Kamis, 24 September 2009

Nanggok Malam Lebaran di Pontianak

Oleh: Yusriadi

Nanggok bukan sekadar bagian dari pawai takbir untuk memeriahkan malam lebaran di tengah masyarakat kota Pontianak. Nanggok juga bukan sekadar melanjutkan tradisi yang sudah bernama dalam masyarakat sebelumnya. Nanggok sekarang, dilakukan orang untuk mendapatkan uang.







Sore itu, sore terakhir puasa, kami, adik beradik, berbuka di rumah Mas Yanto – Mbok Lena di sebuah komplek di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), Nipah Kuning Pontianak. Mbok adalah kakak kami yang paling tua dari 5 saudara.
Kami berkumpul juga bersama bapak dan emak, serta ipar-biras, anak, cucu. Jumlah yang kumpul di rumah komplek ukuran 37 yang sudah dilebarkan, ada 22 orang.
Ramai sekali.
Setelah buka, salat Magrib, makan, kami duduk-duduk santai. Ada yang memilih duduk di ruang tamu, ada yang di ruang tengah, ada juga yang di dapur. Yang anak-anak, mereka lalu lalang: dapur, teras, jalan depan rumah – maklum pemukiman padat ini tidak ada halaman. Di jalan juga banyak anak tetangga sedang bermain.
Bunyi mercon yang dibakar anak tetangga, meledak sesekali. Agaknya juga ada kembang api dibakar.
Saya, bersama beberapa orang duduk di ruang tengah. Kami ngobrol tentang apa saja. Mulai tentang lebaran yang serentak, hingga tentang harga daging dan telur yang naik lebih dari Rp10 ribu per kilogram. Panjang ceritanya. Sampai kemudian, obrolan kami terpenggal oleh suara anak-anak takbir di luar.
“A-lah hu akbar. A-lah hu akbar. Walilah hil ham”.
Berulang dua kali saja.
Saya kira ini takbir yang unik. Beda dengan cara takbir orang pada umumnya. Cara mereka mengucapkan juga beda.
Takbir ini terputus. Anak yang takbir tadi, berjumlah tiga orang, seorang di antaranya membawa kotak, hanya berdiri di teras, di depan pintu. Mereka tidak masuk. Mereka juga tidak melanjutkan takbirnya.
Lalu, tiga orang anak Mbok Lena –seorang berumur sekitar 14 tahun, 9 tahun, seorang lagi berumur 4,5 tahun berlari ke belakang.
“Bu, ada budak takbir”.
“Bu, ada budak nanggok”.
Mereka melapor pada ibunya.
Mbok bergegas ke kamar. Dia mencari tempat menyimpan uang. Lalu, keluar lagi dari kamar, dan dia menghitung uang itu. Seribu, dua ribu.
“Ni”.
Dia mengangsur uang itu kepada anaknya yang berumur 14 tahun.
Anak-anak itu berlari ke depan menjumpai rombongan takbir.
Tak lama kemudian, suara takbir anak-anak itu terdengar di rumah tetangga sebelah.
“Jam segini sudah turun nanggok mereka”.
“Ya, begitu, terus sampai malam”.
“Tahun lalu saya hitung ada 12 rombongan nanggok”.
“Berapa dikasih yang datang itu?”
“Tergantung. Dua ribu, lima ribu”.
Kalau yang datang itu anak-anak kecil, paling banyak, mereka diberikan Rp2000. Kalau yang datang remaja masjid, mereka diberikan Rp5000.
Lalu bagaimana membedakan yang datang itu anak-anak biasa atau remaja masjid?
“Lihat tok-nya”.
Tok maksudnya kotak yang mereka bawa untuk mendapatkan sumbangan. Orang yang memberikan sumbangan memasukkan uang ke dalam kotak itu. Tidak langsung kepada orang per orang.
“Kalau resmi, tok itu ada tulisan nama Masjid atau Surau apa. Kalau tidak ada tulisan, berarti rombongan itu, pandai-pandai mereka”.
Rombongan pandai-pandai mereka maksudnya, rombongan yang dibentuk oleh kesepakatan dua tiga anak. Mereka bergerak sendiri. Uang yang diperoleh nanti pun untuk diri sendiri.
Tak lama kemudian, rombongan takbir kedua di malam takbir itu, juga datang. Anak-anak Mbok masuk kembali menjumpai ibu mereka. Mbok memberika mereka uang dan kemudian mereka memasukkan uang ke dalam tok yang dibawa oleh rombongan yang datang.
Saya tidak sempat melihat kedatangan rombongan takbir berikutnya. Keburu. Malam itu saya menyaksikan pelepasan rombongan takbiran keliling kota Pontianak di Pendopo Gubernur Kalbar, Jalan Ahmad Yani Pontianak.
Saya menghitung, jika jumlah rombongan takbir di komplek Mbok tahun ini sama dengan jumlah rombongan tahun lalu, berarti masih ada 10 rombongan lagi yang akan datang. Ada 10 kali lagi terdengar lafaz takbir yang unik. Setidaknya ada 10 kali lagi keluarga Mbok melihat orang-orang datang menanggok. Setidaknya ada 10 kali lagi keluarga Mbok mendermakan sebagian dari pendapatan mereka.
Sesuatu yang berbeda dibandingkan di rumah saya di Jalan Karet. Di rumah saya, tahun lalu, hanya ada 3 rombongan yang datang. Lebih sepi. Maklum, rumah dalam gang yang penduduknya dapat dihitung dengan telunjuk, di tengah sawah yang lebih banyak wilayah gelapnya dibandingkan terang berlampu.
Tetapi, malam itu, bukan cuma rombongan takbir yang nanggok di sebuah komplek di TPI yang saya lihat. Saya juga melihat beberapa remaja putri berdiri di pinggir jalan di Jalan H. Rais A Rahman, Sungai Jawi, di lampu merah Jalan Martadinata, yang menyodorkan kotak terbuka. Kotak itu – mungkin disebut tok juga?, dari kardus. Ada tulisan di kardus itu. Namun saya tidak dapat membacanya – karena jarak yang jauh dan malam yang tidak terlalu terang.
Pakaian mereka modis. Keren. Tetapi, mereka nampak malu-malu ketika menyodorkan kotak itu kepada orang yang tertahan di lampu merah.
Sementara itu, di belakang mereka, ada sejumlah remaja putra menabuhkan tahar seraya melaungkan takbir. Saya duga, mereka pasti remaja masjid Asy-Syakirin, yang sedang memungut sumbangan dari para pelintas. Sesuatu yang jarang saya lihat dilakukan remaja masjid lain. Mungkin remaja masjid ini tidak sempat takbir sambil nanggok dari rumah ke rumah.


***

Tradisi nanggok sudah dianggap budaya orang Melayu Pontianak pada saat lebaran. Tradisi ini ada sejak dahulu kala. Beberapa orang teman kelahiran Pontianak mengakui pernah melakukan itu di waktu mereka kecil.
Sekarang, setelah mereka menjadi orang tua, mereka tidak melakukan itu. Anak-anak merekalah yang melanjutkannya.
Namun, beberapa sumber menyebutkan tradisi sekarang berbeda dibandingkan tradisi 20 tahun yang lalu.
Dahulu tidak ada rombongan nanggok berjalan sendiri-sendiri. Kegiatan nanggok selalunya bermula dari masjid, setelah jamaah salat Isya berjamaah dan takbir bersama di masjid.
Rombongan berangkat dari masjid, dipisahkan dalam beberapa kelompok. Sehingga nantinya ada rombongan takbir yang mendatangi rumah-rumah warga di arah kanan masjid, ada yang mendatangi rumah di kiri masjid, dan seterusnya. Di dalam rombongan ini ada anak-anak, ada juga orang tua.
Kelompok orang cenderung dibagi berdasarkan asal jamaah. Misalnya orang yang berasal dari arah kanan masjid, cenderung masuk dalam kelompok yang bergerak ke arah kanan masjid, dan seterusnya. Pembagian begini dilakukan untuk memudahkan penyambutan rombongan nantinya. Biasanya, tuan rumah akan kembali ke rumahnya lebih dahulu –termasuk menyiapkan hidangan penyambutan, saat rombongan tiba di rumah kedua sebelum rumahnya.
Rombongan takbir mendatangi rumah penduduk dengan berjalan kaki. Sepanjang perjalanan mereka takbir. Pemimpin takbir ditunjuk secara bergantian beberapa orang yang tentu saja suaranya bagus. Yang lain, menjawab takbir itu dan menabuh gandang, kentongan dll. Takbir terus dilaungkan hingga sampai di depan pintu rumah penduduk yang terbuka. Pintu terbuka menandakan pemilik rumah siap menerima kedatangan rombongan.
Secara formal, tuan rumah menyilakan rombongan masuk. Setelah masuk, duduk, kembali takbir dilanjutkan, sambil menunggu hidangan disajikan tuan rumah. Jenis hidangan biasanya kue dan minuman. Sesekali ada makanan jenis lain. Semuanya tergantung kemampuan dan kerelaan hati tuan rumah.
Setelah selesai makan, rombongan berpamit. Kadang-kadang juga ditutup dengan doa selamat. Selesai, doa tuan rumah memasukkan sumbangan ke dalam tok. Dua puluh tahun lalu, sumbangan berkisar pada angka Rp5 ribu.
Begitulah seterusnya, sampai semua rumah didatangi rombongan takbir. Setelah selesai, rombongan kembali lagi ke masjid dan mengagih-agihkan hasil tanggukan. Kadang kala, hasilnya dibagikan orang-orang yang takbir, kadang kala juga uang takbir itu digunakan untuk kepentingan bersama – misalnya peningkatan pembangunan jalan, atau pembangunan fisik lain. Maklum waktu itu kemajuan pembangunan belum seperti sekarang ini. Pembangunan lebih banyak mengandalkan kemampuan swadaya penduduk. Sedangkan sekarang, penduduk dapat mengharapkan bantuan pemerintah untuk aneka pembangunan fisik di sebuah wilayah.

***

Perubahan budaya „nanggok“ sekarang mendatangkan keprihatinan pada teman saya.
“Nanggok sekarang seperti melegalisir budaya mengemis”.
„Seharusnya budaya ini tidak dikembangkan“.
Dia lantas mengutip nash yang menyebutkan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Nash ini maksudnya, memberi lebih baik daripada menerima.
Katanya, dari budaya ini terlihat anak-anak menjadi tidak malu membawa kotak sumbangan, padahal sumbangan dipungut untuk kepentingan dibagi-bagikan di antara mereka sendiri. Pribadi. Mana yang bernasib baik, mereka bisa mengumpulkan uang puluhan ribu rupiah. Jika satu komplek ada 100 rumah, dan setiap rumah menyumbangkan minimal Rp2000 maka satu tok bisa mengumpulkan uang Rp200 ribu.
Anak yang “pandai-pandai” pasti tidak akan melewatkan kesempatan ini. Mereka bisa mendapatkan uang dengan mudah, dengan bekal kotak tok dan melafazkan takbir sekali dua.
„Mungkin suatu saat akan ada orang yang mengorganisir kelompok ini untuk mendapatkan sumbangan yang lebih besar, untuk pribadinya“.
Protes teman ini mengingatkan saya pada kisah seorang anak tetangga yang berumur 4 tahun, beberapa tahun lalu. Waktu itu, pada malam lebaran, anak tersebut berkunjung ke rumah neneknya di sebuah gang di kawasan padat di Sungai Jawi, Pontianak.
Dia ikut rombongan anak-anak tanggung (remaja) nanggok dari satu rumah ke rumah lain di dalam gang itu. Dia ikut takbir – sekalipun mungkin dia tidak tahu lafaz sebenarnya dan maknya.
Dia menyaksikan orang yang menerima rombongan mereka, memasukkan uang ke dalam tok dari kaleng susu yang agak besar.
Setelah merasa cukup, rombongan ini membagikan uang hasil tanggukan. Malangnya, anak kecil itu tidak mendapat bagian dari hasil nanggok itu. Alasan remaja-remaja ini, anak tersebut masih kecil, tidak layak mendapat bagian. Anak kecil ini tidak ada peran dalam kelompok mereka.
Tentu saja anak kecil itu marah dan kesal. Tetapi dia tidak bisa apa-apa. Dia tak sanggup memaksa ‘abang-abangnya’ agar dapat bagian dari nanggok bersama itu.
Dia hanya bisa kembali ke rumah neneknya.
Hebatnya, anak itu bukannya menyerah. Dia lantas mencari kaleng susu di tempat pembuangan di samping rumah. Dapat.
Dengan kaleng kosong itu, lantas dia mendatangi rumah-rumah yang tadi didatangi rombongan. Dia dapat melafazkan takbir yang terpatah-patah.
Hasilnya lumayan. Dia mendapatkan sumbangan beberapa ribu rupiah dari rumah yang didatanginya. Total, anak itu mendapatkan hampir Rp20 ribu. Penghasilan yang besar untuk ukuran anak seusia 4 tahun.
Saya selalu ingat cerita ini karena ini kisah luar biasa. Seorang anak usia 4 tahun bisa melakukan takbir secara mandiri dan sudah dapat berpikir bagaimana mencari uang. Saya mengagumi anak itu karena dia memiliki keberanian yang jarang dimiliki anak seusianya.
Namun, di antara kekaguman itu, ada keprihatinan. Prihatin karena secara tidak langsung budaya ini mengajarkan anak tidak malu meminta sumbangan, sekalipun sumbangan untuk dirinya sendiri.
Apa bedanya dengan mengemis? Hal seperti inilah yang mendatangkan keprihatinan teman saya tadi.
Tetapi, mengapa keprihatinan ini belum menyeluruh? Maksudnya, mengapa orang-orang yang lain tidak melihat adanya dampak negative dari budaya nanggok mandiri sekarang ini – sehingga mereka tidak merasa perlu menghentikannya?
Bisakah dihentikan? Bisakah setiap orang tidak memberikan uang terhadap anak yang datang menanggok di malam lebaran? Bisa saja. Tapi, pasti tidak mudah. Seorang teman saya mengatakan:
“Mana enak kita ndak ngasih. Nanti dikira orang pelit”.
Bahkan sekarang, bukan saja di malam takbir, tradisi membagi amplop sudah membudaya dalam sebagian masyarakat muslim di Pontianak saat anak-anak datang berkelaran ke rumah mereka di hari pertama raya, ke dua, ke tiga, dan seterusnya. Sudah ada amplop khusus yang didesain untuk itu. Lebaran kali ini saya melihat kebanyakan amplopnya berwarna hijau dengan tulisan ala Islami sedikit.
Saya terpana. Padahal, beberapa tahun lalu, memberi uang saat lebaran – jika pun pakai amplop, amplopnya masih amplop merah, seperti ’angpao’ dalam masyarakat Tionghoa. Beberapa tahun lalu, orang memberi uang kepada anak-anak yang datang dengan cara langsung dikepilkan ke tangan saat anak datang atau pulang. Namanya pun waktu itu biasa disebut ’angpau’ juga.
Kesediaan memberi memang diajarkan dalam Islam. Inilah bagian dari kesediaan menginfaqkan sebagian dari harta yang dimiliki kepada orang lain. Inilah bagian dari hasrat orang yang tua menyenangkan hati ponakan dan anak-anak saudara mereka.
Saya kira, inilah yang kemudian membuat tradisi nanggok tumbuh dan berkembang, yang kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi seperti yang terlihat hari ini.
Bagaimana selanjutnya? Entahnya, perubahan pasti terjadi. Hanya soalnya, bagaimana bentuk perubahan itu, waktulah yang akan menentukan. Yang pasti, masyarakat selalu punya alasan baik untuk perubahan. Sebaliknya, masyarakat lain juga punya cara untuk menyikapi perubahan itu.


Baca Selengkapnya...

Pawai Takbir dan Relasi Etnik di Kalimantan Barat

Oleh Yusriadi

Pawai di malam takbiran keliling kota Pontianak kemarin berlangsung meriah – sekalipun memang tidak semeriah malam pergantian tahun.
Kendaraan pawai membelah jalan kota, takbir menggema melalui pengeras suara, pukulan gendang dan drum membahana, dentuman meriam dan mercon memekakkan telinga. Begitu juga sinar kembang api memewarnai langit kota.
Kemeriahan terasa sempurna karena pawai ini seperti menjadi medium penyatuan budaya antar kelompok etnik. Budaya Melayu (Budaya Islam + budaya lokal) dicampur dengan budaya lain. Setidaknya saya melihat ada beberapa budaya lain yang ikut tampil dalam tampilan malam takbir kemarin.




Lihat bagaimana letusan petasan dan kembang api. Bakar petasan dan kembang api bukanlah berasal dari budaya Melayu. Orang Melayu Pontianak mengenal meriam; meriam karbit.
Begitu juga dengan budaya pukul beduk. Pukul beduk memang biasa dijumpai dalam masyarakat muslim Nusantara. Bahkan, di beberapa tempat, sebelum masuk waktu salat biasanya dibunyikan beduk. Orang Melayu juga mengenal tar (tahar); sebagai alat pengiring seni pertunjukan. Permainan tahar dalam masyarakat Melayu memiliki variasi yang rancak. Bahkan, di beberapa tempat ada anggapan, sebuah majelis perkawinan tidak akan sempurna tanpa tetabuhan tar mengiring pengantin.
Tetapi malam itu, bukan beduk yang dipukul orang. Meskipun ada judulnya pukul beduk. Yang dipukul malam itu gendang. Walaupun dalam kamus bahasa Indonesia, beduk dan gendang tidak dibedakan dengan jelas, tetapi, secara semantik, beduk dan gendang membawa dua konotasi yang berbeda. Beduk berkaitan dengan alat tetabuhan untuk “ritual“ di masjid, sedangkan gendang bermakna agak umum.
Dan, pada malam takbiran itu, yang dipukul orang adalah gendang (dan drum).
Saya tertarik pada gendang yang ditabuh mengiringi pawai malam itu. Bentuknya unik. Tak pernah saya lihat gendang seperti itu di masjid. Entahlah, mungkin karena saya jarang ikut kegiatan masjid.
Bentuk gendang yang dipakai malam itu, bulat pendek, dibalut kain batik warnanya merah.
Saya mendekati penabuh gendang yang berada di truk induk – truk yang paling besar yang terletak di kepala jalan. Waktu itu truk diparkir di depan pendopo Kantor Gubernur. Belum jalan. Panitia sedang menyampaikan pidato tentang pawai.
Anak muda yang ada di atas truk yang saya tanya tentang gendang itu mengaku tidak tahu.
“Entah dari mana, ndak tahu”.
Jawaban ini membuat saya makin heran.
Saya ingin naik ke atas truk untuk mengamati gendang itu. Namun, urung karena sulit. Saya kesulitan memanjat truk.
Pada saat saya maju mundur -- antara naik dan tidak, pandangan saya tertumbuk pada gendang serupa yang terletak tidak jauh dari truk tempat saya berdiri. Gendang itu terletak di atas porselin dekat halaman depan kantor gubernur.
Ada beberapa anak muda mengelilingi gendang itu. Semula saya mengira mereka adalah remaja masjid yang ambil bagian dalam kegiatan pawai.
Tetapi kemudian setelah saya menghampiri seorang penabuh, baru saya tahu mereka berasal dari organisasi bernama PDC singkatan dari Pontianak Drummer Club (PDC). Dia menjelaskan sedikit tentang PDC.
“Siapa punya gendang besar ini?”
“Tidak tahu ya. Bukan punya PDC”.
Saya sudah punya feeling kalau gendang itu milik yayasan Tionghoa.
Saya sering melihat gendang besar begini muncul dalam acara orang Tionghoa. Bunyinya “medam”. Pukulan yang teratur kadang-kadang kedengarannya asyik juga.
Dugaan saya makin kuat karena saya melihat ada lakban warna mereka di atas kulit gendang itu.
“Mengapa semua gendang ada lakbannya?”
“Apa ada yang ditutupi?”
Saya menghampiri gendang dan mencoba menyentuh lakban merah itu. Saya mencoba melihat apa yang ada di bawahnya. Atau lebih tepatnya, saya mencoba mencari jawaban mengapa lakban itu dipasang. Tidak nampak benar. Tetapi saya yakin di bawah lakband itu ada sesuatu yang disembunyikan.
Lakban itu lengket sekali. Agak susah membukanya. Tetapi, kemudian saya dapat melihat sesuatu yang menakjubkan. Di bawah lakband itu adalah aksara Cina. Tetapi saya tidak dapat membacanya.
“Apa tulisannya Bang?”
Saya bertanya pada penabuh gendang itu.
“Mi Ti Yau”
Dia mengucapkannya sambil tersenyum. Dia mengajak saya bercanda. Saya tersenyum. Mungkin, pas waktu itu hanya soal makanan yang dia pikirkan. Saya juga mafhum, „Mi Ti Yau“ adalah nama jenis makanan mie yang mudah dijumpai di kota Pontianak. Enak. Saya sangat mengemari Mie yang dimasak dengan cara ini.
Saya juga terkesan dengan Mie ini. Mie ini juga mencerminkan pengaruh Cina dalam selera makan orang Pontianak. Mie ini mencerminkan adanya hubungan budaya antara dua komunitas itu. Karena itu, orang seharusnya mampu melihat bahwa hubungan antar Cina (Tionghoa) dengan komunitas lain, bukan saja dalam konteks sosial, dagang, dan juga masuk dalam wilayah politik, tetapi juga soal makanan.
“Mi Ti Yau“ bukan satu-satunya jenis makanan ala Cina yang disukai orang Melayu (dan komunitas lain) di Pontianak. Masih ada jenis makanan lain. Misalnya Bak So, Cap Chai, dll.
Ini juga menunjukkan bahwa perkembangan budaya kelompok tidak bergerak berasingan. Komunitas Cina dan Melayu, tidak berada di ruang yang sendiri-sendiri. Ada ruang bersama yang mereka kongsi. Ada budaya bersama yang mereka pakai – dan saling pinjam. Ini semua terjadi karena interaksi antar komunitas sebenarnya terjalin sangat baik, lebih baik dari yang dikira banyak orang yang hanya melihat sesuatu secara parsial.
Tentu, hal seperti inilah yang harus dipahami dengan baik. Hal seperti ini yang seharusnya dipromosikan sehingga pada akhirnya orang tidak menganggap seakan-akan dalam semua hal hubungan antar komunitas ini terbangun tembok yang tinggi dan kokoh sekokoh tembok Cina.
Lagi, kedua komunitas ini perlu dijembatani. Ketegangan yang terjadi pentas ekonomi dan politik, mungkin dapat diredakan dengan kesadaran budaya –seperti diteorikan banyak ilmuan. Mudah-mudahan lebaran kali ini bisa menjadi permulaan membangun kesadaran itu. Mudah-mudahan ketegangan yang sedemikian mudah meletup dalam beberapa waktu belakangan ini, dapat diredakan.
Karena itulah saya menganggap lebaran di Pontianak tahun ini, sangat istimewa. Mudah-mudahan keistimewaan ini berlanjut.







Baca Selengkapnya...

Kamis, 17 September 2009

Dr Badzrul: Kultur Akademik STAIN Pontianak

Oleh Yusriadi

“Saya lihat orang di sini iklim akademiknya tinggi“.
Itu dikatakan Dr. Badzrul Bahaman, Wakil Direktur Institut Kajian Indonesia-Malaysia (IKM) Universiti Industri Selangor, Malaysia, saat berjalan bersama saya sore itu. Saya dan Badzrul berjalan dari kantor MC di Lt 2 Perpustakaan STAIN Pontianak menuju Masjid.
Ada nada kagum dari komentar itu.

“Begitukah Bang?“
Saya memanggilnya “Bang“ saja karena saya mengenalnya sejak tahun 1996, saat mula kuliah di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Waktu itu, Badzrul sedang menggarap penelitian tentang sastra komunitas Sakai di Riau, sedangkan saya meneliti tentang bahasa komunitas di pedalaman Kalimantan Barat.
Kami sempat menggarap bulletin di ATMA, yang kami beri nama “Sukma Nusa“, singkatan dari suara kajian Melayu Nusantara.
Seharusnya, saya memanggilnya “doktor“, jika ikut adat tradisi di Malaysia. Di Malaysia, secara formal seseorang yang bergelar doktor hampir selalu dipanggil doktor. Tetapi, agak susah menghilangkan panggilan lama itu.
Badzrul lantas menyebutkan beberapa gambaran yang membuat dia menilai iklim akademik di STAIN Pontianak, baik.
”Seminar tadi, penuh ruangan. Ada yang tak dapat tempat duduk,”
Ya, ruangan seminar kami di Ruang Rapat STAIN Pontianak, Lt 2 Bangunan Akademik, tidak mampu menampung peserta yang datang menghadiri seminar Melayu MC itu (Sabtu 12/9). Kapasitas ruangan hanya mampu menampung 30 peserta. Jumlah mereka yang mau ikut seminar lebih banyak.
Sebelum Bazdrul berkomentar, saya juga sudah mendengar informasi dari Ibrahim, Direktur MC, bahwa saat seminar itu, ada puluhan orang yang berdiri di pintu masuk dan di luar, kemudian pulang karena tidak mendapat tempat duduk.
Padahal, panitia seminar hanya menyebarkan sedikit undangan. Pemberitahuan seminar disampaikan lewat koran Borneo Tribune, dan tempelan pengumuman di papan-papan pengumuman di dalam wilayah kampus.
Kami, sebagai penyelenggara seminar, sebenarnya lebih suka sedikit peserta. Sebab, target seminar selalunya bukan jumlah peserta, tetapi materi. Kami, sebatas ingin menyediakan forum bagi teman-teman agar berkesempatan menyampaikan temuannya orang lain, untuk mendapat tanggapan dan komentar, bukannya menyediakan ruang agar orang lain mendapat informasi.
Saya selalu berpikir, dengan begitu kami tidak perlu risau memikirkan berapa banyak orang yang datang. Tidak perlu repot mengurus agar orang lain mau datang dan mau mendengarkan apa yang disampaikan narasumber. Dengan demikian, kami selalu merasa, membuat seminar itu pekerjaan yang mudah dan dapat menggelar seminar sebanyak mungkin.
Tetapi, menggelar seminar dengan targetnya peserta, sebenarnya bukan pekerjaan sulit di STAIN Pontianak. Tinggal beritahu beberapa orang teman, dan kemudian kerahkan mahasiswa. Ruangan besar sekalipun akan terisi.
Saya tidak memberi tahu Bazdrul soal begini. Lagian, saya tahu menggelar seminar di Malaysia – jika targetnya peserta, memang susah. Di dunia modern seperti Malaysia, minat akan menentukan apakah orang mau atau tidak datang dalam sebuah seminar. Panitia harus pandai memilih tema yang menarik minat.

***

Sebab lain membuat Badzrul mengatakan minat akademik di STAIN Tinggi adalah ketika sore itu dia melihat masih banyak mahasiswa yang berkumpul di kampus. Di bawah pohon rindang (DPR) begitu dibahasakan untuk tempat duduk semen di bawah pohon di dekat aula kampus, ada empat lima mahasiswa sedang duduk. Di depan gedung Dakwah juga. Di masjid, sore itu beberapa mahasiswa juga sedang duduk menunggu saat berbuka.
Kehadiran mereka membuat kampus hari itu seolah-oleh hidup dari pagi hingga sore.
Saya kira sebenarnya, kenyataan begini bukan hanya bisa dilihat di kampus STAIN. Di kampus di Malaysia, suasananya malah lebih ’dahsyat’. Mahasiswa bertahan di kampus sampai malam. Saya contohkan perpustakaan Tun Sri Lanang, perpustakaan utama Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Perpustakaan ini tidak pernah sepi. Selalu ramai pengunjungnya – sekalipun tidak ribut.
Perpustakaan di STAIN hanya buka hingga sore. Malam sudah tutup. Tutup karena tidak ada yang mengunjungi. Kayaknya belum ada yang betah. Tetapi, meskipun demikian, apa yang dilihat sore itu menunjukkan ’keramaian’ di kampus STAIN tidak kalah jauh dibandingkan di kampus maju.

***

Bazdrul juga melihat ada banyak terbitan di kampus STAIN Pontianak. Ketika Badzrul berkunjung ke ruangan kerja saya di MC Jumat (11/9), saya sempat mengambil tidak kurang dari 20 buku dalam bidang Melayu yang diterbitkan STAIN Pontianak Press, saya perlihatkan kepada Bazdrul.
Sebagian besar dari buku itu adalah tulisan dosen-dosen STAIN Pontianak. Beberapa dosen, memiliki lebih dari 1 karya. Jumlah karya ini juga sering dijadikan kebanggaan Ketua STAIN Pontianak Haitami Salim dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) Yapandi Ramli. P3M menaungi STAIN Pontianak Press.
Bahkan, sejumlah dosen Untan, STKIP, dan ATMA-UKM juga menerbitkan karya mereka di STAIN Pontianak Press.
Badzrul sempat menyatakan keinginan dia agar ada bukunya yang diterbitkan di STAIN Press.
Seperti juga Pak Haitami dan Pak Yapandi, saya memang selalu membanggakan terbitan STAIN Pontianak Press jika ada tamu yang datang ke kampus. Saya selalu melakukan apa yang saya lakukan kepada Badzrul: mengambil buku dan memperlihatkannya.
Habis, saya pikir, saya mau banggakan apa lagi. Fasilitas kampus STAIN belum dapat saya banggakan kepada teman yang datang, karena saya tahu kampus-kampus mereka, ruangan kerja mereka, jauh lebih baik dari kampus STAIN Pontianak.
Kampus-kampus mereka lahan luas berpuluh-puluh hektare, kampus STAIN Pontianak, sempit. Kampus mereka berlantai 4-5 (bahkan lebih), sedangkan kampus STAIN Pontianak hanya baru berlantai 2. Kampus mereka punya lift, kampus STAIN tak punya.
Ruang belajar mereka ber-AC, adem, ruang belajar di STAIN, pakai kipas angin dan AC alam, campur debu. Kipas angin yang tergantung di dek, kadang tak berfungsi karena siang hari listrik kerap padam. Di tempat mereka, dosen mengajar dengan tampilan slide, infocus siap, internet ready, sedangkan di kampus STAIN Pontianak, ruang belajar yang tersedia infocus hanya satu dua saja. Infocus selalunya diangkut-angkut. Beberapa kali – walau sudah susah payah mengangkutnya, tak bisa pula dioperasikan. Alhasil, white board selalu jadi andalan media belajar.
Internet di kampus STAIN kononnya free dengan ada jaringannya, tetapi saya hanya sesekali dapat memanfaatkannya. Sekarang tidak bisa lagi.
Saya sering masuk ke ruang kerja teman-teman di kampus di Malaysia. Ruangannya full AC, kursinya putar. Satu dosen, satu ruangan. Kecuali tutor, mereka berkongsi ruangan. Ruangan sendiri memungkinkan dosen menyimpan buku di kampus. Ruangan ber-AC membuat orang betah di kampus. Kampus menjadi rumah juga bagi mereka.
Saya sendiri rasanya tidak kerasan di kampus. Kipas angin bawa sendiri dari rumah. Itupun di kampus masih harus dikongsi. Ruangan tetap panas. Kursi putar, baru mimpi. Kursi dan meja yang ada harus minta dan menunggu. Belum lagi rak untuk buku dan fasilitas lain.
Tetapi, soal begini tidak pernah dijadikan hambatan benar – jika tidak sedang dipikirkan. Karya tetap dihasilkan. Beberapa buku sudah pun terbit. Sekalipun beberapa di antaranya adalah bunga rampai, atau tulisan bersama teman-teman dan mahasiswa.
Dan buku-buku beginilah yang sebelumnya saya promosikan kepada Badzrul, dan lantas membuat Badzrul memiliki kesan positif terhadap kultur akademik di kampus sederhana ini.
Saya tidak tahu, andai fasilitas menyamai fasilitas di kampus modern, apakah kultur akademik yang dikagumi Badzrul tetap bisa dipertahankan? Semoga saja!


Baca Selengkapnya...

Belajar dari Peristiwa di Counter Bis SJS Kuching

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Pagi Kamis (17/9). Setelah dari belakang, saya menjangkau HP yang sedang dicas di ruang tengah. Saya lihat ada dua panggilan masuk. Dua-duanya dari Bang Jumadi, dosen Fisipol Untan Pontianak yang sedang menyelesaikan studi doktoralnya di Fakulti Sains Sosial Kemasyarakat Universiti Kebangsaan Malaysia (FSSK- UKM).
Saya segera berpikir, kalau Bang Jumadi memberi tahu saya, dia sudah tiba di Kuching dan akan bertolak ke Pontianak. Saya menduga dia akan memberitahu saya, bahwa semuanya lancar.
Saya mengirim SMS ke dia – pilihan sms lebih baik karena biasanya menelepon ke Malaysia susah masuk.
“Ya Bang? tadi ke belakang”.
Sesaat Bang Jum menghubungi saya.
“Yus, saya sudah di Kuching, tapi, orang bis bilang tidak ada tiket,”
Bah! Seketika, saya terkejut.


Ceritanya, tanggal 2 September, sekitar pukul 10 pagi waktu setempat, saya sudah membeli tiket bis SJS untuk tujuan Pontianak tanggal 17 September 2009 tiket pukul 11.00. Waktu itu yang melayani saya, seorang lelaki muda berkulit putih, dan seorang lelaki tua yang sudah beruban. Anak muda itu yang membuka tiket dan menerima uang. Saya rasa, orang tua itu masih dapat melihat dengan baik dan mengingatnya.
Setelah tiket diambil, saya bertanya pada mereka soal tiket. Apakah tiket saya bawa ke Pontianak sedangkan penumpangnya sekarang berada di Kuala Lumpur, atau bagaimana lebih baik.
Dia menyarankan tiket dititipkan di counter, dan nanti diambil sendiri oleh orang yang punya tiket. Saya akur. Saya mengembalikan tiket yang sudah saya pegang. Lalu anak muda itu menerimanya dan menyelitkan di klip daftar penumpang.
Saya menghubungi Bang Jumadi dan memberitahu prosedurnya nanti: Bang Jum datang ke terminal dan sebutkan nama untuk ambil tiket di counter. Tiketnya tinggal diambil, sudah dibayar.
“Nanti, tanya saja di counter,” kata anak muda itu menyakinkan.
Saya sempat bertanya nama anak muda itu, namun dia tidak menyebutkannya. Dia menekankannya, semua urusannya di counter. Weslah!
Saya percaya seratus persen. Tanpa keraguan. Saya meninggalkan counter SJS dan naik ke bis DAMRI yang akan berangkat ke Pontianak.

***

Siapa sangka, 12 hari kemudian, ceritanya lain. Ternyata tiket yang dikepilkan di daftar penumpang SJS, tidak ada.
Saya memberikan informasi pada Bang Jumadi tentang pembelian itu.
“Bang, tiket itu dibeli tanggal 2. Pada anak muda Cina itu dan seorang lelaki tua beruban”.
Identifikasi begini lebih mudah. Walaupun terdengar rasis. Habis, saya tidak tahu namanya. Saya sudah tanya, dia tidak menjawabnya. Mungkin salah saya tidak memaksanya menyebutkan namanya.
“Coba Yus omong pada mereka”.
“Ok”.
Saya kira Bang Jumadi menyerahkan HPnya kepada petugas di counter. Saya mendengar sedikit suara mereka, tetapi tidak jelas. Lalu saya nyerocos tentang pembelian tiket tanggal 2 itu.
Saya mengeluarkan luapan kemarahan. Saya lupa, saya sedang puasa. Saya emosi. Padahal, orang puasa tidak boleh marah. Saya lupa karena saya merasa sangat bodoh: bisa ditipu!
Tiba-tiba telepon terputus.
Beberapa saat kemudian, panggilan dari Bang Jumadi masuk lagi.
“Mereka hanya mau tiket”.
“Khan tiketnya sudah dititipkan pada mereka?”
Saya naik pan lagi. Mengapa mereka tidak punya cara lain melihat di daftar penjualan tiket. Toh, saya beli tiket di counter yang sama. Bukannya di tempat lain. Sepintas lalu, saya jadi memuji pelayanan tiket di penerbangan Air Asia. Sekarang, kalau mau naik check in cukup tunjukkan paspor. Tak payah sodorkan tiket. Nama setiap penumpang sudah ada dalam daftar penerbangan. Sangat memudahkan penumpang.
Rasanya, kalau dekat, ingin saya datangi counter SJS ini saat itu juga dan mungkin saya berteriak-teriak, saking geramnya.
Saya tak habis pikir. Mengapa mereka tidak punya cara melacak daftar penumpang. Apakah syarikat besar seperti SJS sedemikian parah sehingga daftar penumpang tidak ada? Bagaimana orang sudah bayar tiket tidak dimasukkan dalam daftar? Apakah mereka tidak punya mekanisme untuk pengeluaran tiket, karena jelas-jelas tanggal 2 itu, tiket tersebut sudah ditulis nama Jumadi.
Apakah mereka tidak punya daftar penjualan tiket tanggal 2 September? Begitu burukkah administrasi SJS. Rasanya tidak mungkin.
Lalu, apa yang terjadi sebenarnya?
Saya merasa tidak enak duduk, tidak nyaman pula berdiri. Bagaimana bisa begini???
Bang Jumadi menelepon lagi. Semua bis full.
“Saran Yus, bagaimana?”
“Naik bis ke Serian Bang, nanti sambung van ke Tebedu. Dari Entikong naik bis ke Pontianak”.
Saya membayangkan perjalanan yang bersambung-sambung. Pasti melelahkan Bang Jumadi. Jauh. Waktu lagi. Menyesal saya tidak bisa membantu Bang Jumadi, hanya untuk soal beli tiket. Memalukan!
Kemarahan saya sudah agak reda.
Tetapi masih kesal. Kesal karena saya melupakan pelajaran para jurnalis: jangan mudah percaya pada orang. Saya percaya pada orang di counter SJS di terminal Kuching itu, dan sekarang saya menyesalinya.
Saya mencoba duduk di kursi, mengunjurkan kaki, menarik nafas dan menghembuskannya. Membuang emosi. Meredakan ketegangan.
Lima menit kemudian, sms dari Bang Jumadi masuk.
“Akhirnya ada orang yang bantu saya naik bis SJS. Duduk di kursi cadangan. Kacau2. Tak apalah yg penting bisa pulang hari ini”.
Uhhh… syukurlah. Sekarang saya lebih lega.
“Yalah bang. Moga2 perjalanan lancar. Kesal benar mengapa kita bisa kena tipu”.
Ya kesal. Bukan soal uang yang hangus. Tapi, soal kepercayaan. Kepercayaan saya pada petugas counter dan pada system SJS, kepercayaan Bang Jumadi pada saya. Ini membuat saya merasa sangat bodoh. Benar-benar bodoh. Padahal, kalau saya tidak percaya dia, bisa saja saya kirim tiket yang sudah saya beli itu lewat facsimile, atau kirim tiket asli lewat pos.
Tak lama Bang Jum membalas lagi.
“Oke. Pengalaman buat kitalah. Kalau sdh mepet kayak gini duduk dilantai mobilpun no problem. Ha ha..”
Ya, pengalaman. Mungkin, pengalaman duduk di lantai baik juga bagi calon doktor yang di Kalbar sebenarnya sangat populer ini. Bang Jumadi biasa masuk TV dan koran. Bahkan dengar-dengar kabar angin dia termasuk orang yang digadang-gadang bertarung dalam suksesi pemilihan bupati di Ketapang.
Ini juga pengalaman yang buruk bagi saya setelah puluhan kali naik SJS di Kuching-Pontianak.
Emosi saya yang menggelegak di pagi hari itu masih berbekas sampai siang. Yakin, tekanan darah saya naik dan itu membuat hari ini tidak nyaman.
Saya baru merasa lega ketika sore menjelang Ashar, sms dari Bang Jumadi masuk.
”Yus, tadi saya di tlp orang penjual tiket tu. Die minta maaf krn ada kesalahan mrk. Nanti uangnya mau mrk kembalikan pas waktu saya plg ke KL nanti”.
“Oh, akhirnya…. Alhamdulillah”.
Saya bersyukur bahwa akhirnya saya benar: benar telah membeli tiket.
Tetapi, walau begitu, saya juga mendapatkan pelajaran lain. Saya telah gagal menahan emosi walau telah puasa. Saya masih harus lebih banyak lagi berpuasa dan menahan diri, agar bisa menjadi orang yang benar-benar sabar, sekalipun ada alasan untuk marah.



Baca Selengkapnya...

Sabtu, 12 September 2009

Berendam di Sungai Keruh

Oleh: Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Saya, adik ipar dan adik sepupu ngobrol sambil menunggu buku puasa bersama di rumah, kemarin. Obrolan kami melayang ke sana kemari. Mula-mula tentang kegiatan adik ipar yang ‘taim’ (istirahat) selama bulan puasa, tentang tempat tinggal adik sepupu setelah satu bulan lalu menikah, hingga kegiatan saya di Universiti Kebangsaan Malaysia.



Panjang-panjang cerita, kami terbawa cerita kampung halaman.
Adik ipar cerita, dia lebih senang puasa di kampung di Riam Panjang, Kapuas Hulu. Pagi hari kerja, siang istirahat di rumah, lalu menangkap ikan di sungai, hingga sore.
“Waktu puasa jadi tidak terasa. Tau-tau dah mau dekat buka puasa”.
“Berendam di sungai enak, segar. Tidak terasa hausnya ”.
Cerita ini membuat saya bernostalgia. Sudah lebih 20 tahun saya meninggalkan kampung. Kampung saya sekarang, Pontianak.
Saya tidak mungkin mengulang cerita lama: setiap pagi, setelah sahur, menyadap karet. Berangkat ramai-ramai ke kebun bersama tetangga. Memancing ikan bila siang. Atau main luncuran dengan pelepah kelapa. Kadang kala tidur di bawah pokok kayu rindang bila sangat lelah. Atau berendam di sungai bila sangat haus.
Tidak mungkin, karena saya sudah di Pontianak. Tidak mungkin karena saya sudah agak tua. Mungkin, saya tidak tahan lagi serangan nyamuk-nyamuk, atau kelulut, atau apit-apit yang mengejar keringat. Mungkin saya tidak mau lagi menghabiskan waktu dengan cara itu.
Tidak mungkin juga, karena sekarang, sungai di kampung sudah berubah. Tidak ada lagi banyak lubuk tempat ikan bersarang. Tidak lagi banyak ikan karena orang sering menangkap ikan dengan racun (tuba) jenis potas yang membuat ikan besar kecil mati. Ikan tidak sempat berkembang biak.
Tidak ada banyak lagi ikan, karena air sungai sekarang sudah tidak jernih. Kalau dahulu, kami biasa minum air sungai secara langsung tanpa dimasak– jika haus (dan tentu tidak kalau bulan puasa), sekarang tidak lagi. Air sungainya sudah berwarna putih lumpur, walaupun tidak sedahsyat perubahan seperti Sungai Landak yang kita lihat di Ngabang.
Ikan tidak berkembang di sungai yang airnya seperti itu.
Aktivitas penambangan emas yang menjadi-jadi, sudah merusak ekosistem sungai. Dan, juga merubah kehidupan masyarakat sekitar sungai. Karena itu, kehidupan indah penuh kenangan seperti itu menjadi sulit dijumpai lagi sekarang.
Isu lingkungan seperti ini lebih banyak hanya menggelinding di kalangan aktivis dan pencinta lingkungan. Tetapi, cenderung habis begitu saja.
Sebaliknya, di kalangan pemerintah, isu ini hanya diperhatikan sesekali saja: kalau ada tekanan agar dilakukan penertiban, dilakukanlah penertiban.
Begitu juga di kalangan masyarakat kebanyakan, isu lingkungan ini tidak dianggap penting. Bagi mereka, lebih penting soal bagaimana mencari uang untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka. Mencari uang dengan menggali logam mulia dari perut bumi sebanyak yang dapat diperoleh, bagaimanapun caranya, jauh lebih penting. Karena itu, mau sungai keruh, mau air sungai tak dapat diminum, mau kehidupan sungai punah, tidak diperdulikan sama sekali. Masa bodoh!
Kalau ada penertiban, andai bisa dilawan, mereka lawan. Jika mereka bisa bersembunyi, mereka bersembunyi. Tentu sebenarnya mereka tidak benar-benar tersembunyi. Sebab, bekas ‘perbuatan’ mereka masih bisa dilihat. Tempat galian masih bisa dilacak. Mesin-mesin dompeng bisa ditemukan. Pasti, jika aparat mau, siapa yang menggali tanah untuk emas pun dapat dicari dan ditangkap.
Pelaku bersembunyi “cak-cak-an”, dan aparat yang melakukan penertiban pun juga “cak-cak-an”, pura-pura tidak melihat siapa yang melakukan perusakan lingkungan.
Itulah keadaan kita. Keadaan yang membuat saya dan saudara-saudara saya hanya bisa bernostalgia tentang sungai yang jernih, yang airnya bisa langsung diminum, sungai yang banyak ikan dan sungai yang menjadi tempat bermain.



Baca Selengkapnya...

Kemelut Hubungan Indonesia - Malaysia; BAZRUL: PERLU PEMAHAMAN BUDAYA


Oleh Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Kemelut hubungan Indonesia dan Malaysia sekarang tidak perlu terjadi. Dua Negara serumpun ini dapat menjembatani kemelut antar mereka dengan pendekatan pemahaman budaya.

Demikian pendapat yang disampaikan Dr. Bazrul Bahaman, Timbalan Pengarah Institut Kerjasama Indonesia Malaysia (IKIM), Universiti Industri Selangor Malaysia, dalam percakapan dengan saya di Pontianak kemarin.


Katanya, kemelut budaya seperti yang terjadi antara Indonesia-Malaysia sebaiknya dilihat dari konteks budaya.
“Indonesia dan Malaysia memiliki akar yang sama. Asal usulnya sejarahnya sama. Karena itu wajar jika mereka pun memiliki budaya yang sama,” katanya.
Menurutnya, ikatan budaya yang wujud di antara masyarakat di dua negera ini wujud lebih awal dibandingkan wujudnya batas administrasi politik kedua Negara ini. Ditambahkannya, batas administrasi politik itu diciptakan penjajah sejak abad ke 19 hingga sekarang. Sedangkan ikatan budaya sudah ada jauh sebelum batas itu diciptakan. Kebersamaan ikatan ini yang akan terus menyebabkan terjadinya kepemilikan budaya yang sama – dan pada akhirnya diperebutkan dan lantas menjadi isu yang dapat merenggangkan hubungan antara kedua jiran ini.
Untuk menyelesaikan masalah yang terus mencuat ini, Bazrul menyarankan agar kedua Negara ini membentuk kerjasama budaya khususnya kerjasama dalam konteks pematenan ciri budaya.
“Kerja sama budaya ini kira-kira bentuknya merujuk kepada kerjasama dalam bidang bahasa, yaitu melalui MABBIM (Majelis Bahasa Brunai, Indonesia dan Malaysia). Kalau kerja sama bahasa ada, kerja sama budaya juga boleh dibuat,” ujarnya.

Kerja Sama IKIM

Bazrul datang ke Pontianak dalam rangka menjajaki kemungkinan kerjasama antara IKIM Unisel dengan perguruan tinggi yang ada di Pontianak.
Kata Bazrul, IKIM memiliki program membawa mahasiswa belajar melalui kunjungan di universitas lain.
“Selama ini Unisel melakukan kerjasama dengan Universitas Riau. Mahasiswa kami melakukan kunjungan belajar di sini selama beberapa hari, belajar bagaimana cara pelajar universitas di perguruan tinggi yang dikunjungi, belajar,“ katanya.
“Kalau bisa kami ingin juga membawa mahasiswa ke Pontianak,“ tambahnya.
Selain itu, lulusan Universiti Malaya yang menulis disertasi tentang Budaya Politik Melayu ini akan berbicara dalam Seminar Melayu Nusantara 1 yang diselenggarakan Malay Corner Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak pagi ini.
Bazrul akan menyampaikan materi tentang Budaya Politik Melayu, tampil bersama Ketua Majelis Adat dan Budaya Melayu (MABM) Kalbar yang juga Rektor Untan Pontianak Prof. Dr. Chairil Effendi, dan Pembina MC STAIN yang juga Ketua STAIN Pontianak Drs. Haitami Salim, M.Ag.


Baca Selengkapnya...