Oleh Yusriadi
“Saya lihat orang di sini iklim akademiknya tinggi“.
Itu dikatakan Dr. Badzrul Bahaman, Wakil Direktur Institut Kajian Indonesia-Malaysia (IKM) Universiti Industri Selangor, Malaysia, saat berjalan bersama saya sore itu. Saya dan Badzrul berjalan dari kantor MC di Lt 2 Perpustakaan STAIN Pontianak menuju Masjid.
Ada nada kagum dari komentar itu.
“Begitukah Bang?“
Saya memanggilnya “Bang“ saja karena saya mengenalnya sejak tahun 1996, saat mula kuliah di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Waktu itu, Badzrul sedang menggarap penelitian tentang sastra komunitas Sakai di Riau, sedangkan saya meneliti tentang bahasa komunitas di pedalaman Kalimantan Barat.
Kami sempat menggarap bulletin di ATMA, yang kami beri nama “Sukma Nusa“, singkatan dari suara kajian Melayu Nusantara.
Seharusnya, saya memanggilnya “doktor“, jika ikut adat tradisi di Malaysia. Di Malaysia, secara formal seseorang yang bergelar doktor hampir selalu dipanggil doktor. Tetapi, agak susah menghilangkan panggilan lama itu.
Badzrul lantas menyebutkan beberapa gambaran yang membuat dia menilai iklim akademik di STAIN Pontianak, baik.
”Seminar tadi, penuh ruangan. Ada yang tak dapat tempat duduk,”
Ya, ruangan seminar kami di Ruang Rapat STAIN Pontianak, Lt 2 Bangunan Akademik, tidak mampu menampung peserta yang datang menghadiri seminar Melayu MC itu (Sabtu 12/9). Kapasitas ruangan hanya mampu menampung 30 peserta. Jumlah mereka yang mau ikut seminar lebih banyak.
Sebelum Bazdrul berkomentar, saya juga sudah mendengar informasi dari Ibrahim, Direktur MC, bahwa saat seminar itu, ada puluhan orang yang berdiri di pintu masuk dan di luar, kemudian pulang karena tidak mendapat tempat duduk.
Padahal, panitia seminar hanya menyebarkan sedikit undangan. Pemberitahuan seminar disampaikan lewat koran Borneo Tribune, dan tempelan pengumuman di papan-papan pengumuman di dalam wilayah kampus.
Kami, sebagai penyelenggara seminar, sebenarnya lebih suka sedikit peserta. Sebab, target seminar selalunya bukan jumlah peserta, tetapi materi. Kami, sebatas ingin menyediakan forum bagi teman-teman agar berkesempatan menyampaikan temuannya orang lain, untuk mendapat tanggapan dan komentar, bukannya menyediakan ruang agar orang lain mendapat informasi.
Saya selalu berpikir, dengan begitu kami tidak perlu risau memikirkan berapa banyak orang yang datang. Tidak perlu repot mengurus agar orang lain mau datang dan mau mendengarkan apa yang disampaikan narasumber. Dengan demikian, kami selalu merasa, membuat seminar itu pekerjaan yang mudah dan dapat menggelar seminar sebanyak mungkin.
Tetapi, menggelar seminar dengan targetnya peserta, sebenarnya bukan pekerjaan sulit di STAIN Pontianak. Tinggal beritahu beberapa orang teman, dan kemudian kerahkan mahasiswa. Ruangan besar sekalipun akan terisi.
Saya tidak memberi tahu Bazdrul soal begini. Lagian, saya tahu menggelar seminar di Malaysia – jika targetnya peserta, memang susah. Di dunia modern seperti Malaysia, minat akan menentukan apakah orang mau atau tidak datang dalam sebuah seminar. Panitia harus pandai memilih tema yang menarik minat.
***
Sebab lain membuat Badzrul mengatakan minat akademik di STAIN Tinggi adalah ketika sore itu dia melihat masih banyak mahasiswa yang berkumpul di kampus. Di bawah pohon rindang (DPR) begitu dibahasakan untuk tempat duduk semen di bawah pohon di dekat aula kampus, ada empat lima mahasiswa sedang duduk. Di depan gedung Dakwah juga. Di masjid, sore itu beberapa mahasiswa juga sedang duduk menunggu saat berbuka.
Kehadiran mereka membuat kampus hari itu seolah-oleh hidup dari pagi hingga sore.
Saya kira sebenarnya, kenyataan begini bukan hanya bisa dilihat di kampus STAIN. Di kampus di Malaysia, suasananya malah lebih ’dahsyat’. Mahasiswa bertahan di kampus sampai malam. Saya contohkan perpustakaan Tun Sri Lanang, perpustakaan utama Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Perpustakaan ini tidak pernah sepi. Selalu ramai pengunjungnya – sekalipun tidak ribut.
Perpustakaan di STAIN hanya buka hingga sore. Malam sudah tutup. Tutup karena tidak ada yang mengunjungi. Kayaknya belum ada yang betah. Tetapi, meskipun demikian, apa yang dilihat sore itu menunjukkan ’keramaian’ di kampus STAIN tidak kalah jauh dibandingkan di kampus maju.
***
Bazdrul juga melihat ada banyak terbitan di kampus STAIN Pontianak. Ketika Badzrul berkunjung ke ruangan kerja saya di MC Jumat (11/9), saya sempat mengambil tidak kurang dari 20 buku dalam bidang Melayu yang diterbitkan STAIN Pontianak Press, saya perlihatkan kepada Bazdrul.
Sebagian besar dari buku itu adalah tulisan dosen-dosen STAIN Pontianak. Beberapa dosen, memiliki lebih dari 1 karya. Jumlah karya ini juga sering dijadikan kebanggaan Ketua STAIN Pontianak Haitami Salim dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) Yapandi Ramli. P3M menaungi STAIN Pontianak Press.
Bahkan, sejumlah dosen Untan, STKIP, dan ATMA-UKM juga menerbitkan karya mereka di STAIN Pontianak Press.
Badzrul sempat menyatakan keinginan dia agar ada bukunya yang diterbitkan di STAIN Press.
Seperti juga Pak Haitami dan Pak Yapandi, saya memang selalu membanggakan terbitan STAIN Pontianak Press jika ada tamu yang datang ke kampus. Saya selalu melakukan apa yang saya lakukan kepada Badzrul: mengambil buku dan memperlihatkannya.
Habis, saya pikir, saya mau banggakan apa lagi. Fasilitas kampus STAIN belum dapat saya banggakan kepada teman yang datang, karena saya tahu kampus-kampus mereka, ruangan kerja mereka, jauh lebih baik dari kampus STAIN Pontianak.
Kampus-kampus mereka lahan luas berpuluh-puluh hektare, kampus STAIN Pontianak, sempit. Kampus mereka berlantai 4-5 (bahkan lebih), sedangkan kampus STAIN Pontianak hanya baru berlantai 2. Kampus mereka punya lift, kampus STAIN tak punya.
Ruang belajar mereka ber-AC, adem, ruang belajar di STAIN, pakai kipas angin dan AC alam, campur debu. Kipas angin yang tergantung di dek, kadang tak berfungsi karena siang hari listrik kerap padam. Di tempat mereka, dosen mengajar dengan tampilan slide, infocus siap, internet ready, sedangkan di kampus STAIN Pontianak, ruang belajar yang tersedia infocus hanya satu dua saja. Infocus selalunya diangkut-angkut. Beberapa kali – walau sudah susah payah mengangkutnya, tak bisa pula dioperasikan. Alhasil, white board selalu jadi andalan media belajar.
Internet di kampus STAIN kononnya free dengan ada jaringannya, tetapi saya hanya sesekali dapat memanfaatkannya. Sekarang tidak bisa lagi.
Saya sering masuk ke ruang kerja teman-teman di kampus di Malaysia. Ruangannya full AC, kursinya putar. Satu dosen, satu ruangan. Kecuali tutor, mereka berkongsi ruangan. Ruangan sendiri memungkinkan dosen menyimpan buku di kampus. Ruangan ber-AC membuat orang betah di kampus. Kampus menjadi rumah juga bagi mereka.
Saya sendiri rasanya tidak kerasan di kampus. Kipas angin bawa sendiri dari rumah. Itupun di kampus masih harus dikongsi. Ruangan tetap panas. Kursi putar, baru mimpi. Kursi dan meja yang ada harus minta dan menunggu. Belum lagi rak untuk buku dan fasilitas lain.
Tetapi, soal begini tidak pernah dijadikan hambatan benar – jika tidak sedang dipikirkan. Karya tetap dihasilkan. Beberapa buku sudah pun terbit. Sekalipun beberapa di antaranya adalah bunga rampai, atau tulisan bersama teman-teman dan mahasiswa.
Dan buku-buku beginilah yang sebelumnya saya promosikan kepada Badzrul, dan lantas membuat Badzrul memiliki kesan positif terhadap kultur akademik di kampus sederhana ini.
Saya tidak tahu, andai fasilitas menyamai fasilitas di kampus modern, apakah kultur akademik yang dikagumi Badzrul tetap bisa dipertahankan? Semoga saja!
Kamis, 17 September 2009
Dr Badzrul: Kultur Akademik STAIN Pontianak
Diposting oleh Yusriadi di 08.28
Label: Pendidikan, STAIN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar