Oleh: Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak
Beberapa hari lalu, seorang teman memberitahu saya. Wajahnya calar terkena tali kelayang.
“Ini… Ini kena kelayang, Bang”.
Saya melihat pada wajahnya. Ada garis bekas luka gores. Agak hitam.
Dia menceritakan, waktu kejadian itu darah sempat mengucur. Baju yang dipakainya jadi merah oleh darah itu.
“Hampir pingsan saya. Untung ada orang yang menolong. Mereka memberikan saya minum dan memberikan betadine pada luka,” katanya.
Banyak orang yang bersimpati padanya. Saat menolong itu, mereka pun bercerita tentang pengalaman masing-masing ketika terkena tali kelayang.
Ada yang terkena kening. Ada yang terkena leher. Ada yang parah, ada yang hanya mendapat goresan kecil. Macam-macam. Banyak orang yang sudah kena tali gelasan itu.
Lalu dia juga menceritakan ada yang pernah datang ke kantor walikota meluahkan kemarahan mereka, ada yang diam sendiri menyimpan marah di dalam hati.
Saya dapat membayangkan kemarahan dan kekesalan mereka. Saya, seolah-oleh melihat reaksi mereka ketika itu.
Saya sering membaca berita orang terkena tali kelayang. Berita orang yang mendapat banyak jahitan.
Saya juga pernah melihat langsung orang yang terjatuh dari motor terkena tali kelayang.
Bahkan saya sendiri pernah mengalaminya. Dua kali. Pertama, waktu itu saya melintas di Jalan Gajahmada Pontianak. Tali kelayang putus menghadang di depan motor saya. Untung motor saya tidak laju. Jadi hanya tangan saya saja yang kena. Untung lagi hanya goresan kecil.
Pada kali kedua, saya melintas di Jalan Komyos Sudarso POntianak. Ketika itu ada tali yang tiba-tiba terbentang di hadapan saya. Tali itu tertahan di tiang besi kaca spion saya. Alhamdulillah, selamat.
Tentu saja pengalaman ini cukup untuk menggambarkan betapa cemasnya kita kalau sudah berhadapan dengan tali kelayang.
Mengerikan. Bayangkan jika jatuh, dll.
Saya juga membayangkan hal yang mengerikan ketika melihat anak-anak mengejar kelayang putus. Sering kali mereka tidak memikirkan keselamatan diri sendiri. Mata mereka ke atas, kaki melangkah. Mereka tak peduli.
Tetapi lebih dari sekadar prihatin pada nasib mereka, saya kira masalah terbesar adalah bagaimana pemerintah kota Pontianak memperhatikan keselamatan warganya.
Saya kira seharusnya pemerintah peduli. Seharusnya pemerintah memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Jadi, tidak perlu pemerintah mengambil tindakan setelah ada warga yang berdarah-darah. Tidak selayaknya pemerintah baru mengambil tindakan setelah ada desakan dari warga. Takkan pula, korban-korban sebelum ini tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk peduli.
Tetapi, lagi-lagi saya teringat. Pemerintah kita lemah. Pemerintah kita tidak berdaya. Pejabat pengambil kebijakan tidak cukup peduli. Sekalipun, sudah ada peraturan daerah soal pembatasan permainan kelayang, aturan itu tidak ditegakkan. Biasalah, penerapan hukum memang kerap juga pilih-pilih.
Karena itu tidak heran seorang teman saya pernah menduga, “Buat apa pejabat peduli, toh tidak berkaitan dengan kepentingan mereka. Toh, mereka tak mungkin kena tali kelayang. Mereka pakai mobil kok”.
Benarkah begitu tegalnya? Ah, macam cara main kelayang pulak.
Minggu, 31 Mei 2009
Main Kelayang
Diposting oleh Yusriadi di 19.10
Label: Borneo Tribune, Pontianak, Suara Enggang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar