Minggu, 31 Mei 2009

Main Kelayang

Oleh: Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Beberapa hari lalu, seorang teman memberitahu saya. Wajahnya calar terkena tali kelayang.
“Ini… Ini kena kelayang, Bang”.
Saya melihat pada wajahnya. Ada garis bekas luka gores. Agak hitam.




Dia menceritakan, waktu kejadian itu darah sempat mengucur. Baju yang dipakainya jadi merah oleh darah itu.

“Hampir pingsan saya. Untung ada orang yang menolong. Mereka memberikan saya minum dan memberikan betadine pada luka,” katanya.

Banyak orang yang bersimpati padanya. Saat menolong itu, mereka pun bercerita tentang pengalaman masing-masing ketika terkena tali kelayang.

Ada yang terkena kening. Ada yang terkena leher. Ada yang parah, ada yang hanya mendapat goresan kecil. Macam-macam. Banyak orang yang sudah kena tali gelasan itu.

Lalu dia juga menceritakan ada yang pernah datang ke kantor walikota meluahkan kemarahan mereka, ada yang diam sendiri menyimpan marah di dalam hati.

Saya dapat membayangkan kemarahan dan kekesalan mereka. Saya, seolah-oleh melihat reaksi mereka ketika itu.

Saya sering membaca berita orang terkena tali kelayang. Berita orang yang mendapat banyak jahitan.

Saya juga pernah melihat langsung orang yang terjatuh dari motor terkena tali kelayang.

Bahkan saya sendiri pernah mengalaminya. Dua kali. Pertama, waktu itu saya melintas di Jalan Gajahmada Pontianak. Tali kelayang putus menghadang di depan motor saya. Untung motor saya tidak laju. Jadi hanya tangan saya saja yang kena. Untung lagi hanya goresan kecil.

Pada kali kedua, saya melintas di Jalan Komyos Sudarso POntianak. Ketika itu ada tali yang tiba-tiba terbentang di hadapan saya. Tali itu tertahan di tiang besi kaca spion saya. Alhamdulillah, selamat.

Tentu saja pengalaman ini cukup untuk menggambarkan betapa cemasnya kita kalau sudah berhadapan dengan tali kelayang.

Mengerikan. Bayangkan jika jatuh, dll.

Saya juga membayangkan hal yang mengerikan ketika melihat anak-anak mengejar kelayang putus. Sering kali mereka tidak memikirkan keselamatan diri sendiri. Mata mereka ke atas, kaki melangkah. Mereka tak peduli.

Tetapi lebih dari sekadar prihatin pada nasib mereka, saya kira masalah terbesar adalah bagaimana pemerintah kota Pontianak memperhatikan keselamatan warganya.

Saya kira seharusnya pemerintah peduli. Seharusnya pemerintah memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Jadi, tidak perlu pemerintah mengambil tindakan setelah ada warga yang berdarah-darah. Tidak selayaknya pemerintah baru mengambil tindakan setelah ada desakan dari warga. Takkan pula, korban-korban sebelum ini tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk peduli.

Tetapi, lagi-lagi saya teringat. Pemerintah kita lemah. Pemerintah kita tidak berdaya. Pejabat pengambil kebijakan tidak cukup peduli. Sekalipun, sudah ada peraturan daerah soal pembatasan permainan kelayang, aturan itu tidak ditegakkan. Biasalah, penerapan hukum memang kerap juga pilih-pilih.

Karena itu tidak heran seorang teman saya pernah menduga, “Buat apa pejabat peduli, toh tidak berkaitan dengan kepentingan mereka. Toh, mereka tak mungkin kena tali kelayang. Mereka pakai mobil kok”.

Benarkah begitu tegalnya? Ah, macam cara main kelayang pulak.

Baca Selengkapnya...

Sabtu, 16 Mei 2009

Dari Lomba Menulis Cerpen Tingkat SMP: MEREKA YANG MELAMPAUI DUNIANYA

Oleh: Yusriadi

“Oo…. Tingkat SMP?”
Mulut saya membentuk huruf ‘o’. Lebar. Terbuka agak lama. Mungkin, jika ada serangga lewat, serangga akan langsung masuk ke bundaran ‘o’ itu.
Saya terkejut. Takjub. Spontan.
Saya perlihatkan keterkejutan itu pada Dedy Ari Asfar,MA teman saya yang sama-sama jadi juri pada lomba cipta cerpen berbahasa Indonesia tingkat Siswa SMP tahun 2009.
Kala itu, Senin (4/5), saya bersama Dedy –dan Pay Jarot, Yoseph Oedila Oendon, dan Nindwihapsari, menjadi Dewan Juri Lomba tersebut di Kantor Balai Bahasa Pontianak.


Saya baru menyadari bahwa peserta lomba adalah anak-anak SMP setelah menyimak benar-benar lembaran penilaian – setelah Dedy mengingatkan saya.
Semula saya mengira, peserta lomba adalah anak-anak SMA. Saya hanya melihat sepintas lalu – tidak mengamati, wajah anak-anak yang duduk di kursi menghadap meja yang disusun melingkar, di ruang rapat Kantor Balai Bahasa Pontianak. Badan mereka menurut saya, sudah besar.
Sewaktu menerima permohonan menjadi juri lomba –yang disampaikan Kordinator Juri Nindwihapsari, saya juga tidak menyimak siapa peserta lomba penulisan itu. Yang saya ingat, peserta lomba adalah pelajar.
Saya merasa terkesan pada mereka. Mereka, anak-anak kecil itu telah menunjukkan kemampuan yang mengagumkan dalam soal menulis. Setidaknya, dibandingkan anak seusia mereka. Bahkan dibandingkan banyak anak di tingkat perguruan tinggi, kemampuan anak SMP itu sudah layak dibandingkan.

***

Oleh karena itu, saya anggap menjadi sangat wajar jika Panitia Lomba memberikan nilai kreativitas lebih tinggi dibandingkan aspek lain yang dinilai. Jika aspek lain – seperti tema, latar belakang, tokoh, dll, bobotnya 1, kreatvitas mendapat nilai 3. Penghargaan untuk kreativitas lebih tinggi karena justru kelebihan seorang penulis cerita sering kali muncul pada aspek ini. Karya-karya terbaik biasanya tercipta dari kreativitas penulisnya. Tidak heran jika para ilmuan mengelompokkan penulisan cerpen sebagai bentuk penulisan kreatif.
Dan, bukan saya saja yang takjub pada proses kreativitas anak-anak itu. Juri lain juga begitu.
“Sewaktu seumur itu, saya belum bisa menulis,” kata Dedy, saat menyampaikan revieuw hasil penilaian, sebelum pengumuman pemenang babak penyisihan.
Pay Jarot, seniman pelopor di Kalbar, pada saat yang sama, juga tak dapat menyimpan ketakjubannya.
“Wow, hebat”.
Kata Pay, “Kalau ada tempat, seharusnya delapan-delapannya masuk final”.
Sayang, tempatnya hanya ada 5. Tiga peserta harus tereliminasi. 3 anak wakil daerahnya, harus pulang dengan ‘kecewa’.
Begitu juga Yoseph Oendoen. Seniman dari Taman Budaya ini juga memuji kemampuan anak-anak tersebut.
Saya mengulang pujian mereka ketika ketika diberi kesempatan bicara. Tepuk tangan lebih layak diberikan untuk mereka sebagai bentuk salut.
Saya ingin terus menyemangati mereka. Saya ingin semangat itu terus tumbuh, dan karya terbaik terus lahir dari anak-anak itu.

***

Apresiasi yang lebih besar kepada kegiatan menulis anak-anak seharusnya ditumbuhkembangkan. Terus menerus diberikan.
Anak-anak harus didorong untuk menjadi seorang penulis. Sehingga motivasi menulis menjadi lebih tinggi. Tinggi dan terus tinggi. Membumbung.
Itulah yang saya pesankan kepada guru pendamping.
Saya juga mengharapkan para guru menumbuhkan kelompok menulis di sekolah. Biar yang dapat menulis bukan cuma satu anak. Lagi, sukar membayangkan seseorang bisa maju sendiri tanpa dukungan komunitas.
Sebab menurut pengalaman saya, motivasi dari komunitas jauh lebih besar dorongannya dalam membantu perkembangan seseorang. Justru, komunitas ini yang akan saling mendorong ketika motivasi menulis mulai lambat. Komunitas ini menghidupkan kembali ketika mood menulis mulai lembab.
Saya memiliki banyak teman yang memiliki kemampuan menulis bagus, tetapi tidak banyak karya mereka, karena motivasi menulis mereka rendah. Skripsi, makalah, menjadi satu-satunya karya mereka. Karya-karya itu lahir karena mereka terpaksa harus melahirkan karya itu.
Bukannya mereka tidak bisa menulis. Bukannya mereka tidak punya ide yang dapat dituangkan ke dalam tulisan. Bukan juga mereka tidak menyadari bahwa menulis itu sangat penting.
Bukan. Mereka punya semua itu.
Namun mereka tidak menulis karena keinginan menulis tidak kuat. Keinginan menulis lemah. Keinginan menulis kalah kuat dibandingkan kemauan lain: misalnya kesenangan untuk omong-omong saja, dll.

***

Memang benar dalam Islam ada konsep: belajar di waktu kecil bagai melukis di atas batu, belajar setelah dewasa bagai menulis di atas air.
Belajar di waktu kecil akan kekal. Belajar setelah dewasa, cenderung mudah hilang.
Saya banyak bertemu dengan teman penulis, dan saya bertanya pada mereka, bagaimana mulanya tumbuh kecintaan pada dunia tulis. Saya menemukan sebagian besar dari mereka tumbuh kecintaan terhadap menulis sejak kecil. Ada orang-orang penting di sekitar mereka yang mendorong mereka menjadi penulis. Ada orang di sekitar mereka, yang mereka kagumi karena menulis. Entah guru, entah orang tua, entah saudara. Ada orang di sekitar mereka yang memberikan mereka buku –umumnya buku cerita dan majalah, yang mula memperkenalkan mereka pada hobby tersebut.
Saya merasa, anak-anak SMP yang ikut lomba kali ini sangat beruntung karena mereka sudah masuk ke dalam wilayah budaya menulis. Mereka beruntung sudah difasilitasi oleh guru dan ada lembaga seperti Balai Bahasa – Dinas Pendidikan yang menyadari pentingnya menumbuhkan budaya menulis sedari kecil.
Dengan fasilitasi ini, anak-anak harus menjaga agar dirinya tetap ‘on the track’, --dalam lintasan budaya tulis. Mereka harus belajar menjadi orang dewasa yang dapat mandiri –dan tidak banyak bergantung pada orang lain, agar tetap menjadi penulis.
Selain itu tentu, orang tua harus membantu membimbing anak mereka agar anak-anak itu bisa berjalan di atas lintasan yang benar. Paling tidak mereka memberikan dukungan moral dan material untuk itu.
Guru di sekolah juga harus mengambil inisiatif membuat anak-anak berkembang. Bukan saja dalam beberapa tahun ini – sampai mereka tamat SMP, tetapi hingga setelah itu, sepanjang yang dapat.
Guru sekolah menengah atas (SMA) yang kelak jadi pilihan anak-anak itu harus membantu estafet tongkat bimbingan itu.
Anak-anak itu harus dibimbing. Karena jika tidak, potensi mereka akan redup. Anak-anak itu akan menjadi anak yang malang. Kita-kita juga rugi besar karena mereka adalah asset untuk masa depan kita. Mereka adalah asset peradaban kita.







Baca Selengkapnya...

Pengukuhan Profesor Dr. Chairil

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Hari itu, Senin (11/5/2009), di Auditorium Untan Pontianak, Dr.Chairil Effendy dikukuhkan sebagai profesor sastra Universitas Tanjungpura Pontianak.
Dalam pengukuhan itu, Dr. Chairil menyampaikan pidato berjudul ‘Sastra Lisan, Kearifan Lokal, dan Pembangunan Berkelanjutan’. Isinya menarik perhatian. Bernas. Tawarannya juga penting dipertimbangkan untuk kepentingan pembangunan bangsa.

Tetapi, lebih dari itu, bagi saya, amat menarik menyimak cara Dr. Chairil menyampaikan pidato. Suaranya menggema. Bertenaga. Sangat berwibawa. Cara dia membaca teks, enak didengar. Nadanya terjaga. Padahal… dia membaca teks pidato yang sangat panjang.
Saya mengingat-ingat, gaya seperti itu layaknya gaya seorang kepala daerah. Gaya seorang orator. Politisi.
“Hebat Pak Chairil ya, tak nampak capek dia membaca teks sepanjang itu”.
Tak dapat menahan mulut. Saya sampaikan pujian itu kepada seorang teman di sebelah saya.
Tentu, saya membandingkan diri sendiri. Saya pernah menyampaikan orasi ilmiah dalam wisuda STAIN Pontianak 3 tahun lalu. Awal-awal saja saya bisa memperlihatkan ‘power suara’. Beberapa menit kemudian, ‘habis’. Jujur saja, saya merasa ‘lemah’ waktu itu, waktu melihat kenyataan bahwa saya tidak bertenaga sampai akhir.
Lalu, saya membandingkan kemampuan Dr. Chairil dengan ilmuan lain di Kalbar saat pengukuhan sebagai profesor. Saya rasa, jarang juga menjumpai ilmuan lain yang punya kekuatan seperti itu – maaf kalau pengetahuan saya terbatas.
“Itulah hebatnya, Pak Chairil,” kata seorang teman yang duduk di samping saya, ketika mendengar penilaian saya.
Tapi, kehebatan Dr. Chairil bukan cuma itu. Dia magnit. Saat pengukuhan itu, banyak sekali orang yang hadir. Kursi di ruang pertemuan itu sebagian besar terisi. Ratusan orang. Mungkin total-total orang yang ada di Audit ketika itu di atas seribu.
Mereka yang hadir, adalah rekan kerja, handai taulan, pejabat dan relasi. Yang paling mengesankan, beberapa orang yang datang dalam acara itu adalah ilmuan popular di Kalbar. Dari berbagai bidang. Saya mengenal mereka.
Saya juga terkesan dengan banyaknya karangan bunga yang dipajang di depan gedung Auditorium itu. Ucapan selamat dari berbagai kalangan, ada yang mengatasnamakan lembaga, banyak juga yang atas nama perorangan. Tidak saja dari para ilmuan, tetapi juga dari praktisi: politisi, pelaku ekonomi, dan birokrat. Hari Kamis kemarin, ketika saya ke FKIP Untan, sekali lagi saya melihat untaian ucapan apresiasi itu.
Semua itu menunjukkan ‘keberadaan’ Dr. Chairil di mata banyak orang, sebagai orang yang diakui. Semua itu menunjukkan Dr. Chairil punya banyak teman dan relasi, orang-orang yang ‘menyukainya’. Sungguh beruntung Untan dan Kalbar memiliki seorang seperti Dr. Chairil. Asset yang luar biasa.
Akhirnya, sekali tentu saja saya secara pribadi terkesan pada momentum pengukuhan itu karena ada pameran buku-buku terbitan STAIN Pontianak Press. Buku-buku terbitan dari penerbit ini dipamerkan. Saya terkesan -- dan sangat membanggakan hal itu, karena saya tahu dinamika, semangat serta gairah menerbitkan karya tulis di STAIN Pontianak Press.
Sebagian dari buku – banyak buku, Dr. Chairil diterbitkan penerbit ini.
Saya bangga karena STAIN Press ikut mengantar Dr. Chairil ke puncak pencapaian seorang ilmuan. Dan, saya bangga karena sang ilmuan itu menghargai dan memberi ruang kepada penerbit STAIN Pontianak Press.
Mudah-mudahan Dr. Chairil menjadi profesor yang tetap mengkilap sebagai seorang ilmuan. Mudah-mudahan pula jejak itu diikuti oleh ilmuan lainnya, kelak.




Baca Selengkapnya...

Selasa, 05 Mei 2009

Bahasa Ge



Tata (biru) dan Caca (merah).
Oleh
Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


Saya sedang baring malam itu--beberapa hari lalu. Biasa, setelah Magrib istirahat sekejap.
Tiba-tiba saya mendengar percakapan Caca dengan Tata, anak perempuan saya. Caca berumur 9 tahun. Dan Tata berumur 7 tahun.
“Kaka kuku kiki kaka kuku”.
“Kuku kuku, kiki kiki”.




Saya mengangkat kepala. Ingin mendengar lebih jelas, apa yang mereka bicarakan. Saya sama sekali tidak nyambung.
“Bugu kugu digi maga naga, caga caga?”
“Tugu digu aga tagas ragak”.
“Ta, omong ape tu?”
Saya bertanya penasaran.
“Bahasa gay”.
Teq! Saya terkejut.
“Anak-anak saya berbicara bahasa gay?”
Bayangan negative meloncat dari kepala saya. Negatif, karena setahu saya, gay itu komunitas menyimpang. Mereka orang yang menyukai sesama jenis--laki-laki.
Saya memang belajar sedikit tentang bahasa-bahasa komunitas. Ada bahasa kelompok khusus--dengan alasan tertentu, mengunakan bahasa rahasia. Bahasa itu hanya dimengerti oleh kelompok mereka. Mereka menggunakan istilah-istilah yang disepakati sendiri.
“Bahasa gay?”
“Iya, bahasa gay”.
“Dapat dari mana, Ta?”
“Belajar dengan Tika”.
Tika, anak tetangga kami. Teman bermain Tata. Tika sudah Kelas V sekolah dasar. Umurnya 11 tahun. Mereka berteman, karena di gang kami yang sepi itu, tidak ada anak sebaya Tata.
“Ta, sini. Coba ajarkan Bapak”.
Tata mendekat. Senyum. Saya suka lihat senyumnya. Senyum Tata sangat manis ketika gigi depannya ompong--ganti gigi.
“Kalau mau bilang ‘bapak baring’, bagaimana?”
“Baga pagak baga riging”.
“Saya?”
“Saga yaga”.
Tata menjawab dengan cepat. Saya tertawa. Takjub. Pintar. Saya belum memahami rumus bahasa itu. Saya minta Tata menterjemahkan beberapa kalimat lagi.
Tata menjawab cepat. Saya berusaha menyimak dengan cermat.
Lalu, saya menemukan polanya. Bunyi ‘ge’ memisahkan suku kata. Vocal setelah ‘ge’ disesuaikan dengan vocal suku kata yang diikutinya.
Saya, sa+ya. [Sa] ditambahkan bunyi ‘ga’, [ya] ditambahkan ‘ga’ juga. Jadi rumusnya, saga + yaga.
Kalau [isi], [i]+ gi; [si] + gi. Igi sigi.
Jadi, bahasa gay yang saya bayangkan sebenarnya bahasa ‘ge’. Bahasa dengan bunyi ‘ge’. Abjad ke – 7 dalam system alphabet Latin. Bukannya bahasa komunitas gay. Bukannya bahasa rahasia.
Lalu, saya jadi teringat beberapa puluh tahun lalu. Saat saya kecil, SD, saya juga mengenal bahasa khusus begitu. Bahasa Pampan, namanya. Polanya berbeda sedikit dengan bahasa ge.
Bahasa Pampan, bahasa terbalik. Setiap kata dipisahkan suku katanya, lalu dibalik.
Saya misalnya, menjadi ya+sa.
Kami, menjadi mi+ka.
Isi, menjadi si+i. Dan seterusnya.
Sederhana, dan mengasyikkan pada suatu saat. Saya katakan suatu saat, karena bahasa itu tidak berumur panjang. Mungkin kami hanya menggunakannya selama tiga bulan. Setelah itu kami lupa. [Mungkin karena sudah tidak asyik lagi].
Saya kira, sekalipun tiga bulan, dengan belajar bahasa itu, kami telah belajar bagaimana berpikir cepat. Dan, itu yang sedang dialami Tata dengan bahasa ge mereka.



Baca Selengkapnya...