Sabtu, 20 November 2010

Handphone Pak Oreng

Oleh: Yusriadi

Selasa lalu, saya dan beberapa rekan melakukan wawancara dengan Pak Nyirum Oreng, pengurus adat Kanayatn di Lintang Batang, Kubu Raya. Kami menggali pengetahuan beliau seputar adat istiadat di daerah tersebut.
Pak Oreng, lelaki berumur lebih 60 tahun itu melayani kami dengan ramah. Beliau juga sangat terbuka. Pengetahuan beliau tentang adat sangat dalam dan mengagumkan.
Saya kira keramahan beliau itu karena beliau orang gaul dan suka bertukar pikiran.

Saya katakan orang gaul karena beliau memiliki jam terbang sangat tinggi dalam berinteraksi dengan orang lain, baik sesama orang Lantang Batang, maupun dengan orang luar. Beliau mengaku keturunan Bugis dari kakeknya yang bernama Samad. Beliau pernah diangkat anak oleh orang Madura, dan itu pula menyebabkan dia memiliki nama “oreng”. Beliau juga belajar silat dari orang Melayu, belajar perobatan dari orang Cina, dll.
Tetapi lebih dari sekadar mengerti berkomunikasi, saya kira keramahan beliau juga disebabkan karena bersama kami ada muridnya bernama Atalia. Atalia belajar silat kepada Pak Oreng. Dialah yang menjadi pemandu kami di Lintang Batang.
Setelah panjang lebar wawancara itu, kami pamit. Agar komunikasi lebih mudah, saya meminta nomor handphone (HP) beliau.
Pak Oreng menyeluk koceknya dan mengeluarkan HP. Saya lihat sebuah HP sederhana jenis Nokia.
“Coba lihat nomor saya di situ,” katanya seraya meletakkan HP di atas meja yang membatasi kami.
“Cari ada nama saya di situ,” tambahnya.
Tentu saja saya tidak enak melakukannya. Atalia segera mengambil inisiatif meraih HP itu dan membukanya.
“Nek, banyak sms ini,” kata Atalia.
Atalia sejak awal memang memanggil Pak Oreng dengan Nenek. Nenek atau Nek adalah panggilan untuk kakek dalam masyarakat Kanayatn.
Pak Oreng meminta Atalia membacanya. Ada sms dari wartawan TV yang membatalkan rencana shooting atraksi silat Pak Oreng, dll. Atalia terkejut karena sms itu sudah agak lama terkirim, dan belum dibaca-baca oleh Pak Oreng.
Rupanya, Pak Oreng belum biasa membaca sms. HP bagi beliau lebih banyak untuk berkomunikasi lisan. Jadi, jika ada panggilan masuk, beliau menjawabnya, atau sebaliknya menghubungi nomor yang dituju.
Apa yang terjadi pada Pak Oreng mengingatkan saya pada Emak di rumah. Mungkin umur mereka kurang lebih. Emak juga pegang HP sejak beberapa tahun ini. HP Emak juga jenis sederhana.
Emak juga hanya biasa menggunakan HP untuk komunikasi lisan. Jika ingin kontak kami langsung telepon. Jangan kirim sms, karena Emak tidak pernah buka sms. Sms masuk baru dibaca kalau sudah ada anak atau cucunya yang membukanya.
Kami sudah coba menunjukkan cara membuka sms, menulis dan mengirimnya. Namun, Emak merasa tidak mudah. Emak lebih suka yang praktis. Pilihan jenis HP sederhana juga disebabkan pertimbangan praktis itu.
Saya membayangkan mungkin hari ini Pak Oreng dan Emak tidak biasa dengan sms, tetapi beberapa tahun mendatang mereka mungkin akan menjadi biasa. Tidak ada yang mustahil jika kebutuhan komunikasi di masa depan menuntut hal seperti itu. Asumsi ini muncul karena sebelum ini, HP bagi mereka juga bukan barang yang biasa. HP baru tergenggam oleh mereka dalam beberapa tahun ini, setelah menara dan jaringan telepon seluler dibangun di pelosok nun jauh di sana. Semua ini sesungguhnya tidak pernah saya dibayangkan terjadi saat saya menghayal 20 tahun lalu.

Baca Selengkapnya...

Belajar dari Orang Teluk Bakung

Oleh Yusriadi

Selasa lalu, saya bersama Juniawati, Hardianti dan Atalia berkunjung ke Teluk Bakung. Kampung ini terletak di ujung aspal jalan trans-Kalimantan dari arah Pontianak. Dari Pontianak kira-kira satu setengah jam perjalanan menggunakan motor.
Kunjungan ini dilakukan untuk memastikan hal-hal teknis berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan “Koran Perempuan” yang dikelola Juniawati dan Hardianti, plus kawan-kawan mereka di Pusat Studi Wanita (PSW) STAIN Pontianak.
Saya diajak Juniawati karena pada kegiatan hari Minggu besok, diminta menjadi pendamping saat pelatihan. Ca’-ca’annya, mengajar ibu-ibu di Teluk Bakung menulis untuk koran.


Kami berhenti di depan rumah kepala dusun, Pak Rita panggilannya. Rumah itu, wow… sungguh sangat besar dan megah. Modelnya juga modern. Saya mengagumi model yang dipilih, sekaligus mengagumi pemilik rumah yang pasti memiliki modal besar. Ratusan juta!
Kami berkenalan dengan Pak Gita. Kekaguman saya berlanjut. Kepala Dusun itu ternyata masih muda. Menurut saya, orang muda yang dipilih menjadi pemimpin pastilah orang muda yang istimewa. Dan benar, panjang cerita, ternyata beliau sedang kuliah ilmu hukum di Fakultas Hukum, Universitas Panca Bhakti Pontianak.
Mengapa kuliah lagi? Ternyata Pak Gita mau kuliah karena ingin memperoleh ilmu sehingga bisa mengadvokasi masyarakatnya. Beliau ingin masyarakatnya lebih maju, berpendidikan. Pilihan bersekolah lagi adalah salah satu upaya untuk memberi contoh kepada warganya.
Beliau juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap masyarakatnya sekarang, dan usaha-usaha apa yang sudah dilakukan untuk mereka itu selama ini.
Pandangannya soal pluralisme juga diungkap. Saya menangkap kesan bahwa orangnya sangat terbuka dan pikirannya sangat maju.
Setelah itu, kami berkunjung ke masjid Muhajirin di ujung kampung. Kami bertemu dengan ustadz di sana. Zulkifli namanya. Dia lulusan STAIN, dan ternyata saya pernah mengajarnya.
Saya sempat terpana. Oh, rupanya sewaktu mengajar saya tidak dapat melihat mutiara itu. Ya, dia adalah mutiara. Saya baru tahu Zul ini mengabdi di Teluk Bakung. Kok mau? Padahal dia sempat mengajar di beberapa tempat di Pontianak dan sangat pandai dalam soal computer. Dia sekarang juga sedang menyelesaikan studi S-2 di Jawa.
Beberapa waktu lalu dia membangun pesantren sederhana. Modalnya Rp 2 juta! Angka yang membuat saya terkejut. Benar-benar terkejut. Bisa ya? Lebih mengejutkan lagi mendengar cerita bagaimana perjalanan pesantren itu. Saya melongok ke tempat tinggal santri dan juga tempat tinggal ustadz. Keadaannya benar-benar sederhana. Jangankan kasur empuk, listrik saja tidak ada. Anak-anak tidak dikenakan biaya. Biaya sehari-hari? Sesekali mereka dapat bantuan. Tapi, pada saat yang lain dana dari ustadz sendiri. Zul mengalokasikan dana beasiswa pendidikan S-2-nya untuk makan santrinya.
“Bagi saya yang penting anak-anak di sini mau belajar, saya sudah senang,” katanya.
Atalia, yang datang bersama kami, juga membantu mengajar di sini sembari kuliah di STAIN Pontianak.
Menjelang siang, kami mampir di rumah Pak Rido, salah seorang pengurus masjid Muhajirin. Beliau adalah seorang mualaf. Setelah kami memberitahukan program kami di masjid itu, kami bicara banyak hal. Salah satu di antaranya adalah tentang pengembangan masjid dan lokasi itu.
“Pohon-pohon yang ada di lokasi ini harus dipertahankan. Tidak boleh ditebang. Biar generasi kita kelak tidak kehilangan pengetahuan mereka tentang kekayaan alam di sini,” katanya.
Menurutnya pohon-pohon yang dibiarkan itu akan menjadi daya tarik tempat ini dibandingkan tempat yang lain.
Saya terpana ketika beliau membayangkan lokasi ini kelak akan dikembangkan menjadi tempat pelatihan sambil refresing bagi anak-anak sekolah di kota.
Kejutan saya pada masyarakat di sini belum berakhir. Setelah dari tempat Pak Rido kami bertemu Pak Ije’, atau Nyirum Oreng. Beliau adalah tokoh adat di sini. Beliau juga boleh dianggap sebagai ahli perobatan. Beliau pernah menjadi pengurus kampung, sebagai kebayan beberapa puluh tahun lalu.
Tokoh berumur 62 tahun ini membuat saya tidak mau pulang dari Teluk Bakung. Saya ingin menggali pengalaman dan pengetahuan beliau. Pengetahuan yang beliau miliki luasnya tidak terukur, dalam tak terkira.
Tentang adat, dia pakarnya. Hukum adat diketahui dan beliau menjadi pengadil setiap perkara. Satu buku ditulis pun tak akan cukup untuk mencatat pengetahuan adatnya itu.
Beliau juga ahli dalam pengobatan. Kepakaran beliau tidak saja diakui orang di sekitarnya, tetapi juga oleh orang-orang lain. Bahkan orang yang meminta bantuannya dari dari mana-mana. Sistem pengobatan beliau agak berbeda dibandingkan kebanyakan tukang obat tradisional. Beliau menggunakan bahan-bahan daun, akar, kulit, dan batang tumbuhan yang ada di sekitarnya.
Beliau juga pegiat seni dan budaya. Kemampuannya bersilat sempat diperlihatkan kepada kami. Geraknya indah dan lincah. Beliau juga dapat memukul gendang dan gong. Beliau aktif di sanggar Bantola. Sanggar ini beberapa kali berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan di level provinsi. Ada beberapa piala dibawa pulang sanggar ini.
Beliau bisa menganyam ambenan. Beliau membuat topeng. Ketika beliau menunjukkan ambenan yang dianyam sekaligus menjelaskan nama-nama motif dalam anyaman itu, saya serta merta meminta izin belajar menganyam pada beliau di masa mendatang. Puji tuhan, beliau berkenan.
Soal kearifan, wawasan, dan visi beliau juga luar biasa. Kearifan itu dapat dilihat bagaimana beliau menangani perkara-perkara hukum di wilayahnya. Visi beliau juga bisa dilihat dari apa yang beliau lakukan. Salah satu yang berkesan pada saya adalah ketika beliau menunjukkan garam jepang. Garam itu berusia 40 tahun. “Saya menyimpannya karena saya pikir setelah garam baru masuk, garam Jepang pasti akan hilang. Kalau hilang tidak ada lagi contoh yang bisa kita lihat”.
Beliau memikirkan hal seperti itu sejak dulu. Luar biasa.
Kearifan dan wawasan serta pengetahuan dan pengalaman beliau mengingatkan saya pada Tok Olah, Zahry Abdullah, dulu. Datok kami itu memiliki pengetahuan yang luas dan dalam, serta memiliki visi yang kuat. Sayangnya, saya tidak berkesempatan belajar semua itu dari beliau. (*)

Baca Selengkapnya...

Keberaksaraan di Parit Banjar

Oleh: Yusriadi

“Mohon matikan handphone (HP) Anda untuk sementara”. Tulisan huruf balok dengan tinta hitam di atas kertas putih ukuran setengah kuarto terpasang di dalam masjid Misbahuddin, Parit Banjar, Sungai Kakap, Kubu Raya.

Saya kira, tulisan itu memang sengaja ditempel di dinding bagian depan dan samping masjid agar jamaah dapat serta merta membaca tulisan itu ketika berada di masjid. Cukup celingak-celinguk, sambil melihat kaligrafi dan “jam penunjuk waktu salat” di dinding itu, tulisan tersebut sudah pasti terbaca.
Tulisan seperti itu memang familier bagi saya. Tulisan dengan bunyi dan maksud yang sama bisa dilihat hampir di semua masjid di kota Pontianak. Pengurus masjid merasa perlu mengingatkan pemilik HP agar bunyi nada dering HP tidak mengganggu kekhusu’an jamaah saat ibadah.
Sebab sering kali terjadi, saat orang sedang salat tiba-tiba HP berbunyi. Lumayan jika bunyinya sesaat dan hanya nada kring. Tapi, kalau bunyi HP adalah lagu dangdut atau celetukan Upin dan Ipin yang memanggil atok Alang-nya, berulang-ulang, jamaah yang imannya setebal kulit kacang tentu akan senyam senyum.
Walaupun tulisan itu sudah biasa dilihat, bagi saya tulisan di masjid ini sangat menarik. Ya, menarik karena tulisan itu ada di masjid di tempat agak terpencil; Parit Banjar. Parit Banjar ada di wilayah Kali Mas, Kakap, bukanlah daerah kota. Tempat ini kampung cukup jauh dari Pontianak. Sinyal HP pun juga pilih-pilih. Tidak semua jaringan seluler bisa diterima di sini. Hanya Simpati dan Flexi. Itupun, pilih-pilih tempat yang lokasinya ada sinyal kuat.
Seorang jamaah memberitahu: “Kalau di masjid begini kadang hilang. Biasa di jalan-jalan itu banyak sinyalnya”.
Pengangkutan umum ke tempat ini tidak ada. Bukan jalurnya. Masyarakat keluar dan masuk kampung ini harus menggunakan kendaraan sendiri. Motor boleh, mobil juga bisa. Kampung ini bisa dijangkau dengan motor melalui ujung Kota Baru. Namun, jalan ini juga terbatas. Jika musim hujan begini, jalannya becek. Lumpur di mana-mana membuat perjalanan terhambat. Pilihannya, melalui jalan berbatu dua kilometer dari Kali Mas.
Akses keluar yang sukar begini berpengaruh pada masyarakat. Mobilitas menjadi agak terbatas.
Pendidikan masyarakat juga tidak begitu baik. Memang ada beberapa anak kampung yang mengenyam sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. Tetapi tidak banyak. Itupun untuk generasi baru. Setelah ada sekolah dasar yang dibangun di kampung ini.
Sedangkan generasi tua yang berpendidikan dapat dihitung. Mereka yang berpendidikan adalah mereka yang beruntung dapat keluar kampung dahulu. Mereka yang memiliki kemauan kuat untuk belajar, dan mereka yang memiliki dukungan dari orang tua. Mereka yang semangatnya kurang dan mereka yang dukungan orang tuanya tidak ada, tidak pernah sekolah. Mengaji mereka pandai, namun membaca latin mereka tidak bisa.
Saya yakin mereka yang muda tidak ada masalah dalam membaca tulisan itu. Tetapi orang tua bagaimana? Apakah mereka membaca tulisan itu?
Saya juga sangat penasaran ketika mengingat satu hal: apakah tulisan ini relevan dengan mereka? Apakah masyarakat di sini semuanya sudah punya HP? Sayang sewaktu di sana saya lupa bertanya soal itu.
Jika masyarakat di sini semua punya HP tentu ini akan menjadi tanda penting soal perkembangan ekonomi dan juga soal bagaimana globalisasi masuk ke rumah-rumah penduduk. Ini juga pasti akan menjadi babak penting bagi kemajuan penduduk dalam semua hal. Dampaknya, baik positif atau negative bisa dilihat dan dinilai beberapa tahun mendatang.
Tulisan di masjid ini membawa ingatan ke kampung halaman di Kapuas Hulu. Masyarakat kampung sekarang sudah sangat maju tingkat keberaksaraan mereka. Mereka sudah mengenal bahan bacaan, buku, majalah dan koran. Mereka juga sudah mengenal TV – malah sudah lama. Melalui TV mereka dikenalkan pada tulisan-tulisan terutama iklan, yang pada akhirnya membuat orang kampung mulai ‘berpendidikan’.
Bahkan ketika HP mulai dikenal masyarakat beberapa tahun belakangan ini, mereka mulai menjadi penulis. Ya, HP bagi mereka kini bukan saja alat berkomunikasi, berbicara dengan orang lain, tetapi juga dapat berinteraksi melalui tulisan.
Perkembangan seperti ini pasti tidak pernah kita bayangkan dahulu. Sekarang kita menyaksikan sendiri dunia berubah dengan cepat. Dan kita menjadi bagian dari perubahan yang cepat itu.

Baca Selengkapnya...

Menulislah Jika Ingin Berubah

Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


Menulis membuat orang berubah. Itulah kesimpulan dari pengalaman hidup teman saya Dudi, seorang peneliti di Balai Bahasa Pontianak.
Saat diberikan kesempatan bicara dalam rapat teknis persiapan kegiatan Riset Wisata Malay Corner (MC) kemarin, Dudi mengatakan dirinya merasakan perubahan yang besar dalam hidup setelah membiasakan diri menulis, khususnya menulis kisah perjalanan.


Sejak mengikuti kegiatan pelatihan “Ayo Menulis” yang diselenggarakan MC dua tahun lalu, Dudi menjadi lebih sering menulis untuk menggambarkan apa yang dia lihat dan apa yang dia alami, serta apa yang dia rasakan setiap kali melakukan perjalanan.
“Belum lama ini saya menunggu pesawat delay di Terminal III, Halim Perdana Kusuma. Sambil menunggu, saya menulis apa yang saya lihat dengan menggunakan handphone. Dari jam 3 sampai ke jam 7, tidak terasa”.
Padahal katanya, sebelum ini, jika menunggu sebentar saja dia sudah merasa bosan. Apalagi selama itu. Dengan menulis Dudi mengaku dia tidak sempat bosan karena menjadi lebih perhatian terhadap apa yang terjadi di sekitar. Dengan mengamati gerak-gerik orang dia di sekitar juga bisa menikmati suasana lucu dan menghibur.
Cerita Dudi itu bagi saya merupakan cerita yang penting, dan tentu sangat inspiratif. Saya jadi bisa membayangkan betapa asyik menjadi Dudi saat itu. Betapa serunya menjadi peneliti.
Saya jadi teringat pada saat memberikan saran kepada mahasiswa yang mengadu bosan karena terlalu lama menunggu seseorang. Saat itu, mahasiswa ditugaskan melakukan wawancara latihan di sebuah lembaga penyiaran. Ketika sampai di kantor media itu, mahasiswa tersebut diminta menunggu karena pimpinan sedang sibuk.
Waktu itu saya menyarankan, jika tidak mau bosan menunggu isi waktu menunggu dengan aktivitas. “Sambil menunggu, kamu melihat keadaan ruang tunggu. Lihat lantainya, dindingnya, plafonnya, hingga isi ruangan. Lalu, buat catatannya untuk memperkaya bahan penulisan”.
Rupanya, dengan jalan yang lain, Dudi menemukan kesimpulan bahwa jika tidak ingin bosan menunggu, isilah waktu dengan menulis. Dengan menulis seseorang akan aktif mengamati keadaan di sekitar. Pasti tidak sempat membosankan. Dudi sudah mempraktekkannya. Dudi sudah membiasakan diri menulis kisah-kisah perjalanannya.
Saya memberikan stressing kesimpulan Dudi itu dengan maksud memberikan penguatan kepada teman-teman lain yang sempat terpingkal-pingkal ketika Dudi mengungkapkan cerita lucu di Terminal 3 itu. Saya ingin ada banyak Dudi lain di sekitar saya.
Bagi saya, cerita Dudi ini menjadi kesempatan juga bagi saya untuk membangkitkan semangat kampanye menulis. Keinginan saya dan kawan-kawan menjadikan budaya menulis sebagai bagian kehidupan sudah lama terbetik. Jauh sebelum Dudi bercerita kemarin, dan juga jauh sebelum mengikuti pelatihan yang kami selenggarakan.
Oleh sebab itulah saya bersama teman-teman membuat macam-macam program untuk menumbuhkan minat menulis. Kami menyelenggarakan pelatihan beberapa kali. Kami juga menyelenggara kampanye menulis dengan datang ke sekolah-sekolah di Kota Pontianak, dan juga membuat pameran di kampus melalui ‘Majalah Gantung’. Kami melakukan publikasi tulisan di koran –khususnya Borneo Metro dan Borneo Tribune, serta di blog.
Usaha penerbitan buku telah dilakukan untuk melengkapi apa yang kami lakukan. Ada beberapa buku telah diterbitkan. Harap-harap semua itu berhasil.Mimpin menjadi kenyataan.

Baca Selengkapnya...

Orang Bugis di Parit Banjar

Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Parit Banjar. Saya mendengar nama itu dari Mahmud Alfikri, mahasiswa yang aktif menulis, sejak puasa lalu. Saat itu dalam sebuah pertemuan anggota Club Menulis STAIN Pontianak dengan Gero Simone dan David Maschede mahasiswa asal Jerman, yang didampingi Nur Iskandar, redaktur di Borneo Tribune, Mahmud mengatakan lebaran di Parit Banjar sangat menarik.


Kata Mahmud, “Di sana mayoritas penduduknya, orang Bugis. Mereka masih cukup kuat mengamalkan budaya Bugis. Kamu bisa ikut saya melihat budaya lebaran mereka, kalau mau”.
Meskipun tawaran itu untuk Gero dan David, namun saya tertarik juga. Pertama, saya memang sedang melakukan penelitian sederhana tentang identitas orang Bugis di Sungai Kakap, dan kedua, kami – saya dan anggota Club Menulis, sedang berusaha menggarap tulisan tentang budaya. Dalam hati, suatu saat saya ingin datang ke kampung ini.
Ketika kemudian beberapa minggu lalu saya berkesempatan berkunjung ke Parit Banjar bersama Mahmud, saya mengakui bahwa kampung ini memang benar-benar mengesankan.
Pertama, jalan menuju kampung ini masih jalan tanah. Saya dan Mahmud berangkat ke Parit Banjar melalui ujung Kota Baru. Jalan masuk ke kawasan Parit Banjar hari itu becek sekali. Banyak lumpur. Licin. Dua kali saya harus turun dan berjalan kaki saat melintas bagian yang sangat, sangat becek. Hampir sepanjang 3 kilo, Mahmud yang membawa motor harus menjulurkan kaki sebagai tongkat motor agar tidak jatuh.
Keadaan jalan seperti ini tentu saja membuat saya heran. Masak jalan dekat kota bisa begitu parah. Dalam bayangkan saya, seharusnya jalan di Parit Banjar ini keadaannya baik. Seharusnya pemerintah memberikan prioritas.
Dalam keadaan becek seperti ini, saya merasakan Parit Banjar itu tempat yang jauh. Penduduk yang cukup ramai menjadi susah bergerak. Mobilitas mereka menjadi terbatas. Lebih dari itu, jalan yang rusak ini pasti mempengaruhi geliat ekonomi mereka. Hasil kebun jadi susah keluar, susah dipasarkan, dan barang kebutuhan pokok menjadi susah masuk. Biaya angkut pasti akan menjadi agak sedikit mahal.
Kedua, ketika saya sampai di sana saya juga melihat keadaan penduduk juga menarik. Sebelumnya Mahmud mengatakan penduduk di kampung ini mayoritas Bugis. Orang Bugis tinggal di bagian kuala dekat Kalimas, hingga bagian pertengahan. Di antara orang Bugis ini terdapat satu dua orang Melayu. Sedangkan di bagian pertengahan hingga ke arah Kota Baru, penduduknya orang Madura. Antar pemukiman orang Madura dan orang Bugis dibatasi kebun langsat.
Lalu, orang Banjar? Sayangnya saya belum sempat menggali informasi mengenai sejarah tempat ini dinamakan Parit Banjar. Apakah nama parit ini ada hubungannya dengan suku dari Kalimantan Selatan itu? Kalau ada, di mana orang Banjar itu sekarang? Apakah orang Banjar itu adalah orang Melayu? Jika mereka Mengapa sedikit?
Nama Parit Banjar juga menarik karena sering kali sebenarnya di kawasan ini nama parit dikaitkan dengan nama orang yang membukanya. Di dekat Parit Banjar misalnya ada Parit Wak Gatak. Jadi, nama tokoh yang dikekalkan, tanpa kira apakah tokoh itu orang Banjar, Bugis atau Madura. Dari sudut ini, nama Parit Banjar itu jelas menarik.
Saya mencoba-coba mengagak-agak, apakah ada arti lain dari Banjar, selain merujuk kepada nama suku dari Kalsel ini? Saya mesti menggali informasi ini.
Ketiga, saat saya dan Mahmud sampai di sana saya melihat sejumlah anak perempuan sedang main kelereng. Biasanya, yang main kelereng itu anak lelaki. Dalam masyarakat Melayu, sering kali anak perempuan dilarang mengikuti permainan lelaki. Anak-anak dipisahkan dunianya antara lelaki dan perempuan.
Apakah yang saya lihat ini kebetulan saja? Atau, apakah ini cerminan budaya yang berbeda?
Belum habis renungan itu, saya agak heran ketika mendengar mereka berkomunikasi. Semuanya dalam bahasa Melayu, bukan bahasa Bugis. Apakah anak-anak ini besar dalam budaya bahasa Melayu? Lalu, di mana bahasa Bugis dalam kehidupan mereka? Apakah bahasa ini hanya miliki orang tua mereka, seperti kebanyakan anak-anak Bugis yang hidup di lingkungan terbuka di Pontianak?
Saya sangat penasaran karena banyak sekali pertanyaan belum terjawab. Saya harus datang ke kampung ini lagi dan mencari jawabannya. Saya akan menulis tentang semua itu. Nanti biar orang lain juga tahu betapa menariknya meneliti komunitas ini.
Lebih menarik lagi… orang Bugis di sini … menganut pola hidup seperti orang Melayu.
Misalnya … bahasa. Bahasa Melayu digunakan anak-anak yang sedang bermain.
Saat kami duduk di warung, kami juga mendengar anak muda bercakap bahasa Melayu juga sesama mereka.

Baca Selengkapnya...

Menggugah Minat Baca Ala Nano Basuki

Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


FX. Nano Basuki. Saya mengenalnya sedikit. Perkenalan dimulai ketika dia membawa siswa sebuah SMA Swasta di Singkawang berkunjung ke Harian Borneo Tribune beberapa tahun lalu.
Waktu itu ada puluhan siswa diajaknya untuk mengenal media. Penuh ruang redaksi dibuatnya. Ramai. Mereka (lebih tepatnya sebagian dari mereka) nampak sangat antusias. Saya sangat terkesan. Dia nampak sangat dekat dengan anak-anak itu.
Sebagai guru, Nano sangat ideal. Sebab, kedekatan seperti itu pasti akan memiliki pengaruh yang luar bisa untuk pengembangan mereka; dan ini penting dalam proses pembelajaran. Tidak banyak guru bisa seperti itu. Biasanya guru menjaga jarak dengan siswa. Jarak itu mungkin disebabkan cara guru memandang kewajibannya mengajar – bukan panggilan hati. Mungkin juga karena anak-anak gagal berkomunikasi dengan guru, mungkin juga karena sebab-sebab lain.
Sebagai guru, saya ingin seperti Nano. Ingin membangun kedekatan dengan siswa. Dahulu, sekitar 17 tahun lalu, sewaktu saya mengajar di Tsanawiyah Riam Panjang, rasanya saya bisa sangat dekat dengan semua anak. Saya merasa berhasil membangkitkan semangat belajar anak.
Namun, setelah saya masuk ke perguruan tinggi rasanya kedekatan itu tidak pernah lagi terbangun dengan baik. Memang ada sebagian mahasiswa yang dekat dan berhasil dibina menjadi penulis. Tetapi, banyak juga yang gagal. Malah saya dikenal sebagai guru yang tidak baik. Menakutkan. Setidaknya, kewajiban berkarya, dan kurang bertoleransi pada mahasiswa yang tidak membuat tugas, telah membuat saya menjadi momok.
Nah, melihat bagaimana Nano duduk melantai dengan siswanya, melihat siswa begitu enjoy belajar dengan dia, saya terpana. Sungguh pemandangan yang mengesankan. Karena itu saya tidak melupakan Nano ketika dia hadir di sebuah seminar di ruang Rektorat Untan Pontianak. Saya ingat dia sebagai guru yang baik.
Malah, usai materi waktu itu, Nano menghampiri saya dan menyerahkan sebuah buku kumpulan puisi.
Wow. Hadiah buku ini juga kejutan lain. Rupanya, Nano, guru yang dekat dengan siswanya itu, adalah guru yang berkarya. Dia ada buku! Ini kelangkaan lain seorang guru.
Setahu saya tidak banyak guru di Kalbar ini yang bisa menulis dan menerbitkan buku. Hatta guru yang sudah S-1 dan S-2, atau guru-guru senior yang ngomongnya tokcer. Lebih banyak guru di Kalbar yang pandai ngomong dibandingkan pandai menulis. Guru-guru yang suka menulis dapat dihitung dengan telunjuk; sebut misalnya Y Priyono Pasti, Sasmito Aripala dan beberapa lagi.
Lama setelah seminar itu, saya tidak bertemu dengan Nano. Saya hanya mendengar dari Wisnu Pamungkas, penulis hebat Kalbar, bahwa mereka (termasuk Nano), sedang mengumpulkan puisi dari beberapa ‘seniman’ di Kalbar untuk diterbitkan.
Bulan lalu, atas undangan Krisantus, kepala biro Borneo Tribune di Bengkayang, saya masuk ke SMP Katolik Santa Tarsisia, Bengkayang. Di sini, saya bertemu lagi dengan Nano.
Kami bertukar cerita tentang kegiatan masing-masing. Rupanya, Nano sudah tidak lagi mengajar di Singkawang. Dia mengajar di sebuah sekolah di Darit. Selain mengajar di kelas, dia juga giat melakukan kampanye kepenulisan ke sekolah-sekolah.
“Saya mengajarkan anak-anak kampung, agar mereka suka menulis,” katanya.
“Anak-anak kampung selama ini jarang disentuh”.
Dia datang ke sejumlah sekolah membimbing anak-anak membuat puisi. Dia juga membawa koran bekas untuk bahan bacaan anak-anak agar wawasan anak dalam berkarya, bertambah.
Di sebuah kampung dia menggugah minat baca orang dengan cara membuat pameran di pinggir jalan setapak, di kebun karet. Puisi anak-anak dipajangnya di sana.
“Luar biasa. Orang-orang yang lewat, singgah untuk membaca karya-karya itu. Mereka tertarik dan bertanya-tanya,” ungkapnya.
“Ketika orang-orang singgah dan bertanya-tanya, tujuan yang ingin dilakukannya tercapai”.
Saya geleng-geleng kepala takjub pada apa yang dia lakukan. Apa yang dia lakukan benar-benar luar biasa. Sangat inspiratif. Selama ini saya hanya membayangkan pameran dilakukan orang di ruang tertutup. Tak terpikir, ada orang menyelenggarakan pameran di kebun karet. Tak terpikir, bapak-bapak dengan ambenan berisi karet di punggung, mengunjungi pameran dan tergugah pada karya sastra. Wow, keren sekali!

Baca Selengkapnya...