Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune
Pagi Kamis (17/9). Setelah dari belakang, saya menjangkau HP yang sedang dicas di ruang tengah. Saya lihat ada dua panggilan masuk. Dua-duanya dari Bang Jumadi, dosen Fisipol Untan Pontianak yang sedang menyelesaikan studi doktoralnya di Fakulti Sains Sosial Kemasyarakat Universiti Kebangsaan Malaysia (FSSK- UKM).
Saya segera berpikir, kalau Bang Jumadi memberi tahu saya, dia sudah tiba di Kuching dan akan bertolak ke Pontianak. Saya menduga dia akan memberitahu saya, bahwa semuanya lancar.
Saya mengirim SMS ke dia – pilihan sms lebih baik karena biasanya menelepon ke Malaysia susah masuk.
“Ya Bang? tadi ke belakang”.
Sesaat Bang Jum menghubungi saya.
“Yus, saya sudah di Kuching, tapi, orang bis bilang tidak ada tiket,”
Bah! Seketika, saya terkejut.
Ceritanya, tanggal 2 September, sekitar pukul 10 pagi waktu setempat, saya sudah membeli tiket bis SJS untuk tujuan Pontianak tanggal 17 September 2009 tiket pukul 11.00. Waktu itu yang melayani saya, seorang lelaki muda berkulit putih, dan seorang lelaki tua yang sudah beruban. Anak muda itu yang membuka tiket dan menerima uang. Saya rasa, orang tua itu masih dapat melihat dengan baik dan mengingatnya.
Setelah tiket diambil, saya bertanya pada mereka soal tiket. Apakah tiket saya bawa ke Pontianak sedangkan penumpangnya sekarang berada di Kuala Lumpur, atau bagaimana lebih baik.
Dia menyarankan tiket dititipkan di counter, dan nanti diambil sendiri oleh orang yang punya tiket. Saya akur. Saya mengembalikan tiket yang sudah saya pegang. Lalu anak muda itu menerimanya dan menyelitkan di klip daftar penumpang.
Saya menghubungi Bang Jumadi dan memberitahu prosedurnya nanti: Bang Jum datang ke terminal dan sebutkan nama untuk ambil tiket di counter. Tiketnya tinggal diambil, sudah dibayar.
“Nanti, tanya saja di counter,” kata anak muda itu menyakinkan.
Saya sempat bertanya nama anak muda itu, namun dia tidak menyebutkannya. Dia menekankannya, semua urusannya di counter. Weslah!
Saya percaya seratus persen. Tanpa keraguan. Saya meninggalkan counter SJS dan naik ke bis DAMRI yang akan berangkat ke Pontianak.
***
Siapa sangka, 12 hari kemudian, ceritanya lain. Ternyata tiket yang dikepilkan di daftar penumpang SJS, tidak ada.
Saya memberikan informasi pada Bang Jumadi tentang pembelian itu.
“Bang, tiket itu dibeli tanggal 2. Pada anak muda Cina itu dan seorang lelaki tua beruban”.
Identifikasi begini lebih mudah. Walaupun terdengar rasis. Habis, saya tidak tahu namanya. Saya sudah tanya, dia tidak menjawabnya. Mungkin salah saya tidak memaksanya menyebutkan namanya.
“Coba Yus omong pada mereka”.
“Ok”.
Saya kira Bang Jumadi menyerahkan HPnya kepada petugas di counter. Saya mendengar sedikit suara mereka, tetapi tidak jelas. Lalu saya nyerocos tentang pembelian tiket tanggal 2 itu.
Saya mengeluarkan luapan kemarahan. Saya lupa, saya sedang puasa. Saya emosi. Padahal, orang puasa tidak boleh marah. Saya lupa karena saya merasa sangat bodoh: bisa ditipu!
Tiba-tiba telepon terputus.
Beberapa saat kemudian, panggilan dari Bang Jumadi masuk lagi.
“Mereka hanya mau tiket”.
“Khan tiketnya sudah dititipkan pada mereka?”
Saya naik pan lagi. Mengapa mereka tidak punya cara lain melihat di daftar penjualan tiket. Toh, saya beli tiket di counter yang sama. Bukannya di tempat lain. Sepintas lalu, saya jadi memuji pelayanan tiket di penerbangan Air Asia. Sekarang, kalau mau naik check in cukup tunjukkan paspor. Tak payah sodorkan tiket. Nama setiap penumpang sudah ada dalam daftar penerbangan. Sangat memudahkan penumpang.
Rasanya, kalau dekat, ingin saya datangi counter SJS ini saat itu juga dan mungkin saya berteriak-teriak, saking geramnya.
Saya tak habis pikir. Mengapa mereka tidak punya cara melacak daftar penumpang. Apakah syarikat besar seperti SJS sedemikian parah sehingga daftar penumpang tidak ada? Bagaimana orang sudah bayar tiket tidak dimasukkan dalam daftar? Apakah mereka tidak punya mekanisme untuk pengeluaran tiket, karena jelas-jelas tanggal 2 itu, tiket tersebut sudah ditulis nama Jumadi.
Apakah mereka tidak punya daftar penjualan tiket tanggal 2 September? Begitu burukkah administrasi SJS. Rasanya tidak mungkin.
Lalu, apa yang terjadi sebenarnya?
Saya merasa tidak enak duduk, tidak nyaman pula berdiri. Bagaimana bisa begini???
Bang Jumadi menelepon lagi. Semua bis full.
“Saran Yus, bagaimana?”
“Naik bis ke Serian Bang, nanti sambung van ke Tebedu. Dari Entikong naik bis ke Pontianak”.
Saya membayangkan perjalanan yang bersambung-sambung. Pasti melelahkan Bang Jumadi. Jauh. Waktu lagi. Menyesal saya tidak bisa membantu Bang Jumadi, hanya untuk soal beli tiket. Memalukan!
Kemarahan saya sudah agak reda.
Tetapi masih kesal. Kesal karena saya melupakan pelajaran para jurnalis: jangan mudah percaya pada orang. Saya percaya pada orang di counter SJS di terminal Kuching itu, dan sekarang saya menyesalinya.
Saya mencoba duduk di kursi, mengunjurkan kaki, menarik nafas dan menghembuskannya. Membuang emosi. Meredakan ketegangan.
Lima menit kemudian, sms dari Bang Jumadi masuk.
“Akhirnya ada orang yang bantu saya naik bis SJS. Duduk di kursi cadangan. Kacau2. Tak apalah yg penting bisa pulang hari ini”.
Uhhh… syukurlah. Sekarang saya lebih lega.
“Yalah bang. Moga2 perjalanan lancar. Kesal benar mengapa kita bisa kena tipu”.
Ya kesal. Bukan soal uang yang hangus. Tapi, soal kepercayaan. Kepercayaan saya pada petugas counter dan pada system SJS, kepercayaan Bang Jumadi pada saya. Ini membuat saya merasa sangat bodoh. Benar-benar bodoh. Padahal, kalau saya tidak percaya dia, bisa saja saya kirim tiket yang sudah saya beli itu lewat facsimile, atau kirim tiket asli lewat pos.
Tak lama Bang Jum membalas lagi.
“Oke. Pengalaman buat kitalah. Kalau sdh mepet kayak gini duduk dilantai mobilpun no problem. Ha ha..”
Ya, pengalaman. Mungkin, pengalaman duduk di lantai baik juga bagi calon doktor yang di Kalbar sebenarnya sangat populer ini. Bang Jumadi biasa masuk TV dan koran. Bahkan dengar-dengar kabar angin dia termasuk orang yang digadang-gadang bertarung dalam suksesi pemilihan bupati di Ketapang.
Ini juga pengalaman yang buruk bagi saya setelah puluhan kali naik SJS di Kuching-Pontianak.
Emosi saya yang menggelegak di pagi hari itu masih berbekas sampai siang. Yakin, tekanan darah saya naik dan itu membuat hari ini tidak nyaman.
Saya baru merasa lega ketika sore menjelang Ashar, sms dari Bang Jumadi masuk.
”Yus, tadi saya di tlp orang penjual tiket tu. Die minta maaf krn ada kesalahan mrk. Nanti uangnya mau mrk kembalikan pas waktu saya plg ke KL nanti”.
“Oh, akhirnya…. Alhamdulillah”.
Saya bersyukur bahwa akhirnya saya benar: benar telah membeli tiket.
Tetapi, walau begitu, saya juga mendapatkan pelajaran lain. Saya telah gagal menahan emosi walau telah puasa. Saya masih harus lebih banyak lagi berpuasa dan menahan diri, agar bisa menjadi orang yang benar-benar sabar, sekalipun ada alasan untuk marah.
Kamis, 17 September 2009
Belajar dari Peristiwa di Counter Bis SJS Kuching
Diposting oleh Yusriadi di 08.26
Label: Malaysia, Perjalanan, Suara Enggang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
maaf pak yusri, saya kepingin mahu ke pontianak.. dari cerita pak yusri, cuma ada bis dari kuching.. bagaimana dgn flight airasia dari kuching atau kuala lumpur terus ke pontianak? salam aidilfitri..
Bang kamek ade beli tiket kuching nak ke ponti. Tp tak tau di mane pangkalan busnye di kuching. Beli tiket dr ponti. Tx. Arie.
Posting Komentar