mengunjungi “pikong laut”. Saya memberikan penanda untuk istilah ini karena istilah ini diberikan oleh motoris kami Pak Sono’ untuk menyebut vihara yang berada di tengah laut itu.
Pak Sono’orang Madura tinggal di Tanjung Saleh. Hari-hari dia melayani penumpang jurusan Tanjung Saleh – Sungai Kakap dengan motor airnya. Nama sebenarnya Marsu’i. Tapi jangan cari nama itu di pasar Sungai Kakap. Mungkin tidak akan ketemu orangnya. Tapi sayangnya, saya lupa bertanya dari mana nama Sono’ itu diperolehnya.
Pak Sono’ membawa kami dengan motor air ke pikong itu.
Pikong itu adalah tempat sembayang orang Tao. Dibangun sebagian orang Tionghoa agar mereka dapat sembayang di sana.
Penganut Tao dapat dengan leluasa sembayang di pikong ini menurut kepercayaan mereka. Sementara, di Vihara Budha Kutub Utara, ritual tertentu tidak bisa dilaksanakan penganut Tao.
Setelah pikong ini dibangun, penganut Tao mengunjunginya untuk sembayang sekali sekala.
Tetapi, justru yang mengunjungi pikong ini secara rutin orang bukan Tao.
Hari itu, selain kami yang berkunjung ke sini, sejumlah orang Pontianak juga terlihat di sana. Kami berkunjung untuk melihat, sambil melakukan studi, mereka berkunjung untuk memancing.
“Setiap hari Minggu pasti ada yang mancing di sini,” kata Pak Sono’.
Memancing dari atas pikong memang asyik. Atap pikong melindungi pemancing dari hujan dan panas. Teratak, kaki lima pikong juga luas, memungkinkan pemancing duduk, tiduran, sambil menunggu pancing yang dilemparkan ke air. Tersedia juga wc yang tidak terkunci dan bisa dipakai setiap saat.


Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Sungai Kakap 4: Kental Nuansa Tionghoa


Simbol Tao di ujung jembatan Bintang Tujuh. Rumah-rumah penduduk di kampung ini memperlihatkan ciri Tionghoa yang mencolok. FOTO Yusriadi/Borneo Tribune.
Kental Nuansa Tionghoa

Oleh: Yusriadi


Kami – saya dan Dedy Ari Asfar melintas di jembatan semen di antara rerumahan penduduk di Dusun Merpati.
Di ujung jembatan terlihat sebuah plang bertulis nama dusun itu. Plang itu nampaknya masih baru.
Selain plang itu, sebuah plang lain yang mencolok terdapat di kanan jalan. Symbol Tao. Simbol itu terpajang di depan sebuah rumah menghala ke arah jembatan.
Jika dahulu, sebelum sedikit-sedikit belajar tentang orang Cina, mungkin saya akan berpikir di sana ada tempat latihan silat. Atau mungkin saya berpikir plang itu menjadi panangkal hantu dan menjadi pelindung pemilik rumah.




Setidaknya, begitulah yang saya tangkap kesannya ketika melihat film kungfu, Hongkong yang diputar di bioskop.
Lebih mengesankan, ketika kami mendengar dentuman musik Cina. Mungkin nyanyian itu dalam bahasa Mandarin. Mendengar nada dan lirik ini membuat suasana Dusun Merpati terkesan kenal ciri Cinanya.
Suasana ini berbeda sekali dibandingkan dengan apa yang disaksikan di Pasar Sungai Kakap, tempat kami singgah -- yang jaraknya hanya beberapa ratus meter saja dari jembatan Bintang Tujuh.
Dentuman musik, symbol Tao, dan tulisan-tulisan Cina yang dipasang di atas pintu menambah kesan kentalnya identitas Tionghoa di sini. Boleh dikatakan, inilah wilayah pecinan di Sungai Kakap.
Kami melihat seorang lelaki berusia 40 tahun sedang berada di ruang tamu memasang batu pada jala kecil. Kami menghampirinya, bertanya alamat rumah Pak Kui.
Dia menunjukkan sebuah rumah yang pintunya juga terbuka, yang sebelumnya sudah kami lewati.
Sikap yang ramah ketika menunjukkan di mana rumah Pak Kui, membuat saya ingin bertanya lebih banyak tentang kehidupan dan pandangan dia. Namun, saya khawatir Pak Kui ada kesibukan lain dan kami tak bisa mendapatkan data darinya. Pak Kui penting karena dia ketua Vihara yang akan kami kunjungi bersama rombongan.
Rumah Pak Kui – atau lebih tepatnya ruko, berdinding semen. Pintunya terbuat dari kayu, bisa dilipat. Ada engselnya. Sementara terasnya juga dari semen. Rumah itu berlantai dua. Saya kira bagian atas menjadi tempat wallet.
Rumah Pak Kui berbeda dengan kebanyakan rumah warga di sini. Sebagian besar rumah warga di sini terdiri dari bahan kayu. Beberapa di antaranya berdinding papan. Lantai terasnya juga dari pakai papan. Kebanyakan rumah beratap seng. Tetapi ada beberapa lagi beratap daun nipah.
Rasanya sebagian rumah itu sama seperti rumah orang Cina di Jongkong yang saya lihat di tahun 1980-an.

Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Sungai Kakap 3: Cerita Pak Piling


Oleh: Yusriadi


Kenyataan yang sedikit berbeda diceritakan Gui Bah Yem. Dia berusia 50 tahun. Masih terhitung sepupu dengan The Dek Kui. Ibu The Dek Kui bermarga Gui juga.
“Dia punya Mamak, aku punya tante,” akunya.
Gui Bah Yem tidak menjadi pengurus vihara. Dia juga bukan pemuka masyarakat. Dia orang biasa. Dahulu pekerjaannya nelayan. Namun, tiga tahun terakhir ini dia bekerja di kebun sawit di Darit. Perjalanan ke Kakap 3




Hasil kebun memang tidak banyak. Sehari diupah Rp34 ribu termasuk makan. Namun, bagi dia jumlah sudah cukup lumayan. Dia dan istrinya juga bekerja. Karena itu satu hari bisa memperoleh Rp68 ribu. Sedangkan untuk makan mereka berbekal dari rumah. Jadi lebih hemat.
“Hasilnya juga lebih pasti”.
Dia membandingkan ketika masih aktif di laut. Hasil melaut tidak tentu. Kadang bisa lebih banyak, tapi kadang tidak. Hasil dari laut susah diperkirakan. Malah kadang kala dia tidak bisa melaut karena cuaca. Karena tidak melaut maka tak ada jugalah hasilnya.
Mengapa memilih Darit?
“Ikut keluarga”.
Keluarga yang dimaksudkan Gui Bah Yem adalah keluarga istrinya. Istrinya orang Darat, katanya. Sebutan lain untuk orang Dayak.
Ketika ditanya bahasa apa yang dipakai orang Darat itu, ternyata bahasa Banyadu’. Bahasa ini lebih dekat dengan bahasa Ahe. Malah ada yang mengelompokkan kedua bahasa ini sama, dalam kelompok Kanayatn. Perbedaannya sedikit saja. Tidak ada banyak hambatan untuk memahami antara Ahe dan Banyadu’.
Gui Bah Yem sekarang hidup dalam budaya Banyadu’. Sehari-hari bahasa itulah yang dipakai.
Hidup dalam budaya Banyadu’ membuat identitasnya bertambah. Di antara orang Banyadu’ dia dipanggil Pak Piling.
“Itu nama anak saya,” katanya.
Orang Kanayatn memang memiliki cara unik dalam system sapaan. Seseorang memiliki banyak nama. Nama ketika masih anak-anak hingga memiliki anak berbeda. Berbeda juga nanti bila sudah mempunya cucu. Seseorang akan selalu dipanggil mengikuti nama anak pertama. Agak janggal atau bahkan dianggap kurang sopan memanggil nama asli seorang lelaki atau seorang perempuan yang sudah memiliki anak.
Ketika ditanya, apa pendapat tentang kata Tionghoa? Gui Bah Yem mengaku tidak pernah mendengar kata itu.
Dia kenal kata ‘Cina’ atau ‘Cin’. Dia diidentifikasi sebagai orang Cin. Tak pernah diidentifikasi sebagai orang Tionghoa.
“Orang tanya saya, kamu orang Cin ya. Cina juga pernah. Gitu yak”.
Gui Bah Yem merasakan Cin atau Cina sama saja.

Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Sungai Kakap 6: Apapun, Tetap Orang Indonesia


Pekong Laut. Salah satu tempat sembayang orang Tao di Sungai Kakap. Foto Dedy Ari Asfar.

Oleh: Yusriadi


Pak Lim Kiang Kim menilai apapun sebutan yang diberikan orang untuk mereka, semua bagus. Menurutnya, sebutan Cina, Cin, Tionghoa, sama saja.
“Aku tidak marah. Bagi aku ndak persoalan, Cina, Cin”.
Bahkan dia memberitahu ada sebutan lain untuk komunitas ini.
“Caines”.

Sebutan Caines yang dikatakan Pak Lim Kiang Kim pasti dari bahasa Inggris Chinese, bisa dirujuk kepada orang Cina.
Saya sangat tertarik mendengar ‘Caines’ diucapkan Pak Lim. Dari mana dia memperolehnya? Apakah dia bisa bahasa Inggris?
“Aku tak pandai omong. Sikit-sikit pernah dengar” .
Dia merendah.
Pak Lim Kiang Kim pernah bersekolah. Tahun 1960-an. Sekolah pagi masuk jam 8, jam 12 pulang. Kemudian jam 1 masuk lagi, jam 5 pulang.
Namun dia tidak tamat. Sekolahnya tutup. Padahal sekolah hampir tamat waktu itu.
Walau tak tamat namun ilmu di bangku sekolah cukup untuk bekal hidup. Lim Kiang Kim dapat membaca tulisan aksara Cina. Ketika saya minta menuliskan namanya, dia menulisnya dalam tulisan itu. Padahal sebenarnya saya ingin dia menulis namanya dalam tulisan latin, biar tak salah tulis. Tapi melihat tulisan Cinanya, saya kagum sekali. Garis-garis yang dibuatnya rapi. Dia menulis dengan cepat.
Pengalamannya juga luas. Dia pernah menjadi pengusaha ikan. Dahulu dia memiliki kapal penangkapan ikan yang beroperasi di perairan sekitar Sungai Kakap. Sekarang, seiring pertambahan usia, dia berhenti. Di rumah saja.
“Sekarang sudah pensiun,” Dia bercanda.
Tapi usaha melautnya tidak berlanjut. Anak-anaknya tidak ada yang menjadi pelanjut usahanya di laut. Tiga anaknya di Jakarta. Berdagang di sana.
Meski sudah pensiun, namun saya masih menangkap kerinduannya pada laut. Menurutnya, laut sekarang masih menjanjikan. Sekarang, sekalipun tangkapan tidak sebanyak dahulu namun harga ikan sangat mahal, pembeli banyak. Sedangkan dahulu, banyak ikan yang dapat ditangkap, tapi susah mencari pembelinya. Karena itu, harga ikan murah, tak banyak hasil yang mereka peroleh.
Pak Lim Kiang Kim optimis. Semangatnya tinggi.

***
Mengenai identitas, apapun sebutannya, kata Pak Lim Kiang Kim, mereka tetaplah orang Indonesia keturunan Cina, keturunan Tionghoa.
Tapi dia mengakui ada di kalangan mereka yang merasa hina disebut Cina.
Lalu mengapa dia tidak merasa tersinggung? Katanya, kata Cina, memang ada.
“Cobalah lihat ada banyak barang ‘Made In China’,” katanya.
Berkenalan dengan Pak Lim Kiang Kim mengingatkan saya pada ungkapan kenalan saya beranama Dr. Taufik Tanasaldy. Dia orang Mempawah yang sekarang mengajar di sebuah universitas di Tasmania, Australia.
Dia orang Cina yang merasa heran dan janggal ketika saya menggunakan istilah Tionghoa padanya. Taufik yang merantau meninggalkan Kalbar sejak tahun 1980-an akhir tidak terbiasa dengan perubahan ini.
Saya kira, intinya bukan cin, cina atau tionghoa. Tetapi bagaimana persepsi yang ada pada orang ketika menyebut komunitas ini.
“Jika kami bilang “Dasar Cina!!!” tentulah orang akan marah. Sama seperti kalau kamu bilang “Dasar Melayu!!! Pasti orang Melayu tak mau”.
Agaknya,bagi banyak orang disebut Cina sekalipun, jika nadanya baik, maksudnya baik, orang juga tidak akan marah.

Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Sungai Kakap 7 (Habis): Relasi Tionghoa – Melayu


Rombongan Club Menulis STAIN Pontianak dalam perjalanan pulang dari Pekong Terapung di Sungai Kakap. FOTO Yusriadi.


Oleh: Yusriadi


Saya sedang berjalan melintas di atas jalan bersemen di depan pemukiman penduduk di Dusun Merpati, Sungai Kakap. Saya melihat beberapa warga sedang duduk di depan rumah mereka. Beberapa lagi melakukan kesibukan masing-masing.
Lalu lalang di jalan berukuran 1,5 meter ini juga cukup ramai. Ada pejalan kaki –seperti kami. Ada gerobak yang didorong-dorong. Ada sepeda motor.


Suasana tambah ramai karena agaknya sedang ada hajatan orang Melayu (Bugis?) di ujung jalan ini. Saya menduga demikian karena orang yang melintas berpakaian ‘pesta’. Lelaki memakai baju batik atau baju berlengan panjang, ada beberapa yang memakai kopiah. Sedangkan perempuan berkerudung mengenakan baju kebaya atau batik terusan.
Gerobak sesekali melintas membawa barang. Inilah angkutan umum di sini. Sebab jalan yang sempit dan jembatan, tidak mungkin dilewati kendaraan roda empat.
Di sebuah rumah bertingkat, saya melihat ada tumpukan jalan. Di dalam ruangan – karena pintu terbuka, dua orang lelaki sedang menangani jala itu. Keduanya duduk berhadapan.
Saya masuk ke dalam rumah itu. Lelaki yang sedang bekerja di bagian ujung lebih tua sedangkan lelaki yang membelakangi saya lebih muda. Belakangan saya tahu, lelaki muda itu bernama Muhammadi Aditia dan lelaki yang tua bernama Salem.
Saya menyapa mereka. Dan minta izin melihat apa yang sedang mereka kerjakan.
“Sekalian tadi jalan di sini, Pak,”
“Saya kira orang perikanan,” kata Pak Salem.
Katanya sebelum ini mereka pernah didatangi orang dari Perikanan.
Kedua lelaki itu sedang gopong. Ngopong maksudnya memasang pelampung dan juga memasang batu pukat. Pukat yang mereka opong ukurannya besar. Mata pukatnya lebih sejengkal saya. Tali yang dipakai juga besar. Hampir sebesar kabel untuk cas hape. Mereka menyebutnya benang 120.
Mengapa besar?
“Ini pukat hiu,” katanya.
Tentu saja saya terkejut. Apakah di sekitar muara Kakap atau di laut Kalbar ada banyak ikan hiu sehingga perlu pukat khusus? Ternyata tidak. Kapal yang memasang pukat hiu beroperasi di laut lepas, Selat Karimata.
Mereka juga menceritakan ikan hiu dijual dagingnya dan diambil siripnya. Siripnya cukup mahal.
Semula saya menduga mereka sedang mengopung pukat sendiri. Rupanya pukat yang mereka opong itu milik orang lain. “Pak Apek,” kata Muhamad. Mereka hanya mengambil upah. Satu pukat, mereka mendapat Rp100 ribu.
Pak Atet adalah pengusaha. Dia termasuk tokoh Tionghoa di Sungai Kakap. Ketika kami mencari beliau di rumahnya, kami hanya bertemu dengan anaknya yang juga pemilik bengkel motor di dekat dermaga Sungai Kakap. Pak Apek sendiri tidak berhasil ditemui.
Menurut mereka, pengusaha kapal semuanya orang Tionghoa. Orang Tionghoa memiliki modal. Modal untuk membeli kapal, modal itu membeli peralatan tangkap. Selain itu, untuk melaut modal yang diperlukan juga besar.
“Kebanyakan orang kitalah bikin,” kata Salem.
Saya menangkap yang dimaksud dengan orang kita adalah orang Melayu atau orang bukan Tionghoa.

Baca Selengkapnya...

Tarian Sopir Taksi

Oleh: Yusriadi

Cerita tentang taksi ini merupakan lanjutan cerita sebelumnya. Setelah lewat Sanggau, kami dipindahkan dari taksi plat kuning ke taksi plat hitam. Taksi plat kuning dibawa anak muda itu, kembali lagi ke Putussibau. Taksi resmi ini membawa penumpang taksi plat hitam. Begitu juga sebaliknya, taksi plat hitam membawa penumpang taksi plat kuning. Tukaran.


Beberapa penumpang sempat kesal melihat pertukaran itu. Apalagi sebelumnya, sopir muda itu hanya mengatakan:
“Bapak pindah mobil ya. Mobil ini kembali ke Putussibau,” katanya.
Sewaktu diberitahu, saya sempat menduga kami pindah mobil, digabungkan dengan penumpang mobil yang satunya lagi.
“Wah, bakal numpuk ni,” kata saya dalam hati.
Tetapi rupanya saya salah. Sebab, ternyata penumpang mobil plat hitam itu tujuan Putussibau. Tidak satu arah dengan perjalanan kami. Kami ke Pontianak. Alhamdulillah.
Ketika naik, saya malah merasa sangat lega karena rasanya mobil ini lebih lapang. Sopir yang membawa juga sudah agak tua. Berpengalaman. Dia membawa mobil dengan perlahan. Dengan begitu guncangan tidak kuat.
Tetapi, rupanya, ada sisi lemahnya juga. Sopir tua ini fisiknya tidak sekuat anak muda – atau mungkin karena factor sudah larut malam?
Sepanjang jalan, musik yang mengalun adalah musik lama. Musik yang membangkitkan kenangan. Lama-lama mengantuk jadinya. Namun, saya tidak bisa tidur dengan lelap karena mendapat posisi duduk di tengah. Kaki bisa melunjur, namun, sulitnya, saya tak ada pegangan.
Karena tak bisa tidur enak, saya jadi lebih banyak bangun. Saya bisa melihat ada yang menarik di dalam taksi itu. Sopir menari.
Ya, saya kira sopir menari. Tangan kirinya bergoyang-goyang mengikuti irama musik. Gerakan mengipas, memutarkan tangan, dan seterusnya.
Apakah sopir seniman? Tidak. Tangan sopir menari selain untuk mengatasi pegal, juga dimaksudkan untuk mengatasi rasa mengantuk. Ada gerakan, ada aktivitas, dengan begitu serangan kantuk bisa diatasi.
Tetapi, malangnya, tarian itu tidak bisa juga menghindarinya dari serangan kantuk. Tetap saja.
Lalu, ketika sampai di gerbang Sanggau, mobil berhenti. Sopir turun. Saya kira dia hanya buang air. Tetapi tidak. Setelah itu dia duduk di depan kemudi. “Tidur dulu,” katanya.
Wah…
Saya melihat waktu menunjukkan pulu 2 lewat. Memang jam tidur. Pak sopir, yang sudah berumur itu pasti sangat mengantuk. Saya sempat heran bagaimana dia mau menjadi sopir – pekerjaan yang jelas sangat melelahkan. Apalagi katanya, itu mobil sendiri. Pasti lebih enak jam segini berada di kasur empuk, tertidur pulas. Mengagumkan dia mau membawa mobil melayani penumpang yang keenakan tidur.
Sekitar satu jam kemudian dia bangun. Perjalanan dilanjutkan. Tapi, juga tidak lama. Ketika lebih kurang 2 jam perjalanan, mobil berhenti lagi dan sopir tidur lagi.
Rasanya ingin bertanya mengapa dia masih tetap mau membawa mobil sedangkan fisiknya tidak lagi kuat. Ingin juga bertanya mengapa tidak ada sopir cadangan, untuk mengantisipasi kemungkinan sopir kelelahan. Ingin juga protes, sebab saya ingin cepat sampai di Pontianak.
Tetapi, semua itu disimpan. Melihat keadaan orang tua itu yang kelelahan, membuat saya tidak sampai hati mengajukan soalan itu. Kasihan sungguh. Mungkin pemerintah yang menyoal mereka kelak.

Baca Selengkapnya...

Udang Merah


Oleh: Yusriadi

Hari itu, lebih satu bulan lalu, saya dan Dedy Ari Asfar mengunjungi Sungai Kakap. Kami mencari informasi tentang pekong laut dan bagaimana cara sampai di sana.
Saat berada di dermaga Sungai Kakap, kami bertemu dengan seorang perempuan berumur 40-an. Semula kami mengira dia penumpang motor air yang akan berangkat dari dermaga Sungai Kakap. Tetapi, rupanya bukan. Dia sedang menunggu barang dagangannya yang dikirim dengan motor air dari sebuah kampung di tepi laut.

Dia menduga kami orang CU. Saya tidak menggali informasi bagaimana dia menduga begitu. Kami mendiamkan saja. Lantas akhirnya jadilah kami sebagai orang CU dalam anggapan dia.
Perempuan itu berbicara dengan semangat tentang usaha kecil. Maklum, dia seorang pedagang. Dia pernah mengikuti pelatihan di Kubu Raya. Pelatihan pengembangan usaha.
Ujung cerita, dia menawarkan kami barang dagangannya.
“Saya ada udang. Masih bagus”.
“Udang saya tidak pakai pewarna”.
“Saya jual lebih murah dibandingkan dengan yang dijual di pasar”.
Kami mengikutinya menuju sebuah karung berisi udang yang diletakkan di depan sebuah counter hape. Dia membuka ikatannya dan mengambil segenggam udang. Udang ebi.
“Ni lihat, masih segar, tidak pakai pewarna”.
Dedy mendekati. Sepertinya dia membenarkan apa yang dikatakan perempuan itu.
“Kami beli satu kilo”.
“Saya satu kilo”.
Dia menimbang sebanyak yang kami minta. Agak repot juga karena dia sendiri tidak membawa kiloan. Dia juga tidak ada kantong. Dia menumpang pada pedagang di situ.
Selesai menimbang, saya memburunya dengan pertanyaan soal pewarna udang.
Menurutnya, sebagian nelayan memberi pewarna pada udang. Karena itu udang yang dijual jadi merah. Tetapi, dia tidak bisa memastikan pewarna apa yang dipakai. Apakah jenis jingge – pewarna makanan, atau pewarna jenis lain.
“Tidak semua orang yang mengerti. Tapi kalau pernah ikut pelatihan sih pasti tahu”.
“Mengapa diberi pewarna?”
“Ya, biar baguslah. Biar menarik”.
Penjelasan dia mengingatkan saya pada udang-udang ebi yang dijual di pasar. Memang sering kali terlihat udang yang dijual berwarna agak merah. Tapi, saya tidak dapat memastikan apakah udang itu diberi pewarna atau tidak.
Tapi saya merasa beruntung berkenalan dengan perempuan itu, beruntung karena mendapat informasi tentang praktik pengolahan udang ebi oleh sebagian masyarakat.
Informasi ini mengajarkan saya untuk lebih hati-hati membeli udang di kemudian hari. Mungkin informasi ini penting bagi orang lain yang suka membeli udang ebi. Saya kira, pemerintah juga penting mengetahui hal ini sehingga akhirnya sesekali juga mengecek kembali makanan yang dijual di pasar: memastikan apa yang dijual aman bagi kesehatan jangka panjang.

Baca Selengkapnya...

Mengapa Jamaah Semakin Berkurang?


Oleh: Yusriadi

Pada awal bulan puasa masjid selalu penuh. Lalu, perlahan-lahan jamaah berkurang. Sehingga akhirnya tinggal satu dua shaf saja orang yang salat Taraweh.
Itulah antara lain hal yang disampaikan seorang penceramah di sebuah masjid di Ambawang, pada malam pertama taraweh. Malam itu, seorang penceramah, yang rupanya ketua masjid, mengingatkan soal pentingnya salat taraweh di malam bulan Ramadan. Dia sempat mengingatkan jamaah soal kebiasaan sebagian orang yang hanya datang ke masjid di awal malam bulan puasa, dan setelah itu tak muncul-muncul lagi. Kebiasaan panas-panas tahi ayam. Sebuah perumpamaan untuk menggambarkan orang yang hanya semangat pada masa awal.
Penceramah perlu mengingatkan karena malam itu masjid tersebut penuh. Bahkan sejumlah orang yang datang setelah azan berkumandang, salat di luar. Di halaman. Masjid yang kecil itu tidak bisa menampung jumlah orang yang datang malam itu. Penceramah pasti berharap agar semangat beribadah terus terpelihara; sehingga dari awal hingga akhir Ramadan, masjid tetap penuh terisi jamaah salat Taraweh.
Merenung apa yang disampaikan penceramah, ingatan saya melayang pada suasana yang sering dijumpai di bulan Ramadan. Pada malam awal masjid sumpek. Lalu pada malam berikutnya, berkurang sedikit demi sedikit sehingga akhirnya yang tersisa hanya satu dua saf saja.
Rupanya, sekalipun sudah diingatkan, pada malam kedua dan ketiga, hal yang sudah diperingatkan penceramah terjadi. Jamaah masjid mulai berkurang. Tidak ada lagi jamaah yang salat Taraweh di luar. Ruang di dalam masih kosong. Saf terakhir lelaki, mulai ada celahnya.
Mengapa begitu? Mengapa jamaah berkurang? Mengapa orang seperti tidak ingat sedikit pun peringatan yang disampaikan penceramah malam pertama? Sebegitu cepatkan berlalu, masuk telinga kiri keluar telinga kanan?
Rasanya, setelah penceramah mengingatkan hal itu saya ingin juga mengingatkan penceramah: Mengapa sikap jamaah begitu? Mengapa jamaah seolah tidak pernah mendengar nasehat penceramah?
Pernahkah penceramah bertanya pada jamaah mengapa mereka tak bisa bertahan lama di masjid untuk salat taraweh? Pernahkah penceramah berupaya mencari cara untuk mengingatkan, selain mengingatkan agar datang ke masjid?
Mungkin baik juga sesekali para penceramah, pengurus masjid, menimbang-nimbang hal itu. Sehingga pada akhirnya mereka menemukan cara bagaimana membuat jamaah kerasan dan terikat hatinya pada masjid. Jika sudah begitu mungkin tak perlu repot penceramah mengingatkan hal yang sama dari tahun ke tahun. Mungkin bisalah dia memilih tema lain yang lebih menarik, daripada sekadang ‘ngomel dan menyindir’ saat berceramah di masa yang akan datang.

Baca Selengkapnya...

Salat Taraweh Pendek dan Panjang


Oleh: Yusriadi

Malam lalu saya salat Taraweh di sebuah masjid tak jauh dari kantor, di kawasan Jalan Purnama Pontianak.
Di masjid itu, salat tarawehnya 8 rakaat, plus witir 3 rakaat langsung. Ada kultum antara Isya dan Taraweh. Jam 20.10 selesai.
Saya terkesan pada penceramah. Seorang lelaki tua, mungkin usianya 70 tahun. Suaranya datar, perlahan. Dia berceramah tentang Takwa berdasarkan tafsiran dari ayat perintah puasa dalam surat Al-Baqarah ayat 183.

Tak ada retorika seperti yang biasa saya saksikan pada penceramah kondang. Tak ada lucu atau lawakan yang mengundang tawa.
Alami. Jauh dari kesan dibuat-buat. Jauh dari kesan omong doang. Rasanya, apa yang beliau sampaikan menukik masuk ke dalam jiwa. Rasanya, apa yang beliau sampaikan mengena.
Jamaah yang ramai memenuhi masjid tak terdengar ribut. Syahdu. Tepekur mendengar pesan-pesan sang penceramah.
Saya seperti kembali ke masa lalu. Saat mendengar seorang ustadz, yang dipanggil Ustadz Haji di Jongkong belasan tahun lalu. Saat itu, rasanya apa yang beliau sampaikan tak pernah dibantah. Semuanya kebenaran.
Sementara sekarang ini, sering kali saya mendengar protes orang terhadap penceramah. Ada protes terhadap penceramah yang tampil retorik, melawak atau menasehati jamaah panjang lebar. Kadang juga ada bantahan terhadap materi yang disampaikan.
Saya juga terkesan pada jamaah masjid malam itu. Ramai. Saat saya masuk saya melihat masjid hampir penuh.
Ternyata, jamaah bertahan sampai salat berakhir. Saya tahu ada berapa orang yang pulang. Namun, rasanya mereka yang pulang hanya satu dua saja. Tidak signifikan, tidak ketara.
Soal jamaah ini, saya teringat pada apa yang saya lihat di sebuah masjid yang terletak tak jauh dari tempat saya tinggal sekarang ini. Jamaah masjid sampai malam keempat, selalu ramai. Jamaah yang putus salatnya juga tidak banyak. Saya tidak melihat perubahan yang signifikan jumlah jamaah pada awal salat dan pada akhir.
“Hebat”.
Mengapa? Mengapa masjid-masjid ini masih penuh? Mengapa orang tidak keburu pulang?
Saya bertanya begitu karena saya pernah salat di sebuah masjid di Pontianak Barat. Jamaahnya hanya banyak di awal saja. Memasuki witir semakin sedikit. Perubahannya signifikan.
Mereka pulang awal. Sebab, sebagian tak mampu menyelesaikan salat karena terlalu panjang. 20 rakaat Taraweh, plus 2+1 witir.
Pengurus masjid menyadari hal itu. Menurutnya soal perubahan sudah dibicarakan di internal pengurus. Namun, ada seorang yang menolak. Malah yang menolak itu mengatakan tidak akan ada perubahan jumlah rakaat salat Taraweh selagi dia masih hidup.
Soal orang tak kuat berlama-lama salat Taraweh menurutnya tidak pantas didengar. Ada malas.
“Malas taraweh, panjang”.
“Capek benar ikut salat, ngebut”.
Di dalam malas beribadah itu, ada Setannya. Mereka itu, kalau lama-lama di masjid badannya panas meriang, ingin cepat-cepat pulang. Hati tidak terikat di masjid. Bak kata: datang ke masjid paling akhir. Pulang dari masjid paling awal.
Memang, seharusnya orang tidak begitu. Salat ya salat. Berat ringan itu keharusan mereka. Sebagai hamba mereka harus patuh pada perintah Allah. Allah memerintahkan begitu. Mereka harus ikut.
Sebagai orang Islam mereka tak sepatutnya menawar kewajiban yang Allah berikan. Jalani saja sebagai bentuk iman. Anggap saja Ramadan sebagai bulan penggemblengan iman dan ibadah. Semua satu paket dengan puasa.
Tapi, begitulah keadaan manusia. Begitulah keadaan orang kita. Tidak semua orang insyaf. Tidak semua imannya hebat. Masih banyak orang yang perlu pembinaan. Masih banyak orang yang perlu diikat hatinya. Masih banyak orang yang perlu dibujuk-bujuk, diajak-ajak, agar mau, agar insyaf, agar menjadi orang yang beriman.
Bahkan, kalau mau jujur, sebenarnya jumlah orang yang seperti ini lebih banyak. Orang yang memerlukan bujukan, sentuhan, pengertian, jauh lebih banyak daripada orang yang imannya sudah mapan. Lalu, apakah mereka ini dibiarkan? Rasanya sebaiknya tidak. Baiklah jika orang yang bijak mengalah. Mengalah untuk kebaikan pasti selalu baik hasilnya, dibandingkan menang untuk menang-menangan. Agaknya. (*)

Baca Selengkapnya...

Anak-anak di Masjid

Oleh: Yusriadi

Seorang ibu mengeluh pada saya tentang betapa ributnya anak-anak salat Taraweh. Anak itu menjadikan masjid tempat mereka bermain, tanpa peduli bahwa di depan mereka sejumlah orang sedang salat.
“Kita jadi ndak bisa khusu’”
“Lebih baik salat di rumah jak”.


Sang ibu menyampaikan penyesalannya terhadap sikap pengurus masjid yang tidak menegur anak-anak yang ribut itu.
Ya, saya mengiyakan apa yang disampaikan oleh ibu itu. Saya juga mengalami hal yang sama. Mengeluh karena anak-anak ributnya minta ampun. Auzubillah.
Malah malam kemarin ada anak yang menangis karena dikerjain oleh teman-temannya. Suara tangisannya cukup ‘merdu’ dibandingkan suara salawat petugas taraweh.
Anak-anak ribut ketika di masjid karena mereka tidak meresapi tujuan datang ke masjid. Tujuan mereka memang bukan untuk ibadah. Malah mungkin mereka juga belum mengerti apa itu ibadah. Kesadaran mereka belum tumbuh.
Anak-anak itu datang ke masjid awalnya karena mereka diwajibkan guru sekolah. Anak itu membawa buku ibadah. Buku itu harus mereka isi sesuai dengan judul dan kesimpulan kuliah tujuh menit (kultum) di masjid. Setelah itu, ada tanda tangan atau paraf penceramah atau imam.
Karena buku itu, anak-anak terpaksa harus datang setiap malam ke masjid. Mereka juga harus berbondong-bondong memburu petugas salat untuk mendapatkan tanda tangan.
Saya ingat, sewaktu menjadi guru honor di Madrasah Tsanawiyah Riam Panjang, pernah memberikan anak-anak tugas begini. Anak-anak diwajibkan memiliki buku ibadah yang berisi catatan kultum dan tanda tangan imam. Sewaktu saya siswa sekolah dasar dahulu, guru agama juga pernah memberikan tugas sama untuk salat Jumat. Kami, sebagai siswa, wajib membawa buku tulis, dan kemudian mencatat siapa khatib, apa judul khutbah dan apa kesimpulannya. Lalu, setelah Jumat usai, kami mendatangi khatib untuk meminta tanda tangan. [Saya jadi ingat kami mentertawakan seorang khatib yang kikuk ketika dia diserbu ramai-ramai. Waktu tanda tangannya, dia gemetaran. Tanda tangannya juga beda antara satu buku dengan buku yang lain].
Ada nilai positif dari kewajiban mengisi buku ibadah ini. Mau tidak mau kami harus ke masjid. Kami harus berlatih beribadah sesuai dengan agama kami. Ini menjadi pembiasaan. Setidak-tidaknya, seburuk-buruknya kami, masih pernah menjadi orang yang rutin mengunjungi masjid. Semoga dosa terampuni.
Tetapi, dalam kejadian yang dikeluhkan seorang ibu dan juga keluhan saya itu, memang seharusnya pengurus masjid juga membantu proses pendidikan di masjid. Anak-anak tidak dibiarkan berbuat sesuka hati. Tidak dibiarkan ribut. Anak-anak harus dikenalkan pada aturan bahwa jika di rumah ibadah, harus bersikap ‘alim’; tidak ribut. Keributan dapat mengganggu jamaah lainnya.
Mungkin, guru yang memberikan tugas juga sesekali harus melakukan kordinasi dengan pengurus masjid dan kemudian sesekali juga ikut mengawasi bagaimana sikap dan polah murid mereka di luar sekolah. Biasanya, seorang murid akan segan pada guru mereka.
Tentu saja, di sini masih ada tanggung jawab orang tua untuk ikut mengawasi dan mengingatkan anak mereka. Takkan pula anak sorang dibiarkan ribut di masjid???? Takkan pula dia tak dapat mendengar kicau bilau suara anak-anak sendiri?






Baca Selengkapnya...